Kulangkahkan lebih cepat karena harus bertemu dengan seseorang. Hari ini, aku sudah buat janji dengan Devano. Aku butuh dia dalam menyelesaikan masalah yang tengah aku hadapi sekarang dengan bukti yang aku punya. Kafe Magnolia menjadi tempat kami membuat janji. Masih pagi, pengunjung di sini pun masih sedikit. Di depanku sudah ada cokelat panas dengan aroma yang khas. Juga kopi susu untuk Devano. "Hay, Num! Sudah lama?" Aku mendongak melihat pada pria yang baru saja datang. Devano menyimpan kunci mobilnya di meja, lalu duduk berhadap-hadapan denganku. "Tidak, baru beberapa menit saja. Aku sudah pesankan kopi untukmu. Silahkan diminum, mumpung masih hangat," ujarku menggeser sedikit gelas ke depan Devano. "Wah, baik sekali klien yang satu ini. Terima kasih banyak, Bu Ranum," kelakarnya membuatku ikut tertawa. Beberapa saat kami saling diam menikmati minuman kami masing-masing. Aku memperbaiki letak duduk agar semakin nyaman dalam berbicara. "Van, kamu tahu kenapa aku meminta b
Baju serta tubuhku basah kuyup dari atas hingga bawah. Bukan satu gelas air, melainkan satu ember yang sengaja ditumpahkan wanita itu padaku. Wanita asing yang baru aku lihat sekarang. "Kamu ini siapa, punya dendam apa hingga membuatku seperti ini?" ujarku seraya berdiri dengan tatapan ke arahnya. Wanita cantik bertubuh ramping itu bersidekap dada melihatku tanpa iba. Bibirnya mencebik, mengejek merendahkanku."Woi, kalau ditanya, tuh jawab!" ujar Soni kembali berteriak. "Kalian mau tahu siapa saya? Kamu mau tahu kenapa aku melakukan itu padamu, wahai Wanita Ganjen!" Aku sedikit tersentak dengan panggilannya padaku. Ganjen. Aku ganjen? Pada siapa? "Apa maksudmu?" tanyaku lagi masih tidak mengerti. "Harus kamu tahu, aku ini istri dari pria yang tadi duduk bersamamu. Oh, jadi ini rupa wanita yang selalu mengajak suamiku berjumpa? Wajah-wajah lugu tapi penuh dengan tipu daya."Laki-laki yang bersamaku? "Kamu istrinya Devano?" ujarku bertanya. "Iya. Aku istrinya Devano. Berhent
Aku mengedikkan bahu. Jika Safira mengatakan Devano belum menikah, itu artinya wanita tadi hanya mengaku-ngaku saja untuk memperlakukanku? "Bentar-bentar, ini bukan wanitanya?" ujar Safira memperlihatkannya foto wanita yang sama persis dengan wajah perempuan yang melabrakku tadi. "He'em, dia orangnya," ucapku yakin. "Wah, parah. Dia ini, emang pernah dikenalkan Devano pada keluarga sebagai pacarnya, tapi tidak mendapatkan restu dari ibunya Devano. Kok, berani banget ngaku-ngaku?" ujar Safira lagi. "Kenapa tidak restui?" Pembahasan kami semakin menarik. Apalagi sumber pembahasan adalah Devano dan wanita yang tadi telah melabrakku. "Mana aku tahu, Num. Mungkin gak sreg aja sama wanita itu.""Apa jangan-jangan, mereka sudah nikah tapi diam-diam, ya, Fir?" ujarku lagi mengatakan kemungkinan. Karena tidak mungkin wanita tadi akan seberani itu, jika hanya sebagai kekasih. Kemungkinannya hanya ada dua. Dia memang istrinya, atau dia disuruh seseorang. Dalam artian, dibayar untuk mempe
"Innalillahi ...!!""Astaghfirullahaladzim! Apa-apaan kalian ini, hah?!" Sayup-sayup kudengar suara orang berteriak, tapi mataku masih teramat berat. "Ranum! Soni! Bangun!!"Ibu, itu suara Ibu yang berteriak lantang. Aku mendengar suara-suara itu, tapi tidak dapat membuka mata. "Bangun! Bangun kalian!!" Aku sedikit menggeliat dengan berusaha membuka mata. Perlahan, mataku mulai bisa dibuka dan akhirnya semua nampak jelas di depanku. Ibu, Bapak, juga orang-orang tengah berdiri melihatku dengan ekspresi yang tidak biasa. Wajah-wajah itu seperti marah dan ...."Soni!" Aku menjerit kencang ketika melihat Soni tergeletak di sampingku dengan tubuh yang polos. Dadaku bertalu-talu dengan pikiran yang berkelana. Apalagi setelah melihat kondisiku yang ternyata sama-sama tidak memakai busana. Soni mengerjapkan mata, kemudian tersentak setelah melihat kondisi kami yang hanya memakai dalaman berselimutkan kain tipis. Bugh! Bugh!Bapak memukul wajah Soni setelah menyadari pria itu bangun
"Pak, bagaimana ini?" ujar Ibu menoleh pada Bapak. Bapak menganggukkan kepala seraya menghampiriku yang tersedu di pelukan Ibu. "Ranum, pasrah saja dulu, daripada nanti kamu diarak keliling pasar. Bukan hanya kamu yang malu, tapi kami juga. Ingat, anakmu akan mendengar cerita ini dari orang-orang jika besar nanti. Ikhlas, Nak. Bapak akan menikahkan kalian."Aku semakin terisak menolak ucapan Bapak, tapi tidak memilki kuasa untuk menyela. Pasrah, adalah satu-satunya cara untuk meredam amarah warga. Beberapa saat saling bicara satu sama lain antara Bapak dan Soni, akhirnya pria dengan status waliku itu menjabat tangan Soni dan pernikahan pun terjadi. Dua saksi yang tak lain Pak Haji Darmin dan satu rekan Bapak, mengatakan sah atas ijab qobul yang diucapkan Soni. Semua orang bersorak seperti mendapatkan hadiah atas pernikahan dadakan ini. Sedangkan aku, aku semakin tergugu dengan nasib diri yang selalu diliputi kesedihan ini. "Yuk, bubar-bubar! Sekarang waktunya makan-makan!" ujar
Wanita yang masih memakai piyama satin di atas lutut masuk ke dapur, lalu berkacak pinggang dengan bibir bergerak. Mungkin dia tengah memarahi gadis yang tak lain putrinya sendiri. Mawar. Dia mengambil mie instan dari bufet atas, lalu merebusnya. Satu mangkuk mie dia sajikan di depan Cahaya yang tengah kelaparan. "Kakak, gak boleh makan mie," kataku ingin menghentikan waktu. Di sana, Cahaya diam. Dia bersidekap dada seraya menggelengkan kepala menolak makanan yang disajikan ibunya. Namun ... tanganku terkepal kuat ketika Mawar memaksa anak itu untuk makan. Dia mencengkram kedua pipi Cahaya dengan sebelah tangan menyuapkan mie instan dengan kasar. Gagal. Cahaya menutup mulutnya rapat-rapat, dan itu membuat si ibu naik darah. "Ya Allah ...!" Aku menutup mulut melihat Mawar menekan kepala Cahaya pada mangkuk berisikan mie yang aku yakini masih panas. Cahaya berontak. Dia melawan ibunya dengan tangan yang bergerak tidak beraturan. Namun, Mawar pun tidak tinggal diam. Manusia seteng
Setengah berlari aku masuk menyusuri koridor rumah sakit dengan senyum tak lepas dari bibir. Lelah tak kurasa, yang ada bahagia dengan bayangan wajah Cahaya di pelupuk mata. Semakin dekat dengan ruangan di mana Cahaya berada, dadaku semakin berdegup kencang. Apalagi, setelah mata ini melihat Mama yang tengah duduk di depan kamar Cahaya. "Mah, mana Aya?" tanyaku seraya mengatur napas.Mama berdiri, melangkah mendekatiku dan ....Plak!Aku bergeming. Tidak mengerti kenapa tiba-tiba Mama menamparku dengan air matanya yang menganak sungai. "Mah—""Ke mana saja, kamu? Kenapa baru datang sekarang? Katanya kamu sayang pada Cahaya, katanya kamu menganggap dia anakmu sendiri, tapi kenapa baru datang?!" jerit Mama, kemudian tubuh itu kembali duduk dengan kedua tangan menutupi wajah tuanya. Aku masih diam di tempat tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Mulutku tertutup rapat tidak sama sekali bisa berkata-kata saat Mama kembali berucap. "Tadi, Cahaya bangun, Ranum. Dia mencarimu. Dia memi
"Cahaya! Kenapa secepat ini kamu pergi, Nak?" "Bangun, Sayang. Ini Nenek datang untukmu, huhuhu ...!"Aku tersenyum masam melihat aktris-aktris yang tengah beradu akting di sana. Pantas saja Mawar pandai sekali bersandiwara, karena ibunya pun sama. Di depan semua orang yang datang memberikan ucapan belasungkawa, mereka menangis seolah-olah merasa sangat kehilangan. Di sini, aku hanya jadi penonton mereka seraya duduk bersandar pada tembok. Air mataku sudah hilang. Kering dan tak lagi turun seperti di rumah sakit tadi. Bukan karena aku sudah tidak sedih, tapi diri ini sedang berdamai dengan takdir. Belajar merelakan meskipun teramat berat. "Bunda ...."Aku menoleh ke samping di mana Shanum duduk di pangkuan ayahnya. Sejak datang bersama Ibu dan Bapak, anak itu tak mau jauh dari Mas Sandi. Sesekali dia mengusap kepala kakaknya yang tertutup kain kafan. "Apa, Nak?" tanyaku. "Kakak, kok tidak bangun-bangun, ya Bunda ...." Aku memaksakan tersenyum, tapi enggan untuk menjawab. Tub