Pukul lima sore saat Deasy kembali ke kantor, ada Anthony yang menantinya dengan wajah cemberut berkacak pinggang nenatap Deasy.
“Nona, Anda dari mana saja? Dari tadi saya menghubungi Anda dan tidak aktif,” sergah Anthony.
Deasy berdecak sambil mengibaskan tangan ke udara berlalu dengan santai di depan Anthony.
“Aku sedang belanja tadi dan tidak mendengar panggilanmu. Memangnya ada apa?”
Anthony menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.
“Apa Anda lupa jika jam dua tadi ada janji dengan PT Putra Abadi.”
“Astaga!!!” Deasy berkata sambil menutup mulut dengan tangannya. Matanya melebar menatap Anthony dengan tajam.
“Aku lupa, Anthony. Aku terlalu asyik berbelanja tadi.”
Wajah Anthony merah padam, terlihat jika ia sedang memendam amarah saat ini, tapi sebisa mungkin ia tahan.
“Maaf, Anthony. Bagaimana jika kamu buatkan janji untuk besok? Besok a
Pukul lima sore saat Deasy kembali ke kantor, ada Anthony yang menantinya dengan wajah cemberut berkacak pinggang nenatap Deasy.“Nona, Anda dari mana saja? Dari tadi saya menghubungi Anda dan tidak aktif,” sergah Anthony.Deasy berdecak sambil mengibaskan tangan ke udara berlalu dengan santai di depan Anthony.“Aku sedang belanja tadi dan tidak mendengar panggilanmu. Memangnya ada apa?”Anthony menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.“Apa Anda lupa jika jam dua tadi ada janji dengan PT Putra Abadi.”“Astaga!!!” Deasy berkata sambil menutup mulut dengan tangannya. Matanya melebar menatap Anthony dengan tajam.“Aku lupa, Anthony. Aku terlalu asyik berbelanja tadi.”Wajah Anthony merah padam, terlihat jika ia sedang memendam amarah saat ini, tapi sebisa mungkin ia tahan.“Maaf, Anthony. Bagaimana jika kamu buatkan janji untuk besok? Besok a
“Jangan sampai dia tahu tentang hal ini. Aku ingin dia menikmati pembalasan manis dariku,” imbuh Ghalib dengan senyum merekah menghias wajahnya.Tidak ada jawaban dari seberang sana dan Ghalib sudah mengakhiri panggilannya. Ia langsung keluar dari mobil dan siap masuk ke dalam rumah, tapi langkahnya terhenti saat melihat sebuah mobil mendekat.Tuan Fandi turun dari taxi online itu. Wajahnya kuyu, langkahnya gontai dan langsung berdiri diam di depan Ghalib.“Ayah dari mana? Kenapa lesu begini?”Tuan Fandi menghela napas dan menghembuskannya dengan kasar.“Aku menemui nenekmu tadi, tapi sepertinya dia sama sekali tidak tertarik untuk pulang bersama kita. Ia memilih tinggal menumpang di apartemen Kenan.”Ghalib hanya diam mendengar penuturan ayahnya. Sepertinya Nyonya Emilia belum bisa memaafkannya.“Satu lagi, Ghalib. Nenekmu sudah memutuskan hubungan keluarga dengan kita. Dia tidak menganggap a
“Nona Deasy, sebaiknya Anda menunggu di luar. Saya sedang ada tamu,” ujar Tuan Dayu.Bukannya pergi keluar, Deasy malah berjalan mendekat dengan senyum lebar.“Anda salah, Tuan. Seharusnya saya yang lebih dulu masuk. Lihat nomor urut saya!!”Deasy segera mengeluarkan nomor urut yang ia pegang dan meletakkannya di atas meja. Lea terperangah kaget. Nomor yang dipegang Deasy adalah nomor sebelum nomornya. Itu artinya harusnya Deasy yang lebih dulu menemui Tuan Dayu, bukan dia.Namun, bagaimana mungkin Deasy melakukannya? Bukankah dia baru saja datang?“Kamu curang, Lea. Harusnya aku dulu yang masuk, kan?”Kini Deasy kembali bersuara dan menuduhnya curang. Lea terperangah dan spontan menggeleng.“Aku tidak melihatmu di luar tadi, jadi ---”“Alah … alasan. Hanya aku tinggal ke toilet sebentar saja, kamu sudah menyerobot masuk. Apa kamu benar-benar ingin menang dalam proyek
Sementara itu Lea baru saja tiba di kantor Tuan Dayu. Ada Ghalib yang ikut menemaninya.“Mbak, saya sudah ada janji bertemu dengan Tuan Dayu,” ujar Lea ke salah satu gadis di bagian resepsionis.“Apa Nona salah satu kandidat yang akan melakukan lelang proyek hari ini?” tanya gadis resepsionis itu.Lea mengangguk sambil tersenyum. “Iya, benar sekali.”“Kalau begitu silakan langsung saja naik ke lantai 25, Nona. Di sana semua kandidat berkumpul.”Lea langsung menganguk lagi. Ia berpamitan dan sudah berjalan menuju lift bersama Ghalib. Namun, langkah Ghalib langsung berhenti. Lea terkejut melihatnya.“Ada apa?” tanya Lea.“Aku antar sampai sini saja, ya?”Lea tampak terkejut, alisnya mengernyit dengan mata menatap penuh tanya. Melihat reaksi Lea, Ghalib langsung tersenyum.“Bukannya apa, Babe. Aku mengenal betul Tuan Dayu. Ia tidak pernah mau jika
Tidak ada jawaban dari Nyonya Emilia. Wanita itu hanya diam sambil menatap Tuan Fandi dengan kesal. Sepertinya Nyonya Emilia memang sudah tahu letak kesalahannya dimana, hanya saja ia tidak mau mengakui.“Aku mohon … Mama pulang bersamaku. Aku janji akan mengembalikan semuanya menjadi lebih baik.”Nyonya Emilia berdecak sambil menggelengkan kepala.“Memangnya apa yang akan kau lakukan? Kita sudah kehilangan semua.”“Perusahaan, rumah, aset pribadi bahkan tabungan di bank habis tak bersisa.”“Asal kau tahu, aku sudah tidak punya apa-apa sekarang.”Tuan Fandi mengangguk sambil menatap Nyonya Emilia dengan sendu.“Iya, aku tahu, Ma. Namun, apa Mama lupa? Aku dan Ghalib masih bisa bekerja. Kami masih punya teman yang bisa membantu. Rasanya tidak sulit jika memulai kembali dari awal.”“Lalu … apa kamu bisa memberiku makanan enak dan rumah yang layak sepe
Kenan mengangguk beberapa kali sambil mulai memejamkan mata. Otaknya sudah merancang sebuah rencana, tinggal eksekusi yang baik saja harus ia lakukan.Pukul enam pagi, Lea sudah terbangun. Ia tampak sibuk menyiapkan sarapan di ruang makan. Ada Ghalib yang berada di sana juga menemani.“Kok kamu ikutan bangun?” tanya Lea.Ghalib hanya mengulum senyum sambil menatap Lea dengan sendu.“Aku gak bisa tidur kalau gak ada kamu.”Giliran Lea yang tersenyum mendengar gombalan Ghalib.“Ya sudah, buruan mandi. Kita berangkat jam tujuh. Aku gak mau terlambat.”Ghalib manggut-manggut. Ia sudah bersiap kembali ke kamar, tapi tiba-tiba menghentikan langkah.“Babe, apa kamu sudah menyiapkan proposalmu? Bagaimanapun, kita harus punya senjata untuk bertemu Tuan Dayu.”Lea tersenyum sambil mengangguk.“Sudah. Aku juga sudah menelepon Nenek. Rasanya Nenek tidak keberatan. Nenek ju