Bismillahirrahmanirrahim.“Eh ibu! Silakan masuk Bu,” ajakku pada ibu mertua yang datang. Ingin rasanya melabrak ibu, tega dia mengambil hak anak-anak, tapi aku tidak punya keberanian untuk itu. Hampir lima bulan dia tidak datang ke sini. Tumben sekarang dia muncul. Tumben-tumbenan ibu datang sekarang, sungguh tidak tepat pikirku. Tapi biarlah, biar ibu tahu kejadian yang menimpa anaknya. Justru kedatangannya suatu keuntungan bagiku. Aku bisa menanyakan perihal uang yang dititipkan bang Juna padanya.Ada apa gerangan. Rasa penasaranku sangat membuncah hari ini, aku juga butuh kejelasan dari ibu. Penjelasan Bang Juna kemaren tidak bisa aku percaya begitu saja. Aku harus mendengar sendiri dari ibu. Ada hikmahnya juga ibu mertua datang, supaya kekisruhan ini semakin jelas. Kemana saja perginya uang yang dititipkan Bang Juna. Kenapa selama ini ibu menutupinya dariku. Bahkan, ibu seakan tidak peduli dengan kekurangan yang kami alami. Tidakkah dia sayang pada cucunya.Ibu segera masuk mene
Bismillahirrahmanirrahim.Baru saja ibu dan aku menaiki undakan tangga lantai 2 terdengar lagi pertanyaan dari seorang perempuan, siapa lagi kalau bukan Mbak Zara. "Biasanya jam berapa sih si Juna pulang, lama amat saya menunggu." Wanita itu terus saja menggerutu. Mendadak hatiku kecut, berharap ibu tidak terpengaruh. Tapi saya harapanku tidak menjadi kenyataan.Spontan ibu diam menghentikan langkah dan berbalik badan, lalu menatapku sejenak."Siapa perempuan itu?” Tanya ibu kepo. Mungkin ibu penasaran, kenapa wanita itu mencari anaknya. Aku bisa maklum, namanya orang tua selalu punya rasa keingintahuan yang besar.“Bukan siapa-siapa Bu, tidak usah pedulikan orang itu.” Sanggahku cepat. “Ayo Bu, kita ke atas,” ajakku lagi. Jangan sampai ibu melabrak wanita itu. Apalagi keadaan kafe tengah ramai pelanggan, bisa menurunkan nama baik kafe nanti. Itu bisa merugikan bisnis yang tengah aku rintis.“Tidak! Kamu saja yang ke atas. Ibu penasaran kenapa wanita itu mau mencari Juna, ada hubunga
Bismillahirrahmanirrahiim.“Tidak Dek, kamu tidak bisa memaksa Abang untuk menikahi Zara. Abang hanya mencintai kamu. Percayalah! Anak itu bukan anak Abang?” Tiba-tiba Bang Juna muncul tanpa kuduga. Tetap yakin dan teguh pendirian. Sepertinya Bang Juna mendadak pikun. Saking semangat menolak mengakui anak yang dikandung Mbak Zara, ia sampai tidak menyadari kehadiran ibu yang tengah melotot padanya. Spontan Bang Juna terdiam, saat menyadari keberadaan ibu yang tengah menatapnya lekat-lekat. Seakan ibu hendak menguliti tubuhnya. Bang Juna tampak resah dan gelisah. Takut mungkin belangnya bakal ketahuan oleh ibu.“I-ibu? Dari kapan ibu berada di sini? Ayo Bu, kita bicara di atas,” ajak Bang Juna gugup, seraya menarik tangan perempuan yang telah melahirkannya itu, untuk naik ke lantai atas.Pasti Bang Juna tidak mau rahasianya terbongkar, karena perbuatan yang sangat memalukan dan merendahkan martabat keluarga. Jadi dia berusaha menjauhkan ibu dari wanita itu. Namun sayang, sang ibu mena
Bismillahirrahmanirrahim.“Arini, apa kamu mendengar semua pembicaraan kami?” tanya Bang Juna curiga, seraya menatapku lekat-lekat.“Tidak, aku baru saja dari dapur, langsung ke sini. Emang ada apa?” kilahku penasaran.“Tidak ada apa-apa,” elak Bang Juna cepat, seraya memalingkan wajah ke televisi yang sedang menyiarkan acara gosip.“Sebenarnya kalian sedang membicarakan apa sih, takut banget kalau aku mengetahuinya.” Sambungku kepo. Pura-pura tidak tahu yang mereka bicarakan, padahal sebenarnya aku mengetahui semuanya. Dalam hati, aku tersenyum culas.“Tidak ada yang penting kok, kamu tidak perlu khawatir. Ayo letakkan teh itu segera, tadi ibu kayaknya haus banget, benarkan Bu.” Ujar Bang Juna sedikit mengedipkan mata pada ibu. Dengan sudut mata, aku bisa lihat jelas, kalau Bang Juna memberi isyarat pada perempuan yang telah melahirkannya itu.Ibu mengangguk sekilas seraya menatapku dengan sikap yang canggung. Aneh! Tidak biasanya ibu bersikap seperti ini. Kenapa sekarang ibu kayak
"Kalian tengah membicarakan aku ya, kenapa namaku disebut-sebut." Tiba-tiba entah kapan datangnya, lelaki berdasi itu muncul di hadapan kami dengan senyum manisnya. Senyumnya itu sempat membuatku terpana akan keindahan makhluk ciptaan Allah.Sontak kami terkejut bukan kepalang. Lalu menoleh ke belakang. Tampak Mita membalas senyuman pria berdasi itu. Sepertinya Mita sukses jadi detektif dadakan, karena cepat juga dia dapat informasi mengenai pekerjaan mas Syafik.Tentu saja Mita dapat mengetahui dengan cepat, hampir tiap hari mas Syafik datang ke sini. Mita tak akan membuang kesempatan untuk mengintegrasi pria tampan itu.Lelaki itu datang mendekat. Langkah kakinya terasa panjang dengan tinggi badan menjulang. Tampak gagah dengan balutan kemeja kotak-kotak biru yang lengannya digulung sampai batas siku, dengan stelan celana bahan hitam. Tubuh tinggi jangkung dan rahang kokoh dihiasi dengan dada bidang, menambah kesan maskulin. Pasti banyak wanita yang antri ingin mendapatkan cintanya
POV ArjunaSemenjak kerja jadi sopir keluarga kaya di kota, aku hidup terpisah dengan keluargaku. Berat rasanya harus berpisah dengan istri dan anak-anakku. demi pekerjaan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, terpaksa aku terima tawaran kerja dari teman. Pulang hanya sekali dalam satu Minggu. Itulah bentuk tanggung jawabku sebagai kepala keluarga. Bahkan istriku yang ingin bekerja untuk membantu perekonomian keluarga aku larang, biarlah itu menjadi tugasku saja. Dia cukup merawat dan menjaga kedua buah hati kami.Hari demi hari aku lewati dengan kesepian, tanpa canda dan gelak tawa istri dan anak-anak. Seringnya aku sendiri, lama kelamaan jadi terbiasa. Tidak lagi kurasakan rindu yang teramat sangat untuk mereka.Sebenarnya Arini ingin ikut tinggal bersamaku di kota. Tapi majikan melarang, alasannya, biar fokus kerja dan tidak terbebani dengan urusan keluarga.Arini terpaksa menerima dan tidak memaksa lagi untuk ikut.Entah kapan tepatnya, aku menerima panggilan telpon dari ibu, me
Bismillahirrahmanirrahiim.Sore itu, sepulang dari melihat apartemen bersama mas Syafiq, aku disambut Bang Juna dengan kecemburuan tiada habisnya. Bahkan dia menuduhku yang tidak-tidak. Apakah begitu gaya orang yang selingkuh, untuk menutupi belangnya, sekarang malah berbalik menuduhku selingkuh. Jadi tak ubah selingkuh, teriak selingkuh. Entahlah, aku malas memikirkannya, mumet kepalaku jadinya.Masalahku saja sudah cukup rumit, yang perlu ditangani segera. Mana ada waktu memikirian tuduhannya. Biarkan saja dia mau bilang apa, yang penting aku tidak melakukan seperti yang ia tuduh. Mita belum lama ini mengadu, kalau uang pendapatan terus merosot tajam. Siapa yang berani melakukan tindakan penggelapan uang pendapatan kafe. Ini harus aku selidiki lebih jauh, tak bisa dibiarkan begitu saja. Bisa jadi usaha yang baru aku rintis merugi, bila tidak diselidiki dengan cepat.Bang Juna terus saja minta penjelasan.“Apa maksud perkataan Abang? Abang menuduhku selingkuh dengan pria tadi, benar
Bismillahirrahmanirrahim.“Baiklah! Kamu boleh pergi, tapi pergi sendiri. Abang tidak izinkan kamu bawa Dio dan Nisa.”Apa? Apa katanya?Aku pergi sendiri? Tidak boleh bawa Nisa dan Dio, yang benar saja.Mana bisa aku hidup tanpa mereka, merekalah penyemangatku. Demi merekalah aku rela membanting tulang selama ini. Kalau bukan demi mereka, tidak akan kulakukan pekerjaan itu. Seenaknya saja Bang Juna melarangku membawa anak-anak. Dasar lelaki tak punya hati, seenak perutnya saja bicara.Sekarang apa yang harus kulakukan, aku terduduk diam di tepian ranjang. Tinggal terpisah dengan kedua buah hatiku, membuatku tidak sanggup membayangkannya. Apa aku batalkan saja pergi dari rumah ini? Langkah apa yang harus aku tempuh. Aku bingung ya Allah, beri aku petunjuk dan jalan keluarnya.Aku tidak pernah membayangkan Bang Juna akan bersikap kekanak-kanakan begini. Tau begini akhirnya, menyesal aku terima dia kembali. Aku hanya bisa menarik napas panjang menahan kekesalan di hati.Sejenak aku berp