Kegelapan di dalam lorong bawah tanah itu terasa seperti selimut tebal yang menekan dada. Li Zhen dan Mei Xiang berdiri diam, napas mereka tersengal-sengal setelah melarikan diri dari Bayangan Hitam. Di hadapan mereka, makhluk raksasa dengan tubuh batu dan mata merah menyala masih berdiri kokoh, seolah-olah menunggu mereka untuk mengambil langkah pertama. Udara dingin yang menusuk tulang membuat Li Zhen merasa sesak, namun ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain menghadapi ujian ini.
Mei Xiang melangkah maju dengan pedangnya siap di tangan. "Apa yang harus kami lakukan?" tanyanya dengan nada tegas kepada makhluk raksasa itu. Makhluk itu menggeram pelan, suaranya bergema keras di seluruh ruangan bawah tanah. "Ujian ini bukan tentang kekuatan fisik," katanya dengan suara yang dalam dan mengguncang. "Ini tentang keberanian kalian untuk menghadapi masa lalu. Jika kalian tidak bisa menerima kebenaran tentang diri kalian sendiri, maka nyawa kalian akan menjadi milikku." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Apa maksudnya dengan "menghadapi masa lalu"? Ia sudah melewati Ujian Jiwa di Kota Tersembunyi—bukankah itu sudah cukup? Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, makhluk itu mengangkat salah satu tangannya yang besar dan berbatu. Dengan gerakan lambat, ia menunjuk ke arah sebuah pintu batu yang tampak tertutup rapat di sisi lain ruangan. "Pergilah ke sana," kata makhluk itu. "Di balik pintu itu, kalian akan menemukan apa yang kalian cari. Namun, ingatlah bahwa jalan ini tidak akan mudah." Mei Xiang melangkah mendekati pintu itu tanpa ragu, namun Li Zhen masih berdiri diam, hatinya dipenuhi keraguan. "Bagaimana jika kita gagal?" tanyanya pelan, suaranya hampir hilang di antara desiran udara dingin. "Kita tidak punya pilihan lain," jawab Mei Xiang tanpa menoleh. "Jika kita tidak melanjutkan, maka semua ini akan sia-sia. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur." Li Zhen menghela napas panjang, lalu mengikuti Mei Xiang menuju pintu batu itu. Pintu itu mulai bergerak perlahan saat mereka mendekat, membuka celah sempit yang cukup untuk satu orang melewatinya. Di balik pintu itu, cahaya redup mulai muncul, memperlihatkan tangga batu yang menuju ke bawah. Udara di sini terasa lebih lembap dan berat, seolah-olah mereka sedang memasuki perut bumi. Mereka mulai menuruni tangga batu yang curam, setiap langkah yang mereka ambil menciptakan gema yang bergaung di sepanjang lorong. Semakin dalam mereka masuk, semakin terang cahaya yang menyinari jalan mereka. Akhirnya, mereka sampai di sebuah ruangan luas yang terbuka ke langit malam. Ruangan itu dikelilingi oleh dinding-dinding batu tinggi, dengan atap terbuka yang memperlihatkan bintang-bintang yang berkilauan di atas kepala mereka. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu besar dengan ukiran-ukiran aneh yang mirip dengan simbol-simbol pada gulungan tua yang dibawa Li Zhen. Di atas altar itu, terdapat sebuah bola kristal besar yang berkilauan dengan cahaya biru samar. Cahaya itu tampak hidup, berdenyut seperti detak jantung. "Apa itu?" tanya Li Zhen, matanya terpaku pada bola kristal tersebut. "Inilah Ujian Masa Lalu," jawab Mei Xiang dengan nada serius. "Bola itu akan menunjukkan hal-hal yang mungkin tidak ingin kau lihat. Jika kau tidak bisa menerimanya, maka kau tidak akan bisa melanjutkan perjalanan ini." Li Zhen merasa tubuhnya gemetar. Apa yang akan ditunjukkan oleh bola kristal itu? Apakah ia akan melihat masa lalunya? Ataukah sesuatu yang lebih buruk? Ia melangkah mendekati altar itu dengan ragu-ragu, lalu berlutut di depannya. Tangannya terangkat, menyentuh permukaan bola kristal dengan ujung jarinya. Segera setelah itu, cahaya biru yang berdenyut mulai berubah menjadi warna hijau terang. Suara aneh—seperti bisikan banyak orang—terdengar di udara, menggema di seluruh ruangan. "Anak muda," kata suara itu, rendah dan bergema. "Kau telah datang untuk mencari kebenaran. Namun, kebenaran tidak selalu mudah untuk diterima. Apakah kau siap menghadapi konsekuensinya?" Li Zhen menelan ludah, lalu menjawab dengan suara yang bergetar, "Aku... aku siap." Cahaya hijau itu mulai berputar cepat, menciptakan pola-pola aneh yang sulit dipahami. Kemudian, gambar-gambar mulai muncul di dalam bola itu. Pertama, ia melihat dirinya sendiri sebagai anak kecil, bermain di ladang bersama orangtuanya. Kenangan itu begitu jelas, seolah-olah ia sedang mengalaminya kembali. Namun, gambar itu tiba-tiba berubah—ia melihat orangtuanya jatuh sakit, kemudian meninggal dunia, meninggalkannya sendirian di desa Qingyun. Gambar berikutnya menunjukkan dirinya yang lebih dewasa, bekerja di ladang dan membersihkan kuil tua. Namun, ada sesuatu yang aneh—di belakang setiap gambar, ada sosok bayangan besar yang mengikuti setiap langkahnya. Bayangan itu tampak seperti naga raksasa, namun wujudnya kabur, seolah-olah tidak sepenuhnya nyata. Suara itu kembali berbicara, "Kau adalah keturunan dari garis darah kuno, anak muda. Darahmu mengalir dari para dewa naga yang pernah menjaga keseimbangan dunia. Namun, warisan ini juga membawa beban besar. Kau harus memilih apakah akan menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan atau untuk kepentingan dirimu sendiri." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Apa yang baru saja dikatakan bola itu? Ia adalah keturunan dewa naga? Bagaimana mungkin? Ia hanyalah seorang pemuda biasa dari desa kecil. Namun, semakin ia memandangi gambar-gambar di dalam bola itu, semakin ia merasa bahwa ada kebenaran di balik kata-kata itu. Setelah beberapa saat, cahaya hijau itu berubah kembali menjadi biru, dan suara itu berkata, "Kau telah lulus, namun perjalananmu masih panjang. Jagalah gulungan itu dengan baik, karena ia adalah kunci untuk menemukan jati dirimu." Li Zhen bangkit dari posisi berlututnya, tubuhnya gemetar karena emosi yang bercampur aduk. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons apa yang baru saja ia alami. Namun, Mei Xiang berdiri di sampingnya, menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita semua memiliki rahasia yang harus kita hadapi," katanya. "Yang penting adalah bagaimana kita memilih untuk melanjutkan hidup setelah mengetahuinya." Setelah ujian selesai, mereka melanjutkan perjalanan melalui lorong-lorong bawah tanah yang lain. Lorong-lorong itu semakin terang, dan akhirnya mereka sampai di sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu kuno. Di atas pintu itu, ada ukiran seekor naga yang melingkar, matanya terbuat dari batu permata biru yang berkilauan. Mei Xiang mendorong pintu itu perlahan, dan mereka melangkah keluar ke dunia luar. Yang mereka lihat adalah sebuah kota besar yang tersembunyi di balik kabut tebal. Kota itu tampak seperti tempat yang berasal dari zaman kuno—bangunan-bangunan tinggi dengan atap melengkung, jalan-jalan berbatu yang dipenuhi oleh orang-orang yang berpakaian tradisional, dan lampu-lampu minyak yang memberikan cahaya hangat di setiap sudut. Namun, ada sesuatu yang aneh tentang kota itu—semua orang tampak seperti bergerak dalam keheningan, seolah-olah mereka tidak menyadari keberadaan Li Zhen dan Mei Xiang. "Inilah Kota Tersembunyi," kata Mei Xiang, suaranya penuh dengan rasa hormat. "Tempat ini adalah salah satu pusat pengetahuan kuno di dunia. Di sini, kita mungkin bisa menemukan jawaban tentang gulungan kedua." Mereka mulai berjalan menyusuri jalan-jalan kota, mencoba mencari informasi tentang Silsilah Naga Emas. Namun, semakin lama mereka berada di sana, semakin mereka menyadari bahwa kota ini tidak seperti tempat-tempat lain yang pernah mereka kunjungi. Ada sesuatu yang magis tentang atmosfernya—seolah-olah waktu berjalan lebih lambat, dan setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran yang mereka cari. Di salah satu sudut kota, mereka menemukan sebuah toko kecil yang tampak tidak terawat. Di depan toko itu, ada seorang pria tua yang duduk di kursi goyang, matanya tertutup seolah-olah ia sedang tidur. Namun, ketika mereka mendekat, pria itu tiba-tiba membuka matanya dan menatap mereka dengan pandangan tajam. "Kalian mencari sesuatu yang hilang," kata pria itu dengan suara yang serak namun penuh otoritas. "Namun, apa yang kalian cari mungkin tidak akan membawa kalian kebahagiaan." Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, lalu Mei Xiang melangkah maju. "Kami mencari Silsilah Naga Emas," katanya dengan nada hati-hati. "Apakah kau tahu sesuatu tentang itu?" Pria tua itu tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Masuklah," katanya, menunjuk ke dalam toko. "Ada sesuatu yang mungkin bisa membantu kalian." Mereka masuk ke dalam toko itu, yang ternyata penuh dengan barang-barang aneh—manuskrip kuno, senjata magis, dan artefak-artefak yang tidak bisa mereka pahami. Pria tua itu mengambil sebuah kotak kayu kecil dari rak, lalu membukanya dengan hati-hati. Di dalam kotak itu, ada sebuah peta tua yang tampak rapuh, dengan tulisan-tulisan kuno yang sulit dibaca. "Inilah petunjuk menuju gulungan kedua," kata pria itu. "Namun, perjalanan menuju lokasi itu tidak akan mudah. Kalian harus melewati Kuil Bulan Hitam, tempat yang dijaga oleh makhluk-makhluk gaib yang tidak kenal ampun." Li Zhen merasa jantungnya berdebar kencang. Kuil Bulan Hitam? Apa yang ada di sana? Dan bagaimana mereka bisa menghadapi makhluk-makhluk gaib? Namun, Mei Xiang tampak lebih tenang, seolah-olah ia sudah mempersiapkan diri untuk tantangan apa pun. "Terima kasih," kata Mei Xiang, lalu mengambil peta itu dengan hati-hati. "Kami akan melanjutkan perjalanan ini." Pria tua itu mengangguk, lalu menutup kotak kayu itu. "Ingatlah," katanya dengan nada peringatan, "bahwa kekuatan besar selalu datang dengan harga yang besar. Hati-hatilah dengan apa yang kalian inginkan." Dengan peta di tangan, Li Zhen dan Mei Xiang meninggalkan toko itu, siap untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju Kuil Bulan Hitam. Mereka tahu bahwa tantangan yang lebih besar masih menanti di depan, namun mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa mundur. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari Silsilah Naga Emas—ini tentang menemukan kebenaran tentang diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Saat mereka berjalan menyusuri jalan-jalan Kota Tersembunyi, Li Zhen tidak bisa berhenti memikirkan tentang apa yang baru saja ia alami di Ujian Masa Lalu. Ia adalah keturunan dewa naga—hal itu terus berputar-putar di benaknya. Apa artinya? Apakah itu berarti ia memiliki kekuatan yang tidak ia sadari? Ataukah itu hanya beban yang harus ia pikul sepanjang hidupnya? Mei Xiang tampak memperhatikan ekspresi bingung di wajah Li Zhen. "Kau tidak perlu memikirkannya terlalu dalam sekarang," katanya dengan nada lembut. "Kita masih memiliki banyak hal yang harus dilakukan. Yang penting adalah kita tetap melangkah maju." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa bingung. Ia tahu bahwa Mei Xiang benar—mereka tidak bisa berhenti sekarang. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai berubah. Ia merasa bahwa ia bukan lagi pemuda biasa dari desa kecil. Ada sesuatu yang lebih besar dalam dirinya—sesuatu yang mungkin belum sepenuhnya ia pahami. Akhirnya, mereka sampai di tepi Kota Tersembunyi, di mana jalan setapak mulai memasuki hutan yang lebih gelap dan lebih sunyi. Udara di sini terasa lebih dingin, dan suara-suara malam mulai terdengar lebih jelas—burung hantu, serangga, dan angin yang berdesir di antara dedaunan. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka menuju Kuil Bulan Hitam akan semakin sulit, namun mereka juga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain melanjutkan. Langkah-langkah mereka semakin mantap, meskipun hati mereka dipenuhi oleh ketidakpastian. Mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran—kebenaran tentang Silsilah Naga Emas, tentang diri mereka sendiri, dan tentang dunia yang mereka tinggali. Saat Li Zhen dan Mei Xiang melangkah lebih dalam ke hutan yang semakin gelap, udara di sekitar mereka mulai berubah. Ada sesuatu yang tidak wajar—seolah-olah alam itu sendiri sedang memperingatkan mereka tentang bahaya yang akan datang. Langkah-langkah mereka terdengar lebih keras di tanah yang basah, dan suara-suara malam yang tadinya tenang kini bergema dengan intensitas yang mengganggu. Burung-burung hantu berhenti berteriak, serangga-serangga berhenti berdengung, dan angin yang biasanya menerpa dedaunan tampak seperti membeku. Tiba-tiba, Mei Xiang berhenti melangkah. Matanya menyipit saat ia menatap kegelapan di depan mereka. "Ada yang mengikuti kita," bisiknya pelan, hampir tak terdengar oleh Li Zhen. Li Zhen merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. "Siapa?" tanyanya dengan suara bergetar, meskipun ia mencoba untuk tetap tenang. "Apakah itu Bayangan Hitam lagi?" Mei Xiang tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat pedangnya, siap menghadapi apapun yang akan muncul dari balik bayang-bayang. Namun, sebelum mereka sempat bereaksi lebih lanjut, suara langkah-langkah ringan mulai terdengar dari arah pepohonan. Langkah-langkah itu tidak berisik, namun cukup untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri. Dari balik pepohonan, muncul sosok-sosok berjubah hitam yang bergerak dengan gerakan cepat dan gesit—Bayangan Hitam yang sama yang pernah mengejar mereka sebelumnya. Namun, kali ini, jumlah mereka lebih banyak daripada sebelumnya. Di tengah mereka berdiri pria berjubah abu-abu yang sudah mereka kenal—pemimpin kelompok yang selalu satu langkah di depan mereka. Matanya yang dingin menatap tajam ke arah Mei Xiang, lalu beralih ke gulungan tua yang ada di tangannya. "Kalian benar-benar berhasil mendapatkan gulungan itu," kata pria itu dengan nada dingin, suaranya bergema di antara pepohonan. "Namun, kalian tidak akan bisa membawanya pergi dari sini." Mei Xiang melangkah maju, pedangnya terangkat tinggi. "Aku sudah bilang sebelumnya," katanya dengan nada tegas. "Kami tidak akan menyerah begitu saja." Pria berjubah abu-abu itu tersenyum tipis, namun senyum itu tidak mencapai matanya. "Kalian pikir kalian bisa melawan kami? Kalian hanya dua orang biasa melawan pasukan yang tak terhitung jumlahnya." Ia melambaikan tangannya sekali, dan Bayangan Hitam mulai bergerak maju, membentuk lingkaran sempit di sekitar Li Zhen dan Mei Xiang. Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Mereka sudah kelelahan setelah melewati ujian di Kuil Bulan Hitam, dan kali ini, jumlah musuh mereka jauh lebih banyak. Apakah ini akhir dari perjalanan mereka? Apakah mereka akan mati di sini, tanpa sempat menemukan Silsilah Naga Emas? Namun, sebelum pertempuran dimulai, Mei Xiang berbisik pelan kepada Li Zhen, "Aku punya rencana. Ikuti aku, dan percayalah padaku." Li Zhen mengangguk, meskipun ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Mei Xiang. Ia hanya bisa mempercayainya, karena ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Mei Xiang tiba-tiba melemparkan gulungan kedua ke arah Li Zhen, lalu mengeluarkan sebuah artefak kecil dari balik jubahnya—sebuah manik-manik berwarna biru yang berkilauan dengan cahaya aneh. "Jaga ini!" katanya dengan nada mendesak. "Jika aku memberi isyarat, gunakan mantra yang sama seperti yang aku bacakan di hutan!" Li Zhen merasa bingung, namun ia tidak punya waktu untuk bertanya. Mei Xiang segera melangkah maju, pedangnya bergerak cepat saat ia mulai menyerang Bayangan Hitam yang berada di barisan depan. Gerakannya begitu gesit dan presisi, membuat para penyerang mundur beberapa langkah. Namun, jumlah mereka terlalu banyak, dan Mei Xiang mulai terdesak. Pria berjubah abu-abu itu tertawa dingin, lalu mengangkat bola kristal kecil yang ia pegang. Cahaya merah menyala keluar dari bola itu, menciptakan pola-pola aneh di udara. "Kalian tidak punya kesempatan," katanya dengan nada dingin. "Serahkan gulungan itu, atau kalian akan mati di sini." Li Zhen merasa panik. Ia tidak tahu mantra apa yang harus ia gunakan, namun ia ingat kata-kata Mei Xiang. Dengan ragu-ragu, ia mulai membaca mantra dalam bahasa kuno yang pernah didengarnya dari Mei Xiang sebelumnya. Awalnya, tidak ada yang terjadi. Namun, ketika ia mengulangi mantra itu untuk kedua kalinya, manik-manik biru di tangannya mulai berkilauan dengan cahaya terang. Cahaya itu semakin kuat, hingga akhirnya meledak menjadi sinar biru menyilaukan yang menutupi seluruh area. Bayangan Hitam yang tadinya mengepung mereka mulai mundur, mencoba melindungi mata mereka dari cahaya yang menyilaukan itu. Pria berjubah abu-abu juga terlihat terganggu, matanya menyipit saat ia mencoba menembus cahaya. "Inilah kesempatannya!" teriak Mei Xiang, lalu menarik tangan Li Zhen dan mulai berlari ke arah pepohonan yang lebih rapat. Mereka berdua berlari secepat mungkin, meninggalkan para penyerang di belakang. Namun, suara langkah-langkah cepat mulai terdengar lagi, semakin dekat. Li Zhen merasa kakinya terasa lemah, namun ia tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti. Tiba-tiba, Mei Xiang berhenti di depan sebuah tebing curam yang tersembunyi di balik pepohonan. Tebing itu tampak tidak mungkin untuk didaki, namun Mei Xiang tidak ragu. Ia mengeluarkan pedangnya, lalu mulai menggambar simbol-simbol aneh di udara dengan ujung pedangnya. Simbol-simbol itu bersinar dengan cahaya putih samar, dan tiba-tiba, tanah di bawah mereka mulai bergetar. Sebuah celah kecil muncul di permukaan tebing, cukup lebar untuk satu orang melewatinya. "Cepat masuk!" perintah Mei Xiang, mendorong Li Zhen ke arah celah itu. Li Zhen melompat masuk ke dalam celah itu, diikuti oleh Mei Xiang tepat di belakangnya. Begitu mereka berada di dalam, celah itu menutup dengan keras, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Namun, sebelum mereka sempat bernapas lega, suara gemuruh keras terdengar dari dalam kegelapan. Sesuatu di dalam sana sedang mendekat—sesuatu yang jauh lebih besar daripada mereka. Langkah-langkah berat itu semakin dekat, disertai dengan napas yang dalam dan berat. "Apa itu?" tanya Li Zhen, suaranya hampir berbisik karena takut. Mei Xiang tidak menjawab. Ia hanya mengangkat pedangnya, siap menghadapi apapun yang akan muncul dari kegelapan. Namun, ketika sesuatu itu akhirnya muncul, Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Itu bukan manusia—melainkan makhluk raksasa dengan tubuh yang terbuat dari batu dan mata yang menyala merah seperti bara api. Makhluk itu menggeram keras, suaranya bergema di seluruh ruang bawah tanah. "Selamat datang, pencari Silsilah Naga Emas," kata makhluk itu dengan suara yang dalam dan menggelegar. "Namun, kalian tidak akan pergi dari sini hidup-hidup kecuali kalian bisa membuktikan bahwa kalian layak." Li Zhen merasa darahnya berhenti mengalir. Apa yang dimaksud dengan "membuktikan"? Dan bagaimana mereka bisa melawan makhluk sebesar itu? Pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab saat makhluk itu mulai melangkah maju, siap menyerang. Namun, sebelum pertempuran dimulai, Mei Xiang berbisik pelan kepada Li Zhen, "Aku tahu apa yang harus kita lakukan. Ikuti aku, dan percayalah padaku." Li Zhen tidak punya pilihan lain selain mempercayainya. Namun, di dalam hatinya, ia merasa bahwa perjalanan ini baru saja memasuki babak baru—babak yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan. Langkah-langkah mereka semakin cepat, dan Li Zhen merasa bahwa mereka semakin dekat dengan sesuatu yang besar—sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang ia tahu pasti: mereka tidak bisa mundur sekarang. Apapun yang menanti di depan, mereka harus menghadapinya bersama. Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan, suara gemuruh keras terdengar lagi dari dalam kegelapan. Tanah di bawah mereka mulai bergetar hebat, dan dinding-dinding batu di sekitar mereka mulai retak. Sebuah lubang besar mulai terbuka di langit-langit ruangan, memperlihatkan cahaya merah menyala yang tidak wajar. "Apa yang terjadi?" tanya Li Zhen dengan panik. Mei Xiang menatap ke atas, matanya penuh dengan ketegangan. "Ini adalah penghalang terakhir," katanya. "Jika kita tidak bisa melewatinya, maka kita akan terjebak di sini selamanya." Namun, sebelum mereka sempat bergerak, suara tawa dingin terdengar dari balik kegelapan. Pria berjubah abu-abu itu muncul dari bayang-bayang, matanya menyipit saat ia menatap mereka. "Kalian pikir kalian bisa lolos dariku?" katanya dengan nada dingin. "Kalian tidak akan pergi dari sini hidup-hidup." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Bagaimana pria itu bisa menemukan mereka? Apakah ada pengkhianat di antara mereka? Ataukah Kota Tersembunyi itu sendiri adalah jebakan? Namun, sebelum mereka sempat bereaksi, makhluk raksasa itu menggeram keras, lalu mengangkat salah satu tangannya yang besar. Dari dalam kegelapan, muncul tiga bola api besar yang berputar-putar di udara. "Kalau begitu, kalian harus melewati ujian ini," katanya. "Kalahkan bola api ini, dan kalian akan mendapatkan apa yang kalian cari." Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, lalu Mei Xiang melangkah maju. "Aku akan menghadapi yang pertama," katanya dengan nada mantap. Bola api pertama mulai bergerak cepat ke arah Mei Xiang, namun ia dengan sigap menghindar dan menyerangnya dengan pedangnya. Bola api itu meledak menjadi percikan-percikan kecil, namun dua bola api lainnya langsung menyerang balik dengan kecepatan yang lebih tinggi. Li Zhen mencoba membantu dengan menggunakan sapu bambunya, namun serangan-serangan bola api itu begitu kuat hingga ia hampir tidak bisa bertahan. Namun, Mei Xiang terus bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, berhasil menghancurkan bola api kedua dan ketiga satu per satu. Setelah bola api terakhir hancur, makhluk raksasa itu menggeram keras, lalu mundur ke dalam kegelapan. Suaranya bergema sekali lagi, "Kalian telah lulus. Ambillah apa yang kalian cari." Namun, sebelum mereka sempat merasa lega, pria berjubah abu-abu itu melangkah maju, bola kristal di tangannya bersinar dengan cahaya merah menyala. "Kalian mungkin telah lulus ujian ini," katanya dengan nada dingin. "Namun, kalian tidak akan bisa melarikan diri dari takdir kalian. Silsilah Naga Emas akan menjadi milik kami, apa pun yang terjadi." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Apakah ini akhir dari perjalanan mereka? Ataukah masih ada harapan untuk melarikan diri? Pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab saat pria itu mengangkat tangannya, siap meluncurkan serangan terakhir.Di balik kabut pagi yang tipis di Desa Songlin, suasana terasa sendu dan penuh beban. Setelah peristiwa pencurian gulungan pertama yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah pondok kecil yang telah lama menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Di dalam ruangan sempit yang dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas—meskipun kini salah satunya tak lagi utuh, dan bayang-bayang pengkhianatan masih menyelimuti hati mereka. Li Zhen duduk termenung di meja kayu tua. Tangannya masih bergetar ketika ia membuka buku catatan kecil yang telah ia tulis selama perjalanan. Suaranya serak namun penuh tekad saat ia membaca dengan lirih: “Setiap tetes keringat, setiap luka, adalah bukti bahwa kita telah menempuh jalan penuh pengorbanan. Artefak itu seharusnya menjadi kunci bagi harapan desaku, namun kini telah dicuri oleh tangan-tangan kotor yang bekerja untuk Tuan Muda Hua. Kehilangan ini buka
Di tengah kekosongan yang menyisakan duka dan amarah akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin berubah drastis. Setelah peristiwa pengkhianatan yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah ruang pertemuan rahasia yang sederhana. Dinding-dinding kayu tua dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menciptakan bayang-bayang yang seakan menyimpan rahasia masa lalu. Tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan kini tersusun rapi di atas meja, namun kekosongan di bagian akhir naskah yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci” masih menghantui pikiran mereka. Li Zhen membuka buku catatan kecil dengan tangan gemetar. Suaranya pelan: “Setiap tetes keringat, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir kita untuk mengembalikan harapan bagi desaku. Namun, pencurian gulungan itu telah memaksa kita untuk memulai pencarian baru. Kita harus tahu siapa yang berani mencur
Di pagi yang kelabu, setelah kekacauan yang mengguncang pasca pencurian artefak pertama, Li Zhen duduk termenung di teras sebuah pondok kecil di pinggiran Desa Songlin. Udara pagi yang dingin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh, seolah alam pun turut merasakan duka yang menyelimuti jiwa para pejuang. Di tangan Li Zhen, tersisa potongan-perpotongan gulungan yang kini menjadi saksi dari perjuangan dan pengorbanan; meskipun artefak itu telah hilang, kenangan tentang keberadaannya membakar tekadnya untuk melangkah ke babak baru. Li Zhen membuka buku catatan kecilnya yang lusuh dan membaca dengan suara serak, “Setiap tetes keringat yang kita keluarkan, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir yang harus kita jalani. Artefak itu adalah kunci, bukan hanya bagi desaku, tapi bagi harapan seluruh rakyat. Jika dibiarkan jatuh ke tangan musuh, penderitaan akan berlanjut tanpa henti.” Ia menunduk, matanya berkaca karena amarah dan keputusasaan, lalu melanjutkan, “Kit
Di pagi yang kelabu dan sepi, setelah segala kekacauan dan kegetiran yang menyertai peristiwa pencurian gulungan pertama, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah rumah tua di pinggiran Desa Songlin. Rumah itu—tempat yang selama beberapa minggu terakhir menjadi pusat pertemuan rahasia dan strategi—menjadi saksi bisu dari tekad mereka yang semakin menguat. Di ruang sederhana yang dindingnya dipenuhi coretan peta, dokumen usang, dan catatan hasil penyelidikan, mereka duduk bersama dengan wajah serius. Di atas meja kayu besar, tersusun rapih tiga potongan Silsilah Naga Emas, meskipun salah satunya kini menjadi kenangan pahit karena pencurian yang mengguncang. Li Zhen memandangi gulungan yang tersisa, tangannya masih gemetar oleh amarah dan duka. Suara detak jam tua di sudut ruangan dan desiran angin yang menyelinap melalui celah jendela seolah menghitung setiap detik penderitaan yang telah mereka lalui. Dengan suara serak, ia membuka buku catatan kecil yang telah ia
Di tengah kekacauan yang menyisakan luka mendalam akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin terasa berbeda. Setelah serangan itu, langit yang dulu cerah kini tampak mendung, seolah-olah alam pun turut merasakan duka dan amarah yang melanda. Li Zhen, yang masih terbayang wajah-wajah yang terluka dan desaku yang hancur, duduk termenung di sebuah pondok kecil di pinggiran desa. Di ruang yang sempit itu, dinding-dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menari di atas meja kayu tua, menciptakan bayang-bayang yang seakan menceritakan kisah penderitaan dan harapan. Li Zhen membuka sebuah buku catatan yang pernah ia tulis dengan susah payah. Tangan gemetar karena emosi, ia membaca dengan suara serak: "Gulungan pertama adalah kunci awal yang membuka jalan ke Silsilah Naga Emas. Jika artefak itu jatuh ke tangan yang salah, maka penderitaan dan kezaliman akan merajalela. Kita harus mencari
Di pagi yang kelabu tanpa embun menyambut, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian bersiap meninggalkan persembunyian rahasia mereka di pinggiran Desa Songlin. Setelah kejadian pengkhianatan yang mengguncang—di mana artefak gulungan pertama dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup—tiga pejuang itu kini harus memulai pencarian baru untuk mengungkap jejak yang tersisa. Di ruang persembunyian kecil yang terbuat dari kayu tua dan bata, dinding-dindingnya masih dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan. Di atas meja besar yang lapuk, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan, meski salah satunya kini hilang dalam peristiwa pengkhianatan. Kode rahasia pada gulungan yang tersisa—dengan kalimat yang terputus di bagian akhir yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci”—masih menjadi misteri yang menggantung, seolah mengancam nasib perjuangan mereka. Dalam keheningan yang mencekam, Li Zhen membuka sebuah buku
Di bawah langit malam yang kelam, di tengah heningnya jalan setapak yang berliku di pinggiran Desa Songlin, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali dalam suasana penuh duka dan tekad. Kejadian yang mengguncang baru saja terjadi: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini dipercaya menyimpan rahasia Silsilah Naga Emas, dicuri secara tiba-tiba oleh sekelompok pembunuh bayaran. Pencurian itu bukan hanya mencederai rasa aman, tetapi juga menggugah emosi serta mengungkap pengkhianatan yang menyayat hati. Kini, tatapan tegas dan bibir yang terkatup rapat menjadi saksi bahwa mereka harus segera memulai pencarian baru—pencarian yang akan membawa mereka menelusuri jejak-jejak yang hilang, membuka rahasia di balik bayang-bayang kekuasaan, dan menuntaskan tugas mulia untuk mengembalikan harapan bagi desanya. Di sebuah pondok kecil di pinggiran desa, yang menjadi tempat persembunyian sementara mereka, Li Zhen duduk termenung di sudut ruangan. Di tangannya, ia masih menggenggam er
di sebuah sudut pedesaan di pinggiran Kota Xiping, perjalanan Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian memasuki fase baru yang penuh dengan kepedihan dan tekad. Setelah pengkhianatan yang mengguncang di Bab 41, di mana artefak pertama yang mereka percayai sebagai kunci Silsilah Naga Emas dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup, kini mereka harus menapaki jejak yang lebih sulit. Tak hanya untuk merebut kembali artefak yang hilang, tetapi juga untuk mengungkap rahasia yang terkubur di balik kode-kode kuno dan peringatan yang pernah mereka terima. Di ruang persembunyian rahasia yang terletak di sebuah bangunan tua di pinggiran Kota Xiping, lampu minyak yang redup menerangi dinding-dinding kayu usang. Meja kayu besar yang penuh dengan peta, dokumen, dan catatan terjemahan dari Li Fu masih terhampar, seolah menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Tiga potongan Silsilah Naga Emas kini tersusun rapi di atas meja, namun masih ada kekosongan d
Di tengah-tengah perjalanan awal yang penuh gejolak, ketika langit senja mulai memudar menjadi kelam dan bayang-bayang malam mulai menguasai jalan setapak di pedesaan, Li Zhen bersama Mei Xiang dan Wang Jian terhenti sejenak di sebuah jalan setapak di luar sebuah desa kecil. Mereka baru saja mengalami peristiwa yang mengguncang jiwa: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini menjadi kunci bagi rahasia “Silsilah Naga Emas,” telah dicuri secara tiba-tiba. Kecurigaan pun segera melanda, dan kebenaran pahit mulai tersingkap—pencuri itu bukanlah orang biasa, melainkan sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk salah satu bangsawan korup yang berusaha memanfaatkan artefak tersebut demi kekuasaan pribadinya.Dalam keheningan malam yang semakin pekat, Li Zhen menatap ke arah gulungan yang kini hilang, wajahnya menggambarkan campuran kemarahan dan keputusasaan. “Kita harus mencari tahu siapa yang berani mencuri artefak itu dan mengapa,” ujarnya dengan suara serak, seolah menahan amara