Lena merasa sedikit heran dengan bosnya pagi ini. Ia dipanggil menghadap ke ruangan si Bos. Lena duduk diam di kursi yang ada di hadapan Jayadi, bosnya. Ia menunggu si Bos berbicara. Suasana hening terasa dalam ruangan berukuran enam kali tujuh meter. Ruangan Jayadi, bos perusahaan raksasa yang bergerak di bidang konstruksi.
"Nanti siang enaknya makan apa ya?" Tiba-tiba saja menanyakan soal makan siang. "Loh inikan masih pagi, Pak," jawab Lena sambil tersenyum. "Ya kan nggak apa-apa toh, kebetulan kamu sudah di sini saya tanyakan itu." Lena merasa ada yang ganjil dengan bosnya. Lena masih duduk di hadapan si bos dengan pikiran sedikit bertanya-tanya. "Kamu kok seperti orang bingung." Jayadi memandang sekretarisnya itu sambil tersenyum. Lena menekurkan kepalanya. Ia tak berani lama-lama menatap wajah si Bos. "Iya Pak, saya cuma agak heran. Tak biasanya Bapak menanyakan makan siang sepagi ini " Lena kembali tersenyum, namun tetap tak berani menatap lama mata bosnya itu. Walaupun bosnya masih tergolong muda, bagi Lena lelaki yang sudah sukses membawa perusahaan mereka jadi perusahaan raksasa ini sangat berwibawa. "Ya udah, nanti kita bahas soal makan siangnya. Sekarang bagaimana soal proposal yang saya suruh kerjakan kemaren?" "Sedikit lagi selesai, Pak. Sedang diperbaiki." "Oke nanti saya cek ya, apa sudah oke atau belum." "Baik Pak." "Ya sudah, selesaikan segera!" "Baik Pak." Lena sudah dua belas tahun bekerja di perusahaan milik Jayadi. Boleh dikatakan Lena salah seorang kepercayaan Jayadi yang ikut bersamanya membawa perusahaan mereka jadi perusahaan raksasa. Lena sebenarnya sudah bekerja sejak perusahaan ini dipimpin oleh Pak Sudarmaji, papanya Jayadi. Saat itu Lena baru jadi sarjana. Ia masih baru belajar bekerja di sebuah perusahaan. Lena sangat berterima kasih pada Pak Sudarmaji yang telah menerima Lena bekerja. Saat itu keluarga Lena benar-benar sedang terpuruk dan mengalami kesulitan keuangan. "Izin pak. Saya kembali ke ruangan saya" kata Lena sambil berdiri dari kursi di hadapan Jayadi. "Iya."Jayadi menjawab Lena sambil membuka pesan WA yang baru masuk di handphonenya. Setelah Lena keluar dari ruangan, pikiran lelaki muda itu kembali pada gadis penjual mie ayam dekat kantornya ini. Ingatan Jayadi kembali pada saat ia di jalan mau ke kantor pagi tadi. Jayadi telah melihat gadis penjual mie ayam yang cantik jelita. "Terpesona". Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan sorot mata Jayadi ketika melihat gadis penjual mie itu. Cantiknya tak ketulungan. Persis seperti gosip-gosip para karyawan di kantornya. Ia menikmati betul kecantikan si gadis penjual mie dari balik kaca mobil mewahnya. Saat itu, ia terjebak macet dan berhenti persis di depan tempat jualan mie ayam Bu Masna. Tempat itu hanya berjarak lima puluh meter dari kantor perusahaan milik Jayadi. Para karyawan perusahaan Jayadi sering makan mie ayam di sini. Apalagi menurut para karyawan mie ayamnya enak. Dan yang tak kalah menarik si penjualnya yang sangat cantik. Putri dari Bu Masna penjual mie ayam. Jayadi hanya tersenyum dan membenarkan pembicaraan para karyawannya. Tidak hanya karyawan laki-laki, karyawan perempuan pun ikut-ikutan menjadikan gadis penjual mie ayam itu sebagai bahan gosip. "Busyeet, cantiknya memang kebangetan." Kalimat itu terdengar dari mulut Jayadi. Ia kembali tersenyum. Saat itu ia menyetir mobil sendiri ke kantor. Itulah salah satu kebiasaan Jayadi. Walaupun dia memiliki dua orang sopir pribadi, saat-saat tertentu dia hanya ingin menyetir mobil sendiri. Mobil mewah milik Jayadi berhenti persis di depan warung mie ayam itu sekitar lima belas menit. Orang-orang di warung mie tak memperhatikan keberadaan seorang pengusaha muda kaya raya yang tengah mengamati gadis penjual mie dari balik kaca mobilnya. Jayadi berdiri dan mengitari meja kerjanya seperti sedang memikirkan sebuah ide. Tak berapa lama, ia kembali duduk di kursi dan menggoyangkan kursi eksekutif yang sekaligus Ibarat singgasana baginya. Singgasana tempat dia memerintah kerajaan bisnisnya yang telah dia pimpin sejak sepuluh tahun ini. Sepuluh tahun yang lalu, papanya telah mewariskan perusahaan besar yang bergerak di bidang konstruksi ini padanya. Ia telah berhasil mengembangkan perusahaan konstruksi pemberian papanya ini sebagai perusahaan raksasa. Dari bisnis konstruksi, Jayadi juga telah memperluas bidang usahanya di bidang properti dan perhotelan. Jayadi memencet bel tanda panggil ke ruang sekretarisnya, Lena. Ia memanggil Lena kembali. "Iya, pak." Lena membuka pintu ruangan Jayadi. Ia tergesa-gesa duduk di hadapan Jayadi. "Nanti siang saya mau makan mie ayam saja. Tuh yang di sebelah sana itu. Suruh Wika atau Kasri membeli ke sana." "Mie ayam buk Masna di pinggir jalan itu? Bapak mau makanan itu?" "Iya, kamu heran ya " Jayadi tersenyum pada Lena. "Nggak pak. Maaf pak. Cuma tak biasanya bapak mau makanan di pinggir jalan begitu." Lena tak habis pikir, biasanya si bos besar itu minta dipesankan makanan dari restoran mahal. Itupun kalau dia ingin makan di kantor. Malah lebih sering mengajak Lena dan beberapa karyawan makan di restoran hotel atau restoran mewah. Apalagi kalau ada meeting dengan mitra bisnis atau orang penting. "Pokoknya siang ini saya mau makan itu." Ia menegaskan lagi keinginanannya makan siang mie ayam Bu Masna pada Lena "Iya pak." "Beli lima puluh porsi. Bagi-bagi pada staf." "Wah banyak pak?." Lena bergegas berdiri "Ih, kamu kok heran melulu." "Eh, iya Pak." Lena hanya tersenyum dikatakan begitu oleh Jayadi.. "Lena, jangan lupa minta juga nomor handphone Bu Masna atau anaknya itu. Besok-besok kalau saya mau lagi, tinggal telepon dan minta diantarkan sama mereka saja." "Baik pak." Lena keluar dari ruangan Jayadi dengan bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan bosnya yang tiba-tiba ingin makan siang mie ayam Buk Masna. Lena yang sudah lama mendampingi Jayadi sebagai sekretaris mulai mencium gelagat mencurigakan dari si bos. Wah, jangan-jangan, jangan-jangan si bos sudah ketularan dengan staf dan para karyawan yang tergila-gila pada anak tukang jual mie ayam itu. Ah, nggak mungkin, pikir Lena. Berarti satu hal mengejutkan telah terjadi pada si bos. Jangan-jangan dia suka pada gadis itu. Maklum si bos sudah umur dua puluh sembilan tahun tapi belum punya isteri. Jayadi memang belum menikah sampai sekarang. Jangankan menikah, punya kekasih saja tak ada. Lena tahu betul itu. Kedua orang tuanya sudah menginginkan Jayadi menikah. Pak Sudarmaji dan istrinya juga merasa heran kenapa putra sulungnya itu belum dapat jodoh. Sudah banyak gadis-gadis cantik dan berkelas yang ditawarkan padanya tapi belum ada yang cocok. Saat Jayadi sedang melamun, Lena masuk bersama Wika stafnya. "Ini pak pesanan mie ayamnya." Lena menyuruh Wika mengambil mangkok. "Oh, nggak pakai kotak gitu ya?" Jayadi menatap kantong plastik yang berisi mie ayam. "Nggak Pak, Bu Masna masih membungkusnya dengan plastik." "Ya udah, tak apa. Kamu pindahkah ke mangkok itu. Dan bikinkan saya kopi." Jayadi berbicara pada Wika. "Baik, Pak." Wika memindahkan mie ayam ke mangkok. Di ruangan kerja Jayadi terdapat sebuah meja bundar kusus untuk makan. Wika pergi ke pantri meminta Dina membuat secangkir kopi. "Punya kamu mana? Kalian temani saya makan di sini." Jayadi memerintahkan Lena dan Wika menemaninya makan mie ayam di ruangan kerjanya. "Baik, Pak. Wika ambil punya saya dan juga punyamu, bawa ke sini." Lena menyuruh Wika mengambil mie ayam yang ditaruh di meja kerja Lena. Wika meletakkan secangkir kopi hitam panas di dekat Jayadi. Setelah itu dia pergi mengambil mie ayam untuk mereka. "Yang lain sudah dibagikan?" "Sudah, Pak. Cuma hanya dua puluh porsi tersedia," jawab Lena sambil tersenyum. "Ya namanya juga pedagang kecil, Pak." Lena mulai menyantap mie ayam miliknya mengikuti si bos. Lena tak habis pikir kenapa Jayadi belum juga bertemu jodoh yang cocok. Padahal umurnya sebentar lagi tigapuluhan. Terkadang Lena Ingin menawarkan beberapa gadis yang dikenalnya, tapi dia takut kena marah. Sore sepulang kerja, Jayadi malah menerima omelan Mamanya. "Kamu kenapa sih? Ditawarkan yang ini nggak mau, yang itu nggak mau. Kriteria kamu yang mana sih?" kata Bu Sudarmaji pada putranya. Dua hari yang lalu Pak Sudarmaji telah mempertemukan dan ingin menjodohkan Jayadi dengan anak gadis kolega bisnisnya. Anak seorang pengusaha pertambangan yang sangat kaya raya. "Ya, tidak cocok, gimana lagi, Mamaku sayang," jawab Jayadi dengan santai menanggapi celoteh si Mama. Jayadi belum juga merasa cocok. Ada saja kekurangan perempuan yang dijodohkan dengannya. Pak Sudarmaji dan istrinya pusing tujuh keliling memikirkan kapan dia bermenantu. Jef, adiknya Jayadi juga malah memilih mengambil S2 ke Eropa sana. Padahal umurnya cuma beda dua tahun dari Jayadi. Jef juga sudah patut menikah. Bagi Pak Sudarmaji dan istri terserah siapa saja antara Jayadi dan Jef yang duluan menikah. Mereka khawatir keburu tua tapi belum punya mantu, apalagi cucu."Hore Natasya mau punya adik!" Bu Masna menggoda Natasya sambil bermain dengannya. Pak Dudid tertawa senang melihat istrinya. "Iya, yah. Siapa namanya adik Natasya nanti?""Nanti saja dipikirkan kalau sudah lahir, Pak." Bu Masna sedang memperhatikan Natasya sudah bisa jalan pagi itu."Bu, ayo kita ke rumah Bu Anya silaturahmi. Sekalian memberi tahu kabar baik ini pada Bu Anya dan Pak Gugun.""Ayo, Pak."Saat mereka sampai di rumah Bu Anya. Terlihat Bu Anya sedang memberi makan ayam-ayam peliharaannya. Bu Anya dan Pak Gugun membuat kandang ayam di samping rumah mereka. "Bu Anya, Bu Anya!" Bu Masna menghampiri Bu Anya. Natasya dibiarkannya berjalan di atas rumput. Bu Anya tersenyum melihat kedatangan mereka. "Waduh Natasya makin besar, haha." Bu Anya langsung menggendong Natasya. Naila dan Ferdi yang saat itu sedang berada dalam rumah segera ke luar karena merasa senang bisa bermain lagi dengan Natasya."Natasya! Natasya!" Naila dan Ferdi berlari-lari ke arah Natasya sambil memanggil
Suatu siang Pak Gugun tiba di rumah Masna dan Dudid. "Ini semua berkas sudah selesai. Artinya secara negara di catatan sipil, Natasya adalah anaknya Dudid dan Masna.""Baik, Pak. Terimakasih banyak telah membantu semua ini.""Sama-sama. Saya pamit." Pak Gugun mengendarai motor pulang ke rumahnya. Gugun telah menyelesaikan segala urusan administrasi si bayi. Bayi yang cantik bernama Natasya. Masna dan Dudid mencurahkan kasih sayang pada putri kesayangan mereka. Dudid bekerja sebagai nelayan bersama masyarakat di desa pantai itu. Masna berjualan makanan snack dan minuman di lokasi wisata di dekat rumah mereka. ***Hari ke hari Masna merasa senang telah punya seorang bayi. Punya seorang bayi repot tapi membuat bahagia, batin Masna. Perlahan Natasya tumbuh jadi bayi yang sehat walaupun tanpa air susu ibu. Sedikit-sedikit Masna membuatkan Natasya bubur dicampur sup ikan laut yang segar. Bagi keluarga nelayan seperti mereka, ikan adalah makanan sehari-hari."Natasya, Natasya." Bu Masna asy
Hari itu dalam kegelapan malam, lahir seorang bayi. Bayi cantik mewarisi berbagai luka kehidupan. Ia disambut senyum dan kesedihan. "Bayi yang cantik." Sindi memeluk bayi itu dengan perasaan sedih yang dalam. Perawat mengambil bayi itu dari dekapan Sindi. "Sebentar lagi, aku ingin memeluknya." Petugas dan perawat itu memberi waktu beberapa saat lagi Sindi mencurahkan cinta yang mendalam itu pada bayinya. "Maafkan ibumu yang brensek ini, nak." Isak tangis Sindi bercampur dengan suara tangis bayi."Cukup, ayo." Perawat mengambil bayi itu. Sindi sudah berjanji tidak akan mengganggu lagi kehidupan bayi ini selanjutnya. Ia telah ikhlas asalkan bayinya dirawat dan dibesarkan dengan baik. Sindi juga tidak perlu mengetahui bayi ini diasuh atau diangkat sebagai oleh siapa. Sindi telah berjanji pada Bu Anya dan Pak Gugun, bayinya yang baru lahir ini selanjutnya jadi anak orang lain. Walaupun dia nanti sudah selesai menjalani hukuman, dia tidak akan mencari tahu dan menganggu kehidupan bayi ini
Siang itu, setelah lima bulan peristiwa di fila berwarna cream, tiba-tiba Pak Polisi yang bernama Dito menelpon Pak Gugun."Selamat siang Pak Gugun.""Siang komandan.""Pak Gugun bisa datang ke kantor siang ini?""Ada apa, Pak?""Nanti kami jelaskan di kantor.""Baik, Pak." Pak Gugun yang waktu itu sedang berada di tempat pelelangan ikan desa, segera bergegas pulang ke rumahnya. Ia melihat Bu Anya istrinya sedang sibuk menyiram tanaman di samping rumah mereka."Bu! Bu!" kata Pak Gugun dengan terburu-buru."Ya, ada apa, Pak?" Bu Anya merasa cemas melihat Pak Gugun yang juga terlihat berwajah cemas."Barusan, waktu saya di pelelangan ikan desa, Pak Dito yang polisi menelpon.""Ada apa Pak Dito menelpon, Pak?""Belum tahu, katanya disuruh ke kantor. Nanti dijelaskan setelah di kantor. Saya mandi dulu dan ganti baju. Kita berdua ya ke sana. Siapa ada masalah dengan Sindi.""Iya, Pak. Aku juga mau ganti baju dulu."Sepasang suami istri itu berangkat dengan mengendarai motor. Sesampainya di
"Menyerah dan letakan tangan di atas kepala!" Teriak seorang anggota polisi."Door! door!" Terdengar suara tembakan dari arah dalam fila berwarna cream itu.Polisi membalas tembakannya, "door! door!" Beberapa anggota polisi berpakaian preman telah mengepung tempat itu. "Sekali lagi kami peringatkan menyerah dan letakan senjata!" Kapten polisi kembali berteriak keras. Warga desa wisata pantai juga telah ramai di sekitar lokasi. Mereka menyaksikan dari jauh. Ada juga yang berteriak-teriak, "bakar saja tempatnya!". Polisi berusaha agar tidak terjadi anarkisme.Dua orang laki-laki warga negara asing dan dua orang perempuan penduduk asli keluar dari fila. Tak ada yang terluka atau terkena tembakan."Letakan senjata!" teriak kapten polisi. Seorang warga asing yang memegang pistol meletakkan senjatanya pelan-pelan."Jongkok dan letakan tangan di kepala!" Keempat orang itu jongkok dan meletakkan tangan di atas kepala mereka. Sekitar lima orang anggota polisi berpakaian preman mendekati oran
Bu Sudarmaji, Lisa dan Pak Kosim pergi berkeliling ke beberapa desa wisata pantai sore itu. Lisa telah mendapatkan tambahan data. Jayadi menyeruput kopi yang baru dibuatkan Bu Ninin setengah jam yang lalu. Jayadi menikmati pemandangan sore itu sambil melihat Bu Ninin merawat bunga-bunga di taman depan cotegge. Jayadi yang santai duduk bercerita dengan Bu Ninin tentang desa dan juga fila kosong."Bu Ninin tahu tentang pemilik fila kosong yang orang bule itu?""Tahu Mas, saya juga tahu tentang kejadian yang menimpa pemilik fila itu.""Memang benar dia akhirnya di deportasi?""Iya Mas, saya ikut lihat kok saat dia dibawa polisi.""Kira-kira tahun berapa ya kejadiannya?""Saya lupa-lupa ingat Mas, sekitar tahun dua ribuan awal.""Oo." Jayadi manggut-manggut mendengar cerita Bu Ninin. "Nah itu Pak Asep datang."Jayadi melihat mobil Pak Asep dari jauh. Pak Asep memarkir mobilnya dan turun dari mobil, lalu menyapa Bu Ninin serta Jayadi."Selamat sore, Bu Ninin. Selamat sore Mas.""Sore Pak A