Langkah-langkah Li Zhen dan Mei Xiang terhenti sejenak saat mereka berdiri di tepi hutan kecil yang memisahkan mereka dari Kuil Matahari Emas. Udara di sini terasa lebih berat, seolah-olah alam itu sendiri sedang menahan napas. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah—setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran, namun juga semakin dekat dengan bahaya.
Mei Xiang mengeluarkan peta tua yang mereka dapatkan dari Desa Surya Tersembunyi. Peta itu tampak rapuh, namun ada aura magis yang kuat mengelilinginya. Ia mempelajari setiap detailnya dengan cermat, mencoba memastikan bahwa mereka berada di jalur yang benar. "Kita hampir sampai," katanya akhirnya, suaranya terdengar mantap meskipun ada nada kekhawatiran yang samar-samar. "Namun, kita harus hati-hati. Kuil Matahari Emas adalah tempat yang penuh dengan kekuatan magis. Setiap langkah yang salah bisa membawa kita ke dalam bahaya." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa bingung tentang apa yang menanti mereka di sana. "Apa yang sebenarnya ada di Kuil Matahari Emas?" tanyanya pelan, suaranya nyaris hilang di antara desiran angin malam. "Apakah itu hanya tentang gulungan ketiga? Atau ada sesuatu yang lebih besar?" Mei Xiang menatapnya dengan pandangan serius. "Ada banyak hal yang belum aku pahami sepenuhnya," katanya dengan nada datar. "Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa Silsilah Naga Emas bukan sekadar artefak biasa. Ini adalah kunci untuk membuka rahasia besar tentang dunia kita—dan mungkin tentang dirimu." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Apa yang dimaksud Mei Xiang? Apakah ada sesuatu tentang dirinya yang belum ia ketahui? Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Mei Xiang melanjutkan, "Kita tidak punya waktu untuk memikirkan itu sekarang. Yang penting adalah kita tetap fokus pada tujuan kita." Mereka melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak yang semakin curam dan berbatu. Udara di sekitar mereka mulai berubah—cahaya matahari yang tadinya terang kini mulai redup, seolah-olah tertutup oleh kabut tebal yang tak terlihat. Namun, ada sesuatu yang aneh tentang kabut itu—seolah-olah ia hidup, bergerak perlahan seperti ombak yang mengalir di atas tanah. Setelah beberapa saat berjalan, mereka sampai di sebuah area terbuka yang dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi dengan cabang-cabang yang saling bertautan, menciptakan atap alami yang menutupi langit. Di tengah area itu, ada sebuah kuil kuno yang tampak seperti bangunan yang terbuat dari emas murni. Kuil itu memiliki pintu besar yang tertutup rapat, dengan ukiran-ukiran naga raksasa yang melingkar di sekitarnya. Matanya terbuat dari batu permata merah yang berkilauan dengan cahaya aneh. "Inilah Kuil Matahari Emas," kata Mei Xiang dengan nada hormat. "Tempat ini dijaga oleh makhluk-makhluk gaib yang tidak kenal ampun. Kita harus hati-hati." Li Zhen merasa bulu kuduknya berdiri saat ia memandangi kuil itu. Ada sesuatu yang tidak wajar tentang tempat ini—seolah-olah kuil itu hidup dan sedang mengamati mereka. Namun, ia tahu bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereh mendekati pintu kuil, namun sebelum mereka sempat menyentuhnya, suara gemuruh keras terdengar dari dalam kuil. Pintu besar itu mulai terbuka perlahan, memperlihatkan kegelapan yang tak terlihat dasarnya. Dari dalam kegelapan itu, muncul sosok makhluk raksasa dengan tubuh yang terbuat dari asap emas pekat. Matanya menyala biru seperti api, dan suaranya bergema keras seperti guntur. "Siapa yang berani masuk ke wilayahku?" tanya makhluk itu dengan suara yang dalam dan mengguncang. "Kalian tidak akan keluar dari sini hidup-hidup jika kalian tidak membuktikan bahwa kalian layak." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Makhluk ini jauh lebih besar dan lebih menakutkan daripada apa pun yang pernah ia lihat sebelumnya. Namun, Mei Xiang tetap tenang, pedangnya terangkat tinggi. "Kami datang untuk mencari gulungan ketiga," kata Mei Xiang dengan nada tegas. "Dan kami siap menghadapi ujian apapun yang kau berikan." Makhluk itu menggeram keras, lalu mengangkat salah satu tangannya yang besar. Dari dalam kegelapan kuil, muncul tiga bola api besar yang berputar-putar di udara. "Kalau begitu, kalian harus melewati ujian ini," katanya. "Kalahkan bola api ini, dan kalian akan mendapatkan apa yang kalian cari." Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, lalu Mei Xiang melangkah maju. "Aku akan menghadapi yang pertama," katanya dengan nada mantap. Bola api pertama mulai bergerak cepat ke arah Mei Xiang, namun ia dengan sigap menghindar dan menyerangnya dengan pedangnya. Bola api itu meledak menjadi percikan-percikan kecil, namun dua bola api lainnya langsung menyerang balik dengan kecepatan yang lebih tinggi. Li Zhen mencoba membantu dengan menggunakan sapu bambunya, namun serangan-serangan bola api itu begitu kuat hingga ia hampir tidak bisa bertahan. Namun, Mei Xiang terus bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, berhasil menghancurkan bola api kedua dan ketiga satu per satu. Setelah bola api terakhir hancur, makhluk raksasa itu menggeram keras, lalu mundur ke dalam kegelapan kuil. Suaranya bergema sekali lagi, "Kalian telah lulus. Ambillah apa yang kalian cari." Pintu kuil mulai terbuka lebih lebar, memperlihatkan ruangan besar di dalamnya. Di tengah ruangan itu, ada sebuah altar batu besar dengan gulungan tua yang tergeletak di atasnya. Gulungan itu tampak lebih tua dan lebih rapuh daripada gulungan-gulungan sebelumnya, namun ada aura magis yang kuat mengelilinginya. Mei Xiang melangkah mendekati altar itu, lalu mengambil gulungan tersebut dengan hati-hati. Namun, sebelum mereka sempat merasa lega, suara gemuruh keras terdengar lagi dari dalam kuil. Tanah di bawah mereka mulai bergetar, dan pintu kuil mulai menutup perlahan. "Kita harus pergi sekarang!" teriak Mei Xiang, lalu menarik tangan Li Zhen dan mulai berlari keluar dari kuil. Mereka berhasil keluar tepat sebelum pintu kuil menutup sepenuhnya, meninggalkan mereka di luar dengan napas tersengal-sengal. Namun, mereka tahu bahwa perjalanan ini masih jauh dari selesai. Gulungan ketiga ini hanya langkah pertama menuju Silsilah Naga Emas—dan ada banyak tantangan yang masih menanti di depan. Saat mereka beristirahat sejenak di tepi hutan, Mei Xiang membuka gulungan ketiga itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada tulisan-tulisan kuno yang sulit dibaca, namun ada juga gambar-gambar yang tampak seperti peta. "Ini adalah petunjuk menuju lokasi akhir," katanya dengan nada serius. "Namun, ada sesuatu yang aneh tentang ini." Li Zhen menatap gulungan itu dengan rasa penasaran. "Apa yang aneh?" tanyanya. Mei Xiang menunjuk salah satu simbol di gulungan itu. "Simbol ini... aku pernah melihatnya sebelumnya," katanya dengan nada pelan. "Ini adalah simbol yang sama dengan yang ada di Kuil Bulan Hitam. Aku tidak yakin apa artinya, tapi aku merasa ada hubungannya dengan masa laluku." Li Zhen merasa bingung. Apa yang Mei Xiang maksud? Apakah ada rahasia besar yang belum ia ungkapkan? Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Mei Xiang melanjutkan, "Kita harus terus bergerak. Waktu kita terbatas." Mereka melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak yang semakin curam dan berbahaya. Udara di sekitar mereka mulai berubah—ada sesuatu yang magis tentang atmosfer di sini, seolah-olah mereka sedang memasuki dunia lain yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Akhirnya, mereka sampai di sebuah tebing curam yang menghadap ke laut luas. Di bawah tebing itu, ada sebuah pulau kecil yang tampak seperti terapung di atas air. Pulau itu dikelilingi oleh kabut tebal yang membuatnya tampak seperti mimpi yang tidak nyata. Di tengah pulau itu, ada sebuah kuil kuno yang tampak seperti bangunan yang terbuat dari kristal murni. Cahaya matahari yang memantul dari kuil itu membuatnya tampak seperti mimpi yang tidak nyata. "Itu adalah Kuil Cahaya Abadi," kata Mei Xiang dengan nada hormat. "Tempat itu adalah lokasi terakhir yang harus kita kunjungi sebelum menemukan Silsilah Naga Emas." Li Zhen merasa jantungnya berdebar kencang. Apa yang ada di Kuil Cahaya Abadi? Dan bagaimana mereka bisa menghadapi tantangan yang mungkin menanti di sana? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di benaknya, namun ia tahu bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereka mulai menuruni tebing dengan hati-hati, mencoba mencari jalan menuju pulau itu. Namun, sebelum mereka berhasil mencapai dasar tebing, suara gemuruh keras terdengar dari belakang mereka. Mereka berbalik, dan melihat pria berjubah abu-abu itu muncul dari bayang-bayang, diikuti oleh Bayangan Hitam yang jumlahnya lebih banyak daripada sebelumnya. "Kalian tidak akan lolos kali ini," kata pria itu dengan nada dingin, matanya menyipit saat ia menatap mereka. "Serahkan gulungan itu, atau kalian akan mati di sini." Mei Xiang melangkah maju, pedangnya terangkat tinggi. "Kami tidak akan menyerah," katanya dengan nada tegas. "Jika kau ingin gulungan ini, kau harus mengambilnya dari kami dengan paksa." Pria berjubah abu-abu itu tersenyum dingin, lalu mengangkat bola kristal kecil yang ia pegang. Cahaya merah menyala keluar dari bola itu, menciptakan pola-pola aneh di udara. "Kalau begitu, mari kita lihat apakah kalian benar-benar sekuat yang kalian kira." Bayangan Hitam mulai bergerak maju, siap menyerang. Li Zhen dan Mei Xiang bersiap menghadapi pertempuran yang mungkin akan menjadi yang paling berbahaya dalam hidup mereka. Namun, di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang bertahan hidup—ini tentang melindungi rahasia besar yang bisa mengubah nasib seluruh kerajaan. Namun, sebelum pertempuran dimulai, Mei Xiang berbisik pelan kepada Li Zhen, "Aku punya rencana. Ikuti aku, dan percayalah padaku." Li Zhen mengangguk, meskipun ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Mei Xiang. Namun, ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain mempercayainya. Pertempuran besar akan segera dimulai, dan mereka harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Namun, sebelum serangan pertama dilancarkan, Mei Xiang mengeluarkan artefak kecil dari balik jubahnya—sebuah manik-manik berwarna biru yang berkilauan dengan cahaya aneh. Ia melemparkannya ke tanah, dan tiba-tiba, cahaya biru terang meledak dari manik-manik itu, menyilaukan semua orang di sekitarnya. Para Bayangan Hitam mundur beberapa langkah, mencoba melindungi mata mereka dari cahaya yang menyilaukan itu. Namun, pria berjubah abu-abu tetap berdiri tegak, matanya menyipit saat ia mencoba menembus cahaya. "Inilah kesempatannya!" teriak Mei Xiang, lalu menarik tangan Li Zhen dan mulai berlari ke arah tebing yang lebih rendah. Mereka berdua berlari secepat mungkin, meninggalkan para penyerang di belakang. Namun, suara langkah-langkah cepat mulai terdengar lagi, semakin dekat. Li Zhen merasa kakinya terasa lemah, namun ia tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti. Tiba-tiba, Mei Xiang berhenti di depan sebuah celah kecil yang tersembunyi di balik pepohonan. "Masuk ke sini!" katanya dengan nada mendesak. Mereka melompat masuk ke dalam celah itu, dan begitu mereka berada di dalam, celah itu menutup dengan keras, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Namun, mereka tahu bahwa mereka tidak aman—suara-suara langkah-langkah cepat masih terdengar dari luar, semakin dekat. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Li Zhen dengan nada panik. Mei Xiang menghela napas panjang, lalu mengeluarkan gulungan ketiga dari balik jubahnya. "Kita harus memecahkan rahasia ini secepat mungkin," katanya dengan nada tegas. "Ini adalah satu-satunya cara untuk keluar dari sini hidup-hidup." Li Zhen mengangguk, meskipun ia merasa takut. Ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain melanjutkan. Setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran—kebenaran tentang Silsilah Naga Emas, tentang diri mereka sendiri, dan tentang dunia yang mereka tinggali. Saat mereka mulai mempelajari gulungan ketiga itu, mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini—rahasia yang mungkin akan mengubah segalanya. Namun, satu hal yang mereka tahu pasti adalah bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Apapun yang menanti di depan, mereka harus menghadapinya bersama. Saat Li Zhen dan Mei Xiang berusaha memecahkan rahasia gulungan ketiga di dalam kegelapan lorong sempit, mereka tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang mengamati setiap gerakan mereka dari bayang-bayang. Sesuatu itu bukan manusia—melainkan makhluk gaib yang telah mengikuti mereka sejak mereka meninggalkan Kuil Matahari Emas. Makhluk itu memiliki tubuh yang terbuat dari kabut hitam pekat, dengan mata yang menyala merah seperti bara api. Gerakannya begitu halus dan cepat sehingga tidak ada yang bisa mendeteksinya—bahkan Mei Xiang, yang biasanya sangat waspada, tidak menyadarinya. Makhluk itu diam-diam mengamati bagaimana Mei Xiang membuka gulungan ketiga dan mencoba memahami tulisan-tulisan kuno yang ada di dalamnya. Ia juga melihat bagaimana Li Zhen tampak bingung dan cemas, seolah-olah ia merasa ada sesuatu yang salah namun tidak tahu apa. Makhluk itu tersenyum tipis—sebuah senyuman yang dingin dan tanpa emosi. Ia tahu bahwa waktunya telah tiba. Dari balik bayang-bayang, muncul suara bisikan aneh yang bergema di seluruh lorong. Suara itu pelan namun menusuk telinga, seperti ratusan jarum yang menusuk kulit. Li Zhen dan Mei Xiang langsung berdiri tegak, matanya menyipit saat mereka mencoba mencari sumber suara itu. "Ada yang mengamati kita," bisik Mei Xiang pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Tetap waspada." Li Zhen mengangguk, meskipun ia merasa tubuhnya mulai gemetar karena ketegangan. Ia mencoba memegang sapu bambunya dengan erat, meskipun ia tahu bahwa senjata itu tidak akan banyak membantu melawan makhluk gaib. Namun, sebelum mereka sempat bereaksi lebih jauh, suara langkah-langkah ringan mulai terdengar dari arah belakang lorong. Langkah-langkah itu semakin dekat, disertai dengan desiran angin dingin yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. Dari balik kegelapan, muncul sosok pria berjubah abu-abu yang sudah mereka kenal—pemimpin Bayangan Hitam yang selalu satu langkah di depan mereka. "Kalian pikir kalian bisa lolos dariku?" kata pria itu dengan nada dingin, matanya menyipit saat ia menatap mereka. "Kalian tidak akan pergi dari sini hidup-hidup." Mei Xiang melangkah maju, pedangnya terangkat tinggi. "Aku sudah bilang sebelumnya," katanya dengan nada tegas. "Kami tidak akan menyerah begitu saja." Pria berjubah abu-abu itu tersenyum tipis, namun senyum itu tidak mencapai matanya. "Kalian pikir kalian bisa melawan kami? Kalian hanya dua orang biasa melawan pasukan yang tak terhitung jumlahnya." Ia melambaikan tangannya sekali, dan Bayangan Hitam mulai muncul dari kegelapan, membentuk lingkaran sempit di sekitar Li Zhen dan Mei Xiang. Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Mereka sudah kelelahan setelah melewati ujian di Kuil Matahari Emas, dan kali ini, jumlah musuh mereka jauh lebih banyak. Apakah ini akhir dari perjalanan mereka? Apakah mereka akan mati di sini, tanpa sempat menemukan Silsilah Naga Emas? Namun, sebelum pertempuran dimulai, Mei Xiang berbisik pelan kepada Li Zhen, "Aku punya rencana. Ikuti aku, dan percayalah padaku." Li Zhen mengangguk, meskipun ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Mei Xiang. Ia hanya bisa mempercayainya, karena ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Mei Xiang tiba-tiba melemparkan gulungan ketiga ke arah Li Zhen, lalu mengeluarkan sebuah artefak kecil dari balik jubahnya—sebuah manik-manik berwarna biru yang berkilauan dengan cahaya aneh. "Jaga ini!" katanya dengan nada mendesak. "Jika aku memberi isyarat, gunakan mantra yang sama seperti yang aku bacakan di hutan!" Li Zhen merasa bingung, namun ia tidak punya waktu untuk bertanya. Mei Xiang segera melangkah maju, pedangnya bergerak cepat saat ia mulai menyerang Bayangan Hitam yang berada di barisan depan. Gerakannya begitu gesit dan presisi, membuat para penyerang mundur beberapa langkah. Namun, jumlah mereka terlalu banyak, dan Mei Xiang mulai terdesak. Pria berjubah abu-abu itu tertawa dingin, lalu mengangkat bola kristal kecil yang ia pegang. Cahaya merah menyala keluar dari bola itu, menciptakan pola-pola aneh di udara. "Kalian tidak punya kesempatan," katanya dengan nada dingin. "Serahkan gulungan itu, atau kalian akan mati di sini." Li Zhen merasa panik. Ia tidak tahu mantra apa yang harus ia gunakan, namun ia ingat kata-kata Mei Xiang. Dengan ragu-ragu, ia mulai membaca mantra dalam bahasa kuno yang pernah didengarnya dari Mei Xiang sebelumnya. Awalnya, tidak ada yang terjadi. Namun, ketika ia mengulangi mantra itu untuk kedua kalinya, manik-manik biru di tangannya mulai berkilauan dengan cahaya terang. Cahaya itu semakin kuat, hingga akhirnya meledak menjadi sinar biru menyilaukan yang menutupi seluruh area. Bayangan Hitam yang tadinya mengepung mereka mulai mundur, mencoba melindungi mata mereka dari cahaya yang menyilaukan itu. Pria berjubah abu-abu juga terlihat terganggu, matanya menyipit saat ia mencoba menembus cahaya. "Inilah kesempatannya!" teriak Mei Xiang, lalu menarik tangan Li Zhen dan mulai berlari ke arah celah kecil yang mereka gunakan untuk masuk ke ruangan ini. Mereka berdua berlari secepat mungkin, meninggalkan para penyerang di belakang. Namun, suara langkah-langkah cepat mulai terdengar lagi, semakin dekat. Li Zhen merasa kakinya terasa lemah, namun ia tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti. Tiba-tiba, Mei Xiang berhenti di depan sebuah tebing curam yang tersembunyi di balik pepohonan. Tebing itu tampak tidak mungkin untuk didaki, namun Mei Xiang tidak ragu. Ia mengeluarkan pedangnya, lalu mulai menggambar simbol-simbol aneh di udara dengan ujung pedangnya. Simbol-simbol itu bersinar dengan cahaya putih samar, dan tiba-tiba, tanah di bawah mereka mulai bergetar. Sebuah celah kecil muncul di permukaan tebing, cukup lebar untuk satu orang melewatinya. "Cepat masuk!" perintah Mei Xiang, mendorong Li Zhen ke arah celah itu. Li Zhen melompat masuk ke dalam celah itu, diikuti oleh Mei Xiang tepat di belakangnya. Begitu mereka berada di dalam, celah itu menutup dengan keras, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Namun, sebelum mereka sempat bernapas lega, suara gemuruh keras terdengar dari dalam kegelapan. Sesuatu di dalam sana sedang mendekat—sesuatu yang jauh lebih besar daripada mereka. Langkah-langkah berat itu semakin dekat, disertai dengan napas yang dalam dan berat. "Apa itu?" tanya Li Zhen, suaranya hampir berbisik karena takut. Mei Xiang tidak menjawab. Ia hanya mengangkat pedangnya, siap menghadapi apapun yang akan muncul dari kegelapan. Namun, ketika sesuatu itu akhirnya muncul, Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Itu bukan manusia—melainkan makhluk raksasa dengan tubuh yang terbuat dari batu dan mata yang menyala merah seperti bara api. Makhluk itu menggeram keras, suaranya bergema di seluruh ruang bawah tanah. "Selamat datang, pencari Silsilah Naga Emas," kata makhluk itu dengan suara yang dalam dan menggelegar. "Namun, kalian tidak akan pergi dari sini hidup-hidup kecuali kalian bisa membuktikan bahwa kalian layak." Li Zhen merasa darahnya berhenti mengalir. Apa yang dimaksud dengan "membuktikan"? Dan bagaimana mereka bisa melawan makhluk sebesar itu? Pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab saat makhluk itu mulai melangkah maju, siap menyerang. Namun, sebelum pertempuran dimulai, Mei Xiang berbisik pelan kepada Li Zhen, "Aku tahu apa yang harus kita lakukan. Ikuti aku, dan percayalah padaku." Li Zhen tidak punya pilihan lain selain mempercayainya. Namun, di dalam hatinya, ia merasa bahwa perjalanan ini baru saja memasuki babak baru—babak yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan. Langkah-langkah mereka semakin cepat, dan Li Zhen merasa bahwa mereka semakin dekat dengan sesuatu yang besar—sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang ia tahu pasti: mereka tidak bisa mundur sekarang. Apapun yang menanti di depan, mereka harus menghadapinya bersama. Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan, suara gemuruh keras terdengar lagi dari dalam kegelapan. Tanah di bawah mereka mulai bergetar hebat, dan dinding-dinding batu di sekitar mereka mulai retak. Sebuah lubang besar mulai terbuka di langit-langit ruangan, memperlihatkan cahaya merah menyala yang tidak wajar. "Apa yang sedang terjadi?" tanya Li Zhen dengan panik. Mei Xiang menatap ke atas, matanya penuh dengan ketegangan. "Ini adalah penghalang terakhir," katanya. "Jika kita tidak bisa melewatinya, maka kita akan terjebak di sini selamanya." Namun, sebelum mereka sempat bergerak, suara tawa dingin terdengar dari balik kegelapan. Pria berjubah abu-abu itu muncul dari bayang-bayang, matanya menyipit saat ia menatap mereka. "Kalian pikir kalian bisa lolos dariku?" katanya dengan nada dingin. "Kalian tidak akan pergi dari sini hidup-hidup." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Bagaimana pria itu bisa menemukan mereka? Apakah ada pengkhianat di antara mereka? Ataukah Kota Tersembunyi itu sendiri adalah jebakan? Namun, sebelum mereka sempat bereaksi, makhluk raksasa itu menggeram keras, lalu mengangkat salah satu tangannya yang besar. Dari dalam kegelapan, muncul tiga bola api besar yang berputar-putar di udara. "Kalau begitu, kalian harus melewati ujian ini," katanya. "Kalahkan bola api ini, dan kalian akan mendapatkan apa yang kalian cari." Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, lalu Mei Xiang melangkah maju. "Aku akan menghadapi yang pertama," katanya dengan nada mantap. Bola api pertama mulai bergerak cepat ke arah Mei Xiang, namun ia dengan sigap menghindar dan menyerangnya dengan pedangnya. Bola api itu meledak menjadi percikan-percikan kecil, namun dua bola api lainnya langsung menyerang balik dengan kecepatan yang lebih tinggi. Li Zhen mencoba membantu dengan menggunakan sapu bambunya, namun serangan-serangan bola api itu begitu kuat hingga ia hampir tidak bisa bertahan. Namun, Mei Xiang terus bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, berhasil menghancurkan bola api kedua dan ketiga satu per satu. Setelah bola api terakhir hancur, makhluk raksasa itu menggeram keras, lalu mundur ke dalam kegelapan. Suaranya bergema sekali lagi, "Kalian telah lulus. Ambillah apa yang kalian cari." Namun, sebelum mereka sempat merasa lega, pria berjubah abu-abu itu melangkah maju, bola kristal di tangannya bersinar dengan cahaya merah menyala. "Kalian mungkin telah lulus ujian ini," katanya dengan nada dingin. "Namun, kalian tidak akan bisa melarikan diri dari takdir kalian. Silsilah Naga Emas akan menjadi milik kami, apa pun yang terjadi." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Apakah ini akhir dari perjalanan mereka? Ataukah masih ada harapan untuk melarikan diri? Pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab saat pria itu mengangkat tangannya, siap meluncurkan serangan terakhir.Saat pria berjubah abu-abu itu mengangkat tangannya, bola kristal di genggamannya mulai memancarkan cahaya merah yang semakin terang. Udara di sekitar mereka bergetar, seolah-olah seluruh ruangan bawah tanah sedang menahan napas. Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk bereaksi. Namun, Mei Xiang tetap tenang—ia tahu bahwa panik hanya akan membuat situasi semakin buruk. "Kita harus bertindak cepat," bisik Mei Xiang dengan nada tegas, matanya tetap tertuju pada pria berjubah abu-abu itu. "Jika dia melepaskan serangan itu, kita tidak akan bisa bertahan." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa takut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan—senjata satu-satunya hanyalah sapu bambu tua yang tampak begitu rapuh dibandingkan dengan kekuatan magis yang dimiliki musuh mereka. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit—sebuah keyakinan bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia adalah keturunan dewa naga, seperti yang
Saat bola energi meluncur lurus ke arah Li Zhen, waktu seolah-olah melambat. Ia merasakan tubuhnya membeku, tak mampu bergerak meskipun otaknya berteriak untuk menghindar. Namun, tepat sebelum bola itu menyentuhnya, Mei Xiang melompat ke depan dengan kecepatan luar biasa, memotong bola energi itu dengan pedangnya hingga meledak menjadi cahaya terang yang menyilaukan. Ledakan itu membuat mereka terhempas beberapa langkah ke belakang, namun mereka masih hidup. "Kita tidak punya banyak waktu!" teriak Mei Xiang, suaranya nyaris hilang di antara gemuruh keras yang bergema di seluruh ruangan. "Kita harus bekerja sama!" Li Zhen mengangguk, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal-sengal. Ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk panik—mereka harus bertindak cepat jika ingin bertahan hidup. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan manik-manik biru dari sakunya dan memandangnya dengan penuh harap. Apakah artefak ini benar-benar bisa membantu mereka? Ia tidak tahu, namun ia tidak punya pilihan l
Saat Li Zhen dan Mei Xiang merasakan tubuh mereka lenyap ke dalam cahaya yang menyilaukan, mereka tidak tahu apakah mereka sedang menuju kematian atau sesuatu yang lebih besar. Namun, ketika cahaya itu perlahan memudar, mereka menemukan diri mereka berada di tempat yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Mereka berdiri di tengah sebuah padang rumput luas yang tak terlihat batasnya, dengan langit biru cerah yang dipenuhi awan putih yang mengambang pelan. Udara di sini terasa hangat namun segar, seperti angin musim semi yang lembut. Li Zhen melihat sekeliling dengan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Di mana kita?" tanyanya dengan nada pelan, suaranya nyaris hilang di antara desiran angin. Mei Xiang tampak lebih tenang, matanya menyapu seluruh area dengan penuh perhatian. "Ini adalah dimensi lain," katanya akhirnya. "Tempat ini bukan bagian dari dunia yang kita kenal. Ini adalah wilayah di antara realitas—tempat di mana Silsilah Naga Emas mungkin disembunyikan."
Saat bola energi emas meluncur lurus ke arah Li Zhen dan Mei Xiang, waktu seolah-olah melambat. Li Zhen merasakan tubuhnya membeku, tak mampu bergerak meskipun otaknya berteriak untuk menghindar. Namun, tepat sebelum bola itu menyentuh mereka, cahaya biru dari manik-manik yang baru saja meledak tiba-tiba memantul kembali, menciptakan penghalang transparan yang melindungi mereka. Bola energi itu bertabrakan dengan penghalang, meledak menjadi cahaya terang yang menyilaukan. Ledakan itu membuat seluruh ruangan bergetar hebat. Tanah di bawah mereka mulai retak, dan dinding-dinding batu mulai runtuh. Makhluk raksasa yang menjaga tempat itu menggeram keras, suaranya bergema seperti guntur. "Kalian telah menggunakan kekuatan yang tidak kalian pahami," katanya dengan nada marah. "Namun, ini belum berakhir." Li Zhen dan Mei Xiang terhempas beberapa langkah ke belakang oleh gelombang kejut ledakan itu. Mereka jatuh berlutut, napas mereka tersengal-sengal karena kelelahan. Namun, mereka tahu b
Saat Li Zhen dan Mei Xiang merasakan tubuh mereka lenyap ke dalam cahaya yang menyilaukan, mereka tidak tahu apakah mereka sedang menuju kematian atau sesuatu yang lebih besar. Namun, ketika cahaya itu perlahan memudar, mereka menemukan diri mereka berada di tempat yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Mereka berdiri di tengah sebuah padang rumput luas yang tak terlihat batasnya, dengan langit biru cerah yang dipenuhi awan putih yang mengambang pelan. Udara di sini terasa hangat namun segar, seperti angin musim semi yang lembut. Li Zhen melihat sekeliling dengan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Di mana kita?" tanyanya dengan nada pelan, suaranya nyaris hilang di antara desiran angin. Mei Xiang tampak lebih tenang, matanya menyapu seluruh area dengan penuh perhatian. "Ini adalah dimensi lain," katanya akhirnya. "Tempat ini bukan bagian dari dunia yang kita kenal. Ini adalah wilayah di antara realitas—tempat di mana Silsilah Naga Emas mungkin disembunyikan."
Saat kegelapan pekat mulai menyelimuti mereka, Li Zhen dan Mei Xiang merasakan tubuh mereka seperti terperangkap dalam ruang hampa. Tidak ada suara, tidak ada gerakan—hanya keheningan yang begitu tebal hingga rasanya bisa diraba. Namun, di tengah keheningan itu, mereka merasakan sesuatu yang aneh—seperti denyut nadi yang bergetar lemah di udara. Denyut itu bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam diri mereka sendiri. Li Zhen mencoba menggerakkan tangannya, namun ia hanya merasakan hampa. Ia ingin memanggil Mei Xiang, namun suaranya tidak keluar. Semua inderanya seolah-olah mati rasa, hanya meninggalkan perasaan kosong yang mendalam. Ia tidak tahu apakah ini adalah akhir dari perjalanan mereka ataukah awal dari sesuatu yang lebih mengerikan. Namun, sebelum rasa panik sepenuhnya menguasai dirinya, sebuah cahaya samar mulai muncul di kejauhan. Cahaya itu sangat lemah, hampir tak terlihat, namun cukup untuk membuat mereka sadar bahwa mereka masih hidup. Cahaya itu perlahan-lahan se
Saat Li Zhen dan Mei Xiang melangkah menjauhi tepi danau, mereka merasakan perubahan halus di udara. Angin dingin yang tiba-tiba berhembus membawa serta bisikan-bisikan aneh—suara-suara yang tidak terdengar jelas, namun cukup untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri. Mereka saling bertukar pandang, mencoba memastikan apakah mereka benar-benar mendengar hal yang sama. "Kita tidak punya waktu untuk ragu," kata Mei Xiang dengan nada tegas, meskipun matanya menyiratkan ketegangan. "Apa pun yang ada di depan, kita harus siap menghadapinya." Li Zhen mengangguk, meskipun ia merasa beban tanggung jawab itu semakin berat di pundaknya. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai—bahwa kekuatan Silsilah Naga Emas yang mereka temukan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar. Namun, ia juga sadar bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Setiap langkah yang mereka ambil telah membawa mereka lebih dekat pada takdir yang tidak bisa dihindari. Mereka mulai melanjutk
Saat Li Zhen dan Mei Xiang berdiri di tepi padang pasir yang luas, mereka merasakan perubahan yang mendalam dalam atmosfer sekitar. Angin lembut yang sebelumnya menyapu wajah mereka kini berubah menjadi angin dingin yang menusuk tulang. Langit biru cerah yang dipenuhi awan putih mulai tertutup oleh awan kelabu tebal, menciptakan suasana mencekam yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. Namun, meskipun ketegangan semakin memuncak, mereka tahu bahwa tidak ada jalan untuk mundur. "Inilah akhir dari perjalanan ini," kata Mei Xiang dengan nada pelan, matanya menatap ke arah cakrawala yang gelap. "Namun, kita harus tetap waspada. Kita belum benar-benar aman." Li Zhen mengangguk, meskipun ia merasa tubuhnya masih gemetar karena kelelahan. Ia tahu bahwa mereka telah melewati banyak ujian—dari Ruang Refleksi hingga pertempuran melawan pasukan bayangan—namun sesuatu di dalam dirinya memberitahunya bahwa ini bukan akhir. Ada sesuatu yang lebih besar menanti di depan, sesuatu yang mungkin akan m
Di balik kabut pagi yang tipis di Desa Songlin, suasana terasa sendu dan penuh beban. Setelah peristiwa pencurian gulungan pertama yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah pondok kecil yang telah lama menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Di dalam ruangan sempit yang dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas—meskipun kini salah satunya tak lagi utuh, dan bayang-bayang pengkhianatan masih menyelimuti hati mereka. Li Zhen duduk termenung di meja kayu tua. Tangannya masih bergetar ketika ia membuka buku catatan kecil yang telah ia tulis selama perjalanan. Suaranya serak namun penuh tekad saat ia membaca dengan lirih: “Setiap tetes keringat, setiap luka, adalah bukti bahwa kita telah menempuh jalan penuh pengorbanan. Artefak itu seharusnya menjadi kunci bagi harapan desaku, namun kini telah dicuri oleh tangan-tangan kotor yang bekerja untuk Tuan Muda Hua. Kehilangan ini buka
Di tengah kekosongan yang menyisakan duka dan amarah akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin berubah drastis. Setelah peristiwa pengkhianatan yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah ruang pertemuan rahasia yang sederhana. Dinding-dinding kayu tua dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menciptakan bayang-bayang yang seakan menyimpan rahasia masa lalu. Tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan kini tersusun rapi di atas meja, namun kekosongan di bagian akhir naskah yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci” masih menghantui pikiran mereka. Li Zhen membuka buku catatan kecil dengan tangan gemetar. Suaranya pelan: “Setiap tetes keringat, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir kita untuk mengembalikan harapan bagi desaku. Namun, pencurian gulungan itu telah memaksa kita untuk memulai pencarian baru. Kita harus tahu siapa yang berani mencur
Di pagi yang kelabu, setelah kekacauan yang mengguncang pasca pencurian artefak pertama, Li Zhen duduk termenung di teras sebuah pondok kecil di pinggiran Desa Songlin. Udara pagi yang dingin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh, seolah alam pun turut merasakan duka yang menyelimuti jiwa para pejuang. Di tangan Li Zhen, tersisa potongan-perpotongan gulungan yang kini menjadi saksi dari perjuangan dan pengorbanan; meskipun artefak itu telah hilang, kenangan tentang keberadaannya membakar tekadnya untuk melangkah ke babak baru. Li Zhen membuka buku catatan kecilnya yang lusuh dan membaca dengan suara serak, “Setiap tetes keringat yang kita keluarkan, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir yang harus kita jalani. Artefak itu adalah kunci, bukan hanya bagi desaku, tapi bagi harapan seluruh rakyat. Jika dibiarkan jatuh ke tangan musuh, penderitaan akan berlanjut tanpa henti.” Ia menunduk, matanya berkaca karena amarah dan keputusasaan, lalu melanjutkan, “Kit
Di pagi yang kelabu dan sepi, setelah segala kekacauan dan kegetiran yang menyertai peristiwa pencurian gulungan pertama, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah rumah tua di pinggiran Desa Songlin. Rumah itu—tempat yang selama beberapa minggu terakhir menjadi pusat pertemuan rahasia dan strategi—menjadi saksi bisu dari tekad mereka yang semakin menguat. Di ruang sederhana yang dindingnya dipenuhi coretan peta, dokumen usang, dan catatan hasil penyelidikan, mereka duduk bersama dengan wajah serius. Di atas meja kayu besar, tersusun rapih tiga potongan Silsilah Naga Emas, meskipun salah satunya kini menjadi kenangan pahit karena pencurian yang mengguncang. Li Zhen memandangi gulungan yang tersisa, tangannya masih gemetar oleh amarah dan duka. Suara detak jam tua di sudut ruangan dan desiran angin yang menyelinap melalui celah jendela seolah menghitung setiap detik penderitaan yang telah mereka lalui. Dengan suara serak, ia membuka buku catatan kecil yang telah ia
Di tengah kekacauan yang menyisakan luka mendalam akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin terasa berbeda. Setelah serangan itu, langit yang dulu cerah kini tampak mendung, seolah-olah alam pun turut merasakan duka dan amarah yang melanda. Li Zhen, yang masih terbayang wajah-wajah yang terluka dan desaku yang hancur, duduk termenung di sebuah pondok kecil di pinggiran desa. Di ruang yang sempit itu, dinding-dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menari di atas meja kayu tua, menciptakan bayang-bayang yang seakan menceritakan kisah penderitaan dan harapan. Li Zhen membuka sebuah buku catatan yang pernah ia tulis dengan susah payah. Tangan gemetar karena emosi, ia membaca dengan suara serak: "Gulungan pertama adalah kunci awal yang membuka jalan ke Silsilah Naga Emas. Jika artefak itu jatuh ke tangan yang salah, maka penderitaan dan kezaliman akan merajalela. Kita harus mencari
Di pagi yang kelabu tanpa embun menyambut, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian bersiap meninggalkan persembunyian rahasia mereka di pinggiran Desa Songlin. Setelah kejadian pengkhianatan yang mengguncang—di mana artefak gulungan pertama dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup—tiga pejuang itu kini harus memulai pencarian baru untuk mengungkap jejak yang tersisa. Di ruang persembunyian kecil yang terbuat dari kayu tua dan bata, dinding-dindingnya masih dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan. Di atas meja besar yang lapuk, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan, meski salah satunya kini hilang dalam peristiwa pengkhianatan. Kode rahasia pada gulungan yang tersisa—dengan kalimat yang terputus di bagian akhir yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci”—masih menjadi misteri yang menggantung, seolah mengancam nasib perjuangan mereka. Dalam keheningan yang mencekam, Li Zhen membuka sebuah buku
Di bawah langit malam yang kelam, di tengah heningnya jalan setapak yang berliku di pinggiran Desa Songlin, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali dalam suasana penuh duka dan tekad. Kejadian yang mengguncang baru saja terjadi: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini dipercaya menyimpan rahasia Silsilah Naga Emas, dicuri secara tiba-tiba oleh sekelompok pembunuh bayaran. Pencurian itu bukan hanya mencederai rasa aman, tetapi juga menggugah emosi serta mengungkap pengkhianatan yang menyayat hati. Kini, tatapan tegas dan bibir yang terkatup rapat menjadi saksi bahwa mereka harus segera memulai pencarian baru—pencarian yang akan membawa mereka menelusuri jejak-jejak yang hilang, membuka rahasia di balik bayang-bayang kekuasaan, dan menuntaskan tugas mulia untuk mengembalikan harapan bagi desanya. Di sebuah pondok kecil di pinggiran desa, yang menjadi tempat persembunyian sementara mereka, Li Zhen duduk termenung di sudut ruangan. Di tangannya, ia masih menggenggam er
di sebuah sudut pedesaan di pinggiran Kota Xiping, perjalanan Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian memasuki fase baru yang penuh dengan kepedihan dan tekad. Setelah pengkhianatan yang mengguncang di Bab 41, di mana artefak pertama yang mereka percayai sebagai kunci Silsilah Naga Emas dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup, kini mereka harus menapaki jejak yang lebih sulit. Tak hanya untuk merebut kembali artefak yang hilang, tetapi juga untuk mengungkap rahasia yang terkubur di balik kode-kode kuno dan peringatan yang pernah mereka terima. Di ruang persembunyian rahasia yang terletak di sebuah bangunan tua di pinggiran Kota Xiping, lampu minyak yang redup menerangi dinding-dinding kayu usang. Meja kayu besar yang penuh dengan peta, dokumen, dan catatan terjemahan dari Li Fu masih terhampar, seolah menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Tiga potongan Silsilah Naga Emas kini tersusun rapi di atas meja, namun masih ada kekosongan d
Di tengah-tengah perjalanan awal yang penuh gejolak, ketika langit senja mulai memudar menjadi kelam dan bayang-bayang malam mulai menguasai jalan setapak di pedesaan, Li Zhen bersama Mei Xiang dan Wang Jian terhenti sejenak di sebuah jalan setapak di luar sebuah desa kecil. Mereka baru saja mengalami peristiwa yang mengguncang jiwa: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini menjadi kunci bagi rahasia “Silsilah Naga Emas,” telah dicuri secara tiba-tiba. Kecurigaan pun segera melanda, dan kebenaran pahit mulai tersingkap—pencuri itu bukanlah orang biasa, melainkan sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk salah satu bangsawan korup yang berusaha memanfaatkan artefak tersebut demi kekuasaan pribadinya.Dalam keheningan malam yang semakin pekat, Li Zhen menatap ke arah gulungan yang kini hilang, wajahnya menggambarkan campuran kemarahan dan keputusasaan. “Kita harus mencari tahu siapa yang berani mencuri artefak itu dan mengapa,” ujarnya dengan suara serak, seolah menahan amara