Hardiman dan Tiur keheranan melihat penampilan Reza petang itu. Biasanya, sang putra cukup mengenakan kaus polo atau T-shirt dan jaket saat keluar di saat senggang. Kali ini Reza memilih kemeja batik lengan panjang berwarna cokelat tua dipadu dengan celana kain berwarna khaki dan sepatu pantofel yang mengkilap. Belum lagi aroma parfum yang semerbak terbawa embusan udara dari alat pendingin ruangan.“Mau kondangan ke mana, Za?” tanya Tiur.“Bukan acara kondangan, Ma,” sahut Reza sebari mencari kunci mobil di meja konsol.“Kok tumben rapi amat, Za?” Sinta yang tengah duduk bertiga dengan kedua orang tuanya ikut menoleh dan keheranan.“Mau ketemu Cella,” jawab Reza santai sembari menarik laci - laci untuk menemukan kunci.Sontak ketiga anggota keluarganya mengerutkan kening.“Hah? Cella kena masalah hukum apa? Dia baik - baik aja, Za?” tanya Sinta penasaran.“Enggak ad
Cela pulang diantar Reza. Sengaja Reza memilih seperti itu untuk melakukan pendekatan pada keluarga Cella. Siapa tahu mereka masih geram karena ditolak dua kali. Ayah mana yang tidak merasa terinjak harga diri bila anak gadis satu – satunya yang cantik, pintar, dan tenar ditolak lelaki yang sama sampai dua kali. Padahal si lelaki tidak hebat - hebat amat, hanya seorang pengacara muda yang sok tahu.Malam hampir mencapai puncak saat mobil Cella berhenti di depan rumah. Reza mengantarkan gadis itu hingga ke pintu depan. Mama Cella, Paula, menyambut mereka.“Terima kasih, sudah mengantar Cella,” ujar perempuan berdarah campuran itu.“Sama – sama, Tante. Saya langsung pamit karena sudah malam,” ujar Reza.“Salam buat mama dan papa, ya Za,” ujar Paula untuk mengakhiri pertemuan itu.Begitu mobil Reza menghilang dari pandangan, mama Cella langsung menggamit putrinya. “Gimana tadi? Dia bilang suka sama kamu?”Cella kembali teringat keraguannya di a
Setelah Cela resmi menjadi calon istri Reza, pingitan terhadap dirinya dihapuskan. Cella tinggal bilang ke Reza bahwa ia akan mengunjungi Ken. Reza akan melindungi sepenuh hati dari kedua orang tua Cella. Sejak saat itu, itu Cella bebas mengunjungi kekasihnya. Ia hanya diwajibkan untuk pulang setiap malam. Namun, hal itu sama sekali bukan masalah. Ia dan Ken punya waktu sepanjang hari untuk bersama bila sedang tidak ada jadwal syuting.Hal yang masih mengganggu adalah kekesalan Ken setelah makan malamnya bersama Reza. Lelaki itu terus merajuk berhari - hari. Cella yang sudah hafal tabiat sang pacar menanggapi dengan santai."Keeen? Cheyeeeennkkk? Kok cemberut terus? Ntar cepat tua, loh.""Bodo amat!" Ken melengos dan manyun panjang. Cella terkekeh-kekeh melihat wajah yang sangat lucu itu."Kalau ngambek gitu kamu makin lucu, Cheyeenk! Udahan dong marahannya?""Gimana gue kagak kesel? Rayan dapat dokter cantik. Reza dapatin elo. Lah gue dapatin janda ngg
Hari demi hari berlalu. Reza mulai terbiasa dengan rutinitas baru. Rumah mereka bertiga terletak di pinggir kompleks, menghadap hutan mini sehingga sangat sedikit yang lalu lalang di jalan depan rumah. sepanjang jalan itu hanya terdapat lima belas kavling. Yang sudah dibangun baru delapan, namun yang telah ditempati hanya empat, termasuk ketiga rumah mereka. Satu keluarga tinggal di ujung jalan, cukup jauh. Dengan demikian, praktis tak ada yang melihat aktivitas pertukaran pasangan.Reza menikmati kehidupan baru bersama Dita. Setiap hari, ia sempatkan untuk mengantar wanita itu ke tempat kerja. Reza tidak pernah turun dari mobil karena takut ketahuan bukan suami resmi Dita yang menyetir mobil.“Kalau ada yang curiga bilang aja gue sopirnya Ray,” kata Reza saat pertama kali ke kantor berdua.“Iya,” jawab Dita. Dalam hati ia menggerutu. Mana ada sopir sedemikian perlente? Rayyan saja kalah modis. Semua yang menempel di badan Reza adalah barang - barang bermerek
Reza pulang dalam kondisi pening. Selain kasus Kalandra Sadhana, kasus Nita pun menjadi beban pikiran. Dalam hal kasus Nita, rasa bersalah karena tidak mengantisipasi kejadian buruk menjadi hantu baginya. Ia bahkan menjadi gamang untuk menangani kasus-kasus lain dan cenderung kelewat hati-hati.Hari ini Dita jaga pagi. Reza berharap menemukan istri yang bisa memeluk dan memanjakan sehingga bisa melupakan sejenak kepenatan jiwa akibat pekerjaan. Tapi mungkin harapannya agak berlebihan. Dita bukan istri yang memiliki kepekaan demikian. barangkali dibesarkan secara keras membuat wanita itu kehilangan kelembutan. Sampai di rumah, ternyata Cella yang membukakan pintu.“Loh, kok elu, Cel? Dita mana?” Reza heran sendiri mengapa hatinya girang menemukan wajah cantik itu.“Mertuanya datang. Jadi dia terpaksa nemenin Rayyan.”Rasa girang Reza mendadak lenyap. Ia berdecak. “Kapan mereka datang?”“Baru aj
Reza menatap layar monitor beberapa detik. Untuk sejenak, ia tak percaya dengan mata sendiri. Akan tetapi, yang terlihat di layar memang nama Cacarita. Pesan itu dikirim 10 menit yang lalu.Cacarita: Hai!Cacarita: Boleh ngobrol?Cacarita: Udah tidur, ya?Cacarita: Btw ceritamu laris. Selamat, ya.Bulu kuduk Reza meremang. Bagaimana mungkin orang yang sudah berada dalam kubur bisa melakukan chatting? Jantungnya berpacu cepat. Keringat dingin membulir di kening dan kedua telapak tangan.Matilah gue! Dia siapa? Bianca, Nita, Boni? Hiiiihhhhh!Reza bergidik berkali – kali. Akhirnya, ia menderap keluar dari ruang kerja, lalu menyalakan semua lampu. Secangkir kopi diseduh untuk menenangkan diri. Untuk sesaat, Reza berpikir keras. Sayang, otaknya buntu sehingga ia masuk ke kamar dan bergulung di bawah selimut. Bahkan komputernya di ruang kerja masih menyala. Hanya setelah matahari terbit ia berani masuk kembali ke sana untuk mematikan benda itu.***
Ken meraih pinggang Cella. Lantai empat woskshop-nya kembali menjadi tempat pertemuan mereka saat Cella tidak sedang kegiatan syuting di siang hari. Selama sandiwara berlangsung, wanita itu harus berhati-hati, jangan sampai keberadaan mereka terendus wartawan, kemudian menyebar ke media massa. Berkat kejelian dan kehati-hatian, mereka aman.“Gue udah nggak sabar nunggu elo cerai, Cel.” Ken berbisik sembari menyibak anak-anak rambut Cella. Sesudah itu, jemarinya turun untuk menelusur tubuh indah yang tergolek tanpa busana.Cella mengecup bibir kekasihnya dengan lembut. “Reza udah nyiapin berkasnya, tinggal dimasukkan ke pengadilan. Tapi masalahnya, Rayyan lambat. Dia malah minta penangguhan sampai nyokapnya keluar dari rumah itu.”“Bocah itu! Selalu aja duduk di ketiak mamanya! Mau bikin kita semua sengsara, kali.”“Aku kasihan sama Syifa. Kamu perhatikan dia waktu sarapan tadi?”Ken berusaha mengingat. Selama perempuan itu berada di rumahnya, ia memang
Ken menatap kacau pada Cella. Sebentuk penyesalan mulai tumbuh di dalam hati. Kata -kata Arya tadi benar. Demikian pula teguran Cella. Walau bukan istri sesungguhnya, ia tetap berkewajiban memperhatikan Syifa karena wanita itu tinggal serumah, bahkan istri sahabatnya.“Syifa masuk rumah sakit, Cel,” ujarnya. “Pingsan di sekolah.”“Hah? Sakit apa? Gimana kondisinya sekarang?”“Belum tahu. Tapi udah sadar sewaktu sampai di rumah sakit. Ada kakak angkatnya nemenin dia.”“Kamu harus—” Hampir saja Cella keceplosan mengatakan, Kamu harus menghubungi Rayyan. Untung ia segera sadar ada Jonathan dan Nara di situ. “Kamu harus segera ke rumah sakit.”Ken termangu. “Iya, gue berangkat sekarang,” ujarnya lirih. Kepada Jo dan Nara, ia pamit, “Kalian kalau masih mau di sini, silakan. Ada Cella. Bisa nemenin ngobrol.”“Oh, enggak usah. Kami ikutan pam