Lana merasakan detak jantungnya semakin cepat saat melihat jam di dashboard mobilnya menunjukkan waktu yang semakin mendekati acara ulang tahun ayah mertuanya. Jalanan Jakarta yang macet membuatnya semakin gelisah. Sudah sejak tadi Rudi menelponnya, menawarkan untuk menjemputnya, tetapi Lana memilih menolak. Pikirnya, jika Rudi harus mengambilnya, mereka berdua akan terlambat, membuat ayah mertuanya kecewa karena putra semata wayangnya terlambat dalam momen bersejarah ulang tahun yang ke-60.Ponselnya berdering lagi, menandakan panggilan dari Rudi. Dengan cepat, Lana mengangkat telepon."Hey, sayang. Kamu sudah sampai?" tanya Rudi dengan suara hangatnya."Belum, Rud. Aku masih stuck di jalan. Maaf, ini luar kendaliku," jawab Lana, mencoba menyembunyikan kecemasannya.“Apa acaranya sudah dimulai?” tanya Lana dengan sedikit cemas.“Papa masih menunggu kamu, belum mau mulai kalau menantunya belum datang. Tapi kamu tenang aja, aku akan kasih pengertian sama Papa,” balas Rudi.“Maaf ya, Ru
Setelah acara selesai, beberapa anggota keluarga Rudi masih berkumpul dan mengobrol bersama di ruang keluarga. “Katanya kemarin kalian liburan ke Paris. Masih belum ada kabar apa-apa?” tanya Liza sambil menatap ke arah Lana.Sementara, Lana hanya diam, ia sangat mengerti kemana arah pembicaraan Liza. Jika bukan karena Rudi, mungkin Lana sudah menyiramkan segelas jus di sampingnya ke arah wanita itu. Rasanya tingkat kesabaran Lana sudah habis, tapi ia tidak boleh tersulut emosi karena hubungannya dengan Rudi sudah membaik.“Belum, Tante. Masih usaha,” balas Lana dengan datar.“Bagaimana mau ada kabar kalau dia selalu sibuk bekerja. Mungkin di sana dia hanya melakukan perjalanan bisnis,” timpal Maya dengan sengit. “Cukup, Ma! Mau sampai kapan Mama menyerang Lana seperti ini?” bentak Rudi sambil menggebrak meja membuat semua orang terkejut, tak terkecuali Lana yang menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. “Sudah berani kamu membentak Mama?” kesal Maya sambil menatap Rudi dengan t
Ruang kerja Lana terasa sunyi setelah Lia menutup pintu, meninggalkannya dengan bayang-bayang masalah yang menghantuinya. Sejak rapat pagi, ketidaknyamanan dan keragu-raguan merajai pikirannya. Lana merasa pusing dan lelah, berusaha keras untuk fokus pada pekerjaannya. Namun, semakin ia mencoba mengusir bayangan tentang Rudi dan Sandra, semakin kuat pula mereka mendera benaknya.Sudah berjam-jam Lana duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputernya. Pikirannya melayang ke peristiwa-peristiwa yang membuat hatinya gelisah. Ia merasa seperti terperangkap dalam suatu masalah yang tidak tahu bagaimana caranya keluar.Ketika pintu ruangannya terbuka dengan pelan, Lana segera menoleh. Lia memasuki ruangan dengan ekspresi cemas, mencoba memahami keadaan bosnya. "Maaf, Bu. Saya sudah memberitahunya untuk tidak mengganggu Ibu, tapi...," ucap Lia dengan suara pelan.Lana mengangkat tangannya untuk menghentikan Lia sejenak. "Tidak apa-apa, Lia. Biarkan Raka masuk," kata Lana dengan sua
Lana duduk di ruangannya, fokus pada dokumen-dokumen yang tersebar di atas meja. Ia sedang sibuk memeriksa dan menjawab beberapa email yang masuk. Suasana kantornya begitu tenang sampai pintu terbuka dan Lia, sekretarisnya, memasuki ruangan sambil membawa amplop besar berwarna cokelat.Lana mengangkat pandangannya dari dokumen yang tersebar di atas meja saat Lia mendekatinya. Ia menempatkan amplop itu di atas meja Lana dengan cermat."Ada apa, Lia?" tanya Lana, suaranya tenang meskipun rasa penasaran terlihat di matanya.Lia menghampiri Lana, menatapnya dengan penuh kehati-hatian. "Maaf mengganggu, Bu Lana. Ada kiriman paket untuk Ibu dari seseorang, saya tidak tahu siapa yang mengirimnya karena paket itu sudah ada di meja saya saat saya tiba," jelas Lia seraya memperlihatkan amplop cokelat itu.Lana mengangguk, rasa penasaran muncul di wajahnya. "Terima kasih, Lia. Kamu bisa pergi sekarang."Setelah Lia pergi, ia membuka amplop itu dengan hati-hati. Di atasnya terdapat tulisan "Untuk
Raka tersenyum sinis, tatapannya menusuk tajam ke dalam mata Lana. "Mungkin, sebaiknya kamu menerima kenyataan, Lana. Rudi sudah berselingkuh."Lana menggelengkan kepalanya dengan keras, menolak untuk mempercayai kata-kata Raka. "Saya tidak percaya padamu. Ini pasti hanya trikmu untuk menghancurkan rumah tangga saya!"Raka tertawa, suara tawanya bergema di ruangan. "Lana, aku nggak perlu melakukan trik untuk menghancurkan sesuatu yang sudah hancur dengan sendirinya. Rudi tidak setia padamu, dan kamu harus tahu.""Raka, lepas!" teriak Lana dengan penuh kekesalan, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Raka.Namun, Raka tetap tak bergeming. Ia mencengkram pinggul Lana dengan kuat, membuatnya sulit untuk bergerak. "Kamu harus mendengarkan, Lana. Rudi sudah melanggar kepercayaanmu, dan kamu berhak tahu kebenaran."Lana menatap Raka dengan tatapan tajam. "Sialan, apa yang kamu tahu? Kamu hanya mencoba menghancurkan semuanya!"Tak lama kemudian, ponsel Raka berdering. Raka tersenyum sambi
Lana duduk di depan meja kerjanya, matanya memandangi dokumen-dokumen yang tersusun rapi. Rasa pusing yang tak kunjung hilang membuatnya memijat pelipisnya dengan lembut. Malam panas bersama Raka masih menghantui pikirannya, meninggalkan kekacauan emosional yang sulit diatasi.Dokumen-dokumen yang tersebar di meja tersebut hanyalah bayangan dari kekacauan yang melanda hatinya. Ia berusaha untuk menyibukkan diri dan mengalihkan pikirannya dari konflik yang semakin meruncing. Setelah malam itu, Lana merasa kehilangan ketenangan dalam hidupnya, dan kebingungan merajalela setiap kali ia mencoba merapikan pikirannya.Setelah beberapa saat, Lana mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di meja dan melirik ke luar jendela. Pemandangan laut yang indah dan pantai berpasir putih tampak mengundang, tetapi pikirannya terus melayang ke arah yang rumit.Setelah malam panas yang penuh gairah bersama Raka, Lana memutuskan untuk menghindari pria itu. Ratusan pesan dan panggilan diabaikannya, dan p
Setelah pulang dari pertemuan dengan Raka di Bali, Lana merasa hampir tidak dapat menghadapi kembali hidupnya di Jakarta. Rumah yang seharusnya nyaman dan aman, kini terasa seperti medan perang emosional. Lana segera bergegas ke kamar mandi, berusaha membersihkan diri dari beban pikiran yang semakin menggunung.Setelah mandi, Lana mengganti pakaian dan menghela nafas panjang. Kehidupannya yang rumit tampaknya tak berkesudahan. Tidak lama setelahnya, suara langkah Rudi terdengar di koridor. Lana menatap cermin dengan pandangan kosong, mencoba menyembunyikan kegelisahan di dalam dirinya.Pintu terbuka, dan Rudi masuk dengan senyuman di wajahnya. Ia mendekati Lana dan mencium keningnya dengan penuh kasih sayang. Namun, Lana hanya diam, tidak merespon ciuman itu. Ia bergeser untuk duduk di kursi di depan meja rias, sambil membiarkan rambutnya dikeringkan.Rudi mengamatinya dari tempatnya berdiri. Dia melangkah mendekati Lana dengan senyum yang menggambarkan kerinduannya. Rudi meletakkan k
Langit Jakarta terasa hangat ketika Lana melangkah keluar dari ruang rapat direksi Widjaja Group. Ruang rapat itu menjadi saksi bisu atas momen bersejarah dalam hidupnya. Hari itu, Lana secara resmi menjabat sebagai Direktur Utama, menggantikan posisi yang sebelumnya dipegang oleh Haris, ayahnya sendiri.Seiring dengan langkah-langkahnya yang tegas, Haris melangkah di belakangnya. Pria itu menepuk lembut pundak Lana, sorot mata penuh kebanggaan memancar dari matanya yang mengenakan kacamata elegan. "Selamat, Nak. Papa sangat bangga padamu. Kamu membuat keputusan yang tepat."Lana menatap ayahnya tanpa ekspresi, mata mereka bertemu, tetapi tak ada kehangatan di sana. Hubungan mereka sudah lama retak sejak tragedi keluarga yang menghancurkan kepercayaan Lana pada ayahnya. Saat itu, Haris menikahi selingkuhannya dan membuat ibu kandung Lana pergi meninggalkannya ketika usianya menginjak sepuluh tahun.Sejak ayahnya menikah lagi Lana merasa terasing dan kecewa pada Haris. Perasaan kehilan