Share

Hal Biasa yang Tak Biasa

“Bungo, pergilah…!” ucap Inyiak Mudo tanpa berpaling sedikitpun kepada Puti Bungo Satangkai.

Tapi sang gadis tak hendak beranjak dari sana. Bagaimanapun, ia melihat hal berbeda pada Inyiak Gadih yang masih berada jauh di depan sana, di atas sampan yang melaju sangat cepat.

‘Itukah aura asli dari Inyiak Gadih?’ tanya sang gadis di dalam hati.

Selama ini, Puti Bungo Satangkai tidak sekalipun melihat perubahan pada Sabai Nan Manih. Perjanjian perkelahian wanita sepuh itu dengan sang suami selalu tidak terjadi selama adanya Puti Bungo Satangkai.

Lalu, apa yang membawa Inyiak Gadih mendatangi Pulau Sinaka ini? Bukankah perjanjian itu sendiri sekali dalam sepuluh tahun, dan itu terhitung masih ada lima tahun lagi? Lagi pula, bila memang mereka akan bertarung, bukankah selalu Inyiak Mudo yang datang ke Bukik Siriah?

Apa pun penjelasan di balik kemunculan Sabai Nan Manih ke pulau itu, yang pasti, itu bukanlah sesuatu yang baik. Puti Bungo Satangkai dapat merasakan hawa panas yang luar biasa bersumber dari Sabai Nan Manih, bahkan kedatangannya dinaungi awan mendung yang begitu pekat.

“Bungo!” ucap Inyiak Mudo lagi sebab sang gadis masih saja berdiri dan bahkan kini berada di samping kanannya. “Pergilah! Ini bukan sesuatu yang bisa kau hadapi seperti yang sudah-sudah!”

‘Tapi, mengapa Inyiak Gadih mendatangi pulau ini?’

“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan hal ini padamu, Bungo. Lagi pula, kau pasti sudah dapat menebak alasannya. Dan sekarang, menjauhlah!”

‘Aku tidak akan pergi! Aku ingin tahu apa yang telah terjadi pada Inyiak Gadih!’

“Kau gadis yang keras kepala!” Inyiak Mudo bersungut-sungut. “Terserah padamu saja. Tapi jangan sampai terlibat. Kau paham?!”

Puti Bungo Satangkai mengangguk. Kembali tatapannya tertuju pada sampan kecil yang semakin mendekati sisi timur pulau. Sang gadis yakin, meski awan hitam menaungi sampan kecil itu, angin yang bertiup masihlah seperti sebelumnya, sepoi-sepoi basa. Hanya saja, ia jelas melihat gelombang yang cukup besar yang mengiringi sampan yang digunakan oleh Inyiak Gadih.

“Dasar nenek-nenek tua!” ujar Inyiak Mudo dengan satu senyuman di sudut bibirnya. “Belum lagi dia mencapai pulau ini, dia sudah mengumbar hawa membunuh yang sangat kuat,” di ujung ucapannya pria sepuh mendesah berat dan panjang.

Tapi Puti Bungo Satangkai paham itu. Inyiak Mudo sama sekali tidak keberatan. Ia justru merasa senang sebab ini untuk pertama kalinya Inyiak Gadih yang menghampirinya ke pulau ini meskipun dengan hawa membunuh yang begitu kental.

‘Inyiak Mudo pasti sangat mencintai Inyiak Gadih,’ pikir sang gadis. ‘Terlepas dari apa pun yang nanti bakal terjadi.’

“Tua bangka, Akhirali…! Aku datang untuk menagih nyawa anakku…!”

“Oh, Dewa dan Dewi di Swarga,” ucap Inyiak Mudo.

Yah, Puti Bungo Satangkai mafhum dengan itu. Meski orangnya masih berada di ujung pandangan, namun dengan tenaga dalamnya yang luar biasa itu, ia bahkan mampu menyampaikan ucapannya ke daratan.

“Untuk apa pula dia berteriak-teriak seperti itu?” Inyiak Mudo menggeleng-gelengkan kepala. “Padahal dia tahu, anak itu juga adalah darah dagingku…”

Puti Bungo Satangkai tidak tahu harus menanggapi dengan apa atas keluhan sang inyiak yang seperti seorang sedang memelas. Lucu tapi juga menyedihkan. Dan sementara, istrinya akan tiba dalam beberapa saat lagi saja dengan ancaman yang sangat dahsyat.

Ya, dahsyat. Bahkan Puti Bungo Satangkai sendiri belum pernah melihat kekuatan tenaga dalam dan hawa membunuh yang begitu kental dari Inyiak Gadih sebelumnya, kecuali yang sekarang ini.

Sabai Nan Manih tidak mendayung sampan itu sama sekali, ia hanya sesekali mengentakkan telapaknya ke belakang, dan itu sudah mampu membuat sampan itu meluncur dengan sangat cepat membelah permukaan laut dengan dorongan udara yang tercipta.

Jarak ke pulau kecil itu masih ada sekitar dua ratus kaki lagi, Sabai Nan Manih berdiri di ujung haluan sampannya. Sepasang mata itu telah menyipit memandangi dua sosok yang terlihat kecil dari posisinya.

“Hari ini kau harus mati, Akhirali!” gumamnya dan lantas ia mengentakkan kakinya hingga sampan terjungkir ke depan. Berputar-putar, lalu terhempas kencang ke permukaan laut hingga pecah berderai.

Bersamaan itu, Sabai Nan Manih meluncur menuju tepian pulau dengan hanya mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya saja. Di sana, Inyiak Mudo telah menunggunya, begitu juga dengan Puti Bungo Satangkai.

Laksana terbang tanpa sayap, wanita sepuh membelah permukaan laut. Padahal ia meluncur sejengkal di atas permukaan laut itu sendiri, namun gesekan udara yang ditimbulkan tenaga dalamnya, membuat permukaan laut yang ia lalui menyibak seperti dilewati sebuah kapal cepat.

“Hidup dan mati ditentukan hari ini, Akhirali…!” teriak Sabai Nan Manih. “Aku sudah menunggumu bertahun-tahun!”

Puti Bungo Satangkai tidak lagi heran dengan sifat Inyiak Gadih yang satu ini. Kepribadiannya yang lain yang selalu menagih kematian terhadap suaminya sendiri atas kematian putri mereka.

Padahal, menurut Inyiak Mudo, putri mereka—yang akhirnya nama itu diberikan oleh Inyiak Gadih kepada sang gadis—meninggal karena satu penyakit yang tidak ada obatnya, atau setidaknya, belum ditemukan penangkalnya. Itu artinya, putri mereka tidak bisa disembuhkan dan akhirnya meninggal dunia pada usianya yang ketujuh tahun.

Hanya saja, sebab tidak dapat menerima kematian sang putri semata wayang, Sabai Nan Manih yang berduka terlalu dalam akhirnya menjadi setengah gila. Butuh bertahun-tahun bagi Inyiak Mudo untuk merawat istrinya itu hingga pulih.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kini Wati
ada ya orang yg sampai segitunya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status