“Kamu sudah bangun?”
Lea terkejut, mengerjapkan mata berulang sambil melihat Kenan yang tampak bersiap di depan cermin. Semalam, Lea tidak bisa tidur. Usai dari kamar Lisa, ia hanya diam sambil melamun, menyesali kebodohannya.
Namun, seingat dia hingga hampir pagi Kenan tidak kunjung kembali ke kamar. Bisa jadi suaminya baru saja kembali ke kamar dan bersiap untuk kerja. Lea menurunkan kaki dan bersiap ke kamar mandi, tapi tiba-tiba urung ia lakukan. Kepalanya sangat pusing, gara-gara tidak tidur semalam membuat dia seperti ini.
Kenan melirik Lea dari pantulan cermin, kemudian datang menghampiri. Kenan langsung duduk di samping Lea.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Kenan penuh perhatian seperti biasanya.
Lea tidak menjawab hanya memijat keningnya berulang kali.
“Kalau sakit, mending gak usah ke toko. Istirahat saja di rumah.”
Lea menggeleng sambil memejamkan mata. Ia tidak mau matanya ternodai dengan me
Ghalib hanya diam, tapi mata pekatnya terus menatap Tuan Kris tanpa jeda. Tuan Kris tersenyum, menepuk bahunya berulang sambil bangkit dari duduknya.“Aku rasa tidak ada yang bisa kita bicarakan lagi, Ghalib.”Ghalib belum menjawab, ia belum puas dengan semua penjelasan Tuan Kris. Namun, pria paruh baya itu terlihat sibuk dan bersiap untuk aktivitas selanjutnya.“Lebih baik kamu pulang. Menghilangnya Lea tidak ada sangkut pautnya dengan Kenan. Aku berani jamin itu.”Ghalib mendengkus. Entah mengapa ia sama sekali tidak percaya ucapan Tuan Kris, tapi lidahnya terasa kelu untuk menyangkal penjelasannya.“Baik. Aku akan pergi, tapi jika sampai Kenan adalah dalang di balik semua ini. Jangan salahkan jika aku bertindak tegas, Om.”Tuan Kris tidak berkomentar hanya mengatupkan rapat bibirnya dengan wajah tegang menatap Ghalib.Ghalib bangkit dan bersiap pergi meninggalkan ruangan itu, tapi baru satu langk
BUK!! BUK!! BUK!!Tidak hanya sekali Tuan Kris melayangkan bogemannya, tetapi berkali-kali membuat Tuan Fandi terhuyung hingga akhirnya terjatuh di lantai.Ghalib yang berdiri di sampingnya terkejut setengah mati. Ia berusaha melerai mereka, tapi malah dia yang terkena pukulan Tuan Kris dan terhuyung ke belakang.Ghalib terpaksa menjauh dan membiarkan dua pria itu bersiteru. Sementara itu Tuan Fandi tampak duduk bersimpuh di lantai dengan beberapa luka di wajah dan tubuhnya.“Tuan … apa yang Anda lakukan?” tanya sekretaris Tuan Kris.Pastinya pria itu sama terkejut dengan Ghalib, hanya saja Ghalib belum sempat mengajukan pertanyaan lebih dulu.Tuan Kris mendengkus sambil menyeka tangannya dengan tisu. Mata tuanya tampak menatap Tuan Fandi dengan penuh kebencian.“Dia tahu kenapa aku melakukan hal ini,” jawabnya kemudian.Jakun Ghalib naik turun menelan ludah kemudian bergegas merunduk dan membantu ayahnya untuk bangun. Tuan Fan
“Silakan tunggu sebentar, Tuan!!”Suara wanita penerima tamu membuyarkan lamunan Tuan Fandi. Pria paruh baya yang masih terlihat tampan itu hanya mengangguk sambil tersenyum datar. Sedangkan Ghalib sudah masuk lebih dulu ke ruangan yang disiapkan.Ghalib juga sudah duduk di salah satu sofa, menunggu dengan tenang kedatangan Tuan Kris.“Ayah tidak duduk?”Ghalib sontak bertanya saat melihat Tuan Fandi hanya berdiri diam di belakang pintu tanpa mencoba mendekat ke arah Ghalib.Tuan Fandi mendongak, membuat matanya bertemu dengan mata pekat Ghalib. Kemudian perlahan pria itu tersenyum.“Iya, hanya saja … sepertinya Ayah harus ke toilet sebentar, Ghalib.”Ghalib mengulum senyum sambil menganggukkan kepala mendengar ucapan ayahnya.“Ayah tinggal dulu.” Tuan Fandi menambahkan kalimatnya.Entah mengapa ide ke toilet tiba-tiba muncul di benaknya. Ghalib hanya tersenyum sambi
“Bisa saya bertemu Tuan Kris, Nona?” tanya Ghalib siang itu.Ia sudah tiba di perusahaan milik Tuan Eliot yang kini diambil alih oleh adiknya, Tuan Kris Husein. Ghalib datang bersama Tuan Fandi kali ini. Usai makan siang, mereka langsung meluncur ke tempat ini.“Apa sudah membuat janji sebelumnya, Tuan?” Wanita manis yang berhadapan dengan Ghalib malah mengajukan pertanyaan balik.“Sudah, Nona. Asisten saya yang membuatkan janji bertemu.”“Kalau boleh tahu dengan Tuan siapa?”“Saya Ghalib. Ghalib Haykal.”Wanita manis itu tersenyum, menganggukkan kepala kemudian tampak sedang melakukan panggilan. Sepertinya dia sedang mengkonfirmasi janji yang baru saja dibuat Ghalib tadi.Setelah beberapa saat akhirnya wanita resepsionis itu bersuara lagi.“Silakan langsung ke lantai 17, Tuan. Anda sudah ditunggu.”Ghalib tersenyum, ia langsung berpamitan kemudian b
“Eh … .”Tuan Fandi terkejut, menoleh ke Ghalib tanpa sempat bersuara. Pria tampan berdagu belah itu tersenyum sambil membalas tatapan ayahnya.“Aku sudah minta Pak Jonas membuat janji usai makan siang. Jadi kita bisa ke sana setelah ini. Ayah bisa, kan?”Jakun Tuan Fandi naik turun menelan saliva, tapi suaranya tercekat tak bisa keluar. Kemudian perlahan pria paruh baya itu mengangguk.Seketika Ghalib tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala. Ini kali pertama ia sangat gembira mendapat jawaban dari ayahnya.“Iya, nanti Ayah temani. Kebetulan Ayah tidak sibuk hari ini, Ghalib.”Pada akhirnya Tuan Fandi bisa bersuara kembali. Ghalib mengangguk.“Kalau begitu, kita makan siang dulu, Yah. Setelah itu baru ke tempat Om Kris.”Tawaran Ghalib langsung diiyakan saja oleh Tuan Fandi. Ini adalah tawaran pertama yang dilakukan Ghalib untuknya. Tuan Fandi senang pada akhirnya Ghali
“PESTA? Pertunangan?” ulang Ghalib. Jakun pria tampan itu naik turun dengan teratur usai mendengar ucapan Nyonya Emilia. Nyonya Emilia hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala menjawab pertanyaan cucu kesayangannya. “Iya, tempo hari saat makan malam harusnya kamu langsung bertunangan dengan Deasy. Hanya saja karena sesuatu hal jadi batal.” “Itu sebabnya, Nenek akan mengulang makan malam seperti tempo hari. Kamu tidak perlu khawatir, kita lakukan secara sederhana saja. Nanti kalau Nenek sudah pulih benar, akan Nenek buatkan pesta untuk kalian.” Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Ghalib. Ia hanya diam dengan mata yang fokus memandang sang Nenek. Tuan Fandi yang duduk di dekatnya, mengerti apa yang sedang dirasakan Ghalib saat ini. Putranya pasti ingin menolak dengan keras, tapi pastinya Ghalib sedang berpikir tentang kesehatan neneknya. Ia tidak mau terjadi sesuatu hal pada neneknya. “Eng … Nek, kalau memang seperti itu. Mengapa tidak nanti saja pestanya.” Setelah terdiam