|Arga|
Suka cita masyarakat menyambut kami di kerajaan, selepas pulang. Raja Ganendra menggelar pesta sebagai hadiah kemenangan, merayakannya dengan meriah. Semua merasa senang, dan terlihat menikmati perjamuan yang diberikan, Terkecuali aku yang masih berkubang karena kepergiannya.
Kupegang lembut kalung yang tersemat di leherku, berbandul putih berkilauan di bawah cahaya. Ya, itu adalah inti kehidupan Nehan. Sebagai majikan aku akan mendapatkan inti itu ketika hewan peliharaan sudah tiada. Inti kehidupan itu berguna agar aku bisa berubah menjadi sosok Nehan, ke wujud harimau putih.
Nehan ku makamkan di sekitaran riak sungai, agar ia bisa bermain dengan bebas di seluas hamparan. dengan keindahan alam yang masih terjaga.
◇❖❖◇
Tengah malam datang dan pergi, seiring menit demi menit yang berlalu, aku semakin bergerak-gerak gelisah. Tidurku tidak nyeyak, padahal aku Kecapean. Di luar masih gelap ketika aku terjaga, dibangunkan oleh suara gemeresik di ruangan. Aku menegang secara instingtif, siap bertarung.
Aku memicingkan mata ke kegelapan. sebuah sosok seolah mewujud dari tengah-tengah Ruangan, menetes-neteskan kegelapan dan cahaya. Aku mengenali siluet itu sebelum tubuhku sempat bereaksi. Nawang Barawa. Si tinggi ramping tampa ragu-ragu ketika melihatku, sedetik saja, tetapi aku langsung paham.
Nawang menghampiriku, derap langkahnya senyaring guntur di telingaku. Aku mendengar gesekan perak sementara dia mencabut pisau. Pisau berkilat-kilat di tengah kegelapan malam, berpendar merah karena memantulkan cahaya api.
Dia menyeringai kepadaku, wajahnya pucat pasi, sementara dia meraih leherku untuk menarik kepalaku ke belakang. Aku ingin melawannya. Aku seharusnya meraih belati yang masih tersarung di panggulku. Namun, lengan dan kakiku tidak mau bergerak. Detak jantungku bahkan serasa melambat. Aku bahkan tidak bisa menjerit.
Keheningan nan meremukkan berpadu dengan rasa takut sehingga melumpuhkanku. Aku hanya bisa menonton. Bilah pisau menggores kulitku, hampir-hampir membakarku saking dinginnya. Dia memandangiku, rambut coklatnya kelihatan lepek di balik syal yang membebat dahinya. Kalung inti kehidupan Nehan, ia rebut dari leherku.
Hawa dingin merambatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perlahan aku ditutupi bulu-bulu harimau, gigiku bertaring, tangan dan kaki ku ditumbuhi kuku-kuku panjang, kini aku berubah wujud menjadi Harimau putih.
"Ternyata mitos itu benar, jika inti kehidupan hewan peliharaan tidak bersama pemilik aslinya, maka pemilik asli akan berubah wujud sama persis dalam tubuh hewan pemilik inti." Nawang mencomooh, sambil matanya memandangi inti kehidupan Nehan yang berkedip-kedip di terangi cahaya bulan seiring kelap-kelip bintang.
Mendapatkan inti kehidupan dari hewan peliharaan, bagaikan pisau bermata dua bagi para majikan, yakni anugerah dan kutukan. Anugerah, karena bisa mewarisi kekuatan dan wujud si hewan peliharaan, atau kutukan tidak bisa kembali ke wujud manusia kami jika kami kehilangan inti kehidupan itu.
"Groaar." Aku menderu, tubuh harimauku lekas menerjangnya. Aku tidak menyangka, bawahan yang sangat ku percayai sebelumnya, berani menghianatiku.
Nawang dengan santai menghindar, "Sekarang, kau bukan lagi pemimpin pasukan," Senyum mengerikannya merekah.
"Apakah kau tau?!, selama ini aku sudah banyak menderita!." Dia mengusap wajah, menutup mata barang sebentar. Dia menyugar rambut pendeknya yang cepak, kelihatan jengah. Selain itu, dia gusar. Amarah mendidih dalam dirinya, menjadikan mata hijaunya menyala-nyala.
"kau tidak mengerti bagaimana rasanya jabatan yang sangat kuinginkan selama 25 tahun hidupku, Tiba-tiba direbut oleh anak berumur 18 tahun." dia maju selangkah dengan gagah, untuk mendekatiku. Lalu menunduk, Mensejajarkan wajahnya dengan tinggiku "Jika kau ingin menyalahkan seseorang, maka salahkan dirimu yang sangat mudah terjebak dalam perangkap kami."
Aku memelototi pria itu, air mukaku garang. "Pengawal!." panggilnya cepat. Sementara aku memperhatikannya, Nawang bergidik dari ujung jari sampai ke sekujur tubuhnya. Ketakutannya mencekam. Kemudian, dia memaksa diri untuk kembali memandangku. Dia berpijak kuat-kuat sambil berkacak pinggang.
Pengawal datang membawa kandang, seolah sudah dipersiapkan. Mereka merantaiku, Aku merasakan borgol, yang membelenggu leherku, memenjarakanku di balik kandang terkunci.
Aku tidak bisa bernapas.
Aku tidak bisa berpikir.
Aku tidak bisa melawan.
Arga diawasi siang malam tak kurang dari dua belas penjaga, masing-masingselalu awas dan siap siaga di balik jeruji sel. Hanya Arga seorang yang ditahan di sini. Tak seorang pun bicara atau sekedar menyapanya, termasuk para penjaga. Deru pintu besi bergeser di luar bungker. Para prajurit sedang bertukar sif. Kegaduhan merembes ke dalam dari jendela-jendela yang berposisi tinggi di dinding beton. Ruangan ini sejuk, sebagian dibangun di bawah tanah, dan dibelah oleh koridor panjang yang memisahkan dua deret sel berjeruji. Derap langkah kaki mendekat, terdengar bergema dari luar jeruji, Arga lekas memasang posisi siaga, berekspresi garang menampilkan taring-taring nan runcing. Beberapa prajurit berpelindung baju tempur memasuki penjara, "Raja ingin menemuimu." kata salah satu dari mereka terburu-buru. Mereka mengeluarkan Arga dari sel tanpa melepaskan ikatan rantai. Memaksanya berjalan di istana dalam keadaan terantai. Sebagai tawanan. Pu
◇❖❖◇ |Arga|Cahaya matahari yang nampak dari balik jendela sel kian memudar, mulai menyongsong kegelapan menandakan malam kembali.Sudah genap dua hari aku di kurung di balik kandang dingin nan membekukan ini, besok aku akan membantai sukuku sendiri, tempat lahirku, keluargaku. Jika dipiki-pikir, bukankah kelakuanku tidak lebih bejat dari pamanku sendiri, bukankah usaha ayahku akan sia-sia jika anaknya berakhir kelam seperti saudaranya sendiri?. Rasa bersalah terus menghantui ku.Dalam kegelapan nan hampa, aku terus memikirkan Jika bukan karena mereka menculik ibuku, mengancamku dengan ibuku. Aku terus merutuki kebodohan ku yang awalnya ingin mencari Anggrek Berlian untuk menyembuhkan ibuku, malah jatuh terjebak dalam kemunafikan mereka."Makam malam." Seonggok daging memenuhi nampan diselipkan melalui celah sel. Setelahnya prajurit itu berlalu meninggalkan ku kembali bersama kegelapan. Aku kembali meringkuk membenamkan kepalaku,
|Arga| Seiring jam demi jam berlalu, udara seolah membakar paru-paru dan mengeringkan tenggorokanku. Sensasi tersebut hanya disamai oleh ototku yang serasa dijalari api. Ototku yang pegal menjerit-jerit seiring tiap langkah, seiring tiap ayunan kaki ke depan dan ke atas untuk mendaki batu-batu terjal, yang mengarah ke puncak tebing. Udara semakin dingin semakin tinggi aku naik, sedangkan kakiku sesekali terpeleset di tanah licin berselimut kubangan lumpur dan permukaan cadas berkerikil. Meskipun ngilu, aku terus maju. Lautan berombak membentang di hadapanku. Uap air di udara berkondensasi dan jatuh, membasahiku. Kabut disusul oleh hujan, yang menderas dalam sekejap. Bagaikan hujan badai yang tiba-tiba. Aku sudah basah kuyup dalam hitungan detik, di tengah terpaan hujan. Aku menghirup udara dalam-dalam, membiarkan bau tajam hujan berbaur tanah menusuk indraku. Di atas, langit mendung berair menyembunyikan matahari. Seaka
|Arga|"Nak bangun." kurasakan suara yang kelewat lembut, mengusik pendengaranku memaksaku untuk terbangun, mataku menyipit tak kala terkena silauan cahaya mentari pagi. Aku terpaku, nafasku tersengal. Ku pandangi sekitarku, untuk mencari tahu keberadaan nya.Semua tata letak perabotan, lukisan, pahatan terlihat akrab dan nampak sama dengan rumahku. 'Apakah aku kembali ke rumah, Bukankah aku sudah tenggelam di lautan?, tapi siapa yang membawaku pulang?.' Batinku bertanya-tanya. Aku tersadarkan oleh riuhnya suara burung, yang berkicau di bawah langit kebiruan bertabur sinar keemasan.Mataku tertumbuk ke asal suara ramah yang membangunkan ku tadi. Aku mendapati sebuah wajah yang malah lebih ramah lagi. "Ibu?!." Kagetku. "Apa benar ini ibuku?, Nyonya Arjanti Baratajaya?." merasa tak percaya, aku menampar kedua pipiku keras. Aku melenguh tak kala merasakan nyeri di kedua pipiku. Orang yang kuyakini sebagai ibuku terheran-heran, "Ada apa denganmu, nak?. Apakah
Sinar matahari terbit menerangi awan tipis jarang-jarang di langit. Hari ini sepertinya akan cerah. Angin masih bertiup dari Danau, mengacak-acak rambut Arga dengan lembut. Wangi air danau yang basah menggelitik indra pembau, membawa kesegaran hijau musim panas.Arga tengah menyusuri jalanan desa bersama Nehan. Kakinya mengarahkannya menuju jalanan setapak yang sudah sangat di ingatnya. Rumah-rumah keluarga yang sudah hafal di luar kepala menyembul dari balik dinding, jendela-jendelanya dibuka untuk mengalirkan udara pagi ke dalam.Di tiap rumah, panji-panji dinasti aneka warna berkibar-kibar ditiup angin. Merah darah marga Kumara, hijau zamrud marga kuno Pratmatya yang tiada tanding, hitam-silver marga terkemuka Wibisana.Gapura tinggi dan mulus, membentang lebar dari dinding-dinding pirus-emas di sektor desa. Setelah sampai di suatu pekarangan Arga secara menyelinap memasuki sebuah rumah tersudut di ujung gang.Rumah itu sendiri,
"Oh jadi itulah sebabnya, suku kita tidak mau bekerjasama dan mematuhi peraturan kerajaan Maheswara." Celutuk Barra, pemuda tampan bersurai perak, sembari mengusap-usap Sigung peliharaan di pangkuannya.Arga tersenyum tipis, sesuai perkiraannya, Orang Kerajaan memang sudah bertindak. "Itulah sebabnya aku mengumpulkan kalian disini, karena aku tidak ingin jika suatu saat nanti, suku kita akan berakhir hancur, hanya karena kita menganggap remeh dan menutup sebelah mata atas penyabotasean ini.""Menurutku kita sebagai generasi muda dalam suku, memang harus melakukan tindakan secepat mungkin." Komentar Farra serius.Arga bangkit dengan keluwesan nan anggun. Ekspresinya tak terbaca,"Oleh sebabnya, disini aku sangat mengharapkan dedikasi kalian, sebagian sudahku rancangkan upaya apa saja yang harus kita lakukan." Arga membuka buku agendanya, dia tampak memilah-milah, "pertama, Melakukan pengamanan, dengan berjaga-jaga dan mengingat kapan saja jadwal penyer
◇❖❖◇Seusai dari pertemuan rapat tadi pagi bersama para sahabatnya, siangnya Arga melanjutkan pergi ke balai desa ingin meminta izin atas kepergiannya kepada sang kepala suku.Tok... Tok... TokArga mengetuk pelan pintu ruang belajar Eyang Abimayu, dia tampak gugup, karena ini kali pertamanya meminta izin secara resmi. Jika sebelumnya, Arga langsung melarikan diri dari desa tanpa sepengetahuan teman dan para warga. Mengakibatkan dirinya berakhir tragis. Kini demi tugas melindungi desa dan rencana balas dendamnya, dia harus bisa membuktikan kepada gurunya itu, bahwa dia bisa dipercayai dalam mengatasi masalah suku."Masuk." suaranya pelan dan tegas. Arga memasuki ruangan yang dipenuhi senjata-senjata tradisional, dengan rak-rak buku menjulang di setiap sisi. Eyang tengah sibuk membaca berkas-berkas yang menggunung, kepalanya menyembul dari tumpukan-tumpukan dokumen."Ada apa Arga?." Tanya Eyang Abimayu t
◇❖❖◇Setelah mengemas dan mempersiapkan segala pembekalan, Arga siap bepergian. Semuanya berjalan dengan lancar sesuai rencananya. Namun, demi keamanan, Arga meninggalkan Nehan untuk mengurus Ibu. Dia tidak ingin identitasnya sebagai Orang Darat terbongkar, karena akan terlalu mencolok membawa seekor Harimau ke khalayak banyak.Kini Arga menyusuri hutan belantara. Setelah berpamitan dengan Eyang, ibu, beserta para sahabatnya. Kakinya akan menapaki jalan selama satu hari dua malam. Suasana hutan masih terasa sama seperti dua bulan yang lalu. Ketika dirinya masih seorang pemuda polos yang gampang dimanfaatkan.Kini setelah semua peristiwa tersebut, menjadikannya diri yang baru, dewasa, ambisius, dan penuh rencana. Dia tidak akan mudah terpengaruh lagi, walaupun harus kembali ke kandang Singa. Dia sudah menyiapkan strategi agar bisa menghukum Singa.Beberapa saat menjelajah kini Arga telah sampai di sebuah lembah, dia merasa kelelahan