Share

Pulang Sekolah

Aku dan my lovely friend mendengar lonceng sekolah berbunyi langsung berhamburan keluar kelas untuk beristirahat.

"Gila si Hanny dan Dewi berani pura-pura sakit buat istirahat di UKS." Jamal memencet hidungku.

"Pegel Mal, kaki aku berdiri upacara." Aku menjawabnya sambil menarik tangan Rita untuk bergandengan menuju kantin.

"Sekali-kali aku mau ah, kayak kalian." Acop membuatku tertawa terpingkal-pingkal.

"Mana mungkin mereka percaya, Cop ma lu, secara kulit lu tuh Ireng, pasti kuat kalo kena matahari." Dewi tertawa.

"Iiih, kalian jahat bawa-bawa warna kulit." Acop nyengir kuda.

"Lagian lu mau pake acara pura-pura pingsan." Dadang mengacak-acak rambut Acop yang kribo.

Sampai di kantin langsung ngantri dan mengambil gorengan lalu duduk di bangku.

"Awas lu ya pada bayar nggak bener." Jamal melotot ke arah kami.

"Siapa yang suka begitu, Mal?" tanya Acop.

"Si Dadang, Hanny, lu juga Cop, makan tiga bayar dua." Jamal bicara sambil makan goreng ubi.

"Diiih, bukan gue woy, gue anak sholeh." Acop tampak kesal.

"Aku juga sholehah." Aku dan Dadang berkata berbarengan dan kami tertawa lagi.

"Lu, sholeh Dadang." Jamal melotot.

"Iya, gue lupa, gara-gara si Hanny nih jadi gue ikut-ikutan." Dadang tersipu mendengar kata sholehah.

"Eh, pulang sekolah kita kemana?" Dewi bertanya.

"Kita jalan kaki yuk," Rita bersemangat.

"Ogah gue jalan kaki, Rit, ntar betis gue kayak talas Bogor nih, kayak si Hanny." Dewi menunjuk betisku.

"Haiya, betis talas Bogor ini tanda kuat jalan mbak, hiking aja aku kuat." Aku tidak mau kalah.

"Oh iya, kapan kita jalan ke untuk naik gunung yah?" Jamal melihat ke arah kami yang adik memakan gorengan di kantin pak Udin.

"Hayu, ini kan baru Senin, sabtu aja kita jalan." Dadang dan Acop bersemangat.

"Hayulah kita let's go." 

Kami berenam langsung mengumpulkan tangan kami ditengah dan menumpuknya tanda persahabatan tanpa batas.

Teeet ... teeet

Bel tanda masuk berbunyi, kami segera bergegas masuk kelas karena tinggal pelajaran matematika yang membuat kami olahraga jantung karena Bu guru yang mengajar mata pelajaran matematika itu super galak.

"Eh, kalian bayar dulu gorengannya!" Jamal berteriak tapi kami tak hiraukan karena dia yang paling kaya, jadi kami minta dia yang bayar.

"Lu ya, bayar." Rita dan Dewi cekikikan dibalas dengan omelan Jamal.

"Dasar parasit." tapi dia tetap membayarnya.

***

Pulang sekolah kami berenam mulai jalan kaki untuk pulang. Ngobrol sepanjang jalan membuat kami tidak merasa lelah, padahal, siang itu cukup terik.

"Eh, Rit, aku sama Dewi kan mo nyari bekicot sawah ntar sore." Aku bicara sambil makan es mambo yang aku beli di warung pinggir jalan.

"Aku ikut dong." Rita tampak antusias.

"Di sawah siapa Han?" Jamal bertanya.

"Sawah bapak lu, Mal." Aku menjawabnya.

"Awas lu, sampai rusak sawah Bapak." Jamal sepertinya khawatir dengan yang akan aku lakukan.

"Tenang, aku tahu kok, nggak bakal rusak." Aku berusaha meyakinkannya.

"Ya udah, rusak aku bilang Bapak kalo kamu yang rusakin."

"Iya." Aku menjawabnya dan langsung lari pulang.

Sampai di rumah aku melihat ke arah kandang si Jack.

Kut ... kut ... kut

Aku memanggil si Jack dan dia menghampiriku.

"Ayam pintar, kamu sudah makan?" 

Si Jack mengedipkan mata dan aku tahu berarti dia menunjukkan sudah makan.

"Jack, kita ke kang Dodi yuk?" sengaja aku menggodanya dan si Jack langsung menjauh.

"Haaahaaa, ayam pintar, aku masuk dulu yah." Si Jack hanya melihatku yang berlalu darinya dan aku masih menertawakan dia.

***

"Assalamualaikum, Ambu?" Aku mendekati Ambu,  mencium tangannya yang sedang duduk di sofa tua.

"Wa'alaikum salam, sudah sholat dhuhur belum?"

"Belum Ambu, tadi pulang jalan kaki, pegel ini istirahat dulu ah." Aku merajuk.

"Hilih, sekalian capeknya ... habis itu istirahat."

Dengan rasa malas aku masuk kamar. Hanya lima menit kemudian aku beranjak untuk mengambil air wudu lalu sholat. Selesai sholat aku kembali menghampiri Ambu.

"Ambu, sore Hanny mau ngambil bekicot di sawah Bapaknya Jamal."

"Emang banyak di sawah dia, Han?"

"Banyak atuh Ambu, lumayan ... nanti Ambu masak bumbu kuning pake santan ya?"

"Iya boleh, kamu sama siapa nanti?"

"Sama Dewi, Ambu,"

"Owh, ya sudah atuh. Sekarang, kamu makan siang terus tidur. Habis sholat asar kamu baru ke sawahnya."

"Iya, Ambu."

Ambu beranjak meninggalkan aku, masuk kamar untuk tidur siang. Akupun bergegas mengambil piring, duduk di kursi makan. Melihat teko terbuka langsung aku minum tanpa menuangnya di gelas dan,

Glek!

Aku melihat cicak berwarna hitam, matanya melotot menatapku.

Hueee ... huee 

Langsung menuju wastafel untuk memuntahkan air yang sudah aku minum.

"Ambu ...," 

Ambu terkejut datang menghampiri.

"Ada apa, Han?" tanya Ambu dengan keterkejutan.

"Ambu mah, itu di teko ada cicak hitam." Aku memegang leherku dan merasa kalau cicak itu senang ketika aku minum.

"Astaghfirullah, Ambu lupa nutup teko, maaf ya," Ambu mengambil teko  membuang airnya.

Aku menangis karena rasa lapar hilang seketika.

"Ya udah Ambu, Hanny, mau tidur saja."

"Kamu nggak jadi makan siang?"

"Nggak Ambu, hilang selera makanku ini." 

Dengan menyusut airmata aku masuk kamar, masih aku merasakan ketika air masuk tenggorokan dan cicak itu menatap dengan mata yang tidak berkedip seakann menertawakan. Tak lama kemudian aku tertidur.

***

Selepas asar, aku berpamitan menuju rumah Dewi.

"Ambu, aku berangkat ya!"

"Iya, hati-hati ... awas ada ular sawah." Ambu memperingatkan aku.

"Ambu, jangan bikin takut ah,"

"Ya sudah sana, nanti keburu sore."

"Ya sudah, assalamualaikum." Aku beranjak pergi ke rumah Dewi.

Sampai di rumah Dewi aku berteriak dari luar.

"Dewi, ayo kita berangkat, assalamualaikum!"

Dewi ternyata sudah siap dengan keresek hitamnya.

"Ayo jalan, mumpung gerimis kecil ini, biasanya bekicot pada keluar."

Sekitar sepuluh menit kami sampai di sawah Haji Syukur. Ternyata Jamal sudah menunggu kami berdua.

"Diiih, mau ikutan ya?" Aku meledeknya.

"Bukan, aku nggak mau sawah Bapak rusak." Jamal beralasan.

"Bilang aja kamu mau makan nanti " ejek Dewi.

"Ya iya dong, ini kan sawah Bapak aku." 

Kami tertawa dan langsung memasukkan kaki di pinggiran sawah. Satu jam kemudian bekicot sudah terkumpul banyak.

"Udah yuk Dew, pegel nih." Aku merasa pinggang mau patah.

"Ayok, ini juga dah banyak." Dewi mengajakku mencuci kaki di parit yang airnya bening.

"Mal, udah nih, kalo jadi aku antarin nanti." Dewi melihat ke arah Jamal.

"Ya sudah, kalo matang kita makan bersama aja." Jamal beranjak keluar dari sawah dan mencuci kakinya.

Sore yang indah dengan angin sepoi-sepoi meniup daun padi yang baru di tanam juga burung-birung Sriti dan gereja yang hilir-mudik mengitari sawah menambah senja yang terasa syahdu.

"Mal, kami pulang dulu ya, bilang Bapak, terima kasih gitu."

Jamal hanya mengangguk, menatapku dengan pandangan yang menusuk karena alis matanya seperti burung elang.

Kami berpisah, aku berjalan bersama Dewi untuk pulang.

"Han, aku lihat, Jamal menatap kamu lama dan tadi waktu kamu ngambil bekicot dia terus memperhatikan kamu."

"Iya kali Dew, dia nggak mau sawah Bapaknya rusak sama kita.

"Tapi pandangannya itu lain ih."

"Udah ih, aku nggak mau bahas. Yuk, kita pulang."

"Ayok."

Tanpa kata apapun kami pulang ke rumah masing-masing. Begitu sampai dirumah aku sengaja berhenti di kandang si Jack dan mengeluarkan keong Mas terlebih dahulu. Aku mengeluarkan keong mas dari cangkangnya,mencacahnya kemudian di campur dengan pakan si Jack dari kulit padi yang dicampur dengan air panas juga kangkung. Bau harum pakan si Jack mengundang hasrat ingin memakannya juga tapi sayang pakan itu hanya layak buat ayamku. Si Jack makan dengan lahap.

"Jack, makan yang banyak, biar kamu bisa tidur enak."

Si Jack tidak menghiraukan aku, terus saja makan. Akupun masuk ke dalam rumah dan mencuci kemudian merendam bekit dalam ember agar besok siang aku bisa bersihkan dan memasaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status