Jayadi meminum air putih dan setelah itu meneguk kopi usai menyantap mie ayam Bu Masna. Iya tersenyum pada Lena. Wika membereskan mangkok bekas mie ayam dari meja makan di ruang kerja Jayadi.
"Emm, ternyata mie ayamnya memang lumayan enak ya." Jayadi berkata seolah minta persetujuan Lena. "Hehe, iya Pak." Lena tersenyum pada Jayadi. Sebenarnya dalam hati Lena merasa lucu dengan tingkah bosnya. Wika telah membawa mangkok-mangkok ke pantri dan tak kembali lagi ke ruangan. "Eh, sudah kamu minta nomor handphone mereka?" Jayadi setengah berbisik pada Lena. Padahal di ruang itu tinggal hanya mereka berdua. "Sudah Pak, ntar saya minta kirimkan pada Wika. Tadi Wika pas belanja mie ayam sekalian minta nomor WA anaknya Bu Masna." "Bagus. Kamu simpan ya nomornya." "Iya Pak." Lena kembali tersenyum pada Jayadi. Ingin dia rasanya menanyakan, apakah bosnya itu suka pada Natasya anaknya Bu Masna. Tapi Lena takut kena marah. Hati dan pikirannya menduga kuat akan hal itu. Mungkin si bos benar-benar kesengsem sama si gadis penjual mie ayam. Jangan-jangan dia sudah lama memperhatikan Natasya, pikir Lena. "Hei, kok ngelamun!" Lena tersentak ketika Jayadi menegurnya dengan intonasi agak tinggi. "Eh, nggak kok Pak, hehe. Saya izin balik ke ruangan saya Pak." "Oke, jangan lupa proposalnya." "Iya Pak, kira-kira setengah jam lagi saya antar ke sini." "Oke." Lena bergegas kembali ke ruangan kerjanya. Banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Salah satunya proposal yang ditagih Jayadi. Mereka mau ikut tender proyek bersakala besar. Reputasi Lena sebagai sekretaris yang cekatan dan terampil diuji kembali. ***** "Namamu siapa?" Jayadi menatap gadis itu. Jayadi hanya pura-pura bertanya. Dia sudah tahu nama gadis itu dari Lena dan Wika Natasya tak berani memandang wajah lelaki yang sering disebut sebagai big bos oleh para karyawan yang makan mie ayam di warungnya. "Na..Natasya, Pak." Ia hanya memandang pinggir meja makan di ruang kerja Jayadi. Baru kali ini dia memasuki kantor dengan bangunan megah sepuluh lantai ini. Duh, kenapa Wika nyuruh aku ngantar mie ayam ke ruangan ini. Sial! Natasya hanya mengumpat dalam hati. Jangankan sama orang yang disebut big bos ini, sama satpam yang berbadan besar dan sedikit sangar di pintu masuk tadi saja, Natasya merasa gugup. Maklum dia hanya gadis dari keluarga miskin yang cuma tamat SMP. Sejak kecil dia hanya ikut ibunya berjualan. Waktu kecilnya dihabiskan di sebuah desa wisata pinggir pantai. Mereka berjualan minuman ringan murahan dan gorengan untuk wisatawan lokal. Hanya sesekali bule berbelanja air mineral. Tujuh tahun yang lalu orang tuanya memutuskan pindah ke Jakarta ini dan berjualan mie ayam. "Bisa kamu temani saya makan mie ayam ini di sini?"Jayadi berkata pada Natasya sambil mengirim pesan pada Lena untuk menyuruh Dina membawa mangkok dari pantri. "Iya Pak, cuma saya harus bantu ibu saya di warung." "Sebentar saja." Jayadi sedikit memaksa sambil memandang lekat pada wajah gadis itu. Wajah Natasya bersemu merah. Antara kesal dan takut. Sialan laki-laki ini, memang dia siapa, memaksaku menemaninya, mentang-mentang dia orang kaya raya. Natasya terus menggerutu dalam hatinya. Tapi lelaki ini sangat tampan dan kaya. Sesaat Natasya tersenyum tapi dengan wajah tetap menekur ke bawah. Ia berpikir, kenapa sih si Big Bos ini tiba-tiba minta ditemani makan mie ayam. Padahal dia juga baru kenal dan bertemu Natasya. Dina masuk dan membawa sebuah mangkok yang diminta Jayadi. "Mangkoknya, Pak." Dina meletakkan mangkok di atas meja. "Saya pindahkan mie ayamnya ke mangkok, Pak?" tanya Dina ragu-ragu. "Nggak usah, biar saja." "Baik, Pak. Ada lagi yang saya harus kerjakan, Pak?" "Oh, ya, buatkan saya kopi seperti biasa." Jayadi berkata sambil melipat lengan kemeja panjangnya. "Baik, Pak." Dina segera pergi ke pantri untuk membuat secangkir kopi. Natasya hanya terdiam dengan tangan dan jemarinya diletakan di antara pahanya. "Bisa kamu bantu pindahkan mie ayamnya ke mangkok?" Jayadi menggeser duduknya ke dekat meja. Parfumnya wangi merasuk ke hidung Natasya. Dipenuhi kegalauan dan keraguan, Natasya menjawab, "baik, Pak." Natasya memindahkan mie ayam dari bungkus plastik ke mangkok. "Sudah, Pak." Ia mengangkat kepalanya sedikit namun tetap tak berani menatap mata lelaki di hadapannya itu. "Ya, terimakasih. Kamu mau kerja dengan saya?" Jayadi berbicara dengan jemarinya tetap sibuk menulis pesan di handphonenya. Wajahnya terlihat datar namun terselip perasaan senang dan berbunga yang tersembunyi. Jayadi merasakan ada magnet tersendiri yang membuatnya merasa betah dan terikat dengan gadis ini. "Kerja apa, Pak?" tanya Natasya dengan perasaan ingin tahu dan setengah berharap. Ia merasa heran dan terkejut, tiba-tiba si Big Bos ini menawarkan pekerjaan. Tidak pernah terpikirkan oleh Natasya untuk bekerja kantoran karena dia cuma tamat SMP. Lagian dia sudah terbiasa berdagang bersama keluarganya. "Besok-besok saya kasih tahu. Sekarang kamu boleh pergi ke warung lagi. Ibumu sudah menunggu." Jayadi berkata seakan dia tidak melihat ke arah Natasya. "Baik, Pak." Natasya berdiri dari kursi dengan kikuk dan kemudian meninggalkan ruangan kerja Jayadi. Sekilas Jayadi mencuri pandang ke arah Natasya saat dia membelakangi Jayadi. Duh memang cantik gadis ini. Bodinya juga bagus dan sedikit berisi. Jayadi tersenyum menyaksikan Natasya ke luar dari pintu. Selama melangkah pergi dari ruangan Jayadi dan turun dari lift, pikiran Natasya dipenuhi pertanyaan. Mengapa bos perusahaan besar itu bertindak aneh padanya. Apa lagi dia baru pertama kali bertemu dan bertatap muka dengan Natasya. Saat mau keluar gedung, Natasya menyapa satpam yang duduk di meja piket. Satpam yang bernama Martono itu tersenyum pada Natasya. Ia bergegas menuju warung mie ayamnya di bawah terik matahari siang itu. "Kok lama betul kamu kembali." tanya Bu Masna pada putrinya yang baru kembali. "Itu Bu, tadi Pak Jayadi, yang sering dipanggil si Bos itu minta bantuanku." Natasya menjawab pertanyaan Bu Masna sambil kembali sibuk melayani pembeli. Nela adik Natasya sibuk mencuci mangkok-mangkok di belakang spanduk yang mereka pakai untuk mengelilingi tempat duduk pembeli. "Minta bantuan apa?" Bu Masna merasa penasaran dengan apa yang dikatakan Natasya. Bu Masna menyendok kuah mie ayam untuk beberapa mangkok pesanan baru. "Menemaninya makan mie ayam." Jantung Bu Masna hampir berhenti berdetak. "Apa?" tanya Bu Masna penuh keraguan dan ingin memastikan lagi ucapan putrinya. "Disuruh menemaninya makan mie ayam. Iya Bu, aku juga heran tingkah si Big Bos itu." Natasya kembali membawa dua mangkok pesanan baru dan meletakkannya di atas meja. Pesanan itu untuk dua orang pegawai supermarket yang ada di seberang jalan. Pembeli mie ayam yang sedang makan tak terlalu memperhatikan pembicaraan ibu dan anak gadisnya itu. Termasuk tiga orang karyawan perusahaan Jayadi yang juga sedang jajan mie ayam Bu Masna. "Ngapain disuruh menemaninya makan mie ayam. Emang nggak ada orang di kantor sebesar itu yang bisa disuruh menemani." Bu Masna berceloteh dan disertai senyum karena merasa aneh dan lucu mendengar cerita putrinya. Tiba-tiba melintas pikiran ganjil di kepala Bu Masna. Apa iya, Pak Jayadi itu tertarik pada anak gadisnya. Ah nggak mungkin orang seperti itu tertarik pada Natasya anak penjual mie ayam. "Nggak ngerti juga tuh." Natasya menanggapi celoteh ibunya. Bu Masna baru dua kali melihat langsung wajah Jayadi, bos perusahaan besar yang sering disebut Big Bos oleh karyawannya yang sering jajan mie ayam di sini. Bu Masna memang pernah mendengar bahwa si Big Bos itu belum beristri. Sekilas dia mendengar itu ketika para karyawan menggosipkan si Big Bos. Bu Masna juga sering mendengar Jayadi kian sukses dan usahanya makin berkembang pesat. Semuanya dia dengar dari cerita dan pembicaraan karyawan kantor Jayadi. Bu Masna sendiri belum pernah berbicara langsung dengan Jayadi. Ia hanya tahu wajah tampan bos muda itu. Bu Masna memang merasa ada yang ganjil dengan si Big Bos. Dua hari yang lalu Wika karyawannya disuruh beli mie ayam Bu Masna sampai dua puluh porsi. Bu Masna sempat bertanya pada Wika untuk siapa pesanan sebanyak itu. "Disuruh pesan sama Bos Besar." Begitu kata si Wika. Bu Masna jadi senyum-senyum sendiri memikirkan si Big Bos. Apalagi mendengar cerita putrinya yang barusan bertemu si Big Bos. "Bu, dua mangkok mie ayam!" seru Natasya mengejutkan ibunya yang tengah asyik dalam lamunan. "Iya, iya," jawab Bu Masna bergegas menyiapkan dua mangkok pesanan baru. Sejak seminggu ini suami Bu Masna, Pak Dudid tidak lagi ikut membantu mereka jualan. Kepalanya sering sakit dan dadanya sering sesak. Ia lebih banyak Istirahat di rumah dan membantu mengurus pekerjaan di rumah saja semampunya. Waktu dicek ke dokter umum lima hari yang lalu dikatakan dokter kelelahan dan kurang istirahat. Sudah dikasih obat sama dokter di puskesmas namun belum juga pulih. Akhirnya hanya Bu Masna dan kedua orang putrinya yang jualan mie ayam.Seorang staf HRD di kantor Pak Dunan bernama Meli menghubungi Natasya.“Hallo Mbak, bisa datang ke kantor besok?”“Baik, Mbak. Besok pagi saya datang,” jawab Natasya ketika menerima telepon siang itu.***Pukul sepuluh pagi Natasya sudah datang di kantor Pak Dunan. Ia datang sendirian naik motor ojek online.“Pagi Pak,” sapa Natasya pada Sapuro.Sapuro tersenyum pada Natasya. “Pagi, Mbak. Mbak yang datang dua hari yang lalu ya?”“Iya, Pak. Kemaren saya ditelepon sama Mbak Meli dari bagian HRD. Katanya disuruh datang hari ini ke sini, Pak.”“Oh, Iya. Mari langsung ke bagian HRD saja, saya antarkan,” kata Satpam itu sambil melangkah menaiki tangga. Natasya mengikutinya dari belakang.Saat sampai di ruangan HRD di lantai dua, Sapuro mengetuk pintu ruangan itu. Seorang gadis membukakan pintu.“Mbak, Meli, ini orangnya sudah datang.” Selesai mengantar Natasya ke ruangan HRD, Sapuro kembali turun ke lantai satu.“Mbak Natasya ya?” tanya Meli pada Natasya. Dalam hati Meli merasa heran, kok g
Natasya dan Wika sampai di kantor Pak Dunan. Mereka melapor di pos satpam. Satpamnya seorang lelaki bermata agak sipit dengan usia sekitar empat puluhan. Tubuhnya terlihat sedikit kurus namun tulang-tulangnya terlihat kuat dan kokoh. Satpam itu memiliki tinggi lebih dari seratus puluh lima centi meter. Rambutnya lurus dan kelihatannya biasa menggunakan minyak rambut. Di plank nama bajunya tertulis Sapuro.“Pagi, Mbak,” sapa Sapuro para Natasya dan Wika.“Pagi, Pak,” Wika menjawab sapaannya.“Ada keperluan apa, Mbak? Tolong diisi dulu buku tamunya,” lanjut Sapuro dengan tersenyum. Saat senyum terlihat giginya agak jarang-jarang.“Baik, Pak.” Natasya dan Wika mengisi buku tamu kantor itu.“Saya mau mengantarkan lamaran pekerjaan Pak. Untuk jadi cleaning service,” kata Natasya.Sejenak Sapuro terdiam. Dia agak heran, tumben ada seorang gadis cantik melamar jadi cleaning service. Dalam hati Sapuro, gadis ini malah ada wajah blasterannya. Sepertinya salah satu orang tua gadis ini berasal d
Hari Minggu ke dua bulan Juli, Eline sedang duduk minum teh di beranda lantai dua rumahnya. Eline baru pulang dari Amerika tiga hari yang lalu. Tini membawa secangkir teh beraroma melati dan dua potong roti bakar untuk Eline. Handphone Eline yang diletakkannya di atas meja berbunyi. Bu Sudarmaji menelpon Eline."Hallo Tante.""Kamu dimana?" tanya Bu Sudarmaji."Lagi d rumah, Tante." Bu Sudarmaji sudah tahu Eline telah pulang dari Amerika. Evan suami Eline masih di sana menyelesaikan kuliah doktoralnya."Kamu nggak ada rencana ke luar rumah? Pergi jalan-jalan gitu?""Belum ada, Tante.""Oke sekitar dua jam lagi aku ke rumahmu. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke salon atau shoping?""Terserah Tante saja.""Oke, sebentar lagi aku hubungi Sri Astuti dan Lisa, siapa tahu mereka ingin ikut bersama kita.""Oke, Tante."Selesai Bu Sudarmaji menelpon, tiba-tiba terpikir oleh Eline untuk meminta laporan dari Jolien dan Miranda. Ia segera menghubungi ke dua anak buahnya itu."Hallo, kamu dima
Kedua sahabat itu bertemu kembali di kafe tempat mereka biasa nongkrong.“Hai Nona cantik. Terlihat lebih segar sekarang,” kata Wika saat ia melihat Natasya telah ada di kafe itu lebih dulu. Wika duduk di hadapan Natasya dan memperhatikan wajah sahabatnya. Seakan Natasya lepas dari satu beban yang selama ini menghimpitnya.“Ah itu perasaanmu saja Nona. Aku seperti biasa saja kok,” tanggap Natasya sambil tersenyum. “Bagaimana kabarmu beberapa hari ini?” lanjut Natasya.“Eh, kesepian. Aku kehilangan seorang sahabat tempat curhat. Ada saat-saatnya aku ingin mencurahkan kegelisahan hatiku. Beberapa waktu yang lalu, aku punya itu di dekatku.” Wika berbicara panjang disertai helaan nafas dan ekspresi wajah yang sedikit muram.“Ah kan sahabatmu itu selalu siap sedia, walau sekarang dia tak satu kantor lagi denganmu,” kata Natasya sambil tersenyum dan memandang mata Wika. “Eh, sebelum kita lanjut. Kamu mau pesan minum apa? Aku sudah pesan minum tadi duluan, tapi belum diantar juga sih,” lanju
Lena dan Wika sampai di kantor Pak Dunan sudah pukul delapan belas lewat tiga puluh.“Hai, apa kabar Mbak Lena?” sapa Talisa saat melihat kedatangan Lena dan Wika.“Kabar baik, Mbak Talisa gimana kabarnya?”“Baik juga.”Keduanya saling cium pipi kiri dan kanan.“Ada apa ya, Mbak? Tiba-tiba ingin ketemu?” kata Talisa sambil mempersilahkan Bu Lena dan Wika duduk di sofa ruang tamunya. Talisa memiliki ruangan khusus untuk para tamu. Ia merupakan direktur bagian perencanaan dan anggaran di perusahaan Pak Dunan.“Yang jelas kali ini bukan urusan proyek, Mbak,” kata Bu Lena sambil tersenyum.“Sebentar, Mbak Lena mau minum apa? Kopi instan? teh melati atau yang lainnya?” Talisa menawarkan minuman pada Lena dan Wika.“Terserah Mbak Talisa saja deh,” jawab Lena.“Kalau begitu teh saja ya,” kata Mbak Talisa sambil tersenyum. “Mita bikin teh untuk tamu kita!” kata Talisa pada salah seorang staf yang ada di ruangannya.“Baik, Bu,” jawab staf cewek yang bernama Mita. Mita kemudian keluar dari ruan
Bu Lena memarkir mobilnya di restoran yang sudah jadi langganannya. Petugas parkir membantu Bu Lena mencarikan tempat parkir yang masih kosong. Restoran memang tidak terlalu ramai sore itu. Bu Lena dan Wika keluar dari mobil dan melangkah ke arah restoran.“Kita duduk di lesehan yang ada gazebo di belakang itu!” kata Bu Lena pada Natasya. Kebetulan tempat duduk yang selalu jadi favorit Bu Lena itu masih kosong.“Baik, Bu.” Wika melangkah mengikuti Bu Lena. Bu Lena merasa nyaman kalau harus berbicara hal-hal yang bersifat rahasia di restoran ini. Apalagi tempat duduk lesehan yang terdiri dari gazebo-gazebo itu letaknya terpisah-pisah. Jadi kalau berbicara hal yang rahasia atau sensitif tidak akan terdengar pengunjung lain. Suara bising pelayan dan peralatan makan juga tak terlalu berisik seperti di ruangan utama.Sesaat setelah mereka duduk dan mencatat menu yang hendak dipesan, seorang pelayan restoran menghampiri.“Kamu ada tambahan pesanan lainya?” tanya Bu Lena pada Wika.“Emm, say