Share

5. Patah Hati

Penulis: Renata Respati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-29 02:36:28

Mata mereka bertemu dan saling menatap beberapa saat sebelum akhirnya Kara berpaling dan mengembuskan napas berat.

“Gue nggak bisa,” tiga kata dari Kara itu sontak membuat napas Diandra tercekat.

Jantungnya seperti berhenti berdetak sepersekian detik, dan udara di sekitarnya terasa menipis, membuat Diandra kesulitan bernapas.

But, thanks karena udah suka sama gue selama tiga tahun ini,” lanjutnya.

Kalimat itu terdengar sangat menyakitkan bagi Diandra. Rasa cinta yang dia simpan selama tiga tahun ini sia-sia. Perasaannya tak berbalas.

“Apa ada sesuatu didiri gue yang bikin lo nggak suka? Atau belum? Gue bisa nunggu.”

Diandra tahu kata-katanya itu terdengar konyol, tapi tubuhnya bergetar saat memikirkan kemungkinan itu.

Kara tidak langsung menjawab. Ia hanya melirik sekilas, tatapannya dingin namun… ada sedikit kilatan yang sulit ditebak.

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Lo kelewat populer, kayaknya bakal ribet banget kalo menjalin hubungan sama tipe cewek kayak lo gitu. Selalu jadi spotlight dan zero privacy, itu sama sekali bukan gaya gue.”

Diandra menggigit bibirnya, membuang pandangannya ke mana saja untuk menahan air matanya agar tidak keluar dan jatuh di depan Kara. Ia tidak boleh menangis sekarang. Tidak di hadapan Sangkara.

‘Kara… hati aku sakit banget denger kamu ngomong kayak tadi.’

‘Berakhir… semuanya udah berakhir…’ Diandra tidak bisa membendung air matanya.

Ia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, menahan malu dan harga diri yang tersisa atas penolakan Sangkara padanya.

Diandra menunduk, mencoba tersenyum meski pun hatinya hancur dan dunianya seperti mau runtuh. Ia berusaha menghargai apa pun keputusan Kara. Bukankah cinta memang tidak bisa dipaksakan? Mungkin tidak sekarang, atau mungkin juga Diandra bukanlah orang yang diinginkan Kara untuk ada di sisinya.

***

Sejak malam penolakan itu, Diandra selalu menjaga jarak dari Kara. Ia tak pernah lagi muncul di hadapan lelaki itu, sekedar memberikan botol air minum saat Kara selesai berolah raga pun tidak. Kapan pun Diandra melihat Kara di sekolah, sebisa mungkin ia akan berusaha menghindar.

Diandra bahkan rela memarkirkan mobilnya di halaman belakang agar mereka tidak bertemu dan berpapasan. Perasaannya bukan hanya patah hati, namun malu luar biasa. Kara tidak hanya menolaknya, tapi juga menyuruhnya untuk pergi dan menjauh.

Sama sekali tidak memberikan kesempatan untuknya.

Sekarang Diandra hanya ingin fokus belajar untuk ujian akhir. Ia ingin lulus dengan nilai terbaik versinya dan membanggakan orang tuanya. Soal Kara, ia akan pikirkan lagi nanti.

Are you okay? Lo udah kayak mayat hidup akhir-akhir ini?” tanya Lavie yang mulai jengah dengan sikap diam dan cuek Diandra.

“Kenapa?”

“Kenapa lo bilang? Lo itu udah kayak orang nggak punya harapan hidup tau nggak? Tiba-tiba jadi pendiem dan suka belajar, itu bukan lo banget,” lanjut Lavie menjelaskan.

Claudia mengangguk setuju, “biasanya juga kan lo yang paling semangat kalo ada party. Sekarang? Total udah sepuluh undangan party yang lo tolak.”

“Kenapa sih? Cerita sini,” Lavie masih belum menyerah untuk membuat temannya buka mulut.

“Gue lagi mau fokus belajar aja. Sebentar lagi kan kita udah mau ujian. Emang kalian nggak mau apa, lulus dengan nilai bagus?” Diandra membela diri.

“Ya, mau. Tapi kan bukan berarti kita harus mengorbankan masa muda kita juga.”

I know. Tapi prioritas gue saat ini adalah belajar. Itu,” lanjut Diandra penuh penekanan.

Lavie mengangguk.

“Terus Kara? Gimana tuh? Masa lo langsung nggak ada interaksi apa pun sih ke dia? Nggak biasanya loh, Di.”

“Diandra yang gue kenal itu paling suka bikin Kara repot, hahaha,” Claudia menimpali.

Lavie dan Claudia merasa aneh dengan perubahan sikap Diandra yang tiba-tiba menjadi suka belajar dan mengabaikan Sangkara. Di mana selama tiga tahun ini, ia tidak pernah melewatkan satu hari pun untuk mendekati dan mencari perhatian Sangkara.

Namun akhir-akhir ini berbeda, Diandra seperti menarik diri dari semua orang. Ia bahkan tidak membiarkan siapa pun mendekatinya. Kelihatannya seperti baru mendapatkan syok terapi yang sangat berat.

***

Malamnya… Diandra duduk termenung di atas tempat tidurnya, menatap laptop yang menyala di depannya. Kedua tangannya saling meremas, air matanya tak kunjung reda sejak beberapa menit yang lalu.

Setiap kali teringat penolakan Kara padanya, membuat hatinya sakit. Ya, rasa sakit itu masih ada. Usahanya selama tiga tahun untuk mengambil hati Kara pupus sudah. Lelaki itu tidak memiliki perasaan yang sama, bahkan melirik pun tidak, apalagi memberinya kesempatan.

Diandra membuka web pendaftaran universitasnya, lalu dengan tangan gemetar, ia menggerakkan krusor ke kolom ubah pilihan. Diandra memejamkan mata, membuat sebutir air mata kembali jatuh dari pelupuk matanya.

“Selamat tinggal, Sangkara,” ucapnya dengan kesedihan yang tak bisa ditahan-tahan.

Diandra telah mengubah universitasnya dari Acadia University ke universitas lain di luar negeri. Sejak awal ia mendaftar di Acadia University karena ingin selalu dekat dengan Sangkara, tapi penolakan laki-laki itu menyakitinya, sekaligus membuatnya sadar, kalau hidup tidak harus tentang Sangkara.

Setelah ini Diandra berharap dirinya benar-benar bisa move on dan melupakan Sangkara dari hidupnya. Ia hanya akan mengenang lelaki itu sebagai cinta pertamanya, dan seseorang yang pernah hadir di masa mudanya.

***

“Yeay, gue lulus!”

“Gue lulus!”

“Gue juga lulus!”

Sorak sorai siswa dan siswi Central Secondary School terdengar di setiap sudut sekolah. Mereka semua tengah bersuka cita merayakan hari kelulusan. Setelah melihat papan pengumuman dan dinyatakan lulus, tak sedikit dari mereka yang melakukan selebrasi dengan menari, menyanyi, dan mencorat-coret seragam teman-temannya.

“Diandra selamat, lo masuk peringkat 10 besar! Keren banget,” puji Lavie sembari memeluk temannya itu.

Thank youuuu,” Diandra membalas pelukan Lavie.

“Nggak salah deh akhir-akhir lo sibuk belajar terus, Di. Hasilnya memuaskan banget, bisa-bisanya lo dari peringkat 50 naik ke 10 besar. Hebat!” lanjut Gavin yang menunggu giliran untuk dipeluk.

“Iya, dong. Diandra…” Diandra menarik salah satu kerah bajunya, menyombongkan pencapaian besarnya pada teman-temannya.

“Diandra… selamat ya atas pencapaian kamu yang berhasil masuk peringkat 10 besar,” Diandra menoleh dan mendapati seorang lelaki yang cukup familiar baginya.

Thanks…?” Diandra memejamkan mata, mencoba mengingat sosok lelaki itu.

Ia melihat ke arah teman-temannya, berharap akan mendapatkan sebuah clue.

“Gue Alvaro, temen satu club-nya Seno,” lanjutnya, seolah paham dengan kebingungan Diandra.

“Oh,” Diandra mengangguk.

“Gue… boleh ngomong sebentar?” lanjut Alvaro.

Diandra menggaruk lehernya yang tidak gatal, sejujurnya ia tidak ingin, tapi melihat bagaimana lelaki itu seperti tulus padanya, Diandra jadi kasihan dan tidak punya pilihan lain.

Mereka berjalan ke arah lorong, di mana tidak ada banyak orang di sana.

“Lo mau ngomong apa?”

“Nanti malem… lo udah ada barengan buat dateng ke party?”

Diandra menggeleng ragu sebelum menjawab, “sama Gavin dan Claudia, mungkin. Kenapa?”

“Kalo dateng sama gue, lo mau nggak?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Si Tampan yang Posesif   6. Pesta Kelulusan

    “Sorry, kenapa tiba-tiba banget, ya? Pertama, gue nggak gitu kenal sama lo. Kedua, udah pasti gue dateng sama temen-temen gue. Tapi makasih udah ngajakin,” Diandra berusaha menolak dengan sopan.“Bukan sama Kara?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada mencurigai.Kening Diandra mengerut, dia tidak suka ketika orang lain mencoba mengusik privasinya.“Kok jadi Kara?”“Ya… semua orang juga tau kalo selama ini lo ngejar dia banget, cuma akhir-akhir ini aja agak beda.”“Itu sama sekali bukan urusan lo.”“Ada yang mau gue omongin nanti malem.”“Yaudah tinggal ngomong aja sekarang, kenapa harus nunggu nanti malem?”“Nggak bisa, moment-nya nggak tepat kalo sekarang. Gue juga belom siap.”Diandra melihat ke sekeliling, tempat di mana teman-teman satu angkatannya masih sibuk merayakan kelulusan.“Yaudah, nanti malem aja. Tapi nggak harus berangkat bareng juga, kan? Ketemu di sana kan bisa.”“Oke. See you tonight.”Diandra mengangguk, dan membiarkan laki-laki bernama Alvaro itu pergi dari hadapann

  • Si Tampan yang Posesif   5. Patah Hati

    Mata mereka bertemu dan saling menatap beberapa saat sebelum akhirnya Kara berpaling dan mengembuskan napas berat.“Gue nggak bisa,” tiga kata dari Kara itu sontak membuat napas Diandra tercekat.Jantungnya seperti berhenti berdetak sepersekian detik, dan udara di sekitarnya terasa menipis, membuat Diandra kesulitan bernapas.“But, thanks karena udah suka sama gue selama tiga tahun ini,” lanjutnya.Kalimat itu terdengar sangat menyakitkan bagi Diandra. Rasa cinta yang dia simpan selama tiga tahun ini sia-sia. Perasaannya tak berbalas.“Apa ada sesuatu didiri gue yang bikin lo nggak suka? Atau belum? Gue bisa nunggu.”Diandra tahu kata-katanya itu terdengar konyol, tapi tubuhnya bergetar saat memikirkan kemungkinan itu.Kara tidak langsung menjawab. Ia hanya melirik sekilas, tatapannya dingin namun… ada sedikit kilatan yang sulit ditebak.“Enggak.”“Kenapa?”“Lo kelewat populer, kayaknya bakal ribet banget kalo menjalin hubungan sama tipe cewek kayak lo gitu. Selalu jadi spotlight dan

  • Si Tampan yang Posesif   4. Pendekatan Jalur Calon Mertua

    “Ya,” Miranda mengangguk.“Kara masih SMA kan, ya? Kok udah… punya PA?” tanyanya lagi.“Kara itu cover-nya aja yang anak SMA.”“Hah? Gimana, tante?”Miranda tersenyum, seperti tengah menggoda gadis itu.“Nanti juga kamu tahu.”“Len, Di, besok malam kalian bisa kan datang ke sini untuk makan malam?”“Ada acara apa nih?” tanya Helena.“Makan malam biasa aja. Sebagai perayaan karena hari ini akhirnya kita ketemu lagi setelah sekian lama, dan juga ucapan terima kasih karena Diandra udah mau nganterin aku pulang.”“Tante… aku ikhlas loh, serius.”“Iya, tante percaya.”Diandra tersenyum hingga kedua matanya menyipit.“Gimana? Kalian bisa, kan?”“Aku sih bisa aja, ya. Kebetulan lagi nggak ada acara juga. Kalo kamu gimana, Di? Biasanya kan kamu yang paling jarang ada di rumah?”“Hm? Aku bisa kok, mom. Bisa banget!” jawabnya cepat.“Oke kalo gitu, besok aku tunggu ya buat makan malam di rumah.”“Iya, Mir.”“Iya, tante.”Jawab ibu dan anak itu berbarengan.***Setelah selesai berkeliling dan me

  • Si Tampan yang Posesif   3. Pertemanan Orang Tua

    “Oh, iya?”“Iya. Namanya Sangkara, kamu kenal?”Diandra spontan menginjak pedal rem begitu nama itu disebutkan dengan ringan oleh Miranda.“Diandra, hati-hati dong bawa mobilnya.” Seru mommy-nya karena kaget.“Sorry, mom. Kaget dikit tadi.”“Hm?”“Anak tante Miranda siapa tadi? Sangkara?” tanya Diandra memastikan.“Iya. Sangkara Adhiyatsa. Kamu tahu dia?”‘Bukan cuma tahu, tan,’ Diandra meringis dalam hati.Bagaimana bisa ada kebetulan semacam ini dalam hidupnya. Sangkara, cowok yang tiga tahun ini menjadi gebetannya, dan selalu menolaknya. Sekarang dia malah duduk satu mobil dengan ibu dari lelaki itu?Tante Miranda bahkan adalah teman baik mommy-nya sejak jaman kuliah di Auckland.‘Takdir macam apa ini?’ batinnya girang.“Voila!” serunya.“Kenapa, Di?” tanya mommy-nya penasaran.“Hehehe… nggak apa-apa,” Diandra tersenyum canggung saat kedua orang tua itu menangkap basah perilaku anehnya.Setelah berhasil menguasai diri, Diandra kembali menjalankan mobilnya dan melaju untuk mengantar

  • Si Tampan yang Posesif   2. Cemburu

    “Kak Kara, hari ini jadi nemenin gue keliling sekolah?” seorang gadis tiba-tiba menghampiri Kara, berbicara padanya dengan suara lembut dan cenderung manja.Senyum cantik di wajah Diandra memudar, alisnya berkerut, dan matanya menatap tajam pada dua orang yang tengah berbicara santai tak jauh darinya.Itu adalah Salsa, seorang siswi pertukaran pelajar dari sekolah lain. Yang entah bagaimana bisa menjadi tanggung jawab Kara selama Salsa berada di sekolah ini.“Sure,” jawab Kara singkat, namun… Diandra bersumpah ia melihat seulas senyum tipis di sudut bibir lelaki itu.Diandra kesal bukan main saat melihat Kara bisa setenang itu berbicara dengan gadis lain. Bahkan tersenyum. Tersenyum!Diandra merasa iri luar biasa. Merasakan panas perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya saat melihat kedekatan mereka berdua, berjalan bersama keluar lapangan, meninggalkan Diandra sendiri di sana.Gadis itu mendesah menatap punggung Kara yang perlahan menjauh, lalu menghilang.“See?” Ujar Lavie yang berdiri

  • Si Tampan yang Posesif   1. Mimpi Ciuman

    “Kita emang nggak punya hubungan apa pun. Tapi… kamu milik aku,” setelah mengatakan kalimat itu, Kara—cowok yang tiga tahun ini menjadi crush Diandra—menyeringai sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya ke arah Diandra.Menciumnya.Pelan… dan dalam.Diandra yang awalnya melotot karena terkejut, berakhir memejamkan mata, menenangkan diri sendiri, dan perlahan menikmati ciuman lelaki itu di bibirnya.Diandra menggantungkan tangannya di leher Kara, menarik lelaki itu agar lebih mendekat padanya.‘Akhirnya… setelah tiga tahun… cinta gue nggak lagi bertepuk sebelah tangan,’ batin Diandra senang.‘Ini menyenangkan. Ciuman ini… aku menyukainya’.‘Rasanya… aku tidak ingin terbangun dari mimpi ini.’Diandra seketika membuka mata di tengah ciuman mereka.Mimpi.Mimpi.“Arrrgh! Kenapa gue harus kebangun di saat-saat kayak gini sih? Padahal lagi hot banget mimpi gue barusan!” serunya saat kesadarannya sudah pulih sepenuhnya.Diandra melihat ke sekeliling dan menemukan dirinya masih berada di kamarny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status