Natasya duduk terdiam seperti patung di kursi tamu rumah Pak Sudarmaji. Gadis itu ingin menangis tapi dia simpan dalam hati. Masih terbayang sikap sinis dan ketus Bu Sudarmaji padanya beberapa menit yang lalu.
"O, ini orangnya? Saya sudah tahu dari staf kantor Jayadi." Usai mengatakan itu, Bu Sudarmaji masuk ke kamar dan tak keluar lagi. Natasya jadi serba salah. Jayadi belum juga kembali dari menemani pak Sudarmaji cek kesehatan ke dokter langganannya. Untung saja Bik Suminah pembantu di rumah Jayadi orangnya ramah. "Diminum airnya nak, Natasya." Bik Suminah berasal dari keluarga miskin yang tinggal di desa terpencil. Ia bisa merasakan perasaan Natasya yang diperlakukan dengan ketus oleh Bu Sudarmaji. "Iya Bu." Serasa tercekat tenggorokan Natasya saat meminum air putih dari gelas yang barusan diletakan Bik Suminah. Bik Suminah mencoba duduk sebentar di kursi tamu menemani Natasya. Ia hanya tersenyum pada Natasya sebagai isyarat agar Natasya bersabar. Mata Natasya berkaca-kaca. Ia tak mengerti harus bersikap seperti apa. "Bu, saya pamit saja. Tolong bilangin sama Pak Jayadi." Harga diri Natasya terasa terluka. Ia merasa memang tidak pantas berada di rumah besar ini. Jayadi adalah orang kaya, anak dari keluarga kaya. Natasya hanya anak seorang penjual mie ayam. Tinggal di Jakarta hanya di rumah kontrakan sederhana. Gadis miskin yang cuma tamat SMP. Jayadi selain kaya raya juga telah berpendidikan S2. "Nggak menunggu Den Jayadi pulang Nak?" kata Bik Suminah. Hati Bik Suminah jadi ikut sedih melihat gadis itu. "Nggak usah Bu. Saya izin pamit saja." Natasya segera berdiri dan melangkah ke luar rumah. Dengan perasaan serba salah dan rasa iba Bik Suminah mengikuti dan mengantar Natasya ke halaman rumah. Pak Mardi salah seorang pekerja dan sekaligus sopir di rumah Pak Sudarmaji mencoba tersenyum pada Natasya. Bik Suminah mengedipkan mata pada Pak Mardi memberi isyarat. Pak Mardi paham maksud Bik Suminah. Ojek online yang dipesan Natasya sudah sampai di depan gerbang rumah Pak Sudarmaji. Natasya menyalami dan mencium tangan Bik Suminah untuk pamit. Bik Suminah hanya geleng-geleng kepala dan merasa kasihan melihat gadis itu. Saat berpapasan dengan Pak Mardi, Bik Suminah menceritakan tentang peristiwa yang terjadi hingga Natasya tiba-tiba ingin pergi tanpa menunggu Jayadi kembali. "Kasihan ya anak itu." Pak Mardi ikut berempati dengan Natasya. "Iya, kasihan. Anaknya cukup baik kok, cantik juga," kata Bik Suminah sambil geleng-geleng. "Tapi itulah nampaknya Bu Sudarmaji kurang berkenan dengan latar belakang keluarganya yang miskin dan gadis itu juga cuma tamat SMP." Bik Suminah jadi bersemangat menceritakan tentang Natasya pada Pak Mardi "Ya, ya, aku mengerti." Pak Mardi manggut-manggut. Saat meninggalkan rumah keluarga Sudarmaji, Natasya bertekad dalam hatinya tak akan pernah lagi memasuki rumah itu. Harga dirinya telah terluka. Ia menyesali telah mencoba membiarkan dirinya hanyut sejauh ini. Mengapa ia tergoda mengikuti permainan yang diciptakan Jayadi. Kini saat dia mulai merasa nyaman dan jatuh cinta pada Jayadi, ia hanya merasakan kepedihan. Dasar gadis miskin tak tahu diri, batinnya. Pikiran Natasya melayang-layang walau tubuhnya ada di atas motor ojek online. Dadanya terasa sesak dan matanya kembali berkaca-kaca di balik kaca helem yang dipakainya. *** Siang tadi saat Jayadi makan di sebuah restoran bersama Natasya tiba-tiba Bu Sudarmaji menelpon Jayadi. "Kamu bisa pulang ke rumah? Dada Papamu sakit seperti dua minggu yang lalu." "Baik Ma, aku segera pulang." Jayadi menyelesaikan makannya. "Kamu ikut ke rumah ya, bisa jadi aku ke rumah sakit atau ke klinik menemani Papa." Jayadi memegang tangan Natasya. "Sekalian aku memperkenalkanmu pada mama." "Tapi, Tapi, apa mamamu tidak kaget tiba-tiba melihatku datang ke rumah bersamamu. Aku juga belum siap bertemu kedua orang tuamu." Natasya kurang yakin dengan keberanian dirinya untuk bertemu orang tua Jayadi. Apalagi Jayadi juga telah sering menceritakan tabiat Bu Sudarmaji. Natasya kehilangan kepercayaan diri dan merasa tak sanggup bertemu dengan keluarga Jayadi yang kaya raya. "Udah tak apa, aku yang akan bertanggung jawab kalau Mama memarahi atau tidak menerimamu." Jayadi coba meyakinkan Natasya agar bersikap santai saja menghadapi kedua orang tuanya. "Kamu bisa ngomong begitu, aku yang belum siap. Kamu bisa mengerti nggak perasaanku?" "Iya, aku mengerti. Kita hadapi bersama apapun sikap orang tuaku. Kamu harus percaya padaku." Jayadi terus berusaha meyakinkan Natasya. Natasya bisa memahami sikap Jayadi yang sedang dilanda kasmaran pada dirinya. Bu Sudarmaji dan Pak Sudarmaji tentu akan berpikir berbeda dengan putranya yang sedang dimabuk asmara. Kebanyakan orang tua mengharapkan anaknya berjodoh dengan orang yang sepadan. Orang tua akan bangga dengan calon menantu atau pasangan anaknya yang satu level dan sebanding dengan status sosial mereka. Pikiran itu menghantui Natasya. Membuat dia serba salah untuk bertemu kedua orang tua Jayadi. Apalagi pertemuan ini tiba-tiba dan dalam situasi yang kurang nyaman bagi Natasya. Saat inipun Jayadi harus mengurus papanya yang lagi sakit. "Udah ah, jangan kebanyakan mikir!" Jayadi segera menarik lengan Natasya. Mereka bergegas menuju parkiran mobil. Saat dalam perjalanan pulang ke rumah Jayadi, perasaan Natasya sungguh-sungguh tak menentu. Ia sangat khawatir kalau-kalau Bu Sudarmaji tidak bisa menerima kehadirannya. Apalagi Jayadi bermaksud memperkenalkan Natasya untuk calon menantu keluarga Sudarmaji. Pak Kosim membuka gerbang saat Jayadi dan Natasya sampai. Jayadi bergegas keluar dari mobil dan segera berlari ke dalam rumah. Ia menuju kamar dan segera memapah Pak Sudarmaji. "Gimana Pa?" tanya Jayadi pada Pak Sudarmaji dengan cemas. "Sedikit pusing," jawab Pak Sudarmaji. Saat ini umur Pak Sudarmaji sudah enam puluh dua tahun. Pak Sudarmaji agak terlambat menikah. Pada umur tiga puluh tiga tahun dia menikahi seorang perempuan bernama Rahma Marlina. Pernikahan pak Sudarmaji dikaruniai dua orang putera, Jayadi Sudarmaji dan Jefri Rahmat Sudarmaji. "Ayo Pa, pelan-pelan saja," kata Bu Sudarmaji ikut membantu suaminya berjalan. "Ma, aku tadi bersama Natasya, kebetulan lagi makan siang, aku mengajaknya ke sini." Jayadi coba menjelaskan soal Natasya yang ikut bersamanya. Bu Sudarmaji tak merespon pembicaraan Jayadi. Ia telah mendengar cerita tentang Natasya dari orang kantor Jayadi. Bu Sudarmaji kurang berkenan hubungan Jayadi dan Natasya. "Cari yang sepadan kek." Itu pernah dikatakan Bu Sudarmaji pada Lena saat Lena berkunjung ke rumah keluarga Sudarmaji. Albert yang juga pernah berusaha meyakinkan Bu Sudarmaji soal Natasya gadis yang baik juga tidak berhasil membujuk Bu Sudarmaji. Bu Sudarmaji ikut membantu suaminya berjalan seolah tak mau memandang Natasya yang duduk serba salah di kursi ruang tamu. Natasya coba berdiri dan menyapa Pak Sudarmaji dan Bu Sudarmaji. Keduanya tak memberi respon pada Natasya. Pak Sudarmaji sudah naik ke mobil Jayadi. "Pak Kosim yang bawa mobil ya," kata Jayadi pada Pak Kosim. "Titip Natasya, Ma," kata Jayadi pada Bu Sudarmaji. Bu Sudarmaji tak merespon perkataan Jayadi. Pak Kosim menyetir mobil, sedang Jayadi duduk di bangku belakang. Jayadi memandangi Pak Sudarmaji dengan cemas. Mobil keluar dari gerbang rumah menuju klinik dan tempat dokter Bahtiar praktek. Dokter Bahtiar adalah dokter langganan keluarga Sudarmaji sejak dulu. Natasya hanya berdiri bengong di ruang tamu rumah besar itu. Ia coba duduk dan berusaha untuk tenang. Saat Bu Sudarmaji masuk ke dalam rumah dan melewati ruang tamu, saat itulah hati Natasya seperti tersayat kata-kata Bu Sudarmaji. Akhirnya apa yang dikhawatirkan Natasya benar-benar terjadi. Bu Sudarmaji tidak berkenan dengan kehadiran Natasya di rumahnya. Melihat Natasya saja Bu Sudarmaji tidak mau apalagi akan menerima Natasya jadi menantu. Aku harus mengakhiri semua ini, batin Natasya saat dia masih di atas motor ojek online menuju rumahnya. Hari itu Bu Masna tak jualan. Bu Masna memutuskan untuk istirahat jualan mie ayam. Kebetulan dia dan Nela putrinya juga habis mengantar suaminya pergi ke dokter. Natasya sampai di rumah dan dia langsung masuk kamar. Kamar Natasya satu berdua dengan Nela. Maklum rumah kontrakan mereka hanya memiliki dua buah kamar. Itupun susah payah Bu Masna mengumpulkan uang untuk membayar kontrakan setiap tahunnya. Nela sibuk dengan handphone saat Natasya masuk kamar dan langsung membenamkan mukanya pada bantal. Nela mengerti, Natasya sedang sedih dan dia tak mau mengganggu kakaknya itu. Tiba-tiba Isak tangis Natasya pecah namun dia coba menahan suara tangisnya. Ia terus membenamkan wajahnya pada bantal.Seorang staf HRD di kantor Pak Dunan bernama Meli menghubungi Natasya.“Hallo Mbak, bisa datang ke kantor besok?”“Baik, Mbak. Besok pagi saya datang,” jawab Natasya ketika menerima telepon siang itu.***Pukul sepuluh pagi Natasya sudah datang di kantor Pak Dunan. Ia datang sendirian naik motor ojek online.“Pagi Pak,” sapa Natasya pada Sapuro.Sapuro tersenyum pada Natasya. “Pagi, Mbak. Mbak yang datang dua hari yang lalu ya?”“Iya, Pak. Kemaren saya ditelepon sama Mbak Meli dari bagian HRD. Katanya disuruh datang hari ini ke sini, Pak.”“Oh, Iya. Mari langsung ke bagian HRD saja, saya antarkan,” kata Satpam itu sambil melangkah menaiki tangga. Natasya mengikutinya dari belakang.Saat sampai di ruangan HRD di lantai dua, Sapuro mengetuk pintu ruangan itu. Seorang gadis membukakan pintu.“Mbak, Meli, ini orangnya sudah datang.” Selesai mengantar Natasya ke ruangan HRD, Sapuro kembali turun ke lantai satu.“Mbak Natasya ya?” tanya Meli pada Natasya. Dalam hati Meli merasa heran, kok g
Natasya dan Wika sampai di kantor Pak Dunan. Mereka melapor di pos satpam. Satpamnya seorang lelaki bermata agak sipit dengan usia sekitar empat puluhan. Tubuhnya terlihat sedikit kurus namun tulang-tulangnya terlihat kuat dan kokoh. Satpam itu memiliki tinggi lebih dari seratus puluh lima centi meter. Rambutnya lurus dan kelihatannya biasa menggunakan minyak rambut. Di plank nama bajunya tertulis Sapuro.“Pagi, Mbak,” sapa Sapuro para Natasya dan Wika.“Pagi, Pak,” Wika menjawab sapaannya.“Ada keperluan apa, Mbak? Tolong diisi dulu buku tamunya,” lanjut Sapuro dengan tersenyum. Saat senyum terlihat giginya agak jarang-jarang.“Baik, Pak.” Natasya dan Wika mengisi buku tamu kantor itu.“Saya mau mengantarkan lamaran pekerjaan Pak. Untuk jadi cleaning service,” kata Natasya.Sejenak Sapuro terdiam. Dia agak heran, tumben ada seorang gadis cantik melamar jadi cleaning service. Dalam hati Sapuro, gadis ini malah ada wajah blasterannya. Sepertinya salah satu orang tua gadis ini berasal d
Hari Minggu ke dua bulan Juli, Eline sedang duduk minum teh di beranda lantai dua rumahnya. Eline baru pulang dari Amerika tiga hari yang lalu. Tini membawa secangkir teh beraroma melati dan dua potong roti bakar untuk Eline. Handphone Eline yang diletakkannya di atas meja berbunyi. Bu Sudarmaji menelpon Eline."Hallo Tante.""Kamu dimana?" tanya Bu Sudarmaji."Lagi d rumah, Tante." Bu Sudarmaji sudah tahu Eline telah pulang dari Amerika. Evan suami Eline masih di sana menyelesaikan kuliah doktoralnya."Kamu nggak ada rencana ke luar rumah? Pergi jalan-jalan gitu?""Belum ada, Tante.""Oke sekitar dua jam lagi aku ke rumahmu. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke salon atau shoping?""Terserah Tante saja.""Oke, sebentar lagi aku hubungi Sri Astuti dan Lisa, siapa tahu mereka ingin ikut bersama kita.""Oke, Tante."Selesai Bu Sudarmaji menelpon, tiba-tiba terpikir oleh Eline untuk meminta laporan dari Jolien dan Miranda. Ia segera menghubungi ke dua anak buahnya itu."Hallo, kamu dima
Kedua sahabat itu bertemu kembali di kafe tempat mereka biasa nongkrong.“Hai Nona cantik. Terlihat lebih segar sekarang,” kata Wika saat ia melihat Natasya telah ada di kafe itu lebih dulu. Wika duduk di hadapan Natasya dan memperhatikan wajah sahabatnya. Seakan Natasya lepas dari satu beban yang selama ini menghimpitnya.“Ah itu perasaanmu saja Nona. Aku seperti biasa saja kok,” tanggap Natasya sambil tersenyum. “Bagaimana kabarmu beberapa hari ini?” lanjut Natasya.“Eh, kesepian. Aku kehilangan seorang sahabat tempat curhat. Ada saat-saatnya aku ingin mencurahkan kegelisahan hatiku. Beberapa waktu yang lalu, aku punya itu di dekatku.” Wika berbicara panjang disertai helaan nafas dan ekspresi wajah yang sedikit muram.“Ah kan sahabatmu itu selalu siap sedia, walau sekarang dia tak satu kantor lagi denganmu,” kata Natasya sambil tersenyum dan memandang mata Wika. “Eh, sebelum kita lanjut. Kamu mau pesan minum apa? Aku sudah pesan minum tadi duluan, tapi belum diantar juga sih,” lanju
Lena dan Wika sampai di kantor Pak Dunan sudah pukul delapan belas lewat tiga puluh.“Hai, apa kabar Mbak Lena?” sapa Talisa saat melihat kedatangan Lena dan Wika.“Kabar baik, Mbak Talisa gimana kabarnya?”“Baik juga.”Keduanya saling cium pipi kiri dan kanan.“Ada apa ya, Mbak? Tiba-tiba ingin ketemu?” kata Talisa sambil mempersilahkan Bu Lena dan Wika duduk di sofa ruang tamunya. Talisa memiliki ruangan khusus untuk para tamu. Ia merupakan direktur bagian perencanaan dan anggaran di perusahaan Pak Dunan.“Yang jelas kali ini bukan urusan proyek, Mbak,” kata Bu Lena sambil tersenyum.“Sebentar, Mbak Lena mau minum apa? Kopi instan? teh melati atau yang lainnya?” Talisa menawarkan minuman pada Lena dan Wika.“Terserah Mbak Talisa saja deh,” jawab Lena.“Kalau begitu teh saja ya,” kata Mbak Talisa sambil tersenyum. “Mita bikin teh untuk tamu kita!” kata Talisa pada salah seorang staf yang ada di ruangannya.“Baik, Bu,” jawab staf cewek yang bernama Mita. Mita kemudian keluar dari ruan
Bu Lena memarkir mobilnya di restoran yang sudah jadi langganannya. Petugas parkir membantu Bu Lena mencarikan tempat parkir yang masih kosong. Restoran memang tidak terlalu ramai sore itu. Bu Lena dan Wika keluar dari mobil dan melangkah ke arah restoran.“Kita duduk di lesehan yang ada gazebo di belakang itu!” kata Bu Lena pada Natasya. Kebetulan tempat duduk yang selalu jadi favorit Bu Lena itu masih kosong.“Baik, Bu.” Wika melangkah mengikuti Bu Lena. Bu Lena merasa nyaman kalau harus berbicara hal-hal yang bersifat rahasia di restoran ini. Apalagi tempat duduk lesehan yang terdiri dari gazebo-gazebo itu letaknya terpisah-pisah. Jadi kalau berbicara hal yang rahasia atau sensitif tidak akan terdengar pengunjung lain. Suara bising pelayan dan peralatan makan juga tak terlalu berisik seperti di ruangan utama.Sesaat setelah mereka duduk dan mencatat menu yang hendak dipesan, seorang pelayan restoran menghampiri.“Kamu ada tambahan pesanan lainya?” tanya Bu Lena pada Wika.“Emm, say