Tobias Gray mengernyitkan dahi kembali, "Voucher? Buat apa?"
Lily menatap Jack si mantan kekasih dengan pandangan meremehkan, "Astaga, Toby. Lihatlah sepatu bututnya itu! Mungkin dia ingin memiliki sepatu baru."
Tebakan Lily itu membuat Tobias sontak tertawa terpingkal-pingkal. Dia memberikan tatapan mencibir pada Jack, "Sepatu? Jadi, kau mau membeli sepatu di mall milik keluargaku, pecundang?"
Jack masih terdiam, menanti ucapan Tobias selanjutnya seolah dia tahu Tobias masih belum berhenti berbicara.
"Apa kau tidak tahu berapa harga minimum sepatu di Gray Mall?" ucap Tobias sambil menyeringai, "Ah, tidak. Kalau aku sebutkan, aku takut kau akan pingsan."
"Katakan saja berapa harganya!" Jack membalas masih menahan diri.
"Tidak usah, yang pasti kau tidak akan mampu membelinya."
"Jangankan sepasang, sebelahnya saja kau tak akan sanggup," tambah Tobias dengan senyum mengejek yang semakin menyebalkan.
"Bagaimana kalau aku bisa membelinya?" balas Jack pada akhirnya yang sudah tidak sanggup menahan diri.
Lily yang tahu Jack sangat miskin dan berpikir sangatlah mustahil jika mantan kekasihnya bisa membeli sepatu yang dijual di Gray Mall itu pun berkata, "Jangan coba-coba bermimpi, Jack! Itu tidak mungkin."
"Oh, Sayang. Kenapa kau melarang orang bermimpi? Bermimpi itu gratis, Lily Sayang. Biarkan saja dia melakukannya," ujar Tobias sambil menyeringai.
Lily mendesah, "Kau terlalu baik. Ah, tapi kau benar, Toby. Aku setuju,."
Gadis cantik itu pun menoleh ke arah Jack dan melempar senyuman meremehkan, "Tidak masalah kau bermimpi, pada akhirnya kau sendiri yang akan kecewa karena tak mampu menggapai mimpi itu."
Jack mengepalkan tangan, tapi tak berkomentar apapun. Dalam hatinya, dia berpikir tak perlu meladeni omongan mantan kekasihnya itu sebab yang perlu dia lakukan hanyalah membuat keduanya terbungkam nanti.
Ya, dia akan benar-benar pergi ke Gray Mall nanti. Namun, saat ini ada hal penting lain yang harus dia lakukan sehingga dia berjalan melewati Lily dan Tobias tanpa berniat menjawab pertanyaan pertama dua orang itu kepadanya.
"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa yang membebaskanmu?" tanya Lily dengan setengah berteriak.
Akan tetapi, Jack hanya berjalan lurus ke depan dan tidak menoleh sekali pun.
Lily pun menggerutu dengan kesal. "Berani sekali dia mengabaikanku! Dasar kurang ajar!"
Gadis itu pun juga menyadari jika itu pertama kalinya Jack tidak memperdulikannya. "Hah, awas saja dia!"
"Sayang, tenanglah! Biarkan saja. Siapapun yang membantunya memang memiliki nyali yang besar, tapi kurasa mungkin itu teman-temannya," tebak Tobias.
Lily memang tidak mengenal teman-teman Jack tapi dia sering melihat Jack pergi bersama dengan teman-temannya dari kejauhan. Dan yang dia ingat memang ada beberapa teman Jack yang berasal dari kalangan kelas atas.
"Hm, bisa jadi. Tapi ... Toby, bagaimana kalau dia benar-benar pergi ke Gray Mall?"
Jack mengerutkan dahi, "Bukankah kau mengatakan dia tidak mungkin pergi ke sana?"
"Ya awalnya memang aku percaya begitu, tapi siapa yang tahu kalau dia meminjam uang dan kemudian membeli sesuatu di sana, Toby?" Lily membalas dengan dahi mengkerut.
Tobias pun mengerang tidak suka tapi dia kemudian dia tersenyum misterius, "Ah, itu tidak masalah. Kita bisa sedikit memberi sambutan kepadanya nanti."
"Sambutan apa, Sayang?" Lily terlihat ingin tahu.
"Kau akan tahu nanti, Sayang. Tenang saja. Dia pasti akan sangat menyukai sambutan dariku, percayalah kepadaku!" Tobias menyeringai senang.
Lily balas tersenyum manis, sudah tidak peduli akan Jack. Bagi dirinya, Jack saat ini benar-benar hanyalah seorang sampah tidak berguna. Dia telah memiliki Tobias Gray yang akan memberikan apapun untuknya.
Sementara itu, Jack baru saja memasuki asramanya yang ternyata masih dipenuhi oleh ketiga temannya itu.
"Astaga, kau dari mana saja, Jack? Kenapa kau tidak pulang semalam?" salah seorang teman baiknya bertanya dengan ekspresi cemas.
"Kami mencarimu di mana-mana. Ponselmu juga tidak aktif. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Seseorang bertubuh tinggi besar ikut bertanya, "Apa kau mengambil ekstra jam kerja sampai pagi dan akhirnya tidur di restoran?"
"Atau kau jangan-jangan menginap di rumah pacar misteriusmu itu?" tanya Edward dengan senyum menggoda.
Jack hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaan-pertanyaan temannya itu, "Aku sudah putus dengannya."
Semua orang tentu saja langsung terkejut. Darryl, teman baiknya yang telah banyak membantunya itu membelalakkan mata, "Wah! Apa ini? Kau saja belum mengenalkan dia kepada kami, tapi sekarang kau sudah putus?"
"Apa alasan kau putus?"
"Siapa yang meninggalkan siapa?"
Jack hanya menjawab pelan, "Tidak masalah siapa yang meninggalkan siapa, yang jelas sekarang aku tidak memiliki seorang kekasih lagi."
Darryl menatap heran pada teman baiknya itu, "Tapi, kau tak terlihat sedih. Memang kau tidak patah hati?"
"Aku tidak sempat patah hati di saat banyak ujian yang sedang menungguku," Jack membalas sambil tersenyum pada teman-temannya.
Mereka langsung menggerutu akibat diingatkan kembali akan kegiatan yang seperti sebuah siksaan bagi mereka saat ini.
Hari itu Jack menjalani hari-harinya seperti biasa hingga dia selesai menghadiri kelas terakhirnya.
"Apa kau akan langsung berangkat bekerja, Jack?" Darryl Spencer bertanya sambil merangkul sang sahabat.
"Ya, tapi aku akan mampir untuk membeli sepatu dulu."
Larry seketika melirik ke arah kaki Jack yang terbungkus sepatu kumal yang luar biasa jelek. "Apa kau punya uang?"
"Ya, aku punya."
"Berapa uang yang kau punya?" Darryl bertanya.
Jack ragu-ragu menjawabnya. Dia tidak mau berbohong pada Darryl, tapi dia juga belum bisa bercerita tentang jati dirinya. Maka, Jack pun memilih terdiam saja.
Darryl menghela napas kala melihat Jack yang tak kunjung menjawabnya. Dia lalu mengambil dompetnya tanpa ragu dan mengambil beberapa ratus dollar kemudian menyerahkannya pada Jack.
Jack menatap Darryl dengan ekspresi terkejut, "Kau tidak perlu melakukan ini. Aku punya uang."
Darryl berdecak kesal, "Aku tahu kau punya uang tapi kalau kau gunakan uangmu semuanya, dengan apa kau bisa hidup kemudian?"
Jack terdiam.
Darryl memaksa Jack untuk mengantongi uang itu, "Aku hanya ingin membantumu. Kupingku panas setiap kali mendengar orang-orang mengejekmu."
"Dengar, Jack. Aku tahu kalau aku membelikanmu sepatu, kau tidak akan mungkin menerimanya jadi ... kau gunakan saja itu sebagai tambahan dan beli sepatu sesuai dengan seleramu,” Darryl menambahkan.
Jack tidak bisa lebih terharu dari hal itu. Darryl Spencer memanglah teman yang baik. Dia berasal dari keluarga kaya tapi Darryl adalah sedikit dari orang kaya yang memiliki hati yang baik dan tidak sombong.
Darryl pula lah yang sangat sering membantunya hingga Jack merasa begitu banyak berhutang pada Darryl.
"Terima kasih, akan aku gunakan dengan baik." Jack tak mau membuat temannya merasa kesal sehingga memutuskan untuk menerimanya.
Akan tetapi, itu artinya rencananya harus diubah. Dia tidak mungkin membeli sepatu mewah dengan uang dari sang kakek. Dia akan membeli sepatu dengan harga yang sesuai dengan jumlah uang yang diberikan oleh Darryl.
Setelah berpisah dari Darryl, sore itu Jack berjalan kaki menuju Gray Mall. Saat sampai di gedung yang memiliki belasan lantai itu, Jack tidak bisa tidak kagum.
"Keluarga Gray ternyata cukup kaya. Sekarang dia tidak heran kalau Lily sampai tertarik pada Tobias."
Meskipun dia kecewa akan keputusan Lily, Jack tidak bisa berbuat apapun. Hubungan dia dan Lily sudah benar-benar berakhir, dia harus ingat benar akan hal itu.
Jack mendekat ke arah pintu masuk mall, tapi sebelum dia bisa masuk, dua orang penjaga berseragam hitam menghadangnya.
"Pengemis dilarang masuk." Salah satu pengawal itu berkata sambil memegang lengan Jack.
Jack mendesah, "Saya bukan seorang pengemis."
Sang penjaga melihat Jack dari atas sampai ujung kaki dan dia pun menggelengkan kepala, "Tolong jangan menambah pekerjaan kami!"
Jack pun berkata lagi, "Saya benar-benar bukan pengemis. Saya datang ke sini untuk membeli sepatu."
Salah satu penjaga tertawa mengejek, "Membeli sepatu? Kau bercanda, pengemis?"
"Apa kau pikir harga sepatu di sini itu satu dollar, huh?" penjaga bertubuh tinggi besar itu menatap Jack dengan tatapan menghina.
"Pergilah dan jangan buat masalah!" Penjaga lain mengusirnya tanpa peduli.
Jack yang kesal langsung saja merogoh sakunya dan menunjukkan uang yang telah diberikan Darryl tadi, "Lihat! Saya punya uang."
Kedua satpam itu saling berpandangan. Mereka melirik ke arah uang itu dengan tatapan curiga.
"Dari mana uang itu?" penjaga pertama bertanya dengan tatapan menuduh.
"Apa kau mencuri?" tanya penjaga kedua.
Jack hampir saja tidak tahan lagi tapi dia berusaha menjelaskan, "Mencuri? Sama sekali tidak. Itu uang dari temanku."
"Oh, kau mencuri dari temanmu?" penjaga pertama langsung menahan lengan Jack, sementara penjaga kedua segera menghubungi seseorang.
"Pak, ada seorang pengemis mencurigakan yang membawa uang sebanyak enam ratus dollar. Menurut kecurigaan kami, dia telah mencuri dari temannya."
Jack yang kedua tangannya telah dipegang oleh dua penjaga itu pun memprotes. "Saya tidak mencuri. Lepaskan saya!"
"Akan kami lepaskan ketika sudah berada di ruang keamanan."
Mata Jack melebar, "Ruang keamanan? Apa maksud kalian?"
Jack menggelengkan kepala dengan cepat, "Entahlah. Tapi menurut Kakek, hubungan keluarga kita dengan keluarga mereka tidak terlalu baik."Jack sebetulnya ingin tahu lebih banyak, tapi dia tahu dia belum menemukan sesuatu yang berarti sehingga dia tidak bisa mengatakan apapun pada Edward.Edward mengangguk mengerti, "Aku pikir mereka mungkin tidak menyukaimu. Tapi kita tidak bisa mengetahuinya sampai kau bertemu dengan mereka secara langsung."Edward mencoba untuk lebih bersabar dan kemudian menunggu untuk mengenal keluarga Jack. Ia berpikir bahwa setelah mengenal mereka, ia dapat membantu Jack untuk menyelesaikan masalahnya.Jose dengan cepat menambahkan, "Oh, tapi sebelum dia bertemu dengan keluarganya. Akan lebih baik jika dia mengetahui lebih banyak tentang mereka."Ide Jose tersebut membuat Edward menganggukkan kepala, jelas suka mendengar ide yang menurutnya cukup brilian.Sementara Jack, tentu saja, langsung setuju dengan ide temannya. Menurut Jack, Jose selalu memunculkan ide-i
Jack mencoba untuk memahami semuanya, tetapi dia masih tidak bisa memahami alasan dari semua yang telah dilakukan Darryl.Pemuda itu teringat bagaimana dia pertama kali bertemu Darryl dan bagaimana mereka akhirnya menjadi teman."Dulu, aku pikir kau benar-benar tulus berteman denganku, yang merupakan anak miskin dan bahkan tidak punya uang untuk makan. Kau sering membantuku dengan melakukan hal-hal yang menurutmu tidak seberapa, namun sangat berharga bagiku," kata Jack sambil menatap mantan temannya dengan tatapan tidak yakin.Darryl sendiri memegang tangannya agar dia tidak melakukan hal bodoh lagi.Jack melanjutkan, "Untuk pertama kalinya, aku merasa memiliki seorang teman. Karena di mataku, kau sangat berbeda dengan orang kaya yang biasanya hanya memilih-milih orang miskin.""Tapi siapa sangka kalau semua yang kau lakukan itu hanya kebohongan belaka? Kau ... membuatku merasa seperti orang paling bodoh karena mengira kau adalah teman sejati," kata Jack, lalu menarik napas panjang.E
Annelisse menghela napas dan menatap ke tanah, tidak yakin bagaimana harus menjawab. "Jack, aku ... Aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini. Maksudku, kita masih sangat muda dan pernikahan adalah sebuah komitmen yang besar. Aku tidak ingin terburu-buru melakukan sesuatu dan menyesal di kemudian hari."Hati Jack tenggelam saat dia menyadari apa yang dia maksud. "Apa kau bermaksud mengatakan tidak?"Annelisse menggelengkan kepalanya. "Bukannya aku tidak menyukaimu, Jack. Hanya saja aku tidak yakin apakah ini waktu yang tepat untuk kita. Masih banyak yang harus kita pikirkan dalam hidup kita. Aku tidak ingin mengikat kita dengan pernikahan dulu."Jack berdiri, wajahnya bersedih. "Aku mengerti," katanya, berusaha untuk menjaga agar suaranya tetap stabil. "Aku tidak ingin menekanmu untuk melakukan sesuatu yang belum siap."Annelisse juga berdiri dan meletakkan tangannya di pundaknya. "Jack, tolong jangan marah. Aku masih ingin bersamamu dan membangun masa depan bersama. Aku hanya tidak in
Annelisse menghela napas dan menatap ke tanah, tidak yakin bagaimana harus menjawab. "Jack, aku ... Aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini. Maksudku, kita masih sangat muda dan pernikahan adalah sebuah komitmen yang besar. Aku tidak ingin terburu-buru melakukan sesuatu dan menyesal di kemudian hari."Hati Jack tenggelam saat dia menyadari apa yang dia maksud. "Apa kau bermaksud mengatakan tidak?"Annelisse menggelengkan kepalanya. "Bukannya aku tidak menyukaimu, Jack. Hanya saja aku tidak yakin apakah ini waktu yang tepat untuk kita. Masih banyak yang harus kita pikirkan dalam hidup kita. Aku tidak ingin mengikat kita dengan pernikahan dulu."Jack berdiri, wajahnya bersedih. "Aku mengerti," katanya, berusaha untuk menjaga agar suaranya tetap stabil. "Aku tidak ingin menekanmu untuk melakukan sesuatu yang belum siap."Annelisse juga berdiri dan meletakkan tangannya di pundaknya. "Jack, tolong jangan marah. Aku masih ingin bersamamu dan membangun masa depan bersama. Aku hanya tidak in
Tobias mendekati mereka dengan langkah penuh percaya diri, tetapi Jack dapat melihat celah-celah di wajahnya. "Jack, bisakah kita bicara?" Tobias bertanya. Jack menghela napas dan mengangguk. "Baiklah, apa yang ingin kau katakan?" tanyanya, nadanya tidak tertarik. Tobias berdeham dan menarik napas dengan gugup. "Aku tahu aku brengsek padamu sebelumnya, dan aku ingin minta maaf," katanya, matanya berkedip-kedip dengan gugup. Annelisse memutar matanya dan menyilangkan tangannya. "Dia hanya meminta maaf karena dia takut terputus dari keluarganya," gumamnya pada Jack. Jack hanya mengangguk, tahu bahwa Annelisse benar. "Tobias, aku menghargai permintaan maafmu, tapi itu tidak mengubah apa pun," kata Jack dengan tegas. Tobias menatap Jack, sangat ingin dimaafkan. "Kumohon, Jack. Aku akan melakukan apa saja untuk menebusnya," pintanya. Jack menggelengkan kepalanya, karena dia tahu sudah terlambat untuk menebus kesalahan. "Aku rasa sudah waktunya bagi kau untuk tidak bekerja di Morland
Annelisse berdiri di sana sejenak, dengan ekspresi konflik di wajahnya. Akhirnya, dia menghela napas dan berbicara dengan lembut."Aku tidak tahu, Jack. Ini sangat rumit."Jack bergerak mendekatinya, ada keputusasaan dalam suaranya. "Kumohon, Annelisse. Aku membutuhkanmu di sini. Aku tak sanggup kehilanganmu."Annelisse menatapnya, matanya mencari-cari di wajah Jack apakah ada tanda-tanda ketidakjujuran. Namun yang ia lihat hanyalah ketulusan dan tatapan memelas. Dia tidak bisa menahannya lagi dan akhirnya mengalah."Baiklah," katanya dengan lembut, "Aku akan tinggal. Tapi dengan satu syarat."Wajah Jack berbinar-binar penuh harapan. "Apa saja, Annelisse. Sebutkan saja."Annelisse tersenyum, "Kau harus memarahi mereka. Aku rasa kau tahu apa yang harus kau lakukan."Tanpa ragu-ragu, Jack mengangguk, "Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Kau bisa pegang kata-kataku."Dengan itu, Annelisse setuju untuk tinggal dan keduanya saling menatap. Saat mereka melakukannya, mereka tidak menyadari