Berusaha untuk tetap tenang dan biasa saja, ternyata semua itu sungguh melelahkan. Terbukti, bila saat ini Sanaya sedang tidak baik-baik saja, semenjak pernyataan Leo yang hendak bertanya kepada ayah Wili. Tubuhnya memang berada di sini, di tengah keramaian lautan manusia yang mengisi ballroom hotel. Sementara pikirannya berkelana ke mana-mana.Bisa ditebak, jika tamu yang hadir dalam acara pertunangan ini bukanlah dari kalangan biasa. Sanaya bahkan melihat beberapa para selebgram dan selebriti ibu kota hadir di acara tersebut. Sanaya tak pernah menduga, jika Dilan akan mendapatkan pasangan dari keluarga terpandang dan memiliki nama besar. Tak heran, jika Leo—tunangannya betah menggerutu dan menyindir nasib Dilan yang beruntung. Andai saja bisa, Sanaya ingin pergi dan menjauh dari lelaki itu. Telinganya sakit lantaran gerutuan tak berfaedah Leo. 'Hfuuh ….' Embusan napas jengah mungkin sudah ke sekian kali keluar dari hidung Sanaya. Melirik Leo yang berada di sampingnya tengah mengo
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Leo benar-benar merealisasikan niatnya. Menyewa sebuah kamar VIP bersama Sanaya untuk melancarkan aksi yang sudah dia susun di pikirannya. Yakni, ingin mencicipi tubuh calon istrinya itu. "Duduk, Nay. Aku pesen minum dulu," titah Leo, berjalan menjauh menuju sudut kamar untuk menekan tombol interkom yang berada di dekat pintu. Sementara Sanaya duduk dengan perasaan yang mulai tak keruan. "Aku harus gimana? Aku gak mau Leo berhasil jalanin rencananya," gumamnya sembari terus berpikir. Dia tidak mau bahkan tidak rela jika Leo sampai melakukan itu semua. Tidak! Sanaya tidak siap! Getar pada tasnya mengalihkan fokus Sanaya, yang lantas buru-buru mengambil benda pipihnya dari sana. "Dilan?" Ada pesan masuk dari Dilan ternyata. Pemuda itu menanyakan keadaan Sanaya. Tanpa menunggu lama, Sanaya segera membalas pesan tersebut. [Dilan, tolong aku. Aku ada di kamar 209. Please....] Terkirim! "Siapa, Nay?" Teguran Leo jelas mengejutkan Sanaya. Ga
Dering ponsel yang menggema di ruangan menghentikan teriakan dan gedoran tangan Leo pada pintu kamar mandi yang tertutup rapat itu. Dia mengumpat, lalu berbalik dan berjalan menuju nakas. Ponsel miliknya berdering tiada henti, Leo segera mengambil dan menggeser ke atas tombol berwarna hijau. "Ya, Sayang?" sapa Leo dengan suara yang sangat terdengar merdu dan mesra. Sang mantan pacarlah yang menghubunginya.Sementara di dalam kamar mandi, Sanaya mencoba mendengarkan percakapan tunangannya itu. Menempelkan daun telinganya rapat-rapat hingga dia bisa mendengar semuanya. "Brengsek! Tadi marah-marah kaya setan. Giliran dapet telepon ngomongnya di manis-manisin," umpat Sanaya, rasa benci semakin bertambah di hatinya. Leo benar-benar seperti monster yang mengerikan. "Oh, oke. Aku ke sana sekarang," ucap Leo. "Dia mau pergi? Yes!" Sanaya hampir melompat karena kegirangan. Semoga Leo benar-benar akan pergi. Dan, akhirnya dia bisa terbebas dari amukan lelaki kejam itu. Setelah memutus perc
"Tidur, Nay." Dilan membawa tubuh Sanaya yang hanya berbalut bathrobe ke pelukan. Tangan kanannya mengelus belakang kepala Sanaya, sementara tangan kanan yang melingkar di pinggang mengelus punggung perempuan itu. Dada Dilan terasa begitu hangat karena embusan napas Sanaya, yang terasa menjalar hingga ke hatinya. Bisa menghabiskan malam dengan perempuan yang dia sayang selalu membuat hatinya damai dan tenang. Sanaya sendiri juga tengah menikmati kebersamaannya dengan Dilan. Dia pikir, Dilan tidak akan pernah mau menemuinya lagi setelah bertunangan dengan Bianca. Namun, ketakutannya yang tak beralasan terjawab sudah. Buktinya, pemuda ini mau menemani dan menghiburnya seperti biasa. 'Kamu laki-laki baik, Dilan. Bianca beruntung bisa dapetin kamu.' Dalam hati Sanaya tengah memuji keberuntungan Bianca yang bisa mendapatkan laki-laki terbaik seperti Dilan. Apalah dia? Yang mempunyai nasib tak seberuntung gadis di luaran sana. Bisa memilih laki-laki yang dimau dan disuka. Bisa menghabisk
Menginap di hotel semalaman ternyata tak ada ruginya bagi Sanaya yang tengah dilanda rasa cemas dan gelisah. Kehadiran Dilan di sisinya selalu sukses memberinya semangat dan pikiran positif. Ketakutannya akan Leo pun perlahan sirna. Sanaya akan menghadapi pertanyaan tunangannya itu, apabila Leo kembali menanyainya.Sepulangnya dari hotel, Dilan mengantar Sanaya terlebih dulu. Pagi-pagi sekali mereka sudah chek-out dari sana karena tidak mau terjebak macet. Rona bahagia terpancar dari wajah cantik Sanaya yang terus bergelayut manja di lengan lelakinya.Apa? Lelaki?Seriously Sanaya?Kamu sudah mengklaim Dilan sebagai lelakimu? Apa jangan-jangan kamu sudah mulai menaruh hati padanya?Suara-suara dalam diri Sanaya seperti tengah mempertanyakan perasaannya terhadap Dilan. Dalam semalam hati Sanaya ternyata telah berubah.Apa karena dia takut kehilangan Dilan? Atau ... Sanaya memang tidak bisa hidup tanpa Dilan? Entahlah!Yang jelas, Sanaya membutuhkan Dilan, dan hanya lelaki itu yang bisa
Di weekend seperti ini Restoran selalu di penuhi dengan pengunjung. Apalagi kebetulan hari ini ada yang menyewa ruangan VIP untuk acara khusus reuni. Restoran yang awalnya dibangun oleh William itu merupakan salah satu Resto yang cukup terkenal di kota Jakarta. Tak sedikit orang yang menjadi pelanggan tetap di sana dan sering menyewanya untuk berbagai macam acara.Namun seiring berjalannya waktu dan persaingan yang semakin ketat, Restoran tersebut tidak cukup mampu bertahan di era modern seperti sekarang. Banyaknya kafe-kafe yang bermunculan hingga membuat usaha ayahnya Sanaya itu perlahan meredup.Lalu, parahnya lagi Restoran yang menjadi satu-satunya sumber keuangan dan kehidupan banyak orang itu hampir mengalami kebangkrutan. William yang kebingungan dan tidak tega jika harus menutup Restoran, kemudian meminta bantuan kepada salah seorang temannya.Teman di masa kuliahnya dulu yang sekaligus sahabatnya itu, bersedia memberikan bantuan dengan meminjamkan dana yang cukup besar. Atas
Pergi dalam kondisi perut lapar dan tertekan rasanya sungguh tidak nyaman. Apalagi atmosfer yang sangat tidak mengenakan terpancar dari aura wajah lelaki bermanik hitam kelam di sisinya. Pemandangan di luar jendela sepertinya lebih menarik dan menyenangkan, daripada Sanaya harus menatap sang tunangan yang berwajah menyebalkan.ck!Saat pergi meninggalkan Restoran, Sanaya belum sempat berpamitan pada Dilan, dikarenakan pemuda itu yang tidak berada di tempatnya. Cemas sekaligus gelisah merajai pikiran Sanaya sedari tadi. Takut jika Dilan marah atau tersinggung karena dia sama sekali belum menyentuh masakannya.Rencana pergi bersama pun harus tertunda, dan bodohnya dia yang belum sempat mengatakan apapun, mengenai acara dadakan ini. Sanaya harus datang ke rumah Leo untuk melihat contoh souvernir pernikahannya. Ajakan sang calon mertua yang tidak bisa dia tolak.Leo menghentikan laju mobil saat lampu lalu lintas berubah merah. Menarik tuas rem, lalu menoleh ke arah Sanaya. "Udah tau'kan
Sesi pilih memilih souvernir pun akhirnya selesai. Sekitar pukul delapan malam mama Anne meminta Leo untuk mengantar Sanaya pulang ke apartemennya. Beliau tidak mau sang calon menantu kemalaman."Kamu bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut, ya? Jangan sampe menantu mami yang cantik ini lecet. Awas aja!" pesan mama Anne pada anak lelaki satu-satunya itu.Leo hanya menanggapinya dengan anggukan seraya berpikir, kenapa sang mami begitu menyukai Sanaya. Padahal jika dilihat-lihat tidak ada yang spesial dari calon istrinya itu. Kalau dibilang cantik, sih, Sanaya memang cantik. Menarik dan enak dipandang. Memiliki bodi bak model kenamaan. Kulitnya juga sang bersih, putih dan terawat.Namun, apalah arti semua itu, jika dia tidak bisa mencicipi atau merasainya terlebih dulu. Berbeda dengan kekasihnya yang terpaksa harus dia sembunyikan. Leo bahkan sudah menikmati setiap jengkal tubuh sang kekasih yang sangat dia cintai itu."Nay pulang dulu, ya, Mi …." Sanaya berpamitan sekali lagi pada mami, mem