Sayangnya seribu kali disayang, Sabai Nan Manih pulih dengan membawa kepribadian lain yang muncul di dalam dirinya. Dan semenjak itulah, pertarungan selalu terjadi di antara keduanya. Sampai suatu ketika, Inyiak Mudo berhasil merayu istrinya agar mereka bertemu sekali dalam sepuluh tahun.
Dengan alasan untuk saling memperkuat kesaktian masing-masing, lalu mengadu kesaktian itu pada penghujung di setiap sepuluh tahun.
Dan sepertinya, untuk kali ini, Puti Bungo Satangkai tidak akan mungkin bisa mencegah pertempuran keduanya seperti di tahun-tahun sebelumnya.
Kali ini semua harus berakhir di sini, pikir Inyiak Mudo. Mungkin, inilah alasannya mengapa dalam seminggu ini ia selalu merasa ada yang salah di dalam dirinya. Alasan yang sama mengapa ia mengatakan bahwa kematiannya sudah semakin dekat kepada Puti Bungo Satangkai sebelumnya.
Angin kencang membawa hawa panas seiring semakin dekatnya Sabai Nan Manih ke tepian pantai. Hanya belasan langkah lagi saja, ia melontarkan tubuhnya lebih tinggi, berputar-putar kencang laksana gasing sebelum akhirnya tersentak di satu titik ketinggian, dan kemudian menukik tajam ke arah Inyiak Mudo.
“Kembalikan putriku, Akhirali…!”
Melihat betapa dahsyatnya serangan yang datang bersama Inyiak Gadih, Puti Bungo Satangkai akhirnya mengindahkan ucapan Inyiak Mudo sebelumnya. Sang gadis melompat ringan beberapa langkah ke belakang.
“Kalau kau begitu keras kepala,” ucap Inyiak Mudo yang masih terlihat santai saja menangapi serangan yang datang. “Bagaimana kalau kita berdua pergi menemui anak kita itu?”
Dan detik selanjutnya, Inyiak Mudo mengentakkan dua tinjunya ke atas seiring entakan satu kakinya setengah langkah ke depan.
Serangan dua telapak dari Inyiak Gadih beradu kencang dengan dua tinju Inyiak Mudo.
Desg—desgh!
Dhummm…!
Ledakan besar menerbangkan berkubik-kubik pasir ke udara, satu kubangan besar tercipta berpusat di kedua kaki Inyiak Mudo. Sementara Inyiak Gadih mengambang di udara untuk beberapa saat dengan kedua telapaknya ditahan oleh dua tinju Inyiak Mudo.
Puti Bungo Satangkai harus menggunakan lengan pakaiannya untuk melindungi wajah dan kepalanya dari siraman pasir yang kembali jatuh ke bumi. Sang gadis begitu kagum dengan kekuatan tenaga dalam kedua sesepuh yang saling menekan satu sama lain.
Sang gadis bahkan mampu melihat perwujudan aura keduanya. Aura kemerah-merahan yang panas yang berusaha menekan aura kebiru-biruan yang sejuk.
“Tenaga dalammu semakin hebat saja, Sabai,” puji Inyiak Mudo dengan sedikit senyuman di bibirnya.
“Ooh, percayalah, Akhirali!” sahut Inyiak Gadih. “Kau akan mati kali ini!”
“Benarkah?”
Inyiak Mudo kembali mengentakkan satu kakinya demi demi memforsir tenaga dalam lebih banyak ke kedua tinjunya. Dan itu dapat memaksa Inyiak Gadih untuk melepaskan telapaknya dari kepalan tinju Inyiak Mudo.
Wanita sepuh melontarkan tubuhnya ke belakang, berputar dua kali sebelum menjejak permukaan pasir.
Begitu kakinya menjejak bumi, Inyiak Gadih langsung melesat menerjang ke arah Inyiak Mudo.
Untuk kali ini, Inyiak Mudo tak hendak menunggu datangnya serangan begitu saja. Ia pun telah melesat menyosong serangan sang istri.
Teph—teph!
Dhummm!
Untuk kedua kalinya kawasan tepi pantai itu bergetar hebat akibat beradunya dua kekuatan kedua sesepuh tersebut.
Puti Bungo Satangkai memerhatikan setiap gerakan yang dilakukan Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih. Bagaimanapun, sumber tenaga dalam dan kesaktiannya sendiri berasal dari keduanya. Tentu saja, dengan menyimak pertarungan keduanya, ini akan sangat berguna bagi sang dara nantinya.
Dalam sekali gebrakan saja, kedua sesepuh itu bisa melakukan lebih dari tujuh jurus dengan sangat cepat. Hal ini saja sudah merupakan satu kekaguman bagi Puti Bungo Satangkai.
Setiap serangan pukulan dari Inyiak Mudo akan selalu dihiasi pilar-pilar kebiruan, dan setiap serangan telapak dari Inyiak Gadih dihiasi gumpalan-gumpalan kemerah-merahan.
Panas dan dingin saling bergesekan, saling menekan, menghasilkan ledakan demi ledakan yang terkadang disertai percikan bunga api.
Suatu kesempatan, Inyiak Gadih berhasil melontarkan Inyiak Mudo tinggi ke atas, seperti layangan putus tali. Dan di saat Inyiak Gadih mengira akan berhasil mendaratkan Telapak Penghancur Raga-nya, ternyata Inyiak Mudo masih bisa menghindar dengan merapal Kabut Kahyangan.
Inyiak Gadih menjadi geram sebab yang ia pukul hanyalah kepulan asap tipis berhawa sejuk sementara Inyiak Mudo sendiri tersenyum dan telah berada di darat kembali.
Kesal, Inyiak Gadih menghantamkan dua telapaknya ke arah bawah. Tentu saja, serangan itu dapat dengan mudah dihindari oleh Inyiak Mudo dengan melontarkan tubuhnya ke arah laut.
Blarrr…!
Satu lubang seperti kubangan kerbau kembali terbentuk di permukaan pantai.
Seakan mampu menendang udara layaknya benda padat, Inyiak Gadih melontarkan tubuhnya ke arah Inyiak Mudo, berputar-putar kencang laksana lembing yang dilemparkan dengan kekuatan penuh.
Inilah salah satu kesaktian Inyiak Gadih yang tidak dimiliki oleh Inyiak Mudo. Inyiak Mudo memiliki Kabut Kahyangan dalam melakukan apa saja termasuk mengecoh lawannya, tapi Inyiak Gadih memiliki kesaktian Menapak Langit Menggenggam Awan. Dengan kesaktiannya yang satu ini, tidak saja ia bisa bergerak sangat cepat di udara, Inyiak Gadih juga bisa menggunakan kesaktian itu untuk mengecoh lawan pada waktu-waktu tertentu.
Dari daratan ke udara, dan kini mereka bertarung di air. Setiap kali pukulan Inyiak Mudo melesat, maka akan mengubah permukaan air di dekat mereka menjadi kepingan-kepingan es yang tajam, bahkan kepingan-kepingan itu mengeluarkan uap tipis yang sangat dingin.
Namun itu hanya sementara, sebab pukulan berhawa panas dari Inyiak Gadih yang meleset akan menghancurkan kepingan-kepingan es yang tajam itu hingga meleleh dengan sangat cepat.
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau