Share

Panas dan Dingin

Sayangnya seribu kali disayang, Sabai Nan Manih pulih dengan membawa kepribadian lain yang muncul di dalam dirinya. Dan semenjak itulah, pertarungan selalu terjadi di antara keduanya. Sampai suatu ketika, Inyiak Mudo berhasil merayu istrinya agar mereka bertemu sekali dalam sepuluh tahun.

Dengan alasan untuk saling memperkuat kesaktian masing-masing, lalu mengadu kesaktian itu pada penghujung di setiap sepuluh tahun.

Dan sepertinya, untuk kali ini, Puti Bungo Satangkai tidak akan mungkin bisa mencegah pertempuran keduanya seperti di tahun-tahun sebelumnya.

Kali ini semua harus berakhir di sini, pikir Inyiak Mudo. Mungkin, inilah alasannya mengapa dalam seminggu ini ia selalu merasa ada yang salah di dalam dirinya. Alasan yang sama mengapa ia mengatakan bahwa kematiannya sudah semakin dekat kepada Puti Bungo Satangkai sebelumnya.

Angin kencang membawa hawa panas seiring semakin dekatnya Sabai Nan Manih ke tepian pantai. Hanya belasan langkah lagi saja, ia melontarkan tubuhnya lebih tinggi, berputar-putar kencang laksana gasing sebelum akhirnya tersentak di satu titik ketinggian, dan kemudian menukik tajam ke arah Inyiak Mudo.

“Kembalikan putriku, Akhirali…!”

Melihat betapa dahsyatnya serangan yang datang bersama Inyiak Gadih, Puti Bungo Satangkai akhirnya mengindahkan ucapan Inyiak Mudo sebelumnya. Sang gadis melompat ringan beberapa langkah ke belakang.

“Kalau kau begitu keras kepala,” ucap Inyiak Mudo yang masih terlihat santai saja menangapi serangan yang datang. “Bagaimana kalau kita berdua pergi menemui anak kita itu?”

Dan detik selanjutnya, Inyiak Mudo mengentakkan dua tinjunya ke atas seiring entakan satu kakinya setengah langkah ke depan.

Serangan dua telapak dari Inyiak Gadih beradu kencang dengan dua tinju Inyiak Mudo.

Desg—desgh!

Dhummm…!

Ledakan besar menerbangkan berkubik-kubik pasir ke udara, satu kubangan besar tercipta berpusat di kedua kaki Inyiak Mudo. Sementara Inyiak Gadih mengambang di udara untuk beberapa saat dengan kedua telapaknya ditahan oleh dua tinju Inyiak Mudo.

Puti Bungo Satangkai harus menggunakan lengan pakaiannya untuk melindungi wajah dan kepalanya dari siraman pasir yang kembali jatuh ke bumi. Sang gadis begitu kagum dengan kekuatan tenaga dalam kedua sesepuh yang saling menekan satu sama lain.

Sang gadis bahkan mampu melihat perwujudan aura keduanya. Aura kemerah-merahan yang panas yang berusaha menekan aura kebiru-biruan yang sejuk.

“Tenaga dalammu semakin hebat saja, Sabai,” puji Inyiak Mudo dengan sedikit senyuman di bibirnya.

“Ooh, percayalah, Akhirali!” sahut Inyiak Gadih. “Kau akan mati kali ini!”

“Benarkah?”

Inyiak Mudo kembali mengentakkan satu kakinya demi demi memforsir tenaga dalam lebih banyak ke kedua tinjunya. Dan itu dapat memaksa Inyiak Gadih untuk melepaskan telapaknya dari kepalan tinju Inyiak Mudo.

Wanita sepuh melontarkan tubuhnya ke belakang, berputar dua kali sebelum menjejak permukaan pasir.

Begitu kakinya menjejak bumi, Inyiak Gadih langsung melesat menerjang ke arah Inyiak Mudo.

Untuk kali ini, Inyiak Mudo tak hendak menunggu datangnya serangan begitu saja. Ia pun telah melesat menyosong serangan sang istri.

Teph—teph!

Dhummm!

Untuk kedua kalinya kawasan tepi pantai itu bergetar hebat akibat beradunya dua kekuatan kedua sesepuh tersebut.

Puti Bungo Satangkai memerhatikan setiap gerakan yang dilakukan Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih. Bagaimanapun, sumber tenaga dalam dan kesaktiannya sendiri berasal dari keduanya. Tentu saja, dengan menyimak pertarungan keduanya, ini akan sangat berguna bagi sang dara nantinya.

Dalam sekali gebrakan saja, kedua sesepuh itu bisa melakukan lebih dari tujuh jurus dengan sangat cepat. Hal ini saja sudah merupakan satu kekaguman bagi Puti Bungo Satangkai.

Setiap serangan pukulan dari Inyiak Mudo akan selalu dihiasi pilar-pilar kebiruan, dan setiap serangan telapak dari Inyiak Gadih dihiasi gumpalan-gumpalan kemerah-merahan.

Panas dan dingin saling bergesekan, saling menekan, menghasilkan ledakan demi ledakan yang terkadang disertai percikan bunga api.

Suatu kesempatan, Inyiak Gadih berhasil melontarkan Inyiak Mudo tinggi ke atas, seperti layangan putus tali. Dan di saat Inyiak Gadih mengira akan berhasil mendaratkan Telapak Penghancur Raga-nya, ternyata Inyiak Mudo masih bisa menghindar dengan merapal Kabut Kahyangan.

Inyiak Gadih menjadi geram sebab yang ia pukul hanyalah kepulan asap tipis berhawa sejuk sementara Inyiak Mudo sendiri tersenyum dan telah berada di darat kembali.

Kesal, Inyiak Gadih menghantamkan dua telapaknya ke arah bawah. Tentu saja, serangan itu dapat dengan mudah dihindari oleh Inyiak Mudo dengan melontarkan tubuhnya ke arah laut.

Blarrr…!

Satu lubang seperti kubangan kerbau kembali terbentuk di permukaan pantai.

Seakan mampu menendang udara layaknya benda padat, Inyiak Gadih melontarkan tubuhnya ke arah Inyiak Mudo, berputar-putar kencang laksana lembing yang dilemparkan dengan kekuatan penuh.

Inilah salah satu kesaktian Inyiak Gadih yang tidak dimiliki oleh Inyiak Mudo. Inyiak Mudo memiliki Kabut Kahyangan dalam melakukan apa saja termasuk mengecoh lawannya, tapi Inyiak Gadih memiliki kesaktian Menapak Langit Menggenggam Awan. Dengan kesaktiannya yang satu ini, tidak saja ia bisa bergerak sangat cepat di udara, Inyiak Gadih juga bisa menggunakan kesaktian itu untuk mengecoh lawan pada waktu-waktu tertentu.

Dari daratan ke udara, dan kini mereka bertarung di air. Setiap kali pukulan Inyiak Mudo melesat, maka akan mengubah permukaan air di dekat mereka menjadi kepingan-kepingan es yang tajam, bahkan kepingan-kepingan itu mengeluarkan uap tipis yang sangat dingin.

Namun itu hanya sementara, sebab pukulan berhawa panas dari Inyiak Gadih yang meleset akan menghancurkan kepingan-kepingan es yang tajam itu hingga meleleh dengan sangat cepat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status