Share

Bab 1

"Leana,"

"Pergi!" sentak gadis itu datar tanpa memandang wajah lelaki itu. Ia tidak ingin paginya yang cerah berubah menjadi suram karna menatapnya.

Leana mengeratkan selimutnya sembari menyesap coklat panas yang ada ditangannya tanpa melirik lelaki iti sedikit pun. Matanya sibuk meneliti setiap tetesan hujan yang jatuh membasahi bumi. Nalendra mengepalkan tangannya erat pada pembatas balkon, ia benci diacuhkan. Tapi kali ini ia harus menurunkan sedikit egonya. Lelaki itu berjalan masuk ke kamar gadis itu lalu membuka laci dan mengambil kotak P3K.

"Apa masih sakit?" tanya Nalendra lembut sambil mengobati luka di kaki gadisnya. Kemarin ia tahu sudah kelewatan, tapi Leananya sungguh gadis yang pembangkang. Dengan telaten Nalendra membuka perbannya dan menggantinya dengan yang baru, tidak lupa memberi obat merah. Karena luka itu terlihat masih cukup segar, ternyata ketika ia menyeret gadisnya kemarin di tepi pantai menimbulkan luka yang berbentuk abstrak ini.

"Lea..."

"Sayang..."

"Baby!"

Tidak mendapat sahutan membuat Nalendra geram, ingatkan dirinya untuk sabar kali ini. Hanya kali ini. Leana melirik lelaki itu sekilas kemudian mengalihkan pandangannya. "Pergilah Al, aku ingin sendiri!" lirih Leana pelan, sungguh ia malas rasanya berdebat sepagi ini.

"Kenapa harus sendiri? Sendiri itu duka by, kalau bisa berdua untuk apa sendiri?" jawab Nalendra sembari duduk di samping gadis itu, lalu meraih sebelah tangan gadis itu dan menggosoknya perlahan. Tangan gadisnya sedingin es, dan juga terdapat luka disana. "Apa masih sakit?" tanyanya lagi, namun hanya keheningan yang menjawabnya.

"By..."

"Baby..."

Nalendra tersenyum kemudian mencium tangan Leana lalu berkata, "Baiklah tidak masalah jika kau tidak ingin bicara, karena yang terpenting adalah kau berada disampingku!" ujarnya kemudian memeluk Leana erat, kemarin malam dirinya hampir kehilangan akal ketika tidak menemukan gadisnya dimana - mana. Bagaimana jiwa dan raga bisa jauh, tidak akan pernah bisa.

Leana menatap daun yang terkena hujan itu dengan datar. Setiap daun yang terkena tetesan hujan itu maka akan terlihat menunduk, namun itu hanya sekejap mata dan setelahnya air itu jatuh ke tanah. Menjadi gadis baik yang penurut, rasanya sungguh menyiksa batinnya. Jiwanya yang bebas terpaksa mengikuti semua kemauan orang disekitarnya yang selalu berhasil membuatnya patuh.

Dadanya sesak, tapi menangis dihadapan lelaki itu hanya akan memperburuk keadaannya. Tangan Leana bergerak melepas pelukan Nalendra, "Pergilah Al, aku mohon. Aku tidak kemana - mana. Berikan sedikit ruang bagiku untuk sendiri. Bagimu sendiri adalah duka, tapi bagiku itu surga!" ujar Leana kemudian bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Gadis itu merebahkan dirinya, kemudian menyelimuti dirinya sendiri dan mulai memejamkan mata. Biarkan ia tidur seharian, dan energinya akan kembali.

Nalendra menghela nafasnya pelan kemudian tersenyum, "Baiklah, aku pergi by. Tidurlah, nanti jangan lupa makan. Ingat, jangan kemana - mana tanpa seizinku lagi. Jika kau pergi, KUA menanti kita!" bisik Nalendra sambil mengelus surai gadisnya dan mengecupnya lama kemudian tertawa geli, membayangkan jika Leananya menjadi pendamping hidupnya untuk selamanya adalah hal terindah dalam benaknya.

Langkah kaki perlahan terdengar menjauh, lalu pintu tertutup perlahan. Leana membuka matanya, lalu menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan hujan deras di pagi hari. Rasanya ia ingin teriak sekuat yang ia bisa, mengangis sekencangnya, dan mengeluh semampunya. Tapi apalah daya, dirinya tidak bisa mengekspresikan itu semua.

Rasanya seolah mati rasa.

***

Seorang wanita cantik terlihat sibuk berkutat di dapur, dengan sesekali bersenandung kecil. Satu persatu makanan yang ia masak, ia hidangkan di meja makan.

"Al, mana Leananya?" tanya wanita itu ketika melihat Nalendra turun kebawah sendirian.

"Tidur bunda, mungkin masih ngantuk. Al nya aja yang datang kepagian mungkin," jawabnya dengan kekehan kecil.

Emely tersenyum, putrinya memang mempunyai hobby baru selain makan apalagi kalau bukan tidur. "Dasar anak bunda,"

"Kebiasaan emang tu anak, pagi - pagi gini malah lanjut tidur!" ujar seorang lelaki paruh baya sambil menyesap kopinya dengan koran ditangannya.

"Ya tidak apa - apa ayah, biasa anak muda," sahut Emely pada suaminya. "Yasudah kalau gitu, ayo makan dulu Al," Lanjutnya lagi sambil menyajikan makanan pada calon menantunya.

"Makasih bunda."

Emely tersenyum, "Makan yang banyak biar sehat, biar anak bunda selalu ada yang jagain," celetuknya kemudian tertawa.

"Bunda bisa saja."

"Benar Al, ayah was - was dengan pergaulan Leana." ujar Rafa, sambil menatap Nalendra serius.

"Aman yah, selama ada Al disini."

Pembicaraan ketiga orang berbeda usia tersebut terus berlanjut sampai selesai makan dan hujan pun mulai reda. Nalendra bangkit dari duduknya dan berpamitan pada calon mertuanya. Ia sudah terlambat sekarang, bahkan ia melewatkan meeting penting hanya untuk membujuk gadisnya untuk mendapat permintaan maaf.

"Al pamit bunda, ayah." pamitnya kepada kedua orang tua Leana sembari bersalaman.

"Iya hati - hati Al!"

Nalendra tersenyum kemudian melenggang pergi, jika dilihat semuanya nampak baik - baik saja. Namun segalanya tidak baik - baik saja, yang hanya bisa dirasakan oleh gadis yang tengah meringkuk dibawah selimutnya itu.

Leana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status