Tidak berapa lama, mereka sampai di depan sebuah gubuk yang dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Gubuk itu tidak besar, dan seperti sebuah rumah panggung, ciri khas masyarakat Minanga pada saat itu.“Ini rumahku,” ujar Sarah seraya mengajak Puti Bungo Satangkai untuk memasuki gubuk tersebut.“Siapa yang kau bawa bersamamu itu,” satu suara terdengar dari arah samping kanan gubuk. “Sarah?”“Mak Uncu,” ujar Sarah. “Ini, Bungo. Tadi, dia telah menyelamatkanku.”“Menyelamatkanmu?” pria sepantaran 40 tahun dengan tubuh sedikit kurus itu mengernyit. “Apa yang terjadi?”Di tangannya, pria yang dipanggil Mak Uncu oleh Sarah tersebut membawa sebuah bungkusan dari daun pisang, dan sebilah cangkul bergagang pendek di tangan lainnya. Ia hanya mengenakan celana komprang usang sebetis itu saja, tanpa ada pakaian lain di bagian atas. Dan sebuah ikat kepala yang juga usang di keningnya.Wajah, tangan, dan kakinya terlihat basah yang menandakan ia baru saja membersihkan anggota tubuhnya terse
Entah apa pun yang terjadi di antara Sarah dan pamannya itu, Bungo hanya mengangguk saja. Ya, gadis itu terlihat sedikit cemas, pikirnya, meskipun ia tahu dan melihat sendiri bahwa Sarah sempat diperkosa oleh salah seorang perampok itu sebelumnya. Bisa jadi pula tiga lainnya telah memperkosa Sarah juga.‘Siapa yang bisa tahu?’Sang paman menyipitkan pandangannya terhadap Sarah, lalu beralih kepada Bungo.“Dari mana kau berasal?”“Ermm, Mak Uncu,” kata Sarah, “Bungo ini bisu, dia hanya bisa mendengar dengan sebelah telinga kanannya saja.”“Hmm, begitu, ya?” Mak Uncu sedikit menyeringai.Bungo melihat itu, namun ia tetap memilih untuk bersikap tenang-tenang saja.“Tapi ini luar biasa. Kau seorang gadis bisu, tapi mampu mengalahkan perampok-perampok itu.”“Benar, Mak Uncu,” sahut Sarah. “Bungo sangat lihai, ilmu silatnya sangat tinggi.”Bungo menegur Sarah dengan garakan tangannya. ‘Jangan berlebihan.’“Tapi kau memang sangat kuat, Bungo. Andaikan saja kau tidak ada di sana, entah apa ya
Persimpangan yang dimaksudkan oleh Sarah tadi tidaklah dekat, tapi itu tidak masalah bagi Puti Bungo Satangkai. Lagi pula, jalan setapak itu sangat-sangat sepi dengan kondisi hutan lebat di kiri dan kanan. Bahkan, semenjak tadi, ia tidak melihat seorang pun di jalan setapak tersebut.Bungo juga tidak merasa bahwa Sarah telah membohonginya atau menjebaknya demi satu dan lain kepentingan. Ia masih bisa melihat sang mentari di sisi kiri langit, yang berarti ia memang sedang menuju ke arah utara.Setelah jauh berjalan, Bungo akhirnya tiba di persimpangan yang dimaksudkan oleh Sarah sebelumnya. Ia menghela napas, melirik ke kiri, lalu ke kanan. Kondisi jalan tanah itu sama saja, seperti jalan setapak yang nyaris tidak pernah dilalui orang.Paling tidak, sang gadis meyakini hal ini sebab tidak banyak rumah penduduk yang bisa ia lihat sepanjang perjalanannya barusan. Terhitung hanya tiga rumah—itu pun sudah termasuk dengan gubuk milik Sarah dan pamannya itu.Setelah menimbang-nimbang untuk s
Ayah dan anak itu masing-masing membawa sebilah parang, sebuah suluh dari daun kelapa kering sebagai penerangan mereka, dan di punggung sang anak, ia membawa sebuah keranjang rotan yang cukup besar.“Mari,” ajak si pria 50 tahun kepada Bungo. “Kami pun kebetulan sudah selesai mencari lauk.”Sang pemuda pun mengangguk tersenyum kepada Bungo.Setelah itu, Bungo mengikuti langkah ayah dan anak tersebut. Melihat dari apa yang mereka bawa, Bungo cukup yakin bahwa keduanya sebelumnya tengah mencari ikan atau juga belut di aliran air itu tadi.Di dalam keranjang rotan di punggung sang pemuda, Bungo dapat melihat beberapa ekor ikan dan belut, juga seikat besar kangkung. Ia tersenyum, lebih kepada menghargai kebersamaan ayah dan anak tersebut. Hal ini membuatnya mengingat bahwa ia tidak seberuntung itu. Tidak mengetahui siapa ayah dan siapa ibunya. Kecuali, Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih saja.Setelah melewati pepohonan yang rimbun di sisi timur, mereka tiba di satu kawasan yang lumayan terbuka.
‘Tapi saya harus melakukan ini,’ kata Puti Bungo Satangkai dengan bahasa isyarat tangannya, dan ia tetap tersenyum dalam melakukan itu.Halimah cukup tersentuh dengan tekad si gadis bisu itu, pasti ada alasan kuat di balik keteguhannya itu, pikirnya. Ia mengusap kepalanya dengan lembut, bahunya, lalu ke punggungnya.“Apakah ini berhubungan dengan orang tuamu?” tanya Halimah. Ia tertawa halus demi menanggapi tatapan heran Bungo kepada dirinya. “Katakanlah,” ujar Halimah seraya menambahkan sepotong ikan ke piring Bungo, “naluri seorang ibu.”Bungo tersenyum. Yeah, pastinya seorang wanita, terlebih lagi seorang ibu seperti Halimah memiliki kepekaan tersendiri terhadap hubungan batin di antara seorang ibu kepada anaknya.“Jadi,” Husni menghela napas dalam-dalam, “engkau tidak hidup bersama orang tuamu, gadis manis?”Bungo menggeleng, dan masih dengan senyuman. Meskipun di mata Hasan dan adik-adiknya, Bungo terlihat sebagai seorang gadis berkekurangan yang sangat tegar, namun tidak bagi Hu
Kawanan itu berjumlah sekitar sepuluh orang dengan seorang pemimpinannya yang menunggang kuda putih. Sang pemimpin sendiri adalah seorang pria berbadan besar, berotot, namun hanya memiliki satu bola mata saja.Konon bola mata kanannya dicongkel oleh harimau gaib saat ia bertarung dengan harimau gaib tersebut, di salah satu hutan angker yang tidak seberapa jauh dari kawasan terpencil tersebut.“Kau!” tunjuk si pria di atas kuda hitam kepada Husni. “Kepala Dusun ini, apakah kau sudah mengumpulkan bayaran kami, hah?!”“Maafkan kami,” ujar Husni dengan menjura selayaknya kepada seorang raja. “Tapi, dalam tujuh purnama ini, kami mengalami gagal panen. Bahkan untuk makan pun kami kesulitan, Tuan.”Pria di atas kuda hitam itu menoleh kepada pimpinannya, ia melihat seringai sang pemimpin yang baginya itu adalah sebuah perintah.“Jangan mengada-ada!” teriak pria di atas kuda hitam kepada Husni.Teriakan yang menggelegar itu membuat para kepala keluarga itu mengkirik ketakutan, namun bagi Husni
“Tuan, ampuni kami!” jerit si kepala keluarga. “Jangan sakiti istri saya, Tuan!”“Lepaskan saya,” jerit sang istri. “Saya monon, Tuan, lepaskan saya!”Si pria mendorong sang wanita sepantaran 30 tahun itu hingga ia tersungkur dan terguling di tanah. Sang suami dengan cepat mendekati istrinya, memeluknya dengan sangat erat sementara dua anaknya yang masih kecil-kecil menjerit-jerit di dalam rumah.Sang wakil kawanan menyeringai, sembari mengusap-usap dagunya ia berkata pada pasangan suami-istri tersebut, “Kulihat-lihat, istrimu masih cukup muda!”“Tidak, Tuan,” tangis si suami yang berusia sekitar 40 tahunan. “Jangan sakiti kami, jangan sakiti istri saya, Tuan. Saya berjanji akan membayar lebih di tujuh purnama ke depan.”“Terlalu lama, bodoh!” hardik si wakil. “Seret paksa isrinya!”Satu anggota kawanan yang tadi mengangguk, lalu mendekati pasangan suami-istri tersebut. Ia dengan kasar menarik dan memisahkan sang istri dari tangan suaminya.“Tidak, Tuan, mohon ampuni kami!” teriak si
Sang pemimpin Kawanan Berbaju Hitam menggerakkan satu tangannya ke depan, sebuah isyarat pada kedelapan anak buahnya yang tersisa.Tujuh orang serentak bergerak, mengepung para kepala keluarga yang berlutut di tanah, bersama dengan seorang yang di atas kuda coklat sebelumnya.Pria di atas kuda itu menyeringai, tujuh rekannya telah menghunus senjata masing-masing.“Siapa pun kau,” ujarnya dengan suara lantang, “jika tidak memperlihatkan dirimu sekarang juga, para penduduk ini akan kami bantai!”‘Bajingan!’ Puti Bungo Satangkai mendelik berang. Bahkan ada kilatan aneh pada bola matanya yang tertuju kepada si pria di atas kuda coklat itu.Bungo tidak bisa tinggal diam begitu saja, ia memutar otak untuk dapat menyelamatkan para kepala keluarga tersebut.Saat ia menoleh ke arah bawah, ia melihat sebuah caping, ia tersenyum. Caping itu mungkin akan sangat berguna menutupi wajahnya.Dengan gerakan yang sangat ringan, Bungo turun dari atap rumah penduduk tanpa mengeluarkan suara. Ia merapatka