"Leana,"
"Pergi!" sentak gadis itu datar tanpa memandang wajah lelaki itu. Ia tidak ingin paginya yang cerah berubah menjadi suram karna menatapnya.Leana mengeratkan selimutnya sembari menyesap coklat panas yang ada ditangannya tanpa melirik lelaki iti sedikit pun. Matanya sibuk meneliti setiap tetesan hujan yang jatuh membasahi bumi. Nalendra mengepalkan tangannya erat pada pembatas balkon, ia benci diacuhkan. Tapi kali ini ia harus menurunkan sedikit egonya. Lelaki itu berjalan masuk ke kamar gadis itu lalu membuka laci dan mengambil kotak P3K."Apa masih sakit?" tanya Nalendra lembut sambil mengobati luka di kaki gadisnya. Kemarin ia tahu sudah kelewatan, tapi Leananya sungguh gadis yang pembangkang. Dengan telaten Nalendra membuka perbannya dan menggantinya dengan yang baru, tidak lupa memberi obat merah. Karena luka itu terlihat masih cukup segar, ternyata ketika ia menyeret gadisnya kemarin di tepi pantai menimbulkan luka yang berbentuk abstrak ini."Lea...""Sayang...""Baby!"Tidak mendapat sahutan membuat Nalendra geram, ingatkan dirinya untuk sabar kali ini. Hanya kali ini. Leana melirik lelaki itu sekilas kemudian mengalihkan pandangannya. "Pergilah Al, aku ingin sendiri!" lirih Leana pelan, sungguh ia malas rasanya berdebat sepagi ini."Kenapa harus sendiri? Sendiri itu duka by, kalau bisa berdua untuk apa sendiri?" jawab Nalendra sembari duduk di samping gadis itu, lalu meraih sebelah tangan gadis itu dan menggosoknya perlahan. Tangan gadisnya sedingin es, dan juga terdapat luka disana. "Apa masih sakit?" tanyanya lagi, namun hanya keheningan yang menjawabnya."By...""Baby..."Nalendra tersenyum kemudian mencium tangan Leana lalu berkata, "Baiklah tidak masalah jika kau tidak ingin bicara, karena yang terpenting adalah kau berada disampingku!" ujarnya kemudian memeluk Leana erat, kemarin malam dirinya hampir kehilangan akal ketika tidak menemukan gadisnya dimana - mana. Bagaimana jiwa dan raga bisa jauh, tidak akan pernah bisa.Leana menatap daun yang terkena hujan itu dengan datar. Setiap daun yang terkena tetesan hujan itu maka akan terlihat menunduk, namun itu hanya sekejap mata dan setelahnya air itu jatuh ke tanah. Menjadi gadis baik yang penurut, rasanya sungguh menyiksa batinnya. Jiwanya yang bebas terpaksa mengikuti semua kemauan orang disekitarnya yang selalu berhasil membuatnya patuh.Dadanya sesak, tapi menangis dihadapan lelaki itu hanya akan memperburuk keadaannya. Tangan Leana bergerak melepas pelukan Nalendra, "Pergilah Al, aku mohon. Aku tidak kemana - mana. Berikan sedikit ruang bagiku untuk sendiri. Bagimu sendiri adalah duka, tapi bagiku itu surga!" ujar Leana kemudian bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Gadis itu merebahkan dirinya, kemudian menyelimuti dirinya sendiri dan mulai memejamkan mata. Biarkan ia tidur seharian, dan energinya akan kembali.Nalendra menghela nafasnya pelan kemudian tersenyum, "Baiklah, aku pergi by. Tidurlah, nanti jangan lupa makan. Ingat, jangan kemana - mana tanpa seizinku lagi. Jika kau pergi, KUA menanti kita!" bisik Nalendra sambil mengelus surai gadisnya dan mengecupnya lama kemudian tertawa geli, membayangkan jika Leananya menjadi pendamping hidupnya untuk selamanya adalah hal terindah dalam benaknya.Langkah kaki perlahan terdengar menjauh, lalu pintu tertutup perlahan. Leana membuka matanya, lalu menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan hujan deras di pagi hari. Rasanya ia ingin teriak sekuat yang ia bisa, mengangis sekencangnya, dan mengeluh semampunya. Tapi apalah daya, dirinya tidak bisa mengekspresikan itu semua.Rasanya seolah mati rasa.***Seorang wanita cantik terlihat sibuk berkutat di dapur, dengan sesekali bersenandung kecil. Satu persatu makanan yang ia masak, ia hidangkan di meja makan."Al, mana Leananya?" tanya wanita itu ketika melihat Nalendra turun kebawah sendirian."Tidur bunda, mungkin masih ngantuk. Al nya aja yang datang kepagian mungkin," jawabnya dengan kekehan kecil.Emely tersenyum, putrinya memang mempunyai hobby baru selain makan apalagi kalau bukan tidur. "Dasar anak bunda,""Kebiasaan emang tu anak, pagi - pagi gini malah lanjut tidur!" ujar seorang lelaki paruh baya sambil menyesap kopinya dengan koran ditangannya."Ya tidak apa - apa ayah, biasa anak muda," sahut Emely pada suaminya. "Yasudah kalau gitu, ayo makan dulu Al," Lanjutnya lagi sambil menyajikan makanan pada calon menantunya."Makasih bunda."Emely tersenyum, "Makan yang banyak biar sehat, biar anak bunda selalu ada yang jagain," celetuknya kemudian tertawa."Bunda bisa saja.""Benar Al, ayah was - was dengan pergaulan Leana." ujar Rafa, sambil menatap Nalendra serius."Aman yah, selama ada Al disini."Pembicaraan ketiga orang berbeda usia tersebut terus berlanjut sampai selesai makan dan hujan pun mulai reda. Nalendra bangkit dari duduknya dan berpamitan pada calon mertuanya. Ia sudah terlambat sekarang, bahkan ia melewatkan meeting penting hanya untuk membujuk gadisnya untuk mendapat permintaan maaf."Al pamit bunda, ayah." pamitnya kepada kedua orang tua Leana sembari bersalaman."Iya hati - hati Al!"Nalendra tersenyum kemudian melenggang pergi, jika dilihat semuanya nampak baik - baik saja. Namun segalanya tidak baik - baik saja, yang hanya bisa dirasakan oleh gadis yang tengah meringkuk dibawah selimutnya itu.Leana.Setelah kepergian Nalendra, wanita paruh baya itu kembali melanjutkan kegiatannya di dapur. Memasak adalah hobby nya, dan sekarang Emely tengah mempersiapkan alat dan bahan untuk membuat adonan cookies. Sambil bersenandung ria ia mulai untuk membuat adonan, hingga kedatangan suaminya Rafa, "Apa yang terjadi?""Apanya yah?" tanya Emely menatap suaminya. Rafa menghembuskan nafas kasar, ia sungguh tidak enak rasanya dengan Nalendra. "Leana! Apa yang terjadi pada gadis itu? Apa dia tidak punya sopan santun, Nalendra sudah datang pagi - pagi kesini hanya untuk menemui anak pemalas itu. Tapi gadis itu malah mendekam di dalam kamarnya!" ujar Rafa menatap istrinya yang masih sibuk membuat adonan, dari kata - katanya terlihat sekali bahwa lelaki paruh baya itu tengah marah.Melihat kemarahan suaminya, Emely segera mencuci tangannya dan mendekati Rafa "Biarkan saja yah, mungkin Leana masih lelah," ujarnya lembut, sambil mengelus lengan suaminya. Ia tahu, suaminya ini adalah orang yang tegas."La
Leana mempercepat langkahnya, bahkan terlihat setengah berlari ketika lelaki itu terus saja mengikutinya. Luka dikakinya pun tak lagi ia hiraukan, karna sudah tidak terasa sakit. Gadis itu pun dengan cepat memasuki kelasnya, sepanjang koridor kampus tak henti - hentinya ia merasa heran. Mengapa tidak, kampus yang tengah ia pijaki ini lebih sepi dari sebuah kuburan.Gadis itu menoleh kebelakang dan menghela nafas lega, ketika melihat Nalendra tidak mengikutinya lagi. Leana megedikkan bahunya acuh mungkin lelaki itu sudah pulang. Ia lalu berbalik dan berniat melanjutkan langkahnya untuk ke kelas namun seketika ia mematung di tempat. Bagaimana bisa?"Kenapa pucat by? Apa wajahku menakutkan?" tanya Nalendra dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya.Apa lelaki itu hantu?"Al, kenapa kau mengikutiku?"Nalendra tersenyum dan meraih tangan gadis itu lalu menggandengnya menuju ruangannya. "Kenapa? Kau kan milikku!""Tapi aku butuh ruangku sendiri! Hidupku tidak selalu tentangmu," desis Lea
Tanpa memperhatikan sekitar gadis itu terus memakan buburnya dengan lahap, dan mengindahkan tatapan para mahasiswa lain yang menatapnya heran sekaligus ngeri. Bagaimana tidak, jika disamping gadis itu terdapat seorang lelaki gagah berjas, lengkap dengan dasinya tengah mengasah pisau. Leana meminum jus alpukatnya, suara dari asahan pisau itu terus mengalun merdu di telinganya.Benar - benar tidak waras.Suapan terakhir leana menyantapnya dengan cepat dan segera beranjak dari duduknya. Namun goresan di lengannya yang berasal dari pisau itu seketika membuatnya mendesis."Melangkah sekali lagi aku akan memotong tanganmu!"Leana memutar bola matanya malas, entah apa lagi yang diinginkan oleh lelaki ini darinya. "Ck. Apa lagi? Gu- a-aku sudah mengatakan tadi pagi untuk jangan menggangguku kali ini saja." ujar Leana, gadis itu terlihat memelas sambil menahan sakit di pergelangan tangannya. Dengan tidak berperasaannya Nalendra menekan pisau itu ketika mendengar gadisnya akan berkata lo - gue.
Suara jam dinding terus berbunyi, bau khas dari obat - obatan menguar kuat. Di pojokan brankar UKS sana terdapat seorang gadis yang tertidur lelap. Hujan telah berhenti, menyisakan setitik embun diujung daun yang terus membasahi bumi. Tangan lelaki itu terus tergerak untuk mengelus surai gadisnya, mata yang biasanya menatapnya tajam dan penuh kemarahan kini tengah terpejam. Nalendra tersenyum sambil memainkan sehelai rambut Leana, "Baby, apa yang kau lakukan padaku?" gumamnya dengan tatapan yang tidak berhenti menatap wajah damai gadisnya, "Mengapa aku bisa mencintaimu sampai seperti ini, rasanya aku bisa gila jika kau pergi." lirih lelaki itu, mata tajam sebiru lautan yang tidak pernah ada orang yang berani menatapnya kini meneteskan air matanya. Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa kehadiran seorang Leana.Tidak peduli gadisnya mencintainya atau tidak, itu tidak penting. Jika Leana tetap bersamanya, itu sudah lebih dari cukup.Nalendra tersentak ketika mendapati raut wajah Leana
Keringat dingin terus mengalir di pelipisnya, jantungnya berpacu cepat. Leana terus mengikuti langkah besar lelaki itu sembari memegang dadanya.Rasanya sesak, amat sesak. Tidak kah lelaki itu mengerti penderitaannya?"Al, please jangan lalukan ini padaku," lirih Leana pelan, namun sepertinya lelaki itu tuli dan tidak mendengarkannya. Melihat itu membuat darahnya mendidih, rasanya ia ingin sekali mencabik - cabik lelaki yang tengah menyeretnya itu.Sekuat tenaganya Leana berusaha melepaskan tangannya dari Nalendra, namun ia tidak berdaya cengkraman lelaki itu begitu kuat hingga tulangnya pun terasa ngilu."Al!""Nalendra!!" teriak Leana keras yang seketika membuat lelaki itu menoleh.Nalendra berbalik dan menyentak tangan gadisnya kasar. "Berani sekali kau!" desis Nalendra tajam sambil mencengkram dagu leana. "Hari ini, kau sudah melewati batasan yang ada," smirk lelaki itu menatap tajam iris pekat yang menatapnya penuh kebencian, tapi tidak apa - apa. Karena ia suka itu. "Dan aku beba
"Arrghh...."Timah panas itu tepat mengenai betis kanannya, gadis itu tersungkur sambil memegangi kakinya. Rasanya panas, dan seketika kakinya terasa mati rasa dengan darah segar yang terus mengalir. Leana mencengkram kakinya erat, ini menyakitkan namun tidak semenyakitkan hatinya. Lelaki itu memang tidak pantas disebut sebagai manusia, dengan tidak berperasaannya iblis itu menatapnya dengan kekehan disertai seringaian. Dengan susah payah, Leana berusaha berdiri dan mencoba lari meski itu mustahil tapi ia akan mencobanya. Bukankah tidak ada yang tidak mungkin?Teriakan itu begitu mengalun merdu ditelinga Nalendra, ia meniup pelan ujung pistolnya yang tidak pernah mengecewakannya dan selalu tepat sasaran. Kaki jenjangnya melangkah pelan mendekati gadisnya yang masih berusaha melarikan diri dengan menyeret kaki kanannya."Bajingan, keparat, bangsat, manusia hina! Lo bukan manusia Nalendra!!" teriak Leana kesal, keringat bercucuran di pelipisnya dan sudut matanya yang mengeluarkan bulir b
Senandung kecil terus terlantun dari seorang gadis yang tengah berjalan itu, sesekali ia berjingkrak senang. Hari ini adalah hari pertamanya kuliah, universitas impian dan jurusan yang ia inginkan semuanya tercapai dan hal itu membuatnya tak berhenti tersenyum. Karena ia sangat bahagia. Tas yang gadis itu sampirkan di bahunya ia turunkan pelan dan mengambil sebuah permen lolipop dan wortel.Gadis itu tertawa, pasti kelinci kesayangannya tengah menunggunya sekarang. "Hallo manis, kau merindukanku tidak? Hehehe, hari ini aku bawakan kau wortel terenak di dunia karena ini aku beli dari uang jajanku," ujar gadis itu senang sambil berjongkok dan mengelus kelinci putih yang ia beri nama manis.Pembicaraan terus berlanjut, gadis itu sangat senang melihat si manis kesayangannya makan begitu lahap. Namun saking fokusnya pada satu titik, tanpa gadis itu sadari sesuatu telah menunggunya di dalam sana. Melihat beberapa mobil mewah yang berjejer rapi di halaman rumahnya, tidak membuatnya peka akan
Rintik hujan turun perlahan, hawa udara semakin terasa dingin. Jemari kokoh itu menyentuh kaca balkon yang berembun itu perlahan, lalu bergerak seperti menulis sesuatu. Dalam hidupnya, dalam hatinya hanya ada satu nama, dan nafasnya berembus pun hanya untuk satu nama. Satu nama yang ia perjuangkan hingga kini. Satu nama yang berhasil merubah hidupnya, satu nama yang mampu membuat emosinya bergejolak cepat. Hanya dia, tidak ada yang lain. Nalendra tersenyum, sembari menghisap nikotin yang terselip di jarinya dengan pelan lalu dihembuskannya ia menulis nama lengkap gadis yang belum sadarkan diri itu dengan indah.Kerleeanna Alina"Secantik orangnya.." gumamnya sambil tersenyum lalu ia menoleh pada seorang gadis yang selalu memenuhi pikirannya. Nalendra berjalan pelan, hari sudah larut dan Leana belum memakan apapun selain bubur tadi pagi. Tangannya tergerak mengelus pipi yang sedikit tirus itu, keduanya memar. Apa ia terlalu keras menamparnya?Nalendra tersenyum, sepertinya tidak. Jika i