Saat pria berjubah abu-abu itu mengangkat tangannya, bola kristal di genggamannya mulai memancarkan cahaya merah yang semakin terang. Udara di sekitar mereka bergetar, seolah-olah seluruh ruangan bawah tanah sedang menahan napas. Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk bereaksi. Namun, Mei Xiang tetap tenang—ia tahu bahwa panik hanya akan membuat situasi semakin buruk.
"Kita harus bertindak cepat," bisik Mei Xiang dengan nada tegas, matanya tetap tertuju pada pria berjubah abu-abu itu. "Jika dia melepaskan serangan itu, kita tidak akan bisa bertahan." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa takut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan—senjata satu-satunya hanyalah sapu bambu tua yang tampak begitu rapuh dibandingkan dengan kekuatan magis yang dimiliki musuh mereka. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit—sebuah keyakinan bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia adalah keturunan dewa naga, seperti yang diperlihatkan oleh Ujian Masa Lalu. Apakah mungkin ada kekuatan dalam dirinya yang belum sepenuhnya ia sadari? Sebelum mereka sempat memikirkan rencana lebih lanjut, suara gemuruh keras kembali terdengar dari dalam kegelapan. Tanah di bawah mereka mulai bergetar hebat, dan retakan-retakan besar mulai muncul di dinding-dinding batu. Pria berjubah abu-abu itu tampak terganggu, matanya menyipit saat ia mencoba mempertahankan fokus pada bola kristalnya. Namun, getaran itu semakin kuat, membuatnya sulit untuk tetap berdiri tegak. "Apa yang sedang terjadi?" teriak pria itu dengan nada marah, suaranya bergema di seluruh ruangan. Mei Xiang tersenyum tipis, seolah-olah ia sudah menduga hal ini akan terjadi. "Ini adalah harga yang harus kau bayar untuk masuk ke tempat ini," katanya dengan nada dingin. "Setiap langkah yang kau ambil di sini membawa konsekuensi. Kau tidak bisa mengendalikan kekuatan yang ada di sini." Pria berjubah abu-abu itu menggeram marah, lalu mencoba meluncurkan serangan dari bola kristalnya. Namun, kali ini, serangannya tidak berhasil—cahaya merah yang keluar dari bola itu langsung lenyap begitu menyentuh udara yang dipenuhi oleh getaran magis. Ia mencoba lagi, namun hasilnya tetap sama. Bola kristal itu mulai bergetar di tangannya, seolah-olah kekuatannya sedang direnggut pergi. "Inilah akhirnya," kata Mei Xiang dengan nada mantap. "Kita harus pergi sekarang, sebelum seluruh tempat ini runtuh." Li Zhen mengangguk, lalu mengikuti Mei Xiang yang mulai berlari menuju celah kecil yang mereka gunakan untuk masuk ke ruangan ini. Namun, sebelum mereka mencapai celah itu, makhluk raksasa dengan tubuh batu muncul kembali dari kegelapan, menghalangi jalan mereka. "Kalian telah lulus ujian, namun kalian tidak bisa meninggalkan tempat ini tanpa membayar harga," kata makhluk itu dengan suara yang dalam dan menggelegar. "Tunjukkan bahwa kalian layak untuk melanjutkan perjalanan ini." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Apa lagi yang harus mereka lakukan? Mereka sudah melewati ujian bola api, dan mereka bahkan berhasil melawan Bayangan Hitam. Apa yang masih kurang? Namun, Mei Xiang tampaknya sudah memahami apa yang diminta oleh makhluk itu. Ia melangkah maju, lalu meletakkan gulungan kedua yang baru saja mereka dapatkan di atas telapak tangan makhluk raksasa itu. "Kami menyerahkan ini sebagai bukti bahwa kami layak," katanya dengan nada hormat. "Namun, kami membutuhkannya untuk melanjutkan pencarian kami." Makhluk itu diam selama beberapa saat, seolah-olah sedang mempertimbangkan kata-kata Mei Xiang. Kemudian, ia mengangguk pelan, lalu memberikan gulungan itu kembali kepada Mei Xiang. "Kalian telah membuktikan bahwa kalian tidak tamak," katanya. "Ambillah ini, dan pergilah sebelum tempat ini runtuh." Tanpa ragu-ragu, Mei Xiang mengambil gulungan itu, lalu menarik tangan Li Zhen dan mulai berlari menuju celah kecil. Getaran di bawah mereka semakin kuat, dan retakan-retakan besar mulai muncul di langit-langit ruangan. Pria berjubah abu-abu itu mencoba mengejar mereka, namun langkah-langkahnya terhenti saat tanah di bawah kakinya mulai runtuh, menyeretnya ke dalam jurang gelap yang terbuka. "Kita tidak punya banyak waktu!" teriak Mei Xiang, suaranya nyaris hilang di antara gemuruh keras yang semakin intens. Mereka berdua berlari secepat mungkin, melompati retakan-retakan besar yang mulai muncul di tanah. Napas mereka tersengal-sengal, namun mereka tidak berhenti. Akhirnya, mereka mencapai celah kecil yang mereka gunakan untuk masuk ke ruangan ini. Mei Xiang melompat masuk terlebih dahulu, diikuti oleh Li Zhen tepat di belakangnya. Begitu mereka berada di dalam lorong bawah tanah, suara gemuruh keras terdengar dari belakang mereka. Dinding-dinding lorong mulai runtuh, memblokir jalan kembali ke ruangan utama. Mereka terus berlari, menyusuri lorong-lorong yang semakin terang. Cahaya matahari mulai terlihat di ujung lorong, memberikan harapan bahwa mereka akan segera keluar dari tempat ini. Akhirnya, mereka sampai di pintu keluar yang terbuka ke sebuah padang rumput luas. Udara segar menyambut mereka, seolah-olah mereka baru saja lolos dari dunia lain. Li Zhen jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal karena kelelahan. Namun, ia merasa lega—mereka berhasil selamat dari salah satu tantangan terbesar dalam perjalanan ini. Mei Xiang berdiri di sampingnya, matanya memandangi gulungan kedua yang masih ia pegang erat-erat. "Kita berhasil," katanya dengan nada lembut, namun ada nada kekhawatiran di dalam suaranya. Li Zhen menatapnya dengan bingung. "Apa yang salah?" tanyanya. "Kita sudah mendapatkan gulungan kedua, dan kita berhasil lolos dari tempat itu. Kenapa kau masih terlihat khawatir?" Mei Xiang menghela napas panjang, lalu duduk di samping Li Zhen. "Ada sesuatu yang tidak kuberitahukan padamu," katanya dengan nada pelan. "Gulungan ini... bukan hanya tentang Silsilah Naga Emas. Ada rahasia yang lebih besar di balik semua ini—rahasia yang mungkin akan mengubah hidupmu selamanya." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Apa yang Mei Xiang maksud? Apakah ada sesuatu tentang dirinya yang belum ia ketahui? Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Mei Xiang melanjutkan, "Kita masih memiliki jalan panjang di depan. Dan aku tidak yakin apakah kita bisa melaluinya tanpa mengorbankan sesuatu yang penting." Li Zhen tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap Mei Xiang dengan ekspresi bingung, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Namun, satu hal yang ia tahu pasti adalah bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran—kebenaran yang mungkin akan mengubah segalanya. Setelah beberapa saat beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan menuju lokasi berikutnya yang ditunjukkan oleh peta tua yang mereka dapatkan dari Kota Tersembunyi. Jalan setapak yang mereka lewati semakin curam dan berbatu, namun udara di sekitar mereka mulai berubah. Ada sesuatu yang magis tentang atmosfer di sini—seolah-olah mereka sedang memasuki wilayah yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Di kejauhan, mereka melihat sebuah gunung tinggi yang menjulang ke langit. Di puncak gunung itu, ada sebuah kuil kuno yang tampak seperti bangunan yang terbuat dari emas murni. Cahaya matahari yang memantul dari kuil itu membuatnya tampak seperti mimpi yang tidak nyata. "Itu adalah Kuil Matahari Emas," kata Mei Xiang dengan nada hormat. "Tempat itu adalah salah satu lokasi terakhir yang harus kita kunjungi sebelum menemukan Silsilah Naga Emas." Li Zhen merasa jantungnya berdebar kencang. Apa yang ada di Kuil Matahari Emas? Dan bagaimana mereka bisa menghadapi tantangan yang mungkin menanti di sana? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di benaknya, namun ia tahu bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Langkah-langkah mereka semakin mantap, meskipun hati mereka dipenuhi oleh ketidakpastian. Mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran—kebenaran tentang Silsilah Naga Emas, tentang diri mereka sendiri, dan tentang dunia yang mereka tinggali. Saat mereka mendekati gunung itu, udara di sekitar mereka mulai berubah. Ada sesuatu yang tidak wajar—sebuah perasaan hangat yang menyelimuti tubuh mereka, seolah-olah mereka sedang disambut oleh kekuatan magis yang tak terlihat. Namun, ada juga perasaan dingin yang menusuk tulang, seolah-olah ada bahaya yang mengintai di balik setiap sudut. Di tengah perjalanan, mereka menemukan sebuah desa kecil yang tersembunyi di lereng gunung. Desa itu tampak seperti tempat yang damai—rumah-rumah kayu sederhana dengan atap jerami tersebar di sepanjang lereng bukit, dikelilingi oleh ladang-ladang kecil yang subur dan sungai kecil yang mengalir deras. Namun, ada sesuatu yang aneh tentang desa ini—semua penduduknya tampak seperti bergerak dalam keheningan, seolah-olah mereka tidak menyadari keberadaan Li Zhen dan Mei Xiang. "Inilah Desa Surya Tersembunyi," kata Mei Xiang dengan nada hormat. "Tempat ini adalah salah satu pusat pengetahuan kuno di dunia. Di sini, kita mungkin bisa menemukan jawaban tentang gulungan ketiga." Mereka mulai berjalan menyusuri jalan-jalan desa, mencoba mencari informasi tentang Silsilah Naga Emas. Namun, semakin lama mereka berada di sana, semakin mereka menyadari bahwa desa ini tidak seperti tempat-tempat lain yang pernah mereka kunjungi. Ada sesuatu yang magis tentang atmosfernya—seolah-olah waktu berjalan lebih lambat, dan setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran yang mereka cari. Di salah satu sudut desa, mereka menemukan sebuah kuil kecil yang tampak tidak terawat. Di depan kuil itu, ada seorang pria tua yang duduk di kursi goyang, matanya tertutup seolah-olah ia sedang tidur. Namun, ketika mereka mendekat, pria itu tiba-tiba membuka matanya dan menatap mereka dengan pandangan tajam. "Kalian mencari sesuatu yang hilang," kata pria itu dengan suara yang serak namun penuh otoritas. "Namun, apa yang kalian cari mungkin tidak akan membawa kalian kebahagiaan." Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, lalu Mei Xiang melangkah maju. "Kami mencari Silsilah Naga Emas," katanya dengan nada hati-hati. "Apakah kau tahu sesuatu tentang itu?" Pria tua itu tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Masuklah," katanya, menunjuk ke dalam kuil. "Ada sesuatu yang mungkin bisa membantu kalian." Mereka masuk ke dalam kuil itu, yang ternyata penuh dengan barang-barang aneh—manuskrip kuno, senjata magis, dan artefak-artefak yang tidak bisa mereka pahami. Pria tua itu mengambil sebuah kotak kayu kecil dari rak, lalu membukanya dengan hati-hati. Di dalam kotak itu, ada sebuah peta tua yang tampak rapuh, dengan tulisan-tulisan kuno yang sulit dibaca. "Inilah petunjuk menuju gulungan ketiga," kata pria itu. "Namun, perjalanan menuju lokasi itu tidak akan mudah. Kalian harus melewati Kuil Matahari Emas, tempat yang dijaga oleh makhluk-makhluk gaib yang tidak kenal ampun." Li Zhen merasa jantungnya berdebar kencang. Kuil Matahari Emas? Apa yang ada di sana? Dan bagaimana mereka bisa menghadapi makhluk-makhluk gaib? Namun, Mei Xiang tampak lebih tenang, seolah-olah ia sudah mempersiapkan diri untuk tantangan apa pun. "Terima kasih," kata Mei Xiang, lalu mengambil peta itu dengan hati-hati. "Kami akan melanjutkan perjalanan ini." Pria tua itu mengangguk, lalu menutup kotak kayu itu. "Ingatlah," katanya dengan nada peringatan, "bahwa kekuatan besar selalu datang dengan harga yang besar. Hati-hatilah dengan apa yang kalian inginkan." Dengan peta di tangan, Li Zhen dan Mei Xiang meninggalkan kuil itu, siap untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju Kuil Matahari Emas. Mereka tahu bahwa tantangan yang lebih besar masih menanti di depan, namun mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa mundur. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari Silsilah Naga Emas—ini tentang menemukan kebenaran tentang diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Saat mereka berjalan menyusuri jalan-jalan Desa Surya Tersembunyi, Li Zhen tidak bisa berhenti memikirkan tentang apa yang baru saja dikatakan Mei Xiang. Ada rahasia yang lebih besar di balik semua ini—rahasia yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, ia tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah sekarang. Apapun yang menanti di depan, mereka harus menghadapinya bersama. Saat Li Zhen dan Mei Xiang melangkah menjauh dari Desa Surya Tersembunyi, mereka tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang mengamati setiap gerakan mereka dari balik bayang-bayang. Mata itu milik seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang yang diikat rapi di belakang kepalanya. Matanya tajam dan dingin, penuh dengan ambisi yang tak terbendung. Ia adalah Lady Ru Feng, salah satu bangsawan paling berkuasa di kerajaan. Di sisinya, ada seorang pria paruh baya dengan jenggot tebal dan mata yang menyipit penuh perhitungan—Duke Wei, seorang politisi ulung yang dikenal karena kecerdikannya dalam memanipulasi orang-orang di sekitarnya. "Apakah kita sudah mendapatkan informasi tentang mereka?" tanya Lady Ru Feng dengan nada dingin, matanya menyapu ruangan dengan ekspresi tidak sabar. Pria tua berjubah abu-abu yang mengikuti Li Zhen dan Mei Xiang tiba-tiba muncul dari bayang-bayang di sudut ruangan. Ia membungkuk hormat kepada Lady Ru Feng dan Duke Wei sebelum berbicara. "Mereka telah menemukan petunjuk menuju gulungan ketiga," katanya dengan suara datar. "Mereka akan menuju Kuil Matahari Emas dalam waktu dekat." Lady Ru Feng tersenyum tipis, namun senyum itu tidak mencapai matanya. "Bagus," katanya. "Kita tidak bisa membiarkan mereka mendekati Silsilah Naga Emas. Jika mereka berhasil menemukannya, semua rencana kita akan runtuh." Duke Wei mengangguk setuju. "Aku sudah mengirim beberapa Bayangan Hitam untuk mengawasi mereka," katanya. "Namun, jika mereka benar-benar berhasil sampai ke Kuil Matahari Emas, kita harus memastikan bahwa mereka tidak keluar dari sana hidup-hidup." Lady Ru Feng berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekati peta raksasa di atas meja. Tangannya menyentuh simbol Kuil Matahari Emas dengan lembut, seolah-olah ia sedang menyentuh sesuatu yang rapuh namun berharga. "Kuil itu dijaga oleh makhluk-makhluk gaib yang tidak kenal ampun," katanya. "Namun, aku tidak ingin mengambil risiko. Kita harus mengirim seseorang untuk memastikan bahwa mereka gagal." Pria berjubah abu-abu mengangguk. "Aku akan pergi sendiri," katanya. "Aku sudah cukup mengenal mereka, dan aku tahu cara menghentikan mereka." Lady Ru Feng menatap pria itu dengan pandangan tajam. "Jangan gagal," katanya dengan nada peringatan. "Jika kau gagal, maka kau akan menjadi pengorbanan berikutnya." Pria itu membungkuk sekali lagi, lalu menghilang ke dalam bayang-bayang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lady Ru Feng dan Duke Wei saling bertukar pandang, lalu kembali memandangi peta itu dengan ekspresi serius. Di ujung lain Kota Tersembunyi, di sebuah ruangan bawah tanah yang hanya dikenal oleh segelintir orang, sekelompok individu berkumpul di sekitar meja bundar besar. Di atas meja itu, ada peta raksasa yang menunjukkan seluruh wilayah kerajaan, termasuk lokasi-lokasi penting seperti Kuil Bulan Hitam, Kota Tersembunyi, dan istana kaisar. Setiap lokasi itu ditandai dengan simbol-simbol aneh yang bercahaya redup, seolah-olah peta itu hidup. Salah satu dari mereka adalah seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang yang diikat rapi di belakang kepalanya. Matanya tajam dan dingin, penuh dengan ambisi yang tak terbendung. Ia adalah Lady Ru Feng, salah satu bangsawan paling berkuasa di kerajaan. Di sisinya, ada seorang pria paruh baya dengan jenggot tebal dan mata yang menyipit penuh perhitungan—Duke Wei, seorang politisi ulung yang dikenal karena kecerdikannya dalam memanipulasi orang-orang di sekitarnya. "Apakah kita sudah mendapatkan informasi tentang mereka?" tanya Lady Ru Feng dengan nada dingin, matanya menyapu ruangan dengan ekspresi tidak sabar. Pria berjubah abu-abu yang mengikuti Li Zhen dan Mei Xiang tiba-tiba muncul dari bayang-bayang di sudut ruangan. Ia membungkuk hormat kepada Lady Ru Feng dan Duke Wei sebelum berbicara. "Mereka telah menemukan petunjuk menuju gulungan ketiga," katanya dengan suara datar. "Mereka akan menuju Kuil Matahari Emas dalam waktu dekat." Lady Ru Feng tersenyum tipis, namun senyum itu tidak mencapai matanya. "Bagus," katanya. "Kita tidak bisa membiarkan mereka mendekati Silsilah Naga Emas. Jika mereka berhasil menemukannya, semua rencana kita akan runtuh." Duke Wei mengangguk setuju. "Aku sudah mengirim beberapa Bayangan Hitam untuk mengawasi mereka," katanya. "Namun, jika mereka benar-benar berhasil sampai ke Kuil Matahari Emas, kita harus memastikan bahwa mereka tidak keluar dari sana hidup-hidup." Lady Ru Feng berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekati peta raksasa di atas meja. Tangannya menyentuh simbol Kuil Matahari Emas dengan lembut, seolah-olah ia sedang menyentuh sesuatu yang rapuh namun berharga. "Kuil itu dijaga oleh makhluk-makhluk gaib yang tidak kenal ampun," katanya. "Namun, aku tidak ingin mengambil risiko. Kita harus mengirim seseorang untuk memastikan bahwa mereka gagal." Pria berjubah abu-abu mengangguk. "Aku akan pergi sendiri," katanya. "Aku sudah cukup mengenal mereka, dan aku tahu cara menghentikan mereka." Lady Ru Feng menatap pria itu dengan pandangan tajam. "Jangan gagal," katanya dengan nada peringatan. "Jika kau gagal, maka kau akan menjadi pengorbanan berikutnya." Pria itu membungkuk sekali lagi, lalu menghilang ke dalam bayang-bayang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lady Ru Feng dan Duke Wei saling bertukar pandang, lalu kembali memandangi peta itu dengan ekspresi serius. Sementara itu, di luar Kota Tersembunyi, Li Zhen dan Mei Xiang mulai menyusuri jalan setapak yang menuju ke arah Kuil Matahari Emas. Mereka tidak tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil sedang diamati oleh musuh-musuh yang tidak terlihat. Mereka juga tidak tahu bahwa rencana besar sedang dirancang untuk menghentikan mereka sebelum mereka mencapai tujuan mereka. Namun, ketika mereka melewati sebuah hutan kecil di tepi Kota Tersembunyi, Mei Xiang tiba-tiba berhenti. Ia menoleh ke belakang, matanya menyipit saat ia mencoba melihat melalui kabut tebal yang menyelimuti area itu. "Ada yang mengikuti kita," katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Li Zhen langsung merasakan darahnya berdesir. "Siapa?" tanyanya, suaranya bergetar meskipun ia mencoba untuk tetap tenang. Mei Xiang tidak menjawab. Ia hanya mengangkat pedang pendeknya, siap menghadapi apapun yang akan muncul dari balik kabut. Namun, sebelum mereka sempat bereaksi lebih jauh, suara langkah-langkah ringan mulai terdengar dari arah pepohonan. Langkah-langkah itu semakin dekat, dan akhirnya, sosok pria berjubah abu-abu itu muncul dari balik kabut. "Kalian tidak akan sampai ke Kuil Matahari Emas," kata pria itu dengan suara dingin, matanya menatap tajam ke arah mereka. "Serahkan peta itu, dan aku akan membiarkan kalian hidup." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Bagaimana pria ini bisa tahu tentang peta itu? Apakah ada pengkhianat di antara mereka? Ataukah Kota Tersembunyi itu sendiri adalah jebakan? Mei Xiang melangkah maju, pedangnya terangkat tinggi. "Kami tidak akan menyerah begitu saja," katanya dengan nada tegas. "Jika kau ingin peta itu, kau harus mengambilnya dari kami dengan paksa." Pria berjubah abu-abu itu tersenyum tipis, lalu mengeluarkan sebuah bola kristal kecil dari balik jubahnya. Bola itu mulai berkilauan dengan cahaya merah menyala, dan tiba-tiba, udara di sekitar mereka berubah menjadi dingin menusuk tulang. Dari balik kabut, muncul sosok-sosok berjubah hitam yang bergerak cepat dan gesit—Bayangan Hitam yang sama yang pernah mengejar mereka sebelumnya. "Kalian tidak punya kesempatan," kata pria itu dengan nada dingin. "Menyerahlah sekarang, atau kalian akan mati di sini." Li Zhen merasa napasnya tertahan. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa melawan begitu banyak musuh sekaligus. Namun, di dalam hatinya, ia juga tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah begitu saja. Gulungan ketiga adalah satu-satunya harapan mereka untuk menemukan Silsilah Naga Emas—dan mungkin jawaban tentang siapa dirinya sebenarnya. Sebelum pertempuran dimulai, Mei Xiang berbisik pelan kepada Li Zhen, "Aku punya rencana. Ikuti aku, dan percayalah padaku." Li Zhen mengangguk, meskipun ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Mei Xiang. Namun, ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain mempercayainya. Pertempuran besar akan segera dimulai, dan mereka harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Namun, sebelum serangan pertama dilancarkan, pria berjubah abu-abu itu mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada Bayangan Hitam untuk berhenti. "Kalian memiliki satu kesempatan terakhir," katanya dengan nada dingin. "Serahkan peta itu, atau kalian akan mati di sini." Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, lalu Mei Xiang tersenyum tipis. "Kami tidak akan menyerah," katanya dengan nada tegas. "Dan kalian akan menyesal telah mencoba menghentikan kami." Pria berjubah abu-abu itu tersenyum dingin, lalu mengangguk. "Baiklah," katanya. "Mari kita lihat apakah kalian benar-benar sekuat yang kalian kira." Dengan itu, Bayangan Hitam mulai bergerak maju, siap menyerang. Li Zhen dan Mei Xiang bersiap menghadapi pertempuran yang mungkin akan menjadi yang paling berbahaya dalam hidup mereka. Namun, di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang bertahan hidup—ini tentang melindungi rahasia besar yang bisa mengubah nasib seluruh kerajaan.Langkah-langkah Li Zhen dan Mei Xiang terhenti sejenak saat mereka berdiri di tepi hutan kecil yang memisahkan mereka dari Kuil Matahari Emas. Udara di sini terasa lebih berat, seolah-olah alam itu sendiri sedang menahan napas. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah—setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran, namun juga semakin dekat dengan bahaya. Mei Xiang mengeluarkan peta tua yang mereka dapatkan dari Desa Surya Tersembunyi. Peta itu tampak rapuh, namun ada aura magis yang kuat mengelilinginya. Ia mempelajari setiap detailnya dengan cermat, mencoba memastikan bahwa mereka berada di jalur yang benar. "Kita hampir sampai," katanya akhirnya, suaranya terdengar mantap meskipun ada nada kekhawatiran yang samar-samar. "Namun, kita harus hati-hati. Kuil Matahari Emas adalah tempat yang penuh dengan kekuatan magis. Setiap langkah yang salah bisa membawa kita ke dalam bahaya." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa bingung tentang apa yang m
Saat pria berjubah abu-abu itu mengangkat tangannya, bola kristal di genggamannya mulai memancarkan cahaya merah yang semakin terang. Udara di sekitar mereka bergetar, seolah-olah seluruh ruangan bawah tanah sedang menahan napas. Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk bereaksi. Namun, Mei Xiang tetap tenang—ia tahu bahwa panik hanya akan membuat situasi semakin buruk. "Kita harus bertindak cepat," bisik Mei Xiang dengan nada tegas, matanya tetap tertuju pada pria berjubah abu-abu itu. "Jika dia melepaskan serangan itu, kita tidak akan bisa bertahan." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa takut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan—senjata satu-satunya hanyalah sapu bambu tua yang tampak begitu rapuh dibandingkan dengan kekuatan magis yang dimiliki musuh mereka. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit—sebuah keyakinan bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia adalah keturunan dewa naga, seperti yang
Saat bola energi meluncur lurus ke arah Li Zhen, waktu seolah-olah melambat. Ia merasakan tubuhnya membeku, tak mampu bergerak meskipun otaknya berteriak untuk menghindar. Namun, tepat sebelum bola itu menyentuhnya, Mei Xiang melompat ke depan dengan kecepatan luar biasa, memotong bola energi itu dengan pedangnya hingga meledak menjadi cahaya terang yang menyilaukan. Ledakan itu membuat mereka terhempas beberapa langkah ke belakang, namun mereka masih hidup. "Kita tidak punya banyak waktu!" teriak Mei Xiang, suaranya nyaris hilang di antara gemuruh keras yang bergema di seluruh ruangan. "Kita harus bekerja sama!" Li Zhen mengangguk, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal-sengal. Ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk panik—mereka harus bertindak cepat jika ingin bertahan hidup. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan manik-manik biru dari sakunya dan memandangnya dengan penuh harap. Apakah artefak ini benar-benar bisa membantu mereka? Ia tidak tahu, namun ia tidak punya pilihan l
Saat Li Zhen dan Mei Xiang merasakan tubuh mereka lenyap ke dalam cahaya yang menyilaukan, mereka tidak tahu apakah mereka sedang menuju kematian atau sesuatu yang lebih besar. Namun, ketika cahaya itu perlahan memudar, mereka menemukan diri mereka berada di tempat yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Mereka berdiri di tengah sebuah padang rumput luas yang tak terlihat batasnya, dengan langit biru cerah yang dipenuhi awan putih yang mengambang pelan. Udara di sini terasa hangat namun segar, seperti angin musim semi yang lembut. Li Zhen melihat sekeliling dengan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Di mana kita?" tanyanya dengan nada pelan, suaranya nyaris hilang di antara desiran angin. Mei Xiang tampak lebih tenang, matanya menyapu seluruh area dengan penuh perhatian. "Ini adalah dimensi lain," katanya akhirnya. "Tempat ini bukan bagian dari dunia yang kita kenal. Ini adalah wilayah di antara realitas—tempat di mana Silsilah Naga Emas mungkin disembunyikan."
Saat bola energi emas meluncur lurus ke arah Li Zhen dan Mei Xiang, waktu seolah-olah melambat. Li Zhen merasakan tubuhnya membeku, tak mampu bergerak meskipun otaknya berteriak untuk menghindar. Namun, tepat sebelum bola itu menyentuh mereka, cahaya biru dari manik-manik yang baru saja meledak tiba-tiba memantul kembali, menciptakan penghalang transparan yang melindungi mereka. Bola energi itu bertabrakan dengan penghalang, meledak menjadi cahaya terang yang menyilaukan. Ledakan itu membuat seluruh ruangan bergetar hebat. Tanah di bawah mereka mulai retak, dan dinding-dinding batu mulai runtuh. Makhluk raksasa yang menjaga tempat itu menggeram keras, suaranya bergema seperti guntur. "Kalian telah menggunakan kekuatan yang tidak kalian pahami," katanya dengan nada marah. "Namun, ini belum berakhir." Li Zhen dan Mei Xiang terhempas beberapa langkah ke belakang oleh gelombang kejut ledakan itu. Mereka jatuh berlutut, napas mereka tersengal-sengal karena kelelahan. Namun, mereka tahu b
Saat Li Zhen dan Mei Xiang merasakan tubuh mereka lenyap ke dalam cahaya yang menyilaukan, mereka tidak tahu apakah mereka sedang menuju kematian atau sesuatu yang lebih besar. Namun, ketika cahaya itu perlahan memudar, mereka menemukan diri mereka berada di tempat yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Mereka berdiri di tengah sebuah padang rumput luas yang tak terlihat batasnya, dengan langit biru cerah yang dipenuhi awan putih yang mengambang pelan. Udara di sini terasa hangat namun segar, seperti angin musim semi yang lembut. Li Zhen melihat sekeliling dengan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Di mana kita?" tanyanya dengan nada pelan, suaranya nyaris hilang di antara desiran angin. Mei Xiang tampak lebih tenang, matanya menyapu seluruh area dengan penuh perhatian. "Ini adalah dimensi lain," katanya akhirnya. "Tempat ini bukan bagian dari dunia yang kita kenal. Ini adalah wilayah di antara realitas—tempat di mana Silsilah Naga Emas mungkin disembunyikan."
Saat kegelapan pekat mulai menyelimuti mereka, Li Zhen dan Mei Xiang merasakan tubuh mereka seperti terperangkap dalam ruang hampa. Tidak ada suara, tidak ada gerakan—hanya keheningan yang begitu tebal hingga rasanya bisa diraba. Namun, di tengah keheningan itu, mereka merasakan sesuatu yang aneh—seperti denyut nadi yang bergetar lemah di udara. Denyut itu bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam diri mereka sendiri. Li Zhen mencoba menggerakkan tangannya, namun ia hanya merasakan hampa. Ia ingin memanggil Mei Xiang, namun suaranya tidak keluar. Semua inderanya seolah-olah mati rasa, hanya meninggalkan perasaan kosong yang mendalam. Ia tidak tahu apakah ini adalah akhir dari perjalanan mereka ataukah awal dari sesuatu yang lebih mengerikan. Namun, sebelum rasa panik sepenuhnya menguasai dirinya, sebuah cahaya samar mulai muncul di kejauhan. Cahaya itu sangat lemah, hampir tak terlihat, namun cukup untuk membuat mereka sadar bahwa mereka masih hidup. Cahaya itu perlahan-lahan se
Saat Li Zhen dan Mei Xiang melangkah menjauhi tepi danau, mereka merasakan perubahan halus di udara. Angin dingin yang tiba-tiba berhembus membawa serta bisikan-bisikan aneh—suara-suara yang tidak terdengar jelas, namun cukup untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri. Mereka saling bertukar pandang, mencoba memastikan apakah mereka benar-benar mendengar hal yang sama. "Kita tidak punya waktu untuk ragu," kata Mei Xiang dengan nada tegas, meskipun matanya menyiratkan ketegangan. "Apa pun yang ada di depan, kita harus siap menghadapinya." Li Zhen mengangguk, meskipun ia merasa beban tanggung jawab itu semakin berat di pundaknya. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai—bahwa kekuatan Silsilah Naga Emas yang mereka temukan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar. Namun, ia juga sadar bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Setiap langkah yang mereka ambil telah membawa mereka lebih dekat pada takdir yang tidak bisa dihindari. Mereka mulai melanjutk
Di balik kabut pagi yang tipis di Desa Songlin, suasana terasa sendu dan penuh beban. Setelah peristiwa pencurian gulungan pertama yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah pondok kecil yang telah lama menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Di dalam ruangan sempit yang dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas—meskipun kini salah satunya tak lagi utuh, dan bayang-bayang pengkhianatan masih menyelimuti hati mereka. Li Zhen duduk termenung di meja kayu tua. Tangannya masih bergetar ketika ia membuka buku catatan kecil yang telah ia tulis selama perjalanan. Suaranya serak namun penuh tekad saat ia membaca dengan lirih: “Setiap tetes keringat, setiap luka, adalah bukti bahwa kita telah menempuh jalan penuh pengorbanan. Artefak itu seharusnya menjadi kunci bagi harapan desaku, namun kini telah dicuri oleh tangan-tangan kotor yang bekerja untuk Tuan Muda Hua. Kehilangan ini buka
Di tengah kekosongan yang menyisakan duka dan amarah akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin berubah drastis. Setelah peristiwa pengkhianatan yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah ruang pertemuan rahasia yang sederhana. Dinding-dinding kayu tua dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menciptakan bayang-bayang yang seakan menyimpan rahasia masa lalu. Tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan kini tersusun rapi di atas meja, namun kekosongan di bagian akhir naskah yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci” masih menghantui pikiran mereka. Li Zhen membuka buku catatan kecil dengan tangan gemetar. Suaranya pelan: “Setiap tetes keringat, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir kita untuk mengembalikan harapan bagi desaku. Namun, pencurian gulungan itu telah memaksa kita untuk memulai pencarian baru. Kita harus tahu siapa yang berani mencur
Di pagi yang kelabu, setelah kekacauan yang mengguncang pasca pencurian artefak pertama, Li Zhen duduk termenung di teras sebuah pondok kecil di pinggiran Desa Songlin. Udara pagi yang dingin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh, seolah alam pun turut merasakan duka yang menyelimuti jiwa para pejuang. Di tangan Li Zhen, tersisa potongan-perpotongan gulungan yang kini menjadi saksi dari perjuangan dan pengorbanan; meskipun artefak itu telah hilang, kenangan tentang keberadaannya membakar tekadnya untuk melangkah ke babak baru. Li Zhen membuka buku catatan kecilnya yang lusuh dan membaca dengan suara serak, “Setiap tetes keringat yang kita keluarkan, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir yang harus kita jalani. Artefak itu adalah kunci, bukan hanya bagi desaku, tapi bagi harapan seluruh rakyat. Jika dibiarkan jatuh ke tangan musuh, penderitaan akan berlanjut tanpa henti.” Ia menunduk, matanya berkaca karena amarah dan keputusasaan, lalu melanjutkan, “Kit
Di pagi yang kelabu dan sepi, setelah segala kekacauan dan kegetiran yang menyertai peristiwa pencurian gulungan pertama, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah rumah tua di pinggiran Desa Songlin. Rumah itu—tempat yang selama beberapa minggu terakhir menjadi pusat pertemuan rahasia dan strategi—menjadi saksi bisu dari tekad mereka yang semakin menguat. Di ruang sederhana yang dindingnya dipenuhi coretan peta, dokumen usang, dan catatan hasil penyelidikan, mereka duduk bersama dengan wajah serius. Di atas meja kayu besar, tersusun rapih tiga potongan Silsilah Naga Emas, meskipun salah satunya kini menjadi kenangan pahit karena pencurian yang mengguncang. Li Zhen memandangi gulungan yang tersisa, tangannya masih gemetar oleh amarah dan duka. Suara detak jam tua di sudut ruangan dan desiran angin yang menyelinap melalui celah jendela seolah menghitung setiap detik penderitaan yang telah mereka lalui. Dengan suara serak, ia membuka buku catatan kecil yang telah ia
Di tengah kekacauan yang menyisakan luka mendalam akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin terasa berbeda. Setelah serangan itu, langit yang dulu cerah kini tampak mendung, seolah-olah alam pun turut merasakan duka dan amarah yang melanda. Li Zhen, yang masih terbayang wajah-wajah yang terluka dan desaku yang hancur, duduk termenung di sebuah pondok kecil di pinggiran desa. Di ruang yang sempit itu, dinding-dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menari di atas meja kayu tua, menciptakan bayang-bayang yang seakan menceritakan kisah penderitaan dan harapan. Li Zhen membuka sebuah buku catatan yang pernah ia tulis dengan susah payah. Tangan gemetar karena emosi, ia membaca dengan suara serak: "Gulungan pertama adalah kunci awal yang membuka jalan ke Silsilah Naga Emas. Jika artefak itu jatuh ke tangan yang salah, maka penderitaan dan kezaliman akan merajalela. Kita harus mencari
Di pagi yang kelabu tanpa embun menyambut, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian bersiap meninggalkan persembunyian rahasia mereka di pinggiran Desa Songlin. Setelah kejadian pengkhianatan yang mengguncang—di mana artefak gulungan pertama dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup—tiga pejuang itu kini harus memulai pencarian baru untuk mengungkap jejak yang tersisa. Di ruang persembunyian kecil yang terbuat dari kayu tua dan bata, dinding-dindingnya masih dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan. Di atas meja besar yang lapuk, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan, meski salah satunya kini hilang dalam peristiwa pengkhianatan. Kode rahasia pada gulungan yang tersisa—dengan kalimat yang terputus di bagian akhir yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci”—masih menjadi misteri yang menggantung, seolah mengancam nasib perjuangan mereka. Dalam keheningan yang mencekam, Li Zhen membuka sebuah buku
Di bawah langit malam yang kelam, di tengah heningnya jalan setapak yang berliku di pinggiran Desa Songlin, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali dalam suasana penuh duka dan tekad. Kejadian yang mengguncang baru saja terjadi: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini dipercaya menyimpan rahasia Silsilah Naga Emas, dicuri secara tiba-tiba oleh sekelompok pembunuh bayaran. Pencurian itu bukan hanya mencederai rasa aman, tetapi juga menggugah emosi serta mengungkap pengkhianatan yang menyayat hati. Kini, tatapan tegas dan bibir yang terkatup rapat menjadi saksi bahwa mereka harus segera memulai pencarian baru—pencarian yang akan membawa mereka menelusuri jejak-jejak yang hilang, membuka rahasia di balik bayang-bayang kekuasaan, dan menuntaskan tugas mulia untuk mengembalikan harapan bagi desanya. Di sebuah pondok kecil di pinggiran desa, yang menjadi tempat persembunyian sementara mereka, Li Zhen duduk termenung di sudut ruangan. Di tangannya, ia masih menggenggam er
di sebuah sudut pedesaan di pinggiran Kota Xiping, perjalanan Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian memasuki fase baru yang penuh dengan kepedihan dan tekad. Setelah pengkhianatan yang mengguncang di Bab 41, di mana artefak pertama yang mereka percayai sebagai kunci Silsilah Naga Emas dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup, kini mereka harus menapaki jejak yang lebih sulit. Tak hanya untuk merebut kembali artefak yang hilang, tetapi juga untuk mengungkap rahasia yang terkubur di balik kode-kode kuno dan peringatan yang pernah mereka terima. Di ruang persembunyian rahasia yang terletak di sebuah bangunan tua di pinggiran Kota Xiping, lampu minyak yang redup menerangi dinding-dinding kayu usang. Meja kayu besar yang penuh dengan peta, dokumen, dan catatan terjemahan dari Li Fu masih terhampar, seolah menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Tiga potongan Silsilah Naga Emas kini tersusun rapi di atas meja, namun masih ada kekosongan d
Di tengah-tengah perjalanan awal yang penuh gejolak, ketika langit senja mulai memudar menjadi kelam dan bayang-bayang malam mulai menguasai jalan setapak di pedesaan, Li Zhen bersama Mei Xiang dan Wang Jian terhenti sejenak di sebuah jalan setapak di luar sebuah desa kecil. Mereka baru saja mengalami peristiwa yang mengguncang jiwa: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini menjadi kunci bagi rahasia “Silsilah Naga Emas,” telah dicuri secara tiba-tiba. Kecurigaan pun segera melanda, dan kebenaran pahit mulai tersingkap—pencuri itu bukanlah orang biasa, melainkan sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk salah satu bangsawan korup yang berusaha memanfaatkan artefak tersebut demi kekuasaan pribadinya.Dalam keheningan malam yang semakin pekat, Li Zhen menatap ke arah gulungan yang kini hilang, wajahnya menggambarkan campuran kemarahan dan keputusasaan. “Kita harus mencari tahu siapa yang berani mencuri artefak itu dan mengapa,” ujarnya dengan suara serak, seolah menahan amara