Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut.
"Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"
Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa.
"Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"
Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."
Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?
Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,