"Bu, Ibu lihat hape, Ranum yang ada di laci, gak?" tanyaku malam ini. Setelah mengobrak-abrik seluruh isi kamar, aku tidak sama sekali menemukan ponsel itu. Dan satu-satunya cara, ialah menanyakannya pada Ibu. Mata Ibu melirik sebentar ke arah Bapak yang tengah menikmati secangkir teh manis seraya duduk di sofa menonton televisi. Di bawahnya, Shanum sedang mewarnai gambar princess kesukaannya seraya duduk lesehan. "Iya, Ibu yang ambil." "Ya Allah, Ibu .... Kapan?" tanyaku tidak percaya. "Tadi. Saat kamu dan Bapak ke rukonya Haji Darmin, Ibu pulang dengan ojek." "Sekarang, mana ponselnya? Kembalikan padaku." Aku mengadahkan tangan meminta barangku kembali. Namun, Ibu menggelengkan kepalanya menolak memberikan ponsel yang menyimpan jawaban atas pertanyaan yang bersarang di otakku. "Ibu, tidak akan memberikannya padamu.""Kenapa, Bu? Ayolah, jangan seperti ini?" Kembali Ibu menggelengkan kepala. Tangannya sibuk melipat pakaian, tanpa menatapku yang mengiba. "Dengarkan Ibu, Ranu
"Bunda, hari ini aku mau bekal roti isi selai cokelat, ya?" pinta Shanum saat aku tengah menyisir rambutnya. "Siap, Sayang. Minumnya mau apa? Susu kotak, atau susu yang hangat?" "Emh ... susu kotak saja, Bunda. Kalau susu hangat, aku jadi ingat pada kakak. Bunda, hari ini mau jenguk kakak, gak? Kalau jenguk, bilang pada kakak, ya, kalau Shanum sedang rindu pada dia."Aku tersenyum dibalik punggung putri kecilku yang semakin hari semakin pintar. Ucapannya aku jawab dengan gumama saja. Mendengar nama Cahaya, ingatanku kembali pada Ibu. Hati dia masih keras. Jangankan untuk meminta balik ponselku, sudah menyinggungnya saja Ibu tidak memberikan respon sama sekali. "Sudah, Sayang. Sekarang, Shanum tunggu di ruang tengah dulu, ya? Bunda mau buatkan bekal untuk Shanum." "Iya, Bunda." Kami sama-sama keluar dari kamar. Shanum pergi ke ruang tengah, dan aku pergi ke ruang makan yang di sana sudah ada Ibu dan Bapak. "Shanum mana?" tanya Ibu. "Lagi nungguin aku buat bekal, Bu.""Tidak mau
"Kamu nguping, Ranum?" tanya Mawar semakin panik. "Enggak. Orang aku baru dateng, kok. Aku mau minta ijin buat masuk ke kamar Cahaya, mau jenguk dia sebentar," kataku seraya mengeluarkan tangan dari dalam tas. Aku menatap Mawar yang juga menatapku penuh ketakutan. "Yakin, kamu gak nguping?" ujarnya lagi. "Enggaklah. Emang kamu ngomongin apa, sih sampai ketakutan kayak gitu? Merencanakan kejahatan, ya?" "Jangan nuduh kamu! Bukan urusanmu aku bicara apa, dengan siapa. Kalau mau masuk, masuk saja. Gak usah ijin-ijin segala. Ganggu orang aja." Mawar menggerutu. Dia berjalan melewatiku, lalu duduk di bangku panjang dekat pintu kamar Cahaya. Dan aku hanya tersenyum puas melihat dia salah tingkah. Tanpa bicara lagi, aku pun masuk melihat Cahaya yang masih sama seperti hari kemarin. Tidur tanpa bergerak. "Selamat pagi, Kakak. Bunda datang lagi, nih buat bangunin Kakak. Yuk, bangun. Emang gak pegel, tidur terus?" Aku mengusap lengan dia dengan lembut. Tanganku beralih mengusap keningn
Kulangkahkan lebih cepat karena harus bertemu dengan seseorang. Hari ini, aku sudah buat janji dengan Devano. Aku butuh dia dalam menyelesaikan masalah yang tengah aku hadapi sekarang dengan bukti yang aku punya. Kafe Magnolia menjadi tempat kami membuat janji. Masih pagi, pengunjung di sini pun masih sedikit. Di depanku sudah ada cokelat panas dengan aroma yang khas. Juga kopi susu untuk Devano. "Hay, Num! Sudah lama?" Aku mendongak melihat pada pria yang baru saja datang. Devano menyimpan kunci mobilnya di meja, lalu duduk berhadap-hadapan denganku. "Tidak, baru beberapa menit saja. Aku sudah pesankan kopi untukmu. Silahkan diminum, mumpung masih hangat," ujarku menggeser sedikit gelas ke depan Devano. "Wah, baik sekali klien yang satu ini. Terima kasih banyak, Bu Ranum," kelakarnya membuatku ikut tertawa. Beberapa saat kami saling diam menikmati minuman kami masing-masing. Aku memperbaiki letak duduk agar semakin nyaman dalam berbicara. "Van, kamu tahu kenapa aku meminta b
Baju serta tubuhku basah kuyup dari atas hingga bawah. Bukan satu gelas air, melainkan satu ember yang sengaja ditumpahkan wanita itu padaku. Wanita asing yang baru aku lihat sekarang. "Kamu ini siapa, punya dendam apa hingga membuatku seperti ini?" ujarku seraya berdiri dengan tatapan ke arahnya. Wanita cantik bertubuh ramping itu bersidekap dada melihatku tanpa iba. Bibirnya mencebik, mengejek merendahkanku."Woi, kalau ditanya, tuh jawab!" ujar Soni kembali berteriak. "Kalian mau tahu siapa saya? Kamu mau tahu kenapa aku melakukan itu padamu, wahai Wanita Ganjen!" Aku sedikit tersentak dengan panggilannya padaku. Ganjen. Aku ganjen? Pada siapa? "Apa maksudmu?" tanyaku lagi masih tidak mengerti. "Harus kamu tahu, aku ini istri dari pria yang tadi duduk bersamamu. Oh, jadi ini rupa wanita yang selalu mengajak suamiku berjumpa? Wajah-wajah lugu tapi penuh dengan tipu daya."Laki-laki yang bersamaku? "Kamu istrinya Devano?" ujarku bertanya. "Iya. Aku istrinya Devano. Berhent
Aku mengedikkan bahu. Jika Safira mengatakan Devano belum menikah, itu artinya wanita tadi hanya mengaku-ngaku saja untuk memperlakukanku? "Bentar-bentar, ini bukan wanitanya?" ujar Safira memperlihatkannya foto wanita yang sama persis dengan wajah perempuan yang melabrakku tadi. "He'em, dia orangnya," ucapku yakin. "Wah, parah. Dia ini, emang pernah dikenalkan Devano pada keluarga sebagai pacarnya, tapi tidak mendapatkan restu dari ibunya Devano. Kok, berani banget ngaku-ngaku?" ujar Safira lagi. "Kenapa tidak restui?" Pembahasan kami semakin menarik. Apalagi sumber pembahasan adalah Devano dan wanita yang tadi telah melabrakku. "Mana aku tahu, Num. Mungkin gak sreg aja sama wanita itu.""Apa jangan-jangan, mereka sudah nikah tapi diam-diam, ya, Fir?" ujarku lagi mengatakan kemungkinan. Karena tidak mungkin wanita tadi akan seberani itu, jika hanya sebagai kekasih. Kemungkinannya hanya ada dua. Dia memang istrinya, atau dia disuruh seseorang. Dalam artian, dibayar untuk mempe
"Innalillahi ...!!""Astaghfirullahaladzim! Apa-apaan kalian ini, hah?!" Sayup-sayup kudengar suara orang berteriak, tapi mataku masih teramat berat. "Ranum! Soni! Bangun!!"Ibu, itu suara Ibu yang berteriak lantang. Aku mendengar suara-suara itu, tapi tidak dapat membuka mata. "Bangun! Bangun kalian!!" Aku sedikit menggeliat dengan berusaha membuka mata. Perlahan, mataku mulai bisa dibuka dan akhirnya semua nampak jelas di depanku. Ibu, Bapak, juga orang-orang tengah berdiri melihatku dengan ekspresi yang tidak biasa. Wajah-wajah itu seperti marah dan ...."Soni!" Aku menjerit kencang ketika melihat Soni tergeletak di sampingku dengan tubuh yang polos. Dadaku bertalu-talu dengan pikiran yang berkelana. Apalagi setelah melihat kondisiku yang ternyata sama-sama tidak memakai busana. Soni mengerjapkan mata, kemudian tersentak setelah melihat kondisi kami yang hanya memakai dalaman berselimutkan kain tipis. Bugh! Bugh!Bapak memukul wajah Soni setelah menyadari pria itu bangun
"Pak, bagaimana ini?" ujar Ibu menoleh pada Bapak. Bapak menganggukkan kepala seraya menghampiriku yang tersedu di pelukan Ibu. "Ranum, pasrah saja dulu, daripada nanti kamu diarak keliling pasar. Bukan hanya kamu yang malu, tapi kami juga. Ingat, anakmu akan mendengar cerita ini dari orang-orang jika besar nanti. Ikhlas, Nak. Bapak akan menikahkan kalian."Aku semakin terisak menolak ucapan Bapak, tapi tidak memilki kuasa untuk menyela. Pasrah, adalah satu-satunya cara untuk meredam amarah warga. Beberapa saat saling bicara satu sama lain antara Bapak dan Soni, akhirnya pria dengan status waliku itu menjabat tangan Soni dan pernikahan pun terjadi. Dua saksi yang tak lain Pak Haji Darmin dan satu rekan Bapak, mengatakan sah atas ijab qobul yang diucapkan Soni. Semua orang bersorak seperti mendapatkan hadiah atas pernikahan dadakan ini. Sedangkan aku, aku semakin tergugu dengan nasib diri yang selalu diliputi kesedihan ini. "Yuk, bubar-bubar! Sekarang waktunya makan-makan!" ujar