Jayadi gelisah dari tadi. Ia duduk di pinggir meja kerjanya. Bahkan kakinya dengan sepatu hitam mengkilap itu diinjakkannya di kursi eksekutif yang biasa dia duduki.
"Masuk!" perintah Jayadi setelah mendengar Lena mengetuk pintu ruangannya. Ia segera pindah duduk ke kursi. Lena masuk dan segera duduk pada kursi di hadapan Jayadi. "Kita janji presentasinya pukul dua siang ini, Pak." Lena berbicara sambil meletakan laptop yang dibawanya di hadapan Jayadi. Ia mulai membuka laptop sambil menelpon Wika. "Wika, ajak Bayu, Miratsih, Pak Sutono, Mas Agung, Pak Gede dan Reina ke ruangan Pak Jayadi sekarang ya!" "Baik, Bu," Wika menjawab perintah Lena yang menelponnya dengan nada tergesa. "Jangan lupa bawa infocus ya!" Lena membuka laptop dan mulai mencari file yang akan ditampilkannya sebelum presentasi tender pukul dua. Wajah Lena terlihat serius. Tangan kirinya memegang handphone dan tangan kanannya memainkan keypad laptop. Ia menelpon beberapa orang yang akan jadi tim presentasi siang ini. Jayadi kini berusaha menyembunyikan kegalauannya. Ia gelisah bukan karena sebentar lagi akan presentasi di depan tim kementrian. Ia gelisah memikirkan gadis penjual mie ayam yang hari ini tak bisa bertemu dengannya. Ia melangkah ke arah jendela dan membiarkan Lena dengan kesibukannya. Dari ketinggian lantai sepuluh kantornya, Jayadi melihat' ke arah warung mie ayam Bu Masna. Terlihat kesibukan di warung mie ayam itu melayani pembeli jelang siang ini. "Kita makan siangnya bersama tim dari kementerian itu, Pak." Lena berbicara sambil terus bekerja dengan laptopnya. Jayadi mendengar tapi ia tak memberi jawaban apa-apa. Wika mengetuk pintu dan beberapa orang yang akan jadi tim lobi dan presentasi masuk ruang Jayadi. Jayadi kembali duduk di kursinya. Mereka mengadakan meeting mendadak untuk cek kesiapan presentasi. Wika dan Bayu sibuk menyambungkan infocus ke laptop milik Lena. "Oke, kita mulai!" kata Lena sambil menunjuk file dan bahan powerpoint yang sudah muncul di layar infocus. Semua fokus memperhatikan presentasi Lena. Jayadi duduk dengan berwibawa di kursinya sambil sesekali manggut-manggut. Sesaat kemudian semua tim terlibat diskusi dan pembicaraan. Saat mereka sedang fokus, tanpa diketahui semua anak buahnya, Jayadi diam-diam mengamati foto Natasya di layar handphonennya. Jayadi dikejutkan oleh Lena yang kemudian meminta Jayadi memberikan arahan dan menutup meeting siang ini. "Oke, bagus! Semua oke dan kita siap presentasi!" Jayadi kembali bersemangat dengan skuad andalannya yang membuatnya selalu optimis. Selain presentasi ini, Jayadi juga sudah menyiapkan tim lobi bayangan. Setelah suara Jayadi dengan penuh semangat menutup pertemuan itu, semuanya bertepuk tangan dan berseru, "Sukseess!". Semua peserta pertemuan kecil di ruangan Jayadi kembali ke ruangan kerja masing-masing. Mereka bersiap-siap untuk pertemuan serta presentasi dan sekaligus makan siang. Lena, masih membereskan laptopnya yang habis digunakan presentasi. "Saya izin dulu ke ruangan saya Pak." "Oke, kita ketemu di lobi setengah jam lagi." Jayadi menanggapi Lena sambil melihat jam tangan mewah di tangannya. "Baik, siap Pak." Lena bergegas pergi sambil menenteng laptop. Sesaat setelah Lena ke luar dari pintu, Jayadi tak tahan ingin melihat ke warung mie ayam Bu Masna. Ia berdiri di jendela kaca dan mengamati keadaan di warung mie ayam pinggir jalan itu. Posisi warung mie ayam Bu Masna berada di seberang jalan depan kantor perusahaan ini. Jayadi mencoba memperhatikan lebih cermat orang-orang di warung mie ayam Bu Masna. Dalam jarak lima puluh sampai enam puluh meter ini, samar-samar Jayadi hampir bisa melihat wajah-wajah orang-orang yang ada di sana. Jayadi melihat wajah Bu Masna dan Nela yang sedang sibuk. Jayadi coba mengamati lagi, namun dia tak melihat Natasya di sana. Jantung Jayadi mulai berdebar sedikit cemas. Apa terjadi sesuatu dengan gadis itu sehingga dia tak membantu ibunya hari ini. Apa Natasya sakit, pikir Jayadi. Atau mungkin dia jadi tidak fit dan kurang sehat karena peristiwa tidak mengenakan yang terjadi antara dia dan Jayadi kemaren. Jayadi jadi gelisah memikirkan gadis kesayangannya. Ia menyesal dengan kejadian kemaren. Sialan! maki Jayadi pada dirinya sendiri. Lelaki bodoh, tak bisa mengendalikan diri. Ia mengomeli dirinya sendiri. Jayadi melangkah ke arah pojok ruangan yang agak menjorok. Di sana, Lena sengaja memasang cermin besar untuk keperluan bosnya pada saat-saat dibutuhkan. Di dekat itu, Lena juga meletakkan sebuah lemari pakaian untuk beberapa stel jas, celana, kemeja dan dasi untuk cadangan kalau-kalau diperlukan Jayadi. Jayadi menatap wajahnya dalam cermin. Ia mengurut kepala dan meremas-remas rambutnya. Tiba-tiba terlintas lagi detil kejadian antara dia dan Natasya kemaren. Lama-lama kejadian itu kian terasa memalukan dan menimbulkan rasa bersalah dalam dirinya. Jangan-jangan Natasya merasa dilecehkan dengan perlakuan Jayadi kemaren. Walaupun Natasya hanya gadis lugu anak penjual mie ayam, tapi harga dirinya sebagai perempuan bisa saja terluka. Ah, sialan! makinya lagi pada bayangan dirinya di depan cermin. Jayadi dikejutkan oleh dering salah satu handphonenya di atas meja. Lena menghubungi Jayadi karena Jayadi belum juga sampai di lobi. "Kami sudah standbay di lobi, Pak. Siap berangkat." "Iya, oke, Saya turun ke lobi." Jayadi memasukan ke dua handphonenya ke dalam dompet besar yang biasa dibawanya. Ia bergegas menuju lobi. *** Pagi ini, saat Jayadi menuju kantor, dia melihat Natasya sudah ikut membantu Bu Masna kembali. Jayadi hanya mengamati gadis itu dari balik kaca mobil. Darahnya selalu berdesir setiap melihat kesayangannya itu. Wajah Natasya terlihat murung dan seperti kehilangan gairah hidup. Melihat wajah gadis itu, hati Jayadi terenyuh. Sampai dalam ruangan kerjanya, Jayadi tak tahan ingin melihat ke arah warung Bu Masna. Tak berapa lama kemudian dia menelepon Lena. "Suruh Wika ke ruangan saya." "Baik, Pak." Lena mengedipkan mata pada Wika yang kebetulan sedang berada di hadapan Lena. Wika yang sudah mendengar pembicaraan Jayadi dengan Lena, segera bergegas ke ruangan Jayadi. "Masuk!" perintah Jayadi pada Wika yang terdengar mengetuk pintu. "Iya, Pak. Apa yang harus saya kerjakan?" Wika duduk di salah satu kursi yang ada pada meja makan di ruangan Jayadi. "Kamu pesankan mie ayam. Terus ajak Natasya ke sini, saya ada perlu dengannya." "Baik Pak." Wika bergegas pergi namun singgah dulu di ruangan kasir meminta uang. "Hai!" Wika menyapa Natasya saat sampai di warung Bu Masna. "Hai." Natasya menyahuti Wika dengan nada suara lesu dan tak seperti biasa. "Ada apa? Kok murung Bu Asisten Pribadi Big Bos." Wika coba bercanda seperti biasa. "Bapakku sakit." Natasya berkata sambil meletakan mangkok pesanan mie ayam untuk seseorang yang baru belanja. "Emm, maaf ya, semoga bapak lekas sembuh," kata Wika dengan perasaan bersalah "Iya tak apa," tanggap Natasya. "Big Bos, suruh beli mie ayam. Tapi dia memintaku mengajak kamu ke sana." Wika bicara setengah berbisik pada Natasya. "Iya, nanti aku ke sana. Ini ada 4 pesanan yang akan dibungkus terlebih dahulu. Biar aku yang bawa mie ayamnya ke sana" Natasya berbicara sambil terus membungkus empat porsi mie ayam. "Berarti aku duluan balik ke kantor ya?" Wika memberikan uang pada Natasya. "Iya, oke." Setelah membungkus mie ayam empat porsi serta mie ayam untuk Jayadi, Natasya pamit pada ibunya. "Bu, aku mau antar pesanan mie ayam Pak Jayadi." "Iya," jawab Bu Masna sambil sibuk mengangkat mangkok-mangkok yang sudah kosong. Natasya bergegas di saat matahari siang menyengat bumi. Lena tersenyum saat melihat Natasya. Lena sudah benar-benar yakin bahwa Jayadi memang sangat tertarik dengan gadis ini. Natasya mengetuk pintu ruangan Jayadi. "Masuk!" Jayadi menatap Natasya yang berwajah murung. "Kemaren kamu kok nggak kelihatan?" Jayadi menggulung lengan bajunya. Wika dan Dina mengetuk pintu. Mereka membawa mangkok dan secangkir kopi seperti biasa. "Bapak saya sakit, Pak. Jadi saya menemani dan mengantarnya ke rumah sakit." Natasya berbicara sambil memindahkan mie ayam ke dalam mangkok. Wika dan Dina telah meninggalkan ruangan Jayadi. "Sakit apa?" Jayadi bertanya sambil mulai menyantap mie ayam. "Belum tau, Pak. Kemaren dokter suruh bapak untuk cek darah dan juga ronsen. Supaya bisa diperiksa di labor." Natasya melihat sekilas wajah Jayadi yang sedang menyantap mie ayam. "Kamu nggak marah sama saya?" Jayadi menatap mata gadis itu. Ia menyelidiki di wajah polos tapi cantik itu kalau-kalau terselip kemarahan padanya. "Tidak, Pak." Natasya menjawab dengan tetap menekurkan kepalanya. "Benar tidak marah?" Jayadi seakan ragu dengan jawaban Natasya. "Iya Pak, saya tidak marah." Natasya hanya menekurkan kepala. Ia kembali teringat wajah bapaknya yang belakangan sering menahan sakit. Tiba-tiba Natasya terisak. Lalu butiran air mata jatuh perlahan dari pipinya. Jayadi melihat itu, tapi dia tak ingin lagi kehilangan kendali dengan gejolak emosi karena rasa iba pada Natasya. Ia hanya mengambil tisu dan meletakkannya di hadapan Natasya. Ia mengambil beberapa lembar tisu. ",Lap air matanya." Jayadi memberikan lembaran tisu itu pada Natasya. " "Jayadi bukannya tambah takut, malah tambah antusias ingin membeli fila ini. Ada sesuatu yang terus mendorong Jayadi untuk benar-benar membelinya. Secara letak memang bagus. Letaknya agak tinggi dan agak dekat ke pantai. Pemandangan lepas ke arah pantai, membuat fila ini makin menarik minat Jayadi."Saya sendiri belum pernah sih lihat yang begituan di fila ini, Mas. Tapi kalau di Bandung pernah saya alami peristiwa kayak gitu. Ih serem pokoknya, Mas.""Hehe.""Eh, si Mas malah tertawa." "Saya juga merasa serem kalau ada cerita gituan, Pak." Jayadi tersenyum. Hari sudah mulai senja. Matahari sudah tenggelam di laut. Angin meniup daun-daun yang ada di atap fila."Terus, gimana ya, cara saya bisa membeli fila ini? Saya suka lokasinya Pak.""Mas, masih tertarik?" Pak Asep merasa heran dengan Jayadi yang masih saja berminat membeli fila itu."Ya, saya berminat kok, Pak. Soal cerita itu nanti kita pikirkan." Sebagai seorang kontraktor dan bisnisman hal begitu bukan lagi halangan bagi Jayadi
Jayadi sangat tertarik dengan bentuk fila kosong itu. Saat Lisa dan Meri istirahat sore hari setelah wawancara dengan beberapa warga, Jayadi tak tahan ingin melihat fila itu bersama Pak Asep."Pak Asep, temani saya melihat fila yang tadi, yuk.""Baik, Mas." "Mbak Lisa dan Mbak Meri nggak kita ajak?""Nggak usah, biar saja mereka istirahat.”"Baik, Mas." Pak Asep menghidupkan mesin mobil. Jayadi mengetuk pintu kamar Lisa dan Meri. Lisa membuka pintu. Rambutnya awut-awutan tapi tetap cantik. Ya, Lisa memang cantik. Selalu terlihat cantik. Jayadi pun heran entah mengapa dia tidak tertarik secara total pada Lisa. Iya lebih merasakan Lisa seperti adik perempuan yang disayanginya."Kalian, tak tinggal dulu ya, istirahat saja. Aku mau keliling sama Pak Asep lihat-lihat sekitar desa wisata ini. Siapa tahu ada peluang bisnis yang bisa dikembangkan di sini.""Oke, pangeran ganteng, hati-hati." Lisa tersenyum manis. Terkadang Jayadi sudah serasa suaminya saja. Setiap memandang wajah tampan itu
Jayadi ngobrol sampai hampir pukul dua belas malam dengan Pak Asep. Kebetulan cuaca cukup cerah. Langit berbintang menyinari permukaan laut. Angin bertiup menyejukkan. "Untung Mas ke sini saat cuaca cukup bagus. Terkadang di sini bisa saja ada badai loh Mas." "Oh, gitu ya. Tapi sekarang cuaca sangat bagus." Jayadi menghisap rokok dan mengepulkan asapnya. Jayadi sedikit batuk-batuk karena dia hanya sesekali merokok. "Iya Mas. Namanya juga desa tepi pantai. Kalau penduduk di sini sudah terbiasa, hehe." "Kelihatannya desa yang satu lagi agak ramai ya didatangi wisatawan?" "Benar Mas, kalau di sana memang pantainya dijadikan tempat libur akhir pekan wisatawan lokal. Apalagi ini libur panjang." "Iya ya. Kalau di sini agak sepi ya?" "Iya Mas, kalau di sini karena agak dekat bukit kecil jadi lebih banyak orang membangun fila dan cotegge. Di sini pemandangannya yang lebih indah. Eksotis kata bule dan orang-orang kaya yang buat filla di sini." "Iya, ya." Jayadi manggut-manggut. Ia mu
Jayadi hanya mendengar pembicaraan Lisa, Meri, Kepala Desa dan Pak Asep. Ia malah teringat Natasya. Jayadi sedang melamun saat bersama dengan Natasya di sebuah kamar hotel. Hampir saja waktu itu dia dan Natasya kehilangan kendali. Gairah Jayadi betul-betul hampir tak tertahankan. Untung saja Natasya punya benteng pertahanan yang kuat. Ya, hampir kebobolan, itulah situasinya. Natasya dengan lembut menenangkan gejolak seksual Jayadi. Dia mengelus-elus rambut Jayadi seperti anak kecil. Natasya mengajak Jayadi pergi jalan-jalan. Akhirnya Jayadi tidak jadi ikut menginap di hotel itu. Bayangkan kalau kebobolan dan Natasya hamil. Bisa heboh Mamanya dan keluarga besar Sudarmaji. Sejagat raya pun bisa heboh. "Hai, bengong saja, kita pergi ke cottage dan istirahat." Lisa menyadarkan Jayadi dari lamunannya. Lisa memegang tangan Jayadi seakan membimbing anaknya kembali ke mobil."Iya deh, Pak. Sampai jumpa besok pagi." Meri mengakhiri pertemuan awal mereka dengan kepala desa jelang senja itu. I
"Nah kita sudah hampir sampai, Mbak. Paling sekitar beberapa menit lagi sampai" Pak Asep menunjuk arah desa yang akan mereka tuju. Sebuah desa di pinggir pantai. Mereka telah melewati beberapa desa nelayan dan kini mereka lebih banyak melihat pemandangan berupa pohon kelapa, semak belukar dan pohon-pohon bakau di pinggir pantai. Nampaknya desa yang mereka tuju agak terisolir letaknya. Lisa samar-samar mendengar suara Pak Asep karena mulai terbangun dari tidurnya. "Oh iya ya?" Lisa menanggapi Pak Asep. Meri dan Lisa memandangi pemandangan pantai yang masih banyak ditumbuhi pohon kelapa. "Kamu belum pernah ke seni Mer?" "Belum," jawab Meri sambil celingak-celinguk memperhatikan pemandangan sepanjang jalan."Ah, percuma saja kamu kuliah di Bandung. Anak pencinta alam lagi," kata Lisa dengan nada mengejek."Anak Mapala lebih banyak ke gunung tau!" Meri membalas ejekan Lisa dengan nada singit."Sekitar tiga kilo lagi kita sampai di desa itu," terang Pak Asep pada Lisa dan Meri."Pangeranm
Jayadi merasa dijebak oleh mamanya sendiri. Ia harus menemani Lisa mencari data untuk penelitiannya di desa di daerah Jawa Barat. Masih terngiang di pikiran Jayadi, kemaren mamanya ngotot memaksa Jayadi yang menemani Lisa cari data untuk penelitian tugas akhirnya. Lisa sudah tahu tempat yang akan dikunjunginya, sebuah desa wisata pinggir pantai. Ia ingin mencari data tentang kehidupan sosial masyarakat di sana. "Mulai besok kan libur panjang tu. Hari Senin dan Selasa tanggal merah. Kamu temani Lisa cari data penelitiannya ke desa." "Tapi Ma, ada hal yang harus saya kerjakan walaupun tanggal merah." "Udah, hari Selasa malam kan udah sampai lagi di sini. Rabu saja dikerjakan." Dengan perasaan gondok, Jayadi terpaksa melaksanakan perintah Bu Sudarmaji. *** Lisa memandang Jayadi dengan senyum manis dalam kereta menuju Bandung. "Kenapa kita harus naik kereta sih? Kenapa nggak bawa mobil sendiri saja? Kitakan bisa bawa Pak Mardi atau Pak Kosim nyetir mobil. Atau aku bisa aj
"Hari ini, Lisa mau datang ke rumah, Pa." Bu Sudarmaji mengatakan itu pada Pak Sudarmaji yang sedang tiduran di kasur. Pak Sudarmaji membaca berita-berita di layar handphonennya. "Oh, iya Ma. Bagus deh. Dia belum balik ke Amerika?" "Belum, lagian dia akan lebih banyak di Indonesia. Dia kan lagi sedang penelitian untuk tugas akhir kuliahnya." Bu Sudarmaji memakai kosmetik di depan cermin besar di kamarnya. "Oo, gitu toh." "Iya, Pa. Nanti siang dia mau nemenin Mama ke tempat Mbak Aliya. Aku sama Lisa mau lihat cucu Mbak Aliya yang baru lahir kemarin. Itu tu Pa, anaknya Zaky putranya Mbak Aliya. Papa kan tahu Zaky kan?" "Tahu dong, kan udah sering ketemu. Oh, udah melahirkan istrinya Zaky ya." "Udah, Pa. Kemaren pagi melahirkannya kata Mbak Aliya. Saya dan Lisa di supermarket dulu beli kado." "Ya titip salam buat Mbak Aliya dan Mas Sartono." "Ya, nanti kusampaikan." Suara Lisa sudah terdengar masuk ke dalam rumah. "Bu, Non Lisanya sudah datang." Terdengar suara Bik S
Pagi-pagi Natasya sudah datang ke kantor. Ia telah berpakaian warna abu-abu seragam cleaning service di perusahaan milik Jayadi. Ia mulai menyapu dan mengepel di area lantai dua dan tiga gedung itu. Lena telah berpesan pada Bu Niar koordinator cleaning service agar menempatkan Natasya di lantai dua dan tiga. Lena dan Wika telah mengkaji itu, agar Natasya jarang bertemu dengan Jayadi. Biasanya Jayadi dari lobi langsung naik lift ke lantai sepuluh tempat ruangan kerjanya berada. "Hai!" Wika menyapa Natasya saat dia mau masuk ruangan kerjanya. Ruangan Wika bersama beberapa staf lainnya berada di lantai tiga. "Hai juga!" Natasya tersenyum pada Wika. "Terimakasih atas bantuannya." "Sama-sama," jawab Wika sambil tersenyum. Wika merasa lega telah membantu meringankan beban Natasya. Terlihat Natasya cukup pandai menempatkan diri. Dia lebih suka banyak bekerja dan menghindari ngobrol dengan orang-orang. Wika memang diperintahkan Bu Lena untuk mengawasi dan menjaga Natasya. "Ingat tak
Wika memutuskan bicara dengan Lena setelah bertemu Natasya. Ia minta bertemu Lena malam hari di sebuah kafe. Keduanya langsung berangkat dari kantor. Kebetulan tadi mereka juga lagi banyak kerjaan, jadi pulangnya sudah hampir magrib. Sebagian karyawan ada yang juga harus lembur untuk penyelesaian laporan sebuah proyek di daerah Kalimantan. "Kamu minum, apa?" "Saya minuman yang ini Bu." Wika menunjuk daftar menu yang ada. "Aku minum ini saja deh. Makanannya? Kalau aku, kwetiau, terus ini. Dan juga ini." Lena menulis beberapa daftar makanan di kertas pemesan. "Saya ini saja, dan ini, Bu." Giliran Wika mencatat pesanan makanan untuknya. Wika memberikan kertas daftar pesanan makanan mereka pada pelayanan restoran yang berdiri menunggu. "Apa yang ingin kamu sampaikan? " "Soal Natasya, Bu. Kemaren saya bertemu dengannya." "Ya, ada apa dengan dia?" "Saya kasihan melihatnya, Bu. Ia minta bantuan saya untuk carikan pekerjaan." "Terus gimana?" "Ya saya kan bingung Bu. Saya