Share

Time To Rest

Azan berkumandang dan sebelum sholat magrib aku mandi terlebih dahulu. Dinginnya air membuat aku bergidik kedinginan. Selesai mandi dan keluar kamar mandi aku melihat Ambu akan menunaikan sholat.

"Ambu, bareng sama Hanny sholatnya."

Ambu melihat ke arahku dan senyumannya terlihat sangat bersahaja.

"Iya, ayo bareng buru, Nak." 

Segera aku masuk ke dalam kamar dan mengambil peralatan sholat. Aku menggelar sajadah di kamar Ambu dengan sinar lampu yang temaram.

"Ambu, Hanny komat dulu."

"Iya, hayu buruan." Ambu membetulkan sajadah yang dipakainya.

Suasana husyuk ketika sholat membuatku merasa lebih dekat dengan Sang Mahapencipta. Selesai sholat dan berdoa aku mencium tangan Ambu dengan takzim.

"Ambu, tadi di sekolah teman-teman ngajak mau naik gunung Sabtu ini. Abah mengizinkan tidak ya?" Aku takut Ambu tidak setuju dan hanya bisa menundukkan kepala.

"Tanya Abah aja atuh nanti. Tapi Ambu rasa sih, Abah kamu tidak akan menyetujuinya." jawaban Ambu membuat aku kecewa.

"Tapi semua teman ikut Ambu." Aku menarik tangan Ambu dan tidak melepaskan pegangan tangan. Ambu hanya menghela nafas dan mengusap kepala.

"Cantik Ambu ini kan perempuan satu-satunya, Abah pasti khawatir." 

Aku merasa sedih tapi sebagai seorang anak tidak boleh membantah pembicaraan orangtua.

"Ambu, tapi Ambu nanti bilang sama Abah yah, siapa tahu Abah sekutu." Aku mengedipkan mata sebelah.

"Iya, insya Allah Ambu bilang. Tapi Ambu tidak janji ya hasilnya." jawaban Ambu membuat aku memeluk wanita yang sangat aku sayangi.

"Iya Ambu, nuhun." Aku mencium tangan Ambu sekali lagi.

"Han, Abah kok belum pulang dari masjid." Ambu tampak mengkhawatirkan keberadaan Abah.

"Ada tahlilan mungkin Ambu. Kan, kemarin ada yang meninggal." Aku menjawab sambil melipat mukena dan sajadah.

"Owh iya, Ambu lupa." Ambu meneruskan untuk membaca tasbih sedang aku kembali masuk kamar.

***

Sekitar jam sembilan malam Abah baru pulang ke rumah.

"Assalamualaikum." Suara Abah membuatku terkejut dan langsung membuka pintu.

"Wa Alaikum salam."  

Begitu pintu dibuka Abah, membawa bungkusan dua buah.

"Abah, kok, makanannya banyak?" Aku mengambil satu dan satunya Abah bawa masuk.

Aku melihat ke arah kandang dan melihat si Jack tidur. Mungkin dia kekenyangan setelah tadi sebelum magrib aku beri makan. Kembali masuk rumah dan mengunci pintu aku menghampiri Abah yang duduk di dapur.

"Abah, kok, bawa bungkusannya dua?" Aku menatap Abah yang terlihat mengantuk.

"Iya, banyak tadi makanannya, malah kalo ada tahlilan masjid penuh dengan jamaah yang mau tahlilan "

Mendengar perkataan Abah, aku dan Ambu ingin tertawa.

"Coba perempuan boleh ikut ya Abah, Hanny pasti ikutan dengan Ambu."

Abah dan Ambu tertawa.

"Memang kamu ini pasukan nasi bungkus." Ambu mencubit pipiku yang seperti bakpao.

"Aduduh Ambu, sakit. Emang bener kok, lihat aja Mang Nanang, kalo tahlilan bawa anaknya enam orang."

Abah dan Ambu tertawa,"Ya iya, dia kan anaknya laki-laki semua, pasti dibawanya. Kan, biar nanti ngirit pengeluaran." Abah berkata sambil memilin kumisnya.

"Sudah, ayo makan dulu ... terus langsung tidur." Ambu mulai mengambil piring dan sendok. Suasana yang hening di luar hanya terdengar suara jangkrik bernyanyi.

Aku menginjak kaki Ambu sebagai kode untuk membuka obrolan agar Abah mengijinkan untuk bisa naik gunung sabtu nanti dan Ambu meringis. Sepertinya Ambu paham apa yang aku mau.

"Bah, si Hanny sabtu nanti mau naik gunung sama teman-temannya." Ambu memulai pembicaraan dan Abah langsung melotot.

Melihatnya aku takut dalam hati berkata pasti Abah ngomel dan akan memarahiku.

"Kenapa Abah melotot?" Ambu bertanya.

"Aaargh, kemasukan duri ikan ini sakit." Abah memegang pangkal lehernya sedangkan aku menghela nafas.

"Nih Bah, telan satu kepal nasi putih coba, biar durinya kebawa." kata Ambu.

Abah menuruti saran Ambu untuk memakan satu kepal nasi dan bersyukur akhirnya Abah sepertinya sudah normal.

"Apa tadi Ambu bilang, Hanny, sama teman-temannya mau naik gunung?" Abah menatapku sedangkan aku hanya bisa diam.

"Iya, Abah, ngijinin nggak?" Ambu menarik tangan Abah dan mengelus punggung tangannya.

Abah terdiam tampak berpikir. Perasaanku pasti Abah tidak setuju aku yakin itu.

"Abah tidak mengizinkan dan tidak melarang. Tapi memberikan bahan pertimbangan, kalau kamu berangkat ini kan cuma berenam kalian berangkatnya, iya kan?" Abah menatap dan aku mengangguk perlahan.

"Iya, Bah." jawabku pelan.

"Ratu Abah, bintang Abah. Kalau kamu berangkat kesana ini pasti nginap, betul kan?" Abah kembali bertanya.

"Iya, Bah." 

"Kenapa coba Abah tidak mengizinkan?" Abah bertanya sambil memegang tanganku.

"Abah, Hanny jawab, tapi tangan Abah cuci dulu ih, bau bekas makan ikan." Aku memanyunkan mulut melihat tangan yang Abah usap tadi kotor dan bau ikan karena Abah belum mencuci tangannya.

"Oh, iya Abah lupa." Abah tertawa sambil berdiri untuk cuci tangan.

Setelah Abah kembali giliran aku yang mencuci tangan. Selesai mencuci tangan kembali duduk bersama kedua orangtuaku.

"Begini Nak, pertemanan lelaki dan perempuan itu bagus kok, karena namanya manusia itu makhluk sosial. Tapi kalo secara agama ada batasan." Abah menghela nafas lebih dahulu dengan takzim mendengar ucapan Abah.

"Kalau sampai menginap apalagi hutan ya Nak, itu kan dingin. Kalau sampai suasana seperti itu nanti setan cepat datang, ditakutkan terjadi hal yang tidak diinginkan."

Aku paham ucapan Abah arahnya kemana.

"Tapi Abah kami kan bersahabat. Dan kami mengenal satu sama lain." Aku menyanggah perkataan Abah.

"Iya, tapi setan kan selalu menggoda keimanan seseorang. Kan kita itu tidak tahu apakah iman itu kuat atau tidak."

Aku, Ambu dan Abah terdiam. Selebihnya aku tidak mau berdebat lagi dengan Abah.

"Iya Abah ku sayang. Hanny mengerti."

Setelah puas berbincang akhirnya rasa kantuk menghampiri.

"Abah, Ambu, Hanny tidur ya." Aku menguap karena mengantuk.

"Ya udah tidur, cuci kaki sama gosok gigi dulu sana." kata Ambu.

"Yoyoy." Akupun melangkah pergi. Setelah gosok gigi kemudian langsung masuk kamar. Suasana kamar yang yang redup membuatku cepat untuk tidur. Waktunya istirahat ... aku menarik selimut dan membaca doa.

***

Dimana ini, aku melihat banyak ayam jago dan anak-anaknya mengelilingi. Kandang ayam berjejer rapi terbuat dari emas dan bertingkat. Bahagia ku rasakan saat melihat ayam kesayangan si Jack yang tiba-tiba muncul dengan gagah memakai kacamata hitam kecil di matanya. 

"Wooow ... Jack, kamu hebat dan aku kaya." Kata ku sambil mengelus punggung si Jack.

Bahagianya semua mata mengarahkan lensa kamera padaku dan banyak wartawan memfoto kiri, kanan, atas bawah.

"Yes, aku kaya ... aku kaya." 

Tiba-tiba aku terjatuh dalam mimpiku karena rasa gembira dan,

Bruuuk

Rasa sakit jatuh ternyata dari tempat tidur. Begitu buka mata aku kesal ternyata ini hanya mimpi.

"Aaargh, kenapa cuma mimpi!" kembali aku naik tempat tidur senyum-senyum sendiri membayangkan mimpi tentang aku kaya karena ayam. Semoga terwujud semua itu yang akhirnya aku kaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status