Share

Si Tomboy Hanny dan ayam
Si Tomboy Hanny dan ayam
Penulis: Hanny Gadry

Pagi Hanny

"Hanny!" Abah berteriak dari dapur.

Ambu tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang setelah membuang sampah.

"Ada apa, Abah?" Ambu gemetaran.

"Itu anak kamu kemana, Pagi-pagi sudah ngelayap?" Abah membetulkan kumisnya yang hanya berapa lembar.

"Loh, dia lagi turun ke bawah rumah Dodi, katanya mau ngawinin si Jack." Ambu mengambil pisang untuk dijadikan gorengan sarapan pagi keluarga.

"Masya Allah, anak perempuan bungsu, pagi-pagi ngawinin ayam." Abah duduk di kursi makan sambil terus menggelengkan kepalanya.

"Biarin atuh Abah, dia sudah pintar untuk mengurus ayam. Siapa tahu jadi penghasilan dia." Ambu berkata untuk membela sang anak yang sangat dia sayangi.

"Ambu, dia itu anak perempuan kita yang cantik, masa pagi-pagi sudah bawa ayam buat kawin. Lagian si Jack mau-mau aja dibawa." Abah tampak kesal sambil menepuk-nepuk ujung meja seperti menepuk rebana.

"Orang mah sudah tau Abah, Hanny itu dah jadi pawang si Jack." Ambu terus membela anaknya yang sudah pergi dari pagi.

"Dia tidak malu, Ambu, nenteng si Jack ayam jago yang beratnya hampir enam kilo itu." Abah menatap Ambu dengan tatapan seorang polisi penyelidik.

"Ya nggak Abah, dia rawat si Jack kan dari kecil. Coba Abah tangkap si Jack itu pasti dia kabur, kalau sama Hanny begitu dia panggil langsung datang tuh ayam." Ambu membalikkan goreng pisang yang sudah hampir matang.

"Iya sih Ambu, Abah tahu, tapi kan dia beranjak dewasa, tahun depan sudah kuliah." Abah menyeruput kopi hitam dan keningnya berkerut.

Prrrrfttt!

Semburan kopi tumpah di sarung Abah yang membuat dia mengibaskan sarungnya.

"Ambu, ini kopi belum dipake gula, pahit ikh!" Abah mulai ngomel kembali dan gelas kopi dia taruh kembali di meja, rasa kesalnya pagi itu bertambah.

"Maaf Abah, Ambu lupa." Ambu mengambil gula di lemari dan menuang satu sendok setengah ke dalam gelas.

"Nah gini atuh Ambu, kan manis. Hidup Abah sudah pahit punya anak perempuan tapi tomboy, ditambah Ambu bikin kopi lupa pake gula " Abah mulai ceramah panjang kali lebar.

"Maaf atuh Abah, Ambu, tidak sengaja." Ambu mendekati Abah dan menciumnya. Sikap Abah sekarang lebih melunak.

"Iya, Abah maafkan." Abah melembutkan suaranya.

Ambu menuang pisang goreng yang sudah matang di piring dan menyuguhkannya  di atas meja.

"Ambu, si Hanny sudah punya pacar belum?" Abah mengambil pisang goreng dan meniupnya karena masih panas mulutnya terlihat komat-kamit seperti membaca mantra.

"Tidak tahu Abah, kalo Ambu lihat sepertinya belum?" Ambu duduk di sebelah Abah sambil meniup satu pisang goreng yang masih panas.

"Masa dia belum laku ya Ambu, dia itu kan cantik sama kayak Ambu." Abah masih meniup pisang goreng yang setelah sedikit dingin baru dia makan.

"Ambu lihat dia temennya itu hanya ayam sama si Jamal anak Pa haji Syukur, Abah." Ambu tersenyum kecut melihat polah anak gadisnya yang tomboy.

"Aduh, syukur atuh kalo gitu. Abah tenang. Si Jamal anaknya baik, rajin mengaji lagi." Abah sedikit lega dengan jawaban Ambu.

.

.

Tak lama suara aku masuk dari luar,

"Assalamualaikum." Aku berteriak membuat Abah dan Ambu terkejut melihat kedatanganku.

"Wa'alaikum salam". Abah dan Ambu menjawab berbarengan.

Ketika masuk sengaja aku duduk di sebelah Abah.

"Kamu cuci tangan dulu jorok." Ambu menyentil tangan dan aku segera beranjak bangun menuju tempat cuci piring dan mencuci tangan dengan sabun.

"Abah, Ambu, si Jack bikin malu Hanny coba." Kesal yang aku dapat setelah membawa si Jack dari pagi.

"Emang kenapa atuh, Han?" Abah bertanya sambil menyodorkan piring pisang goreng. Karena masih panas jadi aku menunggunya dingin.

"Sok, kamu cerita, Han." Ambu tampak penasaran itu terlihat dari cara Ambu membetulkan kerudung yang tampak miring sebelah.

"Kan tadi bawa si Jack, Hanny mau nyebrang, itu anaknya anaknya Pak Burhan yang di warung depan bilang 'cieee mo ngawinin si Jack ke bawah, tentu saja aku kesal kan Abah, Ambu." 

"Loh, kan iya, kamu mau ngawinin si Jack kan?" Abah tertawa sambil menyeruput kopi yang tinggal setengah.

"Abah jangan tertawa, si Jack nggak mau dikawinin akhirnya, malah Hanny pusing ngatur gaya si Jack kawin." Aku meradang karena lelah dengan proses perkawinan ayam jago kesayanganku. 

Ambu dan Abah tertawa, aku sebagai kesayangan mereka cemberut dan ingin mencubit mereka karena gemas dan kesal.

"Hanny, sabar cantik. Si Jack nanti juga mau dikawinin." Ambu mengelus rambutku yang sengaja aku kuncir satu.

"Iya Ambu." Rasanya suaraku sudah lebih tenang tidak seperti tadi meledak-ledak.

"Dah, kamu mandi sana, masa anak gadis bau ayam." Ambu memintaku untuk segera mandi.

"Biar atuh Ambu, begini-begini nanti jadi master ayam." Aku tertawa senang.

Pletak

Abah melempar handuk ke arahku dan dia tertawa,

"Eh, anak perempuan itu jadi master chef bukan master ayam, bagaimana ini Ambu anak kamu?" Abah mengubah suaranya seperti ledekan.

Ambu hanya tertawa melihat anak gadisnya yang cengengesan. Selesai sarapan aku langsung beranjak dari kursi mencari handuk yang menggantung di depan rumah untuk  segera membersihkan diri. Dalam kamar mandi aku bernyanyi tentang ayam.

"Anak ayam tinggal sepuluh, mati satu tinggal sembilan." Rasanya suaraku merdu seperti Celine Dion.

Sedang asik bernyanyi Abah berteriak dan menggedor pintu kamar mandi dari luar.

"Hanny, jangan nyanyi kalo di kamar mandi, pamali, lagian lagunya ayam lagi... bosan Abah dengarnya"suara Abah naik tiga oktaf yang membuat aku terdiam tidak nyanyi lagi.

Begitu keluar aku masih celingak-celinguk mencari Abah. Ternyata dia sudah tidak ada begitu juga Ambu, dan setelah  keluar mandi kemudian berganti pakaian, aku duduk di depan rumah. Handuk masih aku taruh di kepala agar rambut segera kering.

.

.

Dari jarak yang jauh tampak sahabatku Jamal berjalan ke arahku.

"Assalamualaikum." sapa Jamal melambaikan tangannya.

"Wa'alaikum salam" aku masih duduk sibuk dengan lilitan handuk di kepala. 

"Han, kita ngeliwet yuk, bareng si Acop dan Dadang?" Jamal ternyata mengajak untuk makan bersama 

"Dimana, Mal?" Aku tanya sambil mempersilakan dia duduk di bangku.

"Di saung Bapak saja tengah sawah, ajak si Dewi sama si Rita." Jamal memilih memetik bunga mawar yang ada dalam pot.

"Eh, itu bunga mawar si Ambu, kamu diomelin coba, mana bunganya baru satu." Aku menakutinya agar merasa bersalah.

Jamal tampak kikuk setelah tahu bunga yang dipetiknya bunga kesayangan Ambu.

Sssttttttt

"Kamu jangan bilang atuh, diem aja." Jamal menutup mulut dengan jarinya.

"Iiih, aku bilangin nanti." Aku meledeknya dan dilempar bunga mawar oleh Jamal.

"Han, kamu tadi kemana bawa si Jack?" Alis Jamal tampak naik.

"Itu, kemarin kan Bang Dodi minta supaya si Jack dikawinin sama ayamnya si Mita, ih, ayam aku nggak tahu cewek cantik, malah nggak mau coba." Dengan kesal aku ingin mendekati si Jack dan memarahinya.

Jamal tertawa ngakak,"Lagian kamu, anak perempuan nenteng ayam pagi-pagi buat dikawinin, malu lah si Jack." Katanya sambil menepuk jidatku dengan dua jarinya.

Pletaak

"Deh, kamu nggak tahu, aku kan master ayam. Eh, apa ayam Bang Dodi jelek ya, Mal?"

Kembali Jamal tertawa, "Mana ketehe, ayam itu cantik atau jelek, orang mukanya begitu-gitu aja." Dia mengarahkan pandangan ke dalam rumah.

"Iya nih, tapi si Jack nggak mau coba." Aku mencoba untuk tampak serius dan Jamal kembali tertawa.

"Eh, mana Abah sama Ambu, Han?" Jamal bertanya tentang kedua orangtuaku.

"Barusan mah ada, sekarang aku tidak tahu " 

"Dah ah, nggak bakal bener kalo ngomong sama kamu, pasti nggak bakalan jauh dari ayam." Jamal sepertinya bosan dengan pembicaraan ini.

Aku memanyunkan mulutnya,"Kamu lihat aja, kalo aku berhasil jadi master ayam, pasti kamu ngejar aku buat tanda tangan." Dengan rasa percaya diri tingkat dewa aku menepuk dada.

"Mana ada aku begitu, kalo kamu terkenal jadi master ayam, aku akan jadi chef masak ayam." 

Jamal tertawa kembali dan raut mukaku memerah karena kesal dengannya.

"Awas lu, masak ayam gue, aku bakal putus hubungan pertemanan." Aku mengancamnya dengan serius.

Jamal berdiri kemudian melambaikan tangan untuk segera berlalu dari rumahku sambil tertawa.

Pagi yang menyebalkan bagiku 

.

.

Aku memandang ayam kesayangan si Jack dan mendekatinya.

"Jack, kamu teh harus mau dikawinkan sama si Mita, biar kamu dapat anak untuk meneruskan kehidupan kamu nanti."

Kok...kok...kok

Suara si Jack berkotek sambil terus makan.

"Ih, diajak ngomong malah asik makan kamu Jack, pokoknya, sore aku bawa kamu lagi buat kawin." Dengan kesal aku menendang kandang si Jack.

Si ayam Jack tampak mengerti apa yang diomongkan tuannya segera pergi menjauh.

"Jack, emang si Mita jelek ya? kamu sampe nggak mau sama dia." Aku menatap tajam si Jack dan menunggu jawaban.

Si Jack tetap asik di pojok kandang dan berjalan mondar-mandir sedangkan aku hanya bisa menghela nafas.

"Ya sudah, kalo kamu nggak mau, aku cariin nanti yang cantik." Aku merayu si Jack agar mau dikawinkan.

Kukuruyuuuk

Si Jack seolah gembira mendengar ucapanku mau mencarikan ayam betina selain di Mita. Akupun melangkah masuk kamar dan merebahkan diri di kasur. Udara pagi yang masuk dari jendela seakan mengajak untuk segera menutup mataku tidur dengan hangatnya sinar matahari yang masuk dari luar jendela.

***

Persiapan liwetan sudah siap. Jamal, Acop, Dadang, Dewi dan Rita berkumpul di rumah.

"Assalamualaikum!" Mereka berteriak mengucap salam.

"Wa Alaikum salam, masuk friends." Karena tadi makan goreng pisang atau banana crispy sedikit bisa bicara dalam bahasa Inggris.

"Hayu kita jalan Han!" Acop mulai tidak sabar. Sahabat Hanny ini berkulit paling hitam dan kurus.

"Hayu kita let's go. Tapi wait aku pamit dulu dong sama Abah dan Ambu biar terlihat anak sholehah." Aku mengarahkan pandangan ke dalam rumah dan berteriak,

"Abah, Ambu, kami mau ngeliwet!" Suaraku yang nyaring membut Abah juga Ambu keluar dari kamarnya.

"Oh, kalian mau jalan ini?" Abah menatap kami dengan tajam.

"Iya Bah, Abah sama Ambu mau ikut?" Jamal bertanya pada Abah.

"Ya enggak atuh, Abah ikut senang dengan kalian aja. Udah sana pergi ..  hati-hati ya " Abah memberi wejangan.

"Iya, Bah, Ambu kami pamit ya " Dewi mulai ada suaranya.

"Jangan terlalu sore ya pulangnya?" Kata Ambu sambil melambaikan tangan.

"Iya, Ambu." Jawab kami serempak.

***

Aku berjalan sambil menenteng Si Jack.

"Idih, kamu bawa ayam kita ngeliwet?" Dadang terheran-heran.

"Iya atuh Dang, ini kan best friend aku si Jack." Aku merasa tidak mau kalah.

"Mau ditaruh dimana kalo kita makan?" Rita tertawa melihatku yang menenteng Si Jack.

"Ya atuh, di bawah saung. Ini aku udah bawa talinya." Aku menunjukkan tali yang sudah biasa aku siapkan sebelumnya kalau membawa di Jack keluar rumah.

"Hayu atuh, jangan banyak ngomong, kita kemon." Jamal menarik tanganku.

Abah dan Ambu hanya melihat dari dalam rumah ketika kami pergi.

"Coba Abah lihat si Jamal, mesra begitu narik tangan Hanny." Ambu senyum-senyum sendiri melihat kami pergi.

Abah tersenyum bahagia.

"Iya ya Ambu, semoga atuh jadi jodohnya. Jamal orangnya baik, pengertian sama Hanny." Abah menghela nafas lega kalau putrinya itu jalan dengan Jamal anak haji Syukur.

"Iya Bah, ayo kita masuk ... lama-lama panas juga disini." Ambu menarik Abah segera masuk ke dalam rumah dan entah apa yang mereka lakukan.

.

.

Jarak yang ditempuh kami enam sekawan  hanya berkisar satu kilometer. Sampai di saung dengan cepat aku  mengikat si Jack.

"Han, kamu tidak malu gitu, kesana kesini bawa si Jack?" Dewi memulai pertanyaan.

"Ya enggak Dew, aku kan cita-cita jadi pengusaha ayam." Aku menjawabnya santai karena pertanyaan itu sering terlontar padaku.

"Idih, perempuan itu ya, buka salon gitu atau kerja kantoran." Dewi masih penasaran dengan apa yang aku lakukan.

"Ah, sudah banyak itu mah Dew, aku mau lain daripada yang lain." Aku  tersenyum simpul dan yang lain tertawa.

"Dadang, coba kamu potong daun pisang dua lembar biar jadi alas liwet." Jamal meminta Dadang mengambil daun  pisang, Dadang pun langsung beranjak mencari pohon pisang yang tak jauh dari saung.

Rita dan Dewi menyiapkan makanan yang mereka buat. Liwet, ikan asin, sambal, lalapan dan juga goreng tahu, tempe menu sejuta umat. Mereka menuang liwet di atas daun pisang yang Dadang ambil. Angin semilir di areal pesawahan membuat acara makan terasa nikmat.

"Cop, di kota pasti makan tidak seperti di kampung yah?" Rita mulai bertanya.

"Iya atuh Rit, nggak ada nikmatnya ... mending makanan kampung." jawab Acop sambil mulai makan lalab sambal yang katanya tidak pedas pasal yang dipakai rawit setan.

"Tapi di kota mah katanya gampang dapat duit." Dadang menimpali obrolan.

"Kata siapa Dang? itu mang Asep jadi pengemis katanya di kota." Dewi tertawa.

"Tapi dia juga banyak duitnya. Coba kamu lihat sapi mang Asep ada lima dan sawah juga rumahnya mewah, pasti Rita kamu mau sama mang Asep secara dia kaya." Dadang menaikkan alisnya dan tertawa lucu.

"Tapi malu atuh Dang, kata bapa aku nih Dang, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." Jamal mulai bersuara.

"Iya yah, Mal, apa tidak malu gitu kita ya, kalo minta-minta sama orang. Kayak tidak pernah mengaji saja." Rita bergidik.

"Sudah kita makan saja. Aku bagi sedikit ya sama si Jack." Aku mengambil satu centong nasi dan memberikannya pada si Jack.

Mereka dengan lahap memakan nasi liwet dan hanya dua puluh menit tumpukan nasi liwet itu sudah habis tidak tersisa.

"Masya Allah, kenapa habis makan ini aku kok kenyang yah?" Aku melirik ke arah Jamal.

"Ya iyalah, kalo kamu lapar itu mah bukan makan dong, Han." Jamal tertawa.

"Hayu kita cuci tangan dulu." Acop mengajak Rita cuci tangan di air pancuran sebelah saung.

"Han, aku mah habis makan ngantuk." Jamal melihat ke arahku dan dia pun menyenderkan badannya di tiang sedang kakinya diluruskan.

"Tidur atuh, ntar jam dua kita mandi di sungai terus pulang sebelum asar." Akupun menguap mungkin karena kekenyangan.

"Kamu ngantuk juga ya, Han?" Jamal bertanya.

"Iya, aku ngantuk." Aku kembali menguap dan tidak bisa menahan rasa kantuk setelah berapa kali ditiup angin.

"Ya udah, kamu tiduran sini di kaki aku, nanti aku bangunan." Jamal tertawa.

"Bangunin kali ih!" Aku tertawa.

Aku menyandarkan kepala di kaki Jamal. Karena angin bertiup sepoi-sepoi tak lama segera tertidur pulas.

"Iiih curang itu si Hanny sudah tidur, aku juga mau tidur." Dewi menguap.

"Sini sama aa Acop." Acop menawarkan diri.

"Ah, aku nggak mau sama kamu Cop, kamu mah hitam." Dewi tertawa sedangkan Acop merengut kesal karena tersinggung warna kulitnya menjadi bahan ledekan teman-temannya.

"Apa hubungannya kamu ngantuk sama kulit aku yang hitam, Dew?" Acop bertanya.

"Ada atuh Cop, aku takut mimpi buruk."

Mereka semua tertawa dan aku yang tertidur tidak terganggu dengan suara tawa teman-teman.

"Mal, kamu suka ya sama Hanny?" Dadang bertanya sedangkan Jamal tertunduk malu.

"Ciee Jamal, ge-er." Rita tertawa.

"Kamu nggak malu gitu, Hanny kan suka nenteng ayam, tomboy lagi " Acop menatap Jamal.

"Kalian hanya melihat Hanny dari luar, aku yang tahu dia. Dia itu orangnya perasa banget dan mellow juga, tahu." Jamal menjawab pertanyaan Acop.

"Masa, lihatnya aja kadang dia pake kaos, celana pendek, pake topi, nenteng ayam pula." Acop tertawa dibarengi tawa teman-teman yang lain.

"Kalian tidak tahu sih, hanya aku yang tahu bagaimana Hanny sebenarnya."

Jamal ingin mengelus rambut  tapi diurungkannya karena aku membalikkan badan dan tidur menghadap ke arahnya.

"Ciee so sweet, wikwiiiw." Semua menggoda Jamal.

Mereka berempat terus menggoda Jamal dan Jamal hanya tersenyum malu. Tak lama kemudian aku terbangun.

"Jam berapa ini? Ayo kita mandi dan pulang, nanti keburu asar lo." Aku menggeliat dan segera bangun.

Semuanya beranjak turun dari saung dan berlari menceburkan diri di sungai. Si Jack hanya bisa memandangku yang mungkin dia rasa aku lupa dengannya.

Tertawa bahagia, meloncat dari batu dan saling menyipratkan air, kami enam sahabat yang tumbuh bersama juga bersekolah di tempat yang sama merasa dunia hanya ada kami saja.

Puas dengan bermain air akhirnya kami segera beranjak kembali ke saung dan duduk sebentar.

"Mal, ini kita sudah bersih dan sapuin saung bapak kamu ya." Dewi berkata sambil melihat ke arah Jamal.

"Iya, makasih ya Dew. Ya udah, kita pulang sebentar lagi asar." Jamal mengajak kami untuk segera pulang.

Aku membuka tali yang mengikat si Jack. Kemudian menentengnya dan berjalan lebih dahulu daripada teman-temannya.

"Han, kamu mah yang di tenteng malah si Jack bukan Jamal." Dadang berteriak melihat aku yang gesit lebih dulu jalannya.

"Ah, Jamal kan sudah tahu jalan, kasian si Jack atuh " aku tertawa terbahak-bahak.

Jawaban yang aku lontarkan membuat teman-teman tertawa. Sampai di rumah  semuanya berpamitan.

"Alhamdulillah, sampai ketemu lagi ya Han, kita ngeliwet lagi." Acop pamit 

Mereka melambaikan tangan dan segera berlalu pulang ke rumah masing-masing.

"Assalamualaikum, Abah, Ambu." Aku berteriak sebelumnya dia sudah memasukkan si Jack ke kandang.

"Wa Alaikum salam." Ambu menjawab salam dan keluar rumah.

"Ambu, Hanny mandi dulu lalu sholat asar ya? tolong si Jack kasih makan." Aku mencium tangan Ambu.

"Hilih, datang-datang minta tolong. Iya, Ambu kasih makan. Kamu mandi dulu item begitu habis ngeliwet." Cubitan ibu di tanganku terasa sakit 

"Iya Ambu, tadi mandi dulu kan di sungai." Aku tertawa melihat Ambu yang juga tertawa.

"Duh, anak Ambu itu sudah perawan, malu atuh masih mandi bareng." Ambu memicingkan matanya.

"Nggak atuh Ambu, biasa saja." Aku segera berlalu sedangkan Ambu hanya menggelengkan kepalanya melihat polah anak gadisnya ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rea MP
Seru. Kocak juga...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status