Dokter Bahtiar menyuruh Pak Sudarmaji berbaring. Ia kemudian mulai memeriksa tensi Pak Sudarmaji.
"Kita lakukan pemeriksaan jantung, Bapak." Dokter Bahtiar meminta perawat memasang alat periksa jantung. Jayadi duduk memperhatikan pemeriksaan papanya. Dokter Bahtiar mulai mengoperasikan alat periksa jantung. Sejenak suasana hening di ruangan praktek itu. Perawat bertubuh mungil itu sibuk membantu Dokter Bahtiar. "Sudah selesai." Dokter Bahtiar kembali duduk di kursi. Dia menghela nafas sejenak, kemudian tersenyum. "Gimana Dok?" Pak Sudarmaji bertanya penasaran. Perawat kembali melepas alat periksa jantung dari tubuh Pak Sudarmaji. Pak Sudarmaji duduk bersandar pada bantal yang ada di atas dipan. "Bapak, harus pasang ring." Dokter Bahtiar memberi penjelasan pada Pak Sudarmaji dan Jayadi. Jayadi dan Pak Sudarmaji hanya bisa tersenyum kecut. "Terimakasih Dok." Pak Sudarmaji turun dari dipan dan merapikan pakaiannya kembali. Dadanya masih terasa nyeri. Pak Sudarmaji sudah setahun ini merasakan ada yang ganjil dengan bagian dada kirinya. Usai pemeriksaan Pak Sudarmaji dan Jayadi kembali pulang. Kini Pak Sudarmaji harus menerima kenyataan bahwa jantungnya sudah tidak baik-baik lagi. "Gimana hasil pemeriksaan, Bapak?" tanya Pak Kosim di mobil. Pak Kosim ikut penasaran dengan kesehatan Pak Sudarmaji. Ia ikut prihatin dengan kondisi kesehatan Pak Sudarmaji akhir-akhir ini. Ia sudah hampir tiga puluh tahun bekerja di rumah keluarga Sudarmaji. "Kata Dokter Bahtiar harus pasang ring," jawab Pak Sudarmaji sambil tersenyum pada Pak Kosim. Pak Kosim hanya memandang majikannya itu dengan penuh empati. Pak Kosim memarkir mobil setelah menurunkan Pak Sudarmaji dan Jayadi di depan beranda rumah. Bik Suminah buru-buru menghampiri Jayadi. "Den, Natasya katanya pamit pulang." Wajah Bik.Sumimah sedikit tegang. Dia sudah membayangkan reaksi Jayadi mendengar Natasya pergi tanpa sepengetahuan dan pamit padanya. "Loh, kok pergi? Kenapa Bik Suminah biarkan saja!" Suara Jayadi bergetar karena menahan marah. Jayadi sadar dia harus menahan emosinya di saat kondisi papanya begini. Ia akhirnya memendam amarah. Wajah Jayadi meregang dan memerah menahan ledakan emosinya. Ia tahu penyebab Natasya pergi adalah mamanya. Bu Sudarmaji buru-buru keluar rumah memegangi lengan suaminya. Kepala pak Sudarmaji masih terasa pusing. "Gimana hasilnya, Pa?" tanya Bu Sudarmaji pada suaminya. "Kata Dokter Bahtiar harus pasang ring, Ma." Jayadi dan Bu Sudarmaji membantu Pak Sudarmaji masuk kamar. Setelah Pak Sudarmaji berbaring di tempat tidur, Jayadi ke luar kamar. "Aku pergi bentar, Pa." Jayadi berbicara pada Pak Sudarmaji "Loh, kemana?" tanya Pak Sudarmaji pada putranya itu. Dalam hati Pak Sudarmaji sudah paham situasi yang terjadi di rumahnya saat ini. Ia tak ingin emosi dan mencoba untuk tenang. Pak Sudarmaji setuju dengan istrinya, Natasya bukanlah pasangan yang serasi dan sepadan dengan Jayadi. "Sebentar Pa, ada perlu." Jayadi menjawab sambil melangkah ke luar kamar. Ia tak berbicara pada Bu Sudarmaji. Bu Sudarmaji juga paham kenapa putranya bertingkah demikian. Ia juga tak ingin marah-marah di depan suaminya yang saat ini butuh ketenangan. Jayadi buru-buru melangkah ke luar rumah. Ia menuju garasi mobil. "Pak Kosim tolong ambilkan tas kecil saya yang berisi handphone dan dompet di mobil Papa!" Jayadi melihat Pak Kosim sedang melap kaca mobil Pak Sudarmaji. "Baik, Den." Pak Kosim mengambil tas kecil milik Jayadi dan buru-buru menghampiri Jayadi yang sedang membuka pintu mobilnya di garasi. "Ini Den." Pak Kosim menyerahkan tas kecil itu pada Jayadi. "Tolong bukakan gerbang, Pak!" Jayadi berkata sambil menghidupkan mesin mobil. "Baik, Den." Pak Kosim buru-buru membuka gerbang. Jayadi mengendarai mobil dengan perasaan campur aduk. Ia marah dan kesal pada Bu Sudarmaji. Teganya memperlakukan Natasya seperti itu. Kasihan sekali gadis itu. Natasya pasti terluka dan marah. Jayadi sampai di mulut gang yang menuju rumah kontrakan Bu Masna. Ia tak bisa membawa mobil masuk ke dalam gang karena juga tak ada tempat parkir di halaman rumah Bu Masna. Semua orang yang tinggal di gang itu tak punya mobil. Mereka hanya para pedagang kecil, buruh dan pemulung. Di antara penghuni gang itu paling memiliki kendaraan sepeda motor usang atau sepeda. Selain itu mereka ada yang punya becak atau gerobak untuk keperluan membawa dagangan mereka. Jayadi numpang parkiran di halaman mini market. Ia masuk ke dalam mini market dan membeli roti dan minum untuk keluarga Bu Masna. "Saya numpang parkir mobilnya ya, Mbak," kata Jayadi kepada cewek yang jadi kasir di mini market itu. "Iya, Mas," jawab si cewek sambil menghitung harga belanjaan Jayadi. Cewek itu paham setiap orang yang bawa mobil dan ingin bertamu pada warga di gang itu terpaksa parkir di mini marker ini. Bahkan mereka yang tak belanja sekalipun. Jayadi melangkah ke luar dari mini market di mulut gang ke rumah Bu Masna. Panas terik membuat keringat menetes dari wajah dan lehernya.Seorang staf HRD di kantor Pak Dunan bernama Meli menghubungi Natasya.“Hallo Mbak, bisa datang ke kantor besok?”“Baik, Mbak. Besok pagi saya datang,” jawab Natasya ketika menerima telepon siang itu.***Pukul sepuluh pagi Natasya sudah datang di kantor Pak Dunan. Ia datang sendirian naik motor ojek online.“Pagi Pak,” sapa Natasya pada Sapuro.Sapuro tersenyum pada Natasya. “Pagi, Mbak. Mbak yang datang dua hari yang lalu ya?”“Iya, Pak. Kemaren saya ditelepon sama Mbak Meli dari bagian HRD. Katanya disuruh datang hari ini ke sini, Pak.”“Oh, Iya. Mari langsung ke bagian HRD saja, saya antarkan,” kata Satpam itu sambil melangkah menaiki tangga. Natasya mengikutinya dari belakang.Saat sampai di ruangan HRD di lantai dua, Sapuro mengetuk pintu ruangan itu. Seorang gadis membukakan pintu.“Mbak, Meli, ini orangnya sudah datang.” Selesai mengantar Natasya ke ruangan HRD, Sapuro kembali turun ke lantai satu.“Mbak Natasya ya?” tanya Meli pada Natasya. Dalam hati Meli merasa heran, kok g
Natasya dan Wika sampai di kantor Pak Dunan. Mereka melapor di pos satpam. Satpamnya seorang lelaki bermata agak sipit dengan usia sekitar empat puluhan. Tubuhnya terlihat sedikit kurus namun tulang-tulangnya terlihat kuat dan kokoh. Satpam itu memiliki tinggi lebih dari seratus puluh lima centi meter. Rambutnya lurus dan kelihatannya biasa menggunakan minyak rambut. Di plank nama bajunya tertulis Sapuro.“Pagi, Mbak,” sapa Sapuro para Natasya dan Wika.“Pagi, Pak,” Wika menjawab sapaannya.“Ada keperluan apa, Mbak? Tolong diisi dulu buku tamunya,” lanjut Sapuro dengan tersenyum. Saat senyum terlihat giginya agak jarang-jarang.“Baik, Pak.” Natasya dan Wika mengisi buku tamu kantor itu.“Saya mau mengantarkan lamaran pekerjaan Pak. Untuk jadi cleaning service,” kata Natasya.Sejenak Sapuro terdiam. Dia agak heran, tumben ada seorang gadis cantik melamar jadi cleaning service. Dalam hati Sapuro, gadis ini malah ada wajah blasterannya. Sepertinya salah satu orang tua gadis ini berasal d
Hari Minggu ke dua bulan Juli, Eline sedang duduk minum teh di beranda lantai dua rumahnya. Eline baru pulang dari Amerika tiga hari yang lalu. Tini membawa secangkir teh beraroma melati dan dua potong roti bakar untuk Eline. Handphone Eline yang diletakkannya di atas meja berbunyi. Bu Sudarmaji menelpon Eline."Hallo Tante.""Kamu dimana?" tanya Bu Sudarmaji."Lagi d rumah, Tante." Bu Sudarmaji sudah tahu Eline telah pulang dari Amerika. Evan suami Eline masih di sana menyelesaikan kuliah doktoralnya."Kamu nggak ada rencana ke luar rumah? Pergi jalan-jalan gitu?""Belum ada, Tante.""Oke sekitar dua jam lagi aku ke rumahmu. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke salon atau shoping?""Terserah Tante saja.""Oke, sebentar lagi aku hubungi Sri Astuti dan Lisa, siapa tahu mereka ingin ikut bersama kita.""Oke, Tante."Selesai Bu Sudarmaji menelpon, tiba-tiba terpikir oleh Eline untuk meminta laporan dari Jolien dan Miranda. Ia segera menghubungi ke dua anak buahnya itu."Hallo, kamu dima
Kedua sahabat itu bertemu kembali di kafe tempat mereka biasa nongkrong.“Hai Nona cantik. Terlihat lebih segar sekarang,” kata Wika saat ia melihat Natasya telah ada di kafe itu lebih dulu. Wika duduk di hadapan Natasya dan memperhatikan wajah sahabatnya. Seakan Natasya lepas dari satu beban yang selama ini menghimpitnya.“Ah itu perasaanmu saja Nona. Aku seperti biasa saja kok,” tanggap Natasya sambil tersenyum. “Bagaimana kabarmu beberapa hari ini?” lanjut Natasya.“Eh, kesepian. Aku kehilangan seorang sahabat tempat curhat. Ada saat-saatnya aku ingin mencurahkan kegelisahan hatiku. Beberapa waktu yang lalu, aku punya itu di dekatku.” Wika berbicara panjang disertai helaan nafas dan ekspresi wajah yang sedikit muram.“Ah kan sahabatmu itu selalu siap sedia, walau sekarang dia tak satu kantor lagi denganmu,” kata Natasya sambil tersenyum dan memandang mata Wika. “Eh, sebelum kita lanjut. Kamu mau pesan minum apa? Aku sudah pesan minum tadi duluan, tapi belum diantar juga sih,” lanju
Lena dan Wika sampai di kantor Pak Dunan sudah pukul delapan belas lewat tiga puluh.“Hai, apa kabar Mbak Lena?” sapa Talisa saat melihat kedatangan Lena dan Wika.“Kabar baik, Mbak Talisa gimana kabarnya?”“Baik juga.”Keduanya saling cium pipi kiri dan kanan.“Ada apa ya, Mbak? Tiba-tiba ingin ketemu?” kata Talisa sambil mempersilahkan Bu Lena dan Wika duduk di sofa ruang tamunya. Talisa memiliki ruangan khusus untuk para tamu. Ia merupakan direktur bagian perencanaan dan anggaran di perusahaan Pak Dunan.“Yang jelas kali ini bukan urusan proyek, Mbak,” kata Bu Lena sambil tersenyum.“Sebentar, Mbak Lena mau minum apa? Kopi instan? teh melati atau yang lainnya?” Talisa menawarkan minuman pada Lena dan Wika.“Terserah Mbak Talisa saja deh,” jawab Lena.“Kalau begitu teh saja ya,” kata Mbak Talisa sambil tersenyum. “Mita bikin teh untuk tamu kita!” kata Talisa pada salah seorang staf yang ada di ruangannya.“Baik, Bu,” jawab staf cewek yang bernama Mita. Mita kemudian keluar dari ruan
Bu Lena memarkir mobilnya di restoran yang sudah jadi langganannya. Petugas parkir membantu Bu Lena mencarikan tempat parkir yang masih kosong. Restoran memang tidak terlalu ramai sore itu. Bu Lena dan Wika keluar dari mobil dan melangkah ke arah restoran.“Kita duduk di lesehan yang ada gazebo di belakang itu!” kata Bu Lena pada Natasya. Kebetulan tempat duduk yang selalu jadi favorit Bu Lena itu masih kosong.“Baik, Bu.” Wika melangkah mengikuti Bu Lena. Bu Lena merasa nyaman kalau harus berbicara hal-hal yang bersifat rahasia di restoran ini. Apalagi tempat duduk lesehan yang terdiri dari gazebo-gazebo itu letaknya terpisah-pisah. Jadi kalau berbicara hal yang rahasia atau sensitif tidak akan terdengar pengunjung lain. Suara bising pelayan dan peralatan makan juga tak terlalu berisik seperti di ruangan utama.Sesaat setelah mereka duduk dan mencatat menu yang hendak dipesan, seorang pelayan restoran menghampiri.“Kamu ada tambahan pesanan lainya?” tanya Bu Lena pada Wika.“Emm, say