Share

Kondisi Ameera

Matteo tidak sempat menjawab atau tidak ingin menjawab, Falisha sendiri tidak jelas sebab ketika pria itu akan buka mulut pintu kamar rawat inap ini membuka setelah sebelumnya terdengar ketukan ringan.

Baik Falisha ataupun juga Matteo, perhatian keduanya sama-sama teralihkan bersamaan akan kedatangan seorang pria berjas putih.

Pria bertubuh kurus yang di awal sempat Falisha lihat mengikuti Matteo kini mengekor di belakang dokter itu. Falisha yakin dia tidak salah lihat meski hanya sesaat tadi.

“Halo, Ibu!” sapa sang Dokter dengan ramah tanpa menjeda langkahnya, “Saya Randy, dokter visit Ibu hari ini. Ada keluhan yang dirasa mengganggu, Bu?” tanyanya ketika sudah berada di samping brankar Falisha, netranya tanpa sungkan berkeliaran memerhatikan kondisi fisik wanita itu.

Senyum kecil diulas Falisha atas perhatian yang diberikan oleh dokter jaga itu, “Saya merasa baik-baik saja, Dok … masih sedikit pusing, juga rasanya sakit di sana sini, tapi masih bisa Saya tahan,” sahut Falisha jujur, tidak berani menutupi apapun dari dokter jaga itu.

Matteo yang mendengarkan semua itu hanya menyimak dalam diam, tapi ia merekam semuanya dengan baik. Sebab, kondisi Falisha jadi seperti ini juga dikarenakan kesalahan dari pihaknya.

Kondisinya, siang itu Matteo dalam keadaan terburu-buru karena akan ada meeting dadakan. Siapa yang sangka jika di saat yang sama, Rio yang merupakan sekretaris sekaligus asisten pribadinya itu dalam keadaan mengantuk tapi menutupinya sehingga kecelakaan pun tidak dapat terhindarkan.

Padahal sebenarnya pihak Matteo juga tidak sepenuhnya salah dalam hal ini karena Falisha juga mengendarai motornya dalam keadaan tidak fokus akibat perselingkuhan suaminya yang diakhiri dengan perceraian secara lisan itu.

"Pusing ini mungkin karena pengaruh benturan kepala saat kecelakaan terjadi. Pihak Kami sudah melakukan pemeriksaan hingga CT scan saat Ibu dalam keadaan belum sadar tadi dan semuanya tidak ada masalah. Begitu pula dengan yang lainnya, pada Ibu tidak ada tulang yang patah dan hanya luka luar saja. Mungkin akan timbul lebam setelah ini," jelas Randy singkat tanpa melunturkan senyum ramahnya tapi tetap diikuti dengan keseriusan, "untuk berjaga-jaga dari berbagai kemungkinan pasca kecelakaan tadi, pihak Kami menginginkan agar Ibu di rawat inap dulu setidaknya satu malam untuk observasi. Ibu mau, 'kan?"

Penjelasan dari pihak yang berkompeten di bidangnya tak ayal memberikan kelegaan pada diri Falisha, dengan cepat ia mengangguk kecil menyetujui permintaan sang Dokter agar bisa rawat inap meski hanya semalam.

Walaupun begitu, kelegaan Falisha tidaklah mendalam karena ada yang lebih penting ketimbang dirinya sendiri.

"Dok, gimana keadaan anak Saya? Pada saat kecelakaan itu, Saya berboncengan dengannya," tanya Falisha mendadak tegang karena kecemasan yang menyelimuti. Sebab, berbagai pikiran negatif sudah merongrong kepalanya sejak tadi, saat tidak mendapati keberadaan Ameera di dekatnya.

"Oh, anak Ibu masih berada di ruang operasi dan sedang dalam penanganan tim dokter," jawab Randy memberitahukan, tanpa bermaksud apa-apa meski nyatanya kalimat yang sarat akan kebenaran itu telah melukai hati tiga orang.

Detik itu juga mata Falisha membesar sempurna akan berita yang baru saja ia dengar, sementara Matteo jantungnya mencelos karena rasa bersalah yang kian menggelayuti. Ada pun Rio yang ikut mendengarkan kian mengkerut di sudut ruangan karena dia merasa telah menyebabkan ini semua.

"Apa? Operasi? Anak Saya kenapa, Dok? Dia terluka di bagian mana? Apakah parah? Ruang operasi di bagian mana, Dok? Saya mau ke sana!" cerocos Falisha sambil bangkit dari posisinya. Susah payah, membawa tubuhnya yang besar juga dipenuhi oleh rasa sakit itu, dalam hitungan detik Falisha mampu duduk.

Kabar tentang Ameera membuat Falisha mengabaikan segalanya termasuk diri sendiri. Tidak mungkin kan jika dia berdiam diri berbaring saja disini sementara putrinya mengalami hal tersebut.

"Tenang, Bu … tenang. Kalau menurut Saya, kondisi anak Ibu masih bisa ditangani dengan baik oleh pihak medis rumah sakit ini," ujar Randy cepat seraya menahan gerakan tangan Falisha yang ingin mencabut jarum infusnya, "anak Ibu mengalami patah tulang bagian tangan kiri karena kecelakaan itu. Ruang operasi berada di gedung A yang berada persis di seberang ruangan ini. Ibu boleh pergi menunggui disana tapi dengan catatan setidaknya habiskan dulu cairan infusnya," lanjut pria berumur sekitar empat puluh tahunan itu menyarankan dengan ketenangan yang luar biasa. Jam terbang yang tinggi membuatnya terbiasa menghadapi banyak macam tingkah polah para pasien di rumah sakit tersebut.

"Sasha, dengerin Pak Dokter ya? Habis ini, Aku akan anterin Kamu ke sana kok," sela Matteo angkat bicara turut membujuk setelah beberapa waktu hanya diam melihat interaksi mereka.

Falisha yang mendengarkan kedua pria itu merasa seperti disudutkan. Seolah tidak punya pilihan lain, akhirnya ia pun kembali menganggukkan kepala.

Senyum Dokter Randy mengembang, "Baiklah kalau begitu. Saya pamit dulu untuk visit pasien lainnya. Jika ada sesuatu boleh panggil Saya, Saya piket sampai sore ini atau dokter-dokter lainnya di sini ya Bu."

"Baik, Dok. Terima kasih atas kunjungannya," balas Falisha tulus dan membiarkan sang Dokter berlalu dari ruang rawat inapnya.

Netra kecokelatan Falisha menatap lekat punggung berjas putih dokter yang bernama Randy itu. Begitu bayangannya menghilang di balik pintu, detik berikutnya Falisha sudah bergerak mencabut jarum infus yang terhubung di pergelangannya.

"Sasha!" tegur Matteo terkejut atas apa yang baru saja dilakukan oleh wanita itu.

Sedikit perih yang timbul Falisha abaikan, teguran Matteo pun ikut ia acuhkan, bahkan ia hanya berpura-pura mengiyakan di depan dokter tadi.

"Aku mau anakku, Mat!" ucap Falisha tegas, keputusannya tidak goyah jika disangkutkan dengan urusan Ameera.

"Tapi, Sha … Kamu denger sendiri kata dokter tadi, 'kan? Kamu perlu istirahat juga!" balas Matteo cepat sambil melangkah mendekat, berusaha mencegah Falisha turun dari brankarnya.

"Bagaimana Aku bisa istirahat kalau putriku sedang dalam kondisi operasi, Mat! Patah tulang, patah!" sahut Falisha mulai berapi-api, dia tidak terima jika dicegah untuk menemui putri semata wayangnya, "anakku lebih penting daripada istirahat!"

Matteo terdiam, dia sebenarnya mengerti perasaan Falisha yang penuh kecemasan saat ini. Tapi bagi Matteo, orang sakit menunggui orang sakit lainnya hanya akan membuat keadaan jadi tambah kacau sehingga untuk sesaat ia bergeming di tempatnya.

"Minggir Matteo!" perintah Falisha dingin dan datar, bahkan tangan Matteo yang masih menahannya ia tepis dengan sedikit kasar.

Tertegun sesaat Matteo karena sikap Falisha yang menurutnya jadi sangat berbeda. Matteo yang merupakan seorang Presdir pun tidak terbiasa ditolak kata-katanya, tapi Falisha mampu membuat pria itu mundur selangkah untuk memberikan jalan.

Tidak membuang waktu lebih banyak lagi, Falisha turun dari brankar itu. Pusing yang menerjang hingga visualnya sempat bergoyang tidak mampu menghentikan langkahnya, pun keberadaan dua pria ini tidak lagi dipedulikan Falisha.

Ameera adalah definisi segala-galanya untuk Falisha. Sumber hidupnya, semangatnya, bagian dari dirinya sendiri.

####

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Illa Darrel
Duhhh Ameraa malang bnr nasib mu nak ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status