"Siang Pak," kata Natasya saat sudah berada di ruangan Jayadi."Iya, siang. Kalau sudah selesai bersih-bersih mau tambahan kerja lagi?""Emm, mau." Natasya memandang Jayadi dengan mata berbinar. Saat Natasya, memijat Jayadi, iya pegang tangan gadis itu. "Kamu mau ikut denganku besok?" Natasya terdiam, apa yang dikhawatirkannya akan terjadi lagi. Jayadi tidak tahan untuk tidak mendekatinya. Dia juga tak kan sanggup menolak keinginan Jayadi."Mau kemana?" "Kemana saja yang membuat hati bahagia."Natasya kembali terdiam. Tangannya mengurut kepala dan rambut Jayadi. "Besok kita ketemu dekat hotel yang di sebelah sana. Aku akan menjemputmu di depan hotel itu.""Iya." ***Sabtu siang itu sesuai janji mereka berdua, Natasya telah menunggu di depan hotel yang dikatakan Jayadi kemaren."Masuk." Natasya masuk dari pintu tengah mobil dan setelah itu dia pindah duduk di sebelah Jayadi. Tak seorangpun tahu mereka pergi kemana. Bu Masna dan Nela di rumah sakit menemani Pak Dudid yang sedang pem
"Pak Gunadi, bisa ke ruangan saya.""Baik, Pak." Menerima pesan WA dari Big Bos, Gunadi segera ke ruangan Big Bos. Ia menyapa Lena yang terlihat sedang sibuk berbicara pada Wika. Ruangan Lena dikelilingi oleh kaca sehingga setiap orang yang mau ke ruangan Jayadi terlihat olehnya. Di hadapan ruangan Lena terdapat ruangan bagian keuangan. Keuangan dikepalai oleh Pak Sudiro. Sebenarnya Pak Sudiro masih ada hubungan keluarga dengan Pak Sudarmaji. Ia keponakan dari orang tua laki-laki Pak Sudarmaji. Umurnya sudah limapuluh lebih. Pak Sudiro orang yang teliti dan rajin. Ia tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Ia hanya fokus dengan pekerjaan dan keluarganya. Pak Sudiro jarang berurusan dengan Jayadi. Ia lebih banyak berurusan dengan Lena dan beberapa kepala unit perusahaan. Gunadi mengetuk pintu ruangan Jayadi."Ya, masuk. Duduk dulu.""Baik, Pak." Gunadi duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja bundar besar. Ia melihat Jayadi sedang sibuk dengan handphone dan seperti memi
Sesuai perintah Bu Lena, setelah makan siang dan jelang jam istirahat siang berakhir, Natasya pergi ke ruangan Jayadi. Ia mengetuk pintu ruangan itu. Hatinya berdebar kencang. Sebenarnya dia sangat merindukan lelaki itu. Tanpa disadarinya, saat dia berusaha membuat jarak dengan Jayadi justru perasaan cintanya kian menggebu pada pria itu. Tapi setiap dilanda gelora asmara, perasaan Natasya patah dan hancur berkeping. Ibarat kuncup bunga mekar yang dipatahkan badai. "Masuk." Jayadi pura-pura tak memandang ke arah Natasya."Siang, Pak." Natasya hanya melihat lantai. Ia tak berani mengarahkan pandangannya pada Jayadi. Jangankan menatap mata Jayadi, melihat wajah Jayadi saja dia tak berani. Natasya takut dia malah menangis."Siang juga." "Saya mau bersihkan ruangan, sesuai perintah Bu Lena.""Iya, oke." Ada perasaan lucu bercampur iba dalam hati Jayadi melihat kesayangannya itu. Jayadi tetap berusaha bersikap tenang. Natasya sudah diberi arahan oleh Bu Lena tentang apa saja yang harus d
Natasya benar-benar lega proses operasi dan pengobatan bapaknya berjalan dengan baik. Ia telah menggunakan uang yang diberikan penculiknya kemaren sesuai janjinya dengan si penculik."Hai, pagi!" Wika menyapa Natasya yang sedang sibuk mengepel lantai pagi ini."Pagi, Wika." "Wah kelihatan lebih enjoy dan tenang." Wika memperhatikan wajah Natasya. "Gimana kabar bapakmu, Nat?""Alhamdulillah, Wik. Dua hari yang lalu bapak telah selesai operasi. Sekarang sedang pemulihan.""Syukurlah. Mudah-mudahan cepat pulih kembali.""Iya Wik. Terimakasih." Natasya tersenyum pada Wika. Wika masuk ke ruangannya. Natasya kembali sibuk menjalankan tugasnya sebagai cleaning service. Natasya merasa beruntung kenal dengan Wika. Saat Natasya istirahat dan menyandarkan tubuhnya di dekat tangga yang menuju lantai tiga, Bu Lena lewat. Ia melihat ruangan lantai tiga telah bersih. Bu Lena tersenyum dan menyapa Natasya," pagi Natasya.""Pagi, Bu." Natasya berdiri dan mengangguk tanda hormat pada Bu Lena. Lena pu
Bu Masna menunggu Dokter Andi yang sedang memeriksa Pak Dudid. Dokter Andi dibantu dua orang suster. Mereka sama-sama memakai masker. Dokter Andi memeriksa mulut Pak Dudid. "Buka mulutnya Pak!" Pak Dudid membuka mulutnya. Dokter menyenter dan mengamati bagian-bagian dalam mulut Pak Dudid. Setelah itu Dokter Andi duduk di tempat tidur pasien yang kebetulan kosong di sebelah tempat tidur Pak Dudid. "Mana hasil rontgen kemaren!""Ini, dok." Perawat yang bernama Siska memberikan hasil rontgen Pak Dudid pada Dokter Andi. Sejenak dokter mengamati lembar plastik berwarna gelap itu. Batuk Pak Dudid tak henti-henti. Bu Masna kasihan melihat suaminya. Setelah mengamati beberapa menit, dokter Andi menghela nafas panjang. "Nampaknya Bapak harus ditangani lebih serius, Bu." Dokter Andi melepas kacamatanya. "Maksudnya gimana dokter?" Bu Masna ingin memastikan penanganan serius maksud Dokter Andi. "Kemungkinan operasi. Dan dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar.""Tidak bisa di sini dok?""Ku
"Kamu dimana?" Bu Masna menelpon Natasya. Ini hari Minggu yang agak aneh dirasakan Natasya. Pikirannya masih bingung dan heran dengan penculiknya semalam."Di rumah, Bu.""Bagaimana keadaan Nela? Apa demamnya sudah sembuh." Bu Masna mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya."Sudah, Bu. Dia sudah bisa ke pasar lagi sekarang." "Memang masih ada uang yang ibu tinggalkan kemaren untuk belanja?"Mendengar perkataan ibunya soal uang, darah Natasya berdesir. "Masih sedikit lagi. Uangku juga ada.""Kok kamu sudah punya uang. Uang dari mana? Kamu kan belum gajian.""Iya Bu. Nanti aku ceritakan kalau ibu sudah di rumah.""Ya, udah kalau gitu.""Ya, Bu.""Bagaimana keadaan bapak?""Masih seperti kemaren, tidak ada perubahan. Nanti siang ibu pulang ke rumah dulu.""Baik, Bu."Natasya masih tak habis pikir dengan penculik itu. Penculik aneh yang malah ingin menolong orang. Terdengar seperti Robin hood. Apa iya ada orang seperti itu, pikir Natasya. Saat Nela masih belum pulang dari pasar, Natasya cob