Jayadi bukannya tambah takut, malah tambah antusias ingin membeli fila ini. Ada sesuatu yang terus mendorong Jayadi untuk benar-benar membelinya. Secara letak memang bagus. Letaknya agak tinggi dan agak dekat ke pantai. Pemandangan lepas ke arah pantai, membuat fila ini makin menarik minat Jayadi."Saya sendiri belum pernah sih lihat yang begituan di fila ini, Mas. Tapi kalau di Bandung pernah saya alami peristiwa kayak gitu. Ih serem pokoknya, Mas.""Hehe.""Eh, si Mas malah tertawa." "Saya juga merasa serem kalau ada cerita gituan, Pak." Jayadi tersenyum. Hari sudah mulai senja. Matahari sudah tenggelam di laut. Angin meniup daun-daun yang ada di atap fila."Terus, gimana ya, cara saya bisa membeli fila ini? Saya suka lokasinya Pak.""Mas, masih tertarik?" Pak Asep merasa heran dengan Jayadi yang masih saja berminat membeli fila itu."Ya, saya berminat kok, Pak. Soal cerita itu nanti kita pikirkan." Sebagai seorang kontraktor dan bisnisman hal begitu bukan lagi halangan bagi Jayadi
Jayadi sangat tertarik dengan bentuk fila kosong itu. Saat Lisa dan Meri istirahat sore hari setelah wawancara dengan beberapa warga, Jayadi tak tahan ingin melihat fila itu bersama Pak Asep."Pak Asep, temani saya melihat fila yang tadi, yuk.""Baik, Mas." "Mbak Lisa dan Mbak Meri nggak kita ajak?""Nggak usah, biar saja mereka istirahat.”"Baik, Mas." Pak Asep menghidupkan mesin mobil. Jayadi mengetuk pintu kamar Lisa dan Meri. Lisa membuka pintu. Rambutnya awut-awutan tapi tetap cantik. Ya, Lisa memang cantik. Selalu terlihat cantik. Jayadi pun heran entah mengapa dia tidak tertarik secara total pada Lisa. Iya lebih merasakan Lisa seperti adik perempuan yang disayanginya."Kalian, tak tinggal dulu ya, istirahat saja. Aku mau keliling sama Pak Asep lihat-lihat sekitar desa wisata ini. Siapa tahu ada peluang bisnis yang bisa dikembangkan di sini.""Oke, pangeran ganteng, hati-hati." Lisa tersenyum manis. Terkadang Jayadi sudah serasa suaminya saja. Setiap memandang wajah tampan itu
Jayadi ngobrol sampai hampir pukul dua belas malam dengan Pak Asep. Kebetulan cuaca cukup cerah. Langit berbintang menyinari permukaan laut. Angin bertiup menyejukkan. "Untung Mas ke sini saat cuaca cukup bagus. Terkadang di sini bisa saja ada badai loh Mas." "Oh, gitu ya. Tapi sekarang cuaca sangat bagus." Jayadi menghisap rokok dan mengepulkan asapnya. Jayadi sedikit batuk-batuk karena dia hanya sesekali merokok. "Iya Mas. Namanya juga desa tepi pantai. Kalau penduduk di sini sudah terbiasa, hehe." "Kelihatannya desa yang satu lagi agak ramai ya didatangi wisatawan?" "Benar Mas, kalau di sana memang pantainya dijadikan tempat libur akhir pekan wisatawan lokal. Apalagi ini libur panjang." "Iya ya. Kalau di sini agak sepi ya?" "Iya Mas, kalau di sini karena agak dekat bukit kecil jadi lebih banyak orang membangun fila dan cotegge. Di sini pemandangannya yang lebih indah. Eksotis kata bule dan orang-orang kaya yang buat filla di sini." "Iya, ya." Jayadi manggut-manggut. Ia mu
Jayadi hanya mendengar pembicaraan Lisa, Meri, Kepala Desa dan Pak Asep. Ia malah teringat Natasya. Jayadi sedang melamun saat bersama dengan Natasya di sebuah kamar hotel. Hampir saja waktu itu dia dan Natasya kehilangan kendali. Gairah Jayadi betul-betul hampir tak tertahankan. Untung saja Natasya punya benteng pertahanan yang kuat. Ya, hampir kebobolan, itulah situasinya. Natasya dengan lembut menenangkan gejolak seksual Jayadi. Dia mengelus-elus rambut Jayadi seperti anak kecil. Natasya mengajak Jayadi pergi jalan-jalan. Akhirnya Jayadi tidak jadi ikut menginap di hotel itu. Bayangkan kalau kebobolan dan Natasya hamil. Bisa heboh Mamanya dan keluarga besar Sudarmaji. Sejagat raya pun bisa heboh. "Hai, bengong saja, kita pergi ke cottage dan istirahat." Lisa menyadarkan Jayadi dari lamunannya. Lisa memegang tangan Jayadi seakan membimbing anaknya kembali ke mobil."Iya deh, Pak. Sampai jumpa besok pagi." Meri mengakhiri pertemuan awal mereka dengan kepala desa jelang senja itu. I
"Nah kita sudah hampir sampai, Mbak. Paling sekitar beberapa menit lagi sampai" Pak Asep menunjuk arah desa yang akan mereka tuju. Sebuah desa di pinggir pantai. Mereka telah melewati beberapa desa nelayan dan kini mereka lebih banyak melihat pemandangan berupa pohon kelapa, semak belukar dan pohon-pohon bakau di pinggir pantai. Nampaknya desa yang mereka tuju agak terisolir letaknya. Lisa samar-samar mendengar suara Pak Asep karena mulai terbangun dari tidurnya. "Oh iya ya?" Lisa menanggapi Pak Asep. Meri dan Lisa memandangi pemandangan pantai yang masih banyak ditumbuhi pohon kelapa. "Kamu belum pernah ke seni Mer?" "Belum," jawab Meri sambil celingak-celinguk memperhatikan pemandangan sepanjang jalan."Ah, percuma saja kamu kuliah di Bandung. Anak pencinta alam lagi," kata Lisa dengan nada mengejek."Anak Mapala lebih banyak ke gunung tau!" Meri membalas ejekan Lisa dengan nada singit."Sekitar tiga kilo lagi kita sampai di desa itu," terang Pak Asep pada Lisa dan Meri."Pangeranm
Jayadi merasa dijebak oleh mamanya sendiri. Ia harus menemani Lisa mencari data untuk penelitiannya di desa di daerah Jawa Barat. Masih terngiang di pikiran Jayadi, kemaren mamanya ngotot memaksa Jayadi yang menemani Lisa cari data untuk penelitian tugas akhirnya. Lisa sudah tahu tempat yang akan dikunjunginya, sebuah desa wisata pinggir pantai. Ia ingin mencari data tentang kehidupan sosial masyarakat di sana. "Mulai besok kan libur panjang tu. Hari Senin dan Selasa tanggal merah. Kamu temani Lisa cari data penelitiannya ke desa." "Tapi Ma, ada hal yang harus saya kerjakan walaupun tanggal merah." "Udah, hari Selasa malam kan udah sampai lagi di sini. Rabu saja dikerjakan." Dengan perasaan gondok, Jayadi terpaksa melaksanakan perintah Bu Sudarmaji. *** Lisa memandang Jayadi dengan senyum manis dalam kereta menuju Bandung. "Kenapa kita harus naik kereta sih? Kenapa nggak bawa mobil sendiri saja? Kitakan bisa bawa Pak Mardi atau Pak Kosim nyetir mobil. Atau aku bisa aj
"Hari ini, Lisa mau datang ke rumah, Pa." Bu Sudarmaji mengatakan itu pada Pak Sudarmaji yang sedang tiduran di kasur. Pak Sudarmaji membaca berita-berita di layar handphonennya. "Oh, iya Ma. Bagus deh. Dia belum balik ke Amerika?" "Belum, lagian dia akan lebih banyak di Indonesia. Dia kan lagi sedang penelitian untuk tugas akhir kuliahnya." Bu Sudarmaji memakai kosmetik di depan cermin besar di kamarnya. "Oo, gitu toh." "Iya, Pa. Nanti siang dia mau nemenin Mama ke tempat Mbak Aliya. Aku sama Lisa mau lihat cucu Mbak Aliya yang baru lahir kemarin. Itu tu Pa, anaknya Zaky putranya Mbak Aliya. Papa kan tahu Zaky kan?" "Tahu dong, kan udah sering ketemu. Oh, udah melahirkan istrinya Zaky ya." "Udah, Pa. Kemaren pagi melahirkannya kata Mbak Aliya. Saya dan Lisa di supermarket dulu beli kado." "Ya titip salam buat Mbak Aliya dan Mas Sartono." "Ya, nanti kusampaikan." Suara Lisa sudah terdengar masuk ke dalam rumah. "Bu, Non Lisanya sudah datang." Terdengar suara Bik S
Pagi-pagi Natasya sudah datang ke kantor. Ia telah berpakaian warna abu-abu seragam cleaning service di perusahaan milik Jayadi. Ia mulai menyapu dan mengepel di area lantai dua dan tiga gedung itu. Lena telah berpesan pada Bu Niar koordinator cleaning service agar menempatkan Natasya di lantai dua dan tiga. Lena dan Wika telah mengkaji itu, agar Natasya jarang bertemu dengan Jayadi. Biasanya Jayadi dari lobi langsung naik lift ke lantai sepuluh tempat ruangan kerjanya berada. "Hai!" Wika menyapa Natasya saat dia mau masuk ruangan kerjanya. Ruangan Wika bersama beberapa staf lainnya berada di lantai tiga. "Hai juga!" Natasya tersenyum pada Wika. "Terimakasih atas bantuannya." "Sama-sama," jawab Wika sambil tersenyum. Wika merasa lega telah membantu meringankan beban Natasya. Terlihat Natasya cukup pandai menempatkan diri. Dia lebih suka banyak bekerja dan menghindari ngobrol dengan orang-orang. Wika memang diperintahkan Bu Lena untuk mengawasi dan menjaga Natasya. "Ingat tak
Wika memutuskan bicara dengan Lena setelah bertemu Natasya. Ia minta bertemu Lena malam hari di sebuah kafe. Keduanya langsung berangkat dari kantor. Kebetulan tadi mereka juga lagi banyak kerjaan, jadi pulangnya sudah hampir magrib. Sebagian karyawan ada yang juga harus lembur untuk penyelesaian laporan sebuah proyek di daerah Kalimantan. "Kamu minum, apa?" "Saya minuman yang ini Bu." Wika menunjuk daftar menu yang ada. "Aku minum ini saja deh. Makanannya? Kalau aku, kwetiau, terus ini. Dan juga ini." Lena menulis beberapa daftar makanan di kertas pemesan. "Saya ini saja, dan ini, Bu." Giliran Wika mencatat pesanan makanan untuknya. Wika memberikan kertas daftar pesanan makanan mereka pada pelayanan restoran yang berdiri menunggu. "Apa yang ingin kamu sampaikan? " "Soal Natasya, Bu. Kemaren saya bertemu dengannya." "Ya, ada apa dengan dia?" "Saya kasihan melihatnya, Bu. Ia minta bantuan saya untuk carikan pekerjaan." "Terus gimana?" "Ya saya kan bingung Bu. Saya