Natasya tak menyangka saat ini dia berada di sebuah kamar hotel mewah. Beberapa kali dia mengitari ruang kamar dan memandangi seluruh isi kamar hotel. Ia berdiri di dekat jendela kaca yang lebar dan memandang gedung-gedung tinggi. Gerimis turun dari atas langit kota sore itu. Natasya melihat jejak gerimis itu menyentuh jendela kaca. Rasa kagum dan kegembiraan yang tak pernah terbayangkan kini memenuhi jiwanya. Bel berbunyi, Natasya mengintip dari lubang di pintu. Dadanya berdebar kencang. Jayadi masuk setelah pintu dibukakan Natasya. Wangi parfum Jayadi seperti biasa menggoyangkan saraf Natasya.
"Kamu sudah mandi?" Jayadi bertanya sambil menghempaskan pantatnya di sofa panjang yang ada dekat jendela. "Belum, sebentar lagi." Natasya menjawab dan kemudian tersenyum. Ia tak berani terlalu lama menatap Jayadi. Perasaan Natasya masih tak menentu bila berada dekat Jayadi. Apalagi saat ini mereka hanya berdua di sebuah kamar hotel. "Kamu nggak mau mandi sekarang?" Jayadi berkata sambil melangkah ke mini bar dan mengambil satu minum kaleng. "Emm, emm, iya." Natasya menjawab dengan ragu-ragu dan perasaan tak menentu. "Nggak usah takut. Aku tak akan ikut mandi kok," kata Jayadi sambil tertawa. Ia kembali ke sofa dan meminum minuman kaleng bersoda yang baru diambilnya. "Hehe, nggak takut kok." Natasya sedikit kaget dengan jawabannya sendiri. Lalu dia tersenyum pada Jayadi. Jayadi membalas senyuman Natasya. "Ya udah sana mandi biar segar." "Iya." Sedikit ragu-ragu Natasya masuk ke kamar mandi yang cukup luas itu. Kamar mandinya memiliki bathup. Wah bisa berendam nih, pikir Natasya. Baru kali ini dia masuk kamar mandi di hotel mewah seperti ini. Jangankan hotel mewah, kamar hotel murah dan sederhanapun hampir tidak pernah dia lihat. Gadis itu kemudian melepas bajunya satu persatu. Ia menggantung pakaian yang habis dicopotnya pada gantungan baju. Tubuhnya terlihat sintal dengan kulit yang relatif putih. Tinggi seratus enam puluh tujuh dan tubuh berukuran sedang tapi padat. Ukuran tubuh perempuan muda yang cukup ideal dan mempesona. Rambutnya hitam lebat dan di bagian kening ada bulu-bulu halus rambut. Ia berdiri di depan cermin melihat tubuhnya sendiri. Natasya melepaskan BH dan celana dalam. Ia menyaksikan tubuhnya secara utuh di dalam cermin besar itu. Natasya tersenyum sendiri dan merasa bahagia dengan seluruh bagian tubuhnya. Ia pegang payudaranya sendiri yang bulat seperti mangga. Ia elus pipinya dan juga mengusap rambutnya dengan jari-jari. Saat ia melihat bagian di antar pahanya terlihat bulu-bulu mengitari vaginanya. Natasya kembali tersenyum dan hanyut dalam perasaan mencintai tubuhnya sendiri. Natasya kini mencoba menghidupkan air shower dan duduk dalam bathtub. Ia belum terbiasa dengan peralatan kamar mandi mewah. Ragu-ragu ia menyetel air panas dan menggenangkan air di bathup. Lalu Natasya memasukan cairan sabun pada genangan air. Perlahan ia merendam tubuh moleknya ke dalam genangan air. Natasya senyum sendiri sambil menikmati sensasi air hangat. *** Jayadi memandangi gerimis yang menyentuh jendela kamar hotel. Sesaat kemudian dia sibuk memainkan handphonenya. Mendengar beberapa lagu barat romantis. Tiba-tiba Jayadi merasakan ada yang ganjil. Sudah hampir satu jam Natasya mandi tapi belum selesai juga. Tak sabar dan sedikit cemas, Jayadi menghampiri pintu kamar mandi. "Natasya! Natasya!" Jayadi coba memanggil tapi Natasya tak menyahut. Suara air keran terdengar samar-samar. Jayadi kembali memanggil dengan suara yang lebih keras. "Natasya! Natasya!" Tak juga ada jawaban. "Natasya! Natasya!" Kali ini Jayadi memanggil disertai dengan ketukan keras di pintu kamar mandi. "Ii, iyaa, bentar." Natasya menyahut. Gadis itu ketiduran sambil berendam. Buru-buru Natasya ke luar dari bathup dan melilitkan handuk di tubuhnya. Ia membuka pintu kamar mandi. Jayadi melihat dengan sedikit cemas. "Eemm, maaf. Aku ketiduran, hehe," kata Natasya. "Uh, bikin cemas saja." Jayadi menggerutu tapi matanya tak lepas dari memandangi wajah dan tubuh Natasya yang hanya ditutupi handuk. Sekilas payudara Natasya yang putih padat menyembul di batas handuk. Darah Jayadi berdesir kencang. Jakunnya naik turun karena ingin memeluk tubuh molek itu. "Maaf, maaf." Natasya meminta maaf sambil tetap senyum. "Iya, udah. Memang sudah selesai mandinya?" "Sudah." Natasya melewati Jayadi yang masih melongo di depan pintu kamar mandi. Bau harum tubuh dan rambut Natasya seusai mandi menggelitik saraf Jayadi. "Kamu bisa pakai pakaian yang kita beli dibutik tadi. "Iya, eem, iya tapi kamu mau kan keluar dulu?" Natasya berkata sambil menggeser posisi berdirinya ke arah sudut kamar yang agak gelap. Mendengar perkataan Natasya, timbul pikiran iseng Jayadi. "Nggak, aku mau di sini saja. Kan aku nggak melakukan apa-apa dan tak mengganggumu." Jayadi senyum-senyum sambil menaikkan kakinya ke atas sofa. Ia meneguk minum kaleng bersoda lagi. "Eem, berarti aku nggak berpakaian dong." Natasya mulai sebel dengan ulah Jayadi. "Ya udah, aku tengkurap di sofa ini saja, membelakangimu." Jayadi merasa geli dengan ide nakalnya mempermainkan Natasya. "Iya deh, eem, tapi janji ya nggak ngintip." Natasya mulai merasa sedikit nyaman berada di dekat laki-laki yang mulai dikaguminya ini. "Iya janji." Jayadi berkata sambil mengacungkan dua jarinya sebagai tanda akan menepati janjinya. Jayadi kemudian mengambil bantal yang ada di sofa kecil dan kemudian membenamkan wajahnya pada bantal sambil telungkup. Ia merasa geli sendiri. Ingin rasanya dia mengintip tubuh molek kesayangannya itu. Dengan sigap Natasya memakai pakaian dalam dan kemudian memasang gaun yang tadi dibelinya di butik bersama Jayadi. Hampir setengah hari Jayadi mengajak Natasya sophing di mall dan makan di restoran mewah. Gadis itu betul-betul merasa jadi ratu seharian ini. Ini hari Sabtu yang sungguh sangat indah dan membahagiakan bagi Natasya. Tidak hanya pakaian namun sepatu juga dibelikan Jayadi. Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang mereka lakukan pada hari ini. *** Dua hari yang lalu saat Natasya mengantar mie ayam ke ruangan Jayadi mereka janji bepergian berdua. Tiba-tiba timbul pikiran Jayadi untuk menghibur gadis itu yang kian murung karena sakit bapaknya yang tambah parah. "Kamu mau ikut denganku hari Sabtu?" tanya Jayadi sambil mengamati wajah Natasya yang muram. "Kemana, Pak?" tanya Natasya dengan perasaan sungkan. "Pokoknya ikut saya kemana saja. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Bilang sama ibumu, mau ketemu teman saja." "Emm, baik Pak." Natasya menjawab dengan sedikit malu-malu. "Nanti kamu saya jemput di jalan depan gang menuju rumah kontrakan kalian. Kan di pinggir jalan itu ada mini market?" "Iya Pak. Kok bapak sudah tau tempat tinggal kami." Natasya merasa heran, Jayadi bahkan sudah tahu rumah kontrakan keluarga Natasya. "Iya dong. Aku kan memang pintar. Haha." Jayadi merasa senang dengan perkataannya pada Natasya. Sesuai janji dua hari yang lalu mereka bertemu dan Natasya tak menyangka Jayadi akan melakukan hal ini padanya. Seumur hidup belum pernah dia belanja pakaian-pakaian bagus dan mahal seperti ini. Begitu juga sepatu bermerek yang mungkin hanya jadi hayalan saja bagi Natasya. Sebelum pergi ke hotel Jayadi juga telah mengajak Natasya makan di restoran mahal yang sebagian besar makanannya belum pernah dicicipi Natasya. Jayadi masih saja membenamkan kepalanya sampai dia mendengar suara Natasya. "Aku sudah selesai berpakaian, kamu boleh buka mata." Natasya sudah tidak lagi memanggil dengan sebutan pak atau bapak pada Jayadi. Hal itu atas permintaan Jayadi tadi. Jayadi meminta pada Natasya, kalau mereka hanya berduaan, Natasya tidak diperbolehkan memanggil Pak atau Bapak. Kecuali sedang berada di kantor perusahaan Jayadi. Natasya hanya boleh memanggil Jayadi dengan sebutan Mas atau kamu saja. "Duh cantiknya!" Jayadi berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melototkan matanya pada Natasya. Natasya duduk di depan kaca sambil menyisir rambutnya yang hitam tebal dan sedikit bergelombang. Natasya hanya tersenyum mendengar sanjungan Jayadi. "Duh aku lupa mencopot merek baju ini!" kata Natasya sambil meraba-raba merek baju yang masih terpasang di leher bagian belakang. "Mau dibantu nggak lepaskan mereknya?" Jayadi dengan penuh semangat sambil merayu. Natasya hanya mengangguk mendengar pertanyaan Jayadi. Jayadi berdiri dan melangkah ke belakang Natasya. Debar jantungnya mulai meningkat saat mendekati Natasya. Apalagi saat berada persis di belakang Natasya. Harum tubuh dan rambut gadis itu mulai menyihir kesadaran Jayadi. Ia melihat wajah gadis itu dan wajahnya sendiri dalam posisi berdekatan di dalam cermin. Ia mulai memegang merek baju itu tapi matanya tak lepas dari memandangi tengkuk Natasya yang putih menggoda. Ada hasrat yang sangat sulit dibendung Jayadi. Ia ingin memeluk dan menciumi rambut Natasya. Natasya pura-pura tak memandang wajah Jayadi di depan cermin. Perasaan Natasya juga sudah tidak menentu. Namun insting perempuan Natasya membuatnya terlihat lebih tenang dan bisa mengendalikan perasaan dan hasrat seksual yang juga mulai merasuki. Saat berusaha mencopot merek gaun yang dipakai Natasya, jari-jari tangan Jayadi menyentuh kulit leher dan rambut Natasya.Seorang staf HRD di kantor Pak Dunan bernama Meli menghubungi Natasya.“Hallo Mbak, bisa datang ke kantor besok?”“Baik, Mbak. Besok pagi saya datang,” jawab Natasya ketika menerima telepon siang itu.***Pukul sepuluh pagi Natasya sudah datang di kantor Pak Dunan. Ia datang sendirian naik motor ojek online.“Pagi Pak,” sapa Natasya pada Sapuro.Sapuro tersenyum pada Natasya. “Pagi, Mbak. Mbak yang datang dua hari yang lalu ya?”“Iya, Pak. Kemaren saya ditelepon sama Mbak Meli dari bagian HRD. Katanya disuruh datang hari ini ke sini, Pak.”“Oh, Iya. Mari langsung ke bagian HRD saja, saya antarkan,” kata Satpam itu sambil melangkah menaiki tangga. Natasya mengikutinya dari belakang.Saat sampai di ruangan HRD di lantai dua, Sapuro mengetuk pintu ruangan itu. Seorang gadis membukakan pintu.“Mbak, Meli, ini orangnya sudah datang.” Selesai mengantar Natasya ke ruangan HRD, Sapuro kembali turun ke lantai satu.“Mbak Natasya ya?” tanya Meli pada Natasya. Dalam hati Meli merasa heran, kok g
Natasya dan Wika sampai di kantor Pak Dunan. Mereka melapor di pos satpam. Satpamnya seorang lelaki bermata agak sipit dengan usia sekitar empat puluhan. Tubuhnya terlihat sedikit kurus namun tulang-tulangnya terlihat kuat dan kokoh. Satpam itu memiliki tinggi lebih dari seratus puluh lima centi meter. Rambutnya lurus dan kelihatannya biasa menggunakan minyak rambut. Di plank nama bajunya tertulis Sapuro.“Pagi, Mbak,” sapa Sapuro para Natasya dan Wika.“Pagi, Pak,” Wika menjawab sapaannya.“Ada keperluan apa, Mbak? Tolong diisi dulu buku tamunya,” lanjut Sapuro dengan tersenyum. Saat senyum terlihat giginya agak jarang-jarang.“Baik, Pak.” Natasya dan Wika mengisi buku tamu kantor itu.“Saya mau mengantarkan lamaran pekerjaan Pak. Untuk jadi cleaning service,” kata Natasya.Sejenak Sapuro terdiam. Dia agak heran, tumben ada seorang gadis cantik melamar jadi cleaning service. Dalam hati Sapuro, gadis ini malah ada wajah blasterannya. Sepertinya salah satu orang tua gadis ini berasal d
Hari Minggu ke dua bulan Juli, Eline sedang duduk minum teh di beranda lantai dua rumahnya. Eline baru pulang dari Amerika tiga hari yang lalu. Tini membawa secangkir teh beraroma melati dan dua potong roti bakar untuk Eline. Handphone Eline yang diletakkannya di atas meja berbunyi. Bu Sudarmaji menelpon Eline."Hallo Tante.""Kamu dimana?" tanya Bu Sudarmaji."Lagi d rumah, Tante." Bu Sudarmaji sudah tahu Eline telah pulang dari Amerika. Evan suami Eline masih di sana menyelesaikan kuliah doktoralnya."Kamu nggak ada rencana ke luar rumah? Pergi jalan-jalan gitu?""Belum ada, Tante.""Oke sekitar dua jam lagi aku ke rumahmu. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke salon atau shoping?""Terserah Tante saja.""Oke, sebentar lagi aku hubungi Sri Astuti dan Lisa, siapa tahu mereka ingin ikut bersama kita.""Oke, Tante."Selesai Bu Sudarmaji menelpon, tiba-tiba terpikir oleh Eline untuk meminta laporan dari Jolien dan Miranda. Ia segera menghubungi ke dua anak buahnya itu."Hallo, kamu dima
Kedua sahabat itu bertemu kembali di kafe tempat mereka biasa nongkrong.“Hai Nona cantik. Terlihat lebih segar sekarang,” kata Wika saat ia melihat Natasya telah ada di kafe itu lebih dulu. Wika duduk di hadapan Natasya dan memperhatikan wajah sahabatnya. Seakan Natasya lepas dari satu beban yang selama ini menghimpitnya.“Ah itu perasaanmu saja Nona. Aku seperti biasa saja kok,” tanggap Natasya sambil tersenyum. “Bagaimana kabarmu beberapa hari ini?” lanjut Natasya.“Eh, kesepian. Aku kehilangan seorang sahabat tempat curhat. Ada saat-saatnya aku ingin mencurahkan kegelisahan hatiku. Beberapa waktu yang lalu, aku punya itu di dekatku.” Wika berbicara panjang disertai helaan nafas dan ekspresi wajah yang sedikit muram.“Ah kan sahabatmu itu selalu siap sedia, walau sekarang dia tak satu kantor lagi denganmu,” kata Natasya sambil tersenyum dan memandang mata Wika. “Eh, sebelum kita lanjut. Kamu mau pesan minum apa? Aku sudah pesan minum tadi duluan, tapi belum diantar juga sih,” lanju
Lena dan Wika sampai di kantor Pak Dunan sudah pukul delapan belas lewat tiga puluh.“Hai, apa kabar Mbak Lena?” sapa Talisa saat melihat kedatangan Lena dan Wika.“Kabar baik, Mbak Talisa gimana kabarnya?”“Baik juga.”Keduanya saling cium pipi kiri dan kanan.“Ada apa ya, Mbak? Tiba-tiba ingin ketemu?” kata Talisa sambil mempersilahkan Bu Lena dan Wika duduk di sofa ruang tamunya. Talisa memiliki ruangan khusus untuk para tamu. Ia merupakan direktur bagian perencanaan dan anggaran di perusahaan Pak Dunan.“Yang jelas kali ini bukan urusan proyek, Mbak,” kata Bu Lena sambil tersenyum.“Sebentar, Mbak Lena mau minum apa? Kopi instan? teh melati atau yang lainnya?” Talisa menawarkan minuman pada Lena dan Wika.“Terserah Mbak Talisa saja deh,” jawab Lena.“Kalau begitu teh saja ya,” kata Mbak Talisa sambil tersenyum. “Mita bikin teh untuk tamu kita!” kata Talisa pada salah seorang staf yang ada di ruangannya.“Baik, Bu,” jawab staf cewek yang bernama Mita. Mita kemudian keluar dari ruan
Bu Lena memarkir mobilnya di restoran yang sudah jadi langganannya. Petugas parkir membantu Bu Lena mencarikan tempat parkir yang masih kosong. Restoran memang tidak terlalu ramai sore itu. Bu Lena dan Wika keluar dari mobil dan melangkah ke arah restoran.“Kita duduk di lesehan yang ada gazebo di belakang itu!” kata Bu Lena pada Natasya. Kebetulan tempat duduk yang selalu jadi favorit Bu Lena itu masih kosong.“Baik, Bu.” Wika melangkah mengikuti Bu Lena. Bu Lena merasa nyaman kalau harus berbicara hal-hal yang bersifat rahasia di restoran ini. Apalagi tempat duduk lesehan yang terdiri dari gazebo-gazebo itu letaknya terpisah-pisah. Jadi kalau berbicara hal yang rahasia atau sensitif tidak akan terdengar pengunjung lain. Suara bising pelayan dan peralatan makan juga tak terlalu berisik seperti di ruangan utama.Sesaat setelah mereka duduk dan mencatat menu yang hendak dipesan, seorang pelayan restoran menghampiri.“Kamu ada tambahan pesanan lainya?” tanya Bu Lena pada Wika.“Emm, say