LOGIN“Sorry, kenapa tiba-tiba banget, ya? Pertama, gue nggak gitu kenal sama lo. Kedua, udah pasti gue dateng sama temen-temen gue. Tapi makasih udah ngajakin,” Diandra berusaha menolak dengan sopan.“Bukan sama Kara?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada mencurigai.Kening Diandra mengerut, dia tidak suka ketika orang lain mencoba mengusik privasinya.“Kok jadi Kara?”“Ya… semua orang juga tau kalo selama ini lo ngejar dia banget, cuma akhir-akhir ini aja agak beda.”“Itu sama sekali bukan urusan lo.”“Ada yang mau gue omongin nanti malem.”“Yaudah tinggal ngomong aja sekarang, kenapa harus nunggu nanti malem?”“Nggak bisa, moment-nya nggak tepat kalo sekarang. Gue juga belom siap.”Diandra melihat ke sekeliling, tempat di mana teman-teman satu angkatannya masih sibuk merayakan kelulusan.“Yaudah, nanti malem aja. Tapi nggak harus berangkat bareng juga, kan? Ketemu di sana kan bisa.”“Oke. See you tonight.”Diandra mengangguk, dan membiarkan laki-laki bernama Alvaro itu pergi dari hadapann
Mata mereka bertemu dan saling menatap beberapa saat sebelum akhirnya Kara berpaling dan mengembuskan napas berat.“Gue nggak bisa,” tiga kata dari Kara itu sontak membuat napas Diandra tercekat.Jantungnya seperti berhenti berdetak sepersekian detik, dan udara di sekitarnya terasa menipis, membuat Diandra kesulitan bernapas.“But, thanks karena udah suka sama gue selama tiga tahun ini,” lanjutnya.Kalimat itu terdengar sangat menyakitkan bagi Diandra. Rasa cinta yang dia simpan selama tiga tahun ini sia-sia. Perasaannya tak berbalas.“Apa ada sesuatu didiri gue yang bikin lo nggak suka? Atau belum? Gue bisa nunggu.”Diandra tahu kata-katanya itu terdengar konyol, tapi tubuhnya bergetar saat memikirkan kemungkinan itu.Kara tidak langsung menjawab. Ia hanya melirik sekilas, tatapannya dingin namun… ada sedikit kilatan yang sulit ditebak.“Enggak.”“Kenapa?”“Lo kelewat populer, kayaknya bakal ribet banget kalo menjalin hubungan sama tipe cewek kayak lo gitu. Selalu jadi spotlight dan
“Ya,” Miranda mengangguk.“Kara masih SMA kan, ya? Kok udah… punya PA?” tanyanya lagi.“Kara itu cover-nya aja yang anak SMA.”“Hah? Gimana, tante?”Miranda tersenyum, seperti tengah menggoda gadis itu.“Nanti juga kamu tahu.”“Len, Di, besok malam kalian bisa kan datang ke sini untuk makan malam?”“Ada acara apa nih?” tanya Helena.“Makan malam biasa aja. Sebagai perayaan karena hari ini akhirnya kita ketemu lagi setelah sekian lama, dan juga ucapan terima kasih karena Diandra udah mau nganterin aku pulang.”“Tante… aku ikhlas loh, serius.”“Iya, tante percaya.”Diandra tersenyum hingga kedua matanya menyipit.“Gimana? Kalian bisa, kan?”“Aku sih bisa aja, ya. Kebetulan lagi nggak ada acara juga. Kalo kamu gimana, Di? Biasanya kan kamu yang paling jarang ada di rumah?”“Hm? Aku bisa kok, mom. Bisa banget!” jawabnya cepat.“Oke kalo gitu, besok aku tunggu ya buat makan malam di rumah.”“Iya, Mir.”“Iya, tante.”Jawab ibu dan anak itu berbarengan.***Setelah selesai berkeliling dan me
“Oh, iya?”“Iya. Namanya Sangkara, kamu kenal?”Diandra spontan menginjak pedal rem begitu nama itu disebutkan dengan ringan oleh Miranda.“Diandra, hati-hati dong bawa mobilnya.” Seru mommy-nya karena kaget.“Sorry, mom. Kaget dikit tadi.”“Hm?”“Anak tante Miranda siapa tadi? Sangkara?” tanya Diandra memastikan.“Iya. Sangkara Adhiyatsa. Kamu tahu dia?”‘Bukan cuma tahu, tan,’ Diandra meringis dalam hati.Bagaimana bisa ada kebetulan semacam ini dalam hidupnya. Sangkara, cowok yang tiga tahun ini menjadi gebetannya, dan selalu menolaknya. Sekarang dia malah duduk satu mobil dengan ibu dari lelaki itu?Tante Miranda bahkan adalah teman baik mommy-nya sejak jaman kuliah di Auckland.‘Takdir macam apa ini?’ batinnya girang.“Voila!” serunya.“Kenapa, Di?” tanya mommy-nya penasaran.“Hehehe… nggak apa-apa,” Diandra tersenyum canggung saat kedua orang tua itu menangkap basah perilaku anehnya.Setelah berhasil menguasai diri, Diandra kembali menjalankan mobilnya dan melaju untuk mengantar
“Kak Kara, hari ini jadi nemenin gue keliling sekolah?” seorang gadis tiba-tiba menghampiri Kara, berbicara padanya dengan suara lembut dan cenderung manja.Senyum cantik di wajah Diandra memudar, alisnya berkerut, dan matanya menatap tajam pada dua orang yang tengah berbicara santai tak jauh darinya.Itu adalah Salsa, seorang siswi pertukaran pelajar dari sekolah lain. Yang entah bagaimana bisa menjadi tanggung jawab Kara selama Salsa berada di sekolah ini.“Sure,” jawab Kara singkat, namun… Diandra bersumpah ia melihat seulas senyum tipis di sudut bibir lelaki itu.Diandra kesal bukan main saat melihat Kara bisa setenang itu berbicara dengan gadis lain. Bahkan tersenyum. Tersenyum!Diandra merasa iri luar biasa. Merasakan panas perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya saat melihat kedekatan mereka berdua, berjalan bersama keluar lapangan, meninggalkan Diandra sendiri di sana.Gadis itu mendesah menatap punggung Kara yang perlahan menjauh, lalu menghilang.“See?” Ujar Lavie yang berdiri
“Kita emang nggak punya hubungan apa pun. Tapi… kamu milik aku,” setelah mengatakan kalimat itu, Kara—cowok yang tiga tahun ini menjadi crush Diandra—menyeringai sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya ke arah Diandra.Menciumnya.Pelan… dan dalam.Diandra yang awalnya melotot karena terkejut, berakhir memejamkan mata, menenangkan diri sendiri, dan perlahan menikmati ciuman lelaki itu di bibirnya.Diandra menggantungkan tangannya di leher Kara, menarik lelaki itu agar lebih mendekat padanya.‘Akhirnya… setelah tiga tahun… cinta gue nggak lagi bertepuk sebelah tangan,’ batin Diandra senang.‘Ini menyenangkan. Ciuman ini… aku menyukainya’.‘Rasanya… aku tidak ingin terbangun dari mimpi ini.’Diandra seketika membuka mata di tengah ciuman mereka.Mimpi.Mimpi.“Arrrgh! Kenapa gue harus kebangun di saat-saat kayak gini sih? Padahal lagi hot banget mimpi gue barusan!” serunya saat kesadarannya sudah pulih sepenuhnya.Diandra melihat ke sekeliling dan menemukan dirinya masih berada di kamarny







