Natasya berusaha mengatur nafasnya. Ia tak ingin membuat si penculik tersinggung dan melakukan tindakan yang agresif.Setelah menyentuh pipi dan rambut Natasya, si penculik kemudian duduk tenang lagi di hadapan Natasya. Ia kembali memandangi wajah Natasya.“Kamu sudah punya suami?” tanya si penculik tiba-tiba.“Belum,” jawab Natasya. Dasar penculik aneh, suami orang pun ditanyakan, batin Natasya.“Kamu sudah punya kekasih atau pacar?” tanya si penculik sambil terus memandangi wajah Natasya.Sejenak Natasya terdiam. Ia sedikit kebingungan mau menjawab bagaimana.“Belum, saya tak ada pacar atau kekasih,” jawab Natasya dengan ragu-ragu.“Kamu jangan bohong! Perempuan secantik kamu kok belum punya pacar atau kekasih!” bentak si penculik. Suara si penculik yang cukup keras membuat jantung Natasya serasa mau copot.“Iya, saya tak punya pacar atau kekasih,” kata Natasya sekali lagi. Dalam hati Natasya berpikir dan berhayal siapa tahu si penculik ini adalah pangeran berkuda dari istana dongen
Sore itu cuaca agak mendung. Natasya buru-buru hendak pulang dari kantor. Ia takut kehujanan. Ia telah memesan motor ojek online. Sebagian karyawan kantor sudah pulang.“Sore Pak Sapuro,” sapa Natasya saat melihat Sapuro duduk lobi. “Sore Natasya. Mau pulang ya?”“Iya Pak. Saya takut kehujanan,” kata Natasya sambil tersenyum.“Iya deh, memang baiknya agak bergegas. Cuacanya udah mendung. Sebentar lagi nampaknya mau hujan.”“Iya, Pak. Mari, Pak.”“Iya, Mari.”Natasya bergegas melangkah ke depan kantor. Ia berdiri di trotoar depan kantor. Ojek online yang dipesannya agak terlambat datang karena nampaknya jalanan sore itu macet parah. Natasya melirik-lirik motor ojek yang dipesannya, namun belum juga datang. Beberapa motor ojek online lewat tapi belum juga kenderaan dengan nomor yang dipesan Natasya. Suasana trotoar terlihat sepi. Tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan Natasya. Seseorang dengan sigap menarik Natasya dan seperti kejadian penculikan yang dulu pernah dia
Jayadi terlihat gelisah di ruangannya. Ia mondar-mandir seperti orang yang kebingungan. Sesekali ia melangkah ke arah jendela dan melihat ke warung mie ayam Bu Masna. Pikirannya dipenuhi tentang Natasya. Sudah dua minggu dia tak bertemu Natasya. Nomor handphone Jayadi sepertinya diblokir Natasya. Sejak hari pengunduran diri Natasya di kantor Jayadi, ia tak bisa lagi menghubungi gadis itu.“Pak Gun, bisa ke ruangan saya?”“Baik, Pak.” Gunadi yang sedang asyik minum kopi dan merokok di pos belakang kantor segera bergegas ke ruangan Jayadi.Lena melihat Gunadi hendak masuk ruangan Jayadi. Lena hanya tersenyum dari balik dinding kaca ruangannya.Gunadi mengetuk pintu ruangan Bos Jayadi.“Masuk!’Gunadi duduk di salah satu kursi yang ada di sekeliling meja bundar. Jayadi masih duduk di kursi eksekutifnya sambil memperhatikan handphonenya. Ia kemudian meletakan handphonenya di atas meja dan mengurut kepalanya sendiri.Gunadi yang sangat paham dengan kebiasaan dan tabiat Big Bos, hanya diam
Natasya telah terlatih bekerja dengan baik di kantor Jayadi. Pak Kasrin memuji pekerjaan Natasya yang bersih dan teliti. Baru dua hari Natasya bekerja di kantor Pak Dunan, para pegawai dan staf sudah membicarakan kehadiran Natasya. Mereka pada heran dengan gadis cantik yang bekerja sebagai cleaning service.Pak Kasrin tersenyum pada Natasya, “Semoga kamu betah bekerja di sini.” Pak Kasrin mengatakan itu saat hari kedua Natasya melaporkan pekerjaannya pada Pak Kasrin.Natasya membalas senyuman Pak Kasrin, “Iya Pak. Saya berharap begitu. Orang-orangnya ramah kok di sini,” kata Natasya.“Iya semua karena Pak Dunan. Bos perusahaan ini orangnya santun dan dia juga mengajari semua orang di sini bersikap santun dan baik. Kamu sudah pernah bertemu Pak Dunan?”“Baru melihat dari jauh, Pak. Saya takut menyapa Pak Dunan.”“Orangnya ramah, kalau ketemu atau berpapasan kamu sapa saja,” kata Pak Kasrin.“Baik, Pak,” jawab Natasya sambil tersenyum pada Pak Kasrin.“Katanya orang tuamu jualan mie aya
Gunadi menelpon Sapuro pukul sepuluh malam. Saat itu Gunadi masih berada di kantor. Ia berencana akan pulang pukul dua belas malam. “Malam, Pak Sapuro,” “O, malam Pak Gunadi. Ada perlu apa tiba-tiba menelpon pukul sepuluh malam begini?” jawab Sapuro sambil tertawa. “Saya ada perlu dengan Pak Sapuro. Dimana sekarang?” “Saya masih di kantor, Pak Gun. Bisa jadi sampai pagi atau paling tidak sampai pukul satu malam. Menunggu dua orang anggota saya datang.” “Baik, kalau begitu saya ke kantor Pak Sapuro saja sekarang,” kata Gunadi. “Boleh, Pak Gun. Saya tunggu ya.” “Baik, Pak. Saya langsung ke sana.” Gunadi segera mengambil motor metik berukuran besar miliknya. Ia melaju dengan kencang ke kantor Pak Dunan. Sekitar dua puluh menit, Gunadi sampai di kantor Pak Dunan. Ia melihat Sapuro telah berdiri dekat gerbang kantor Pak Dunan setelah membuka pintu gerbang. Biasanya pukul Sembilan malam gerbang kantor itu telah ditutup. Kalau gerbang ditutup dari balik batang-batang besi pa
Lena masuk ke ruangan Jayadi setelah mengetuk pintu. Jayadi sedang sibuk menerima telepon dari seorang kolega bisnis. Lena duduk menunggu sambil melihat pesan masuk di handphone. Jayadi berdiri dari tempat duduknya sambil terus menerima telepon. Sekitar sepuluh menit Jayadi menerima telepon.“Mereka menawarkan kita joint dengan memakai investor luar,” kata Jayadi pada Lena setelah ia duduk kembali.“Terus bagaimana rencananya, Pak?”“Kita pelajari dulu. Kalau ada untung yang lumayan bisa kita kerjasamakan. Kerjasama tiga pihak,” kata Jayadi sambil mengalihkan pandangannya pada Lena.“Kalau jadi itu sebuah proyek yang sangat fantastis, Pak.” Lena tersenyum.“Iya, tapi bagi kita pebisnis tak ada gunanya proyek besar tanpa keuntungan yang jelas,” kata Jayadi.“Benar juga, Pak,” tanggap Lena tersenyum pada bosnya itu.Sejenak Jayadi menghela nafas. “Bikinkan saya kopi!” kata Jayadi sambil mengusap rambutnya.“Wika bawa draf proposal kemaren ke ruangan Big Bos. Bawa saja pakai laptop mu! S