"Ini kartu kamarmu? Atau mau bergabung?" tanya Adrian dengan tatapan yang begitu santai namun mengundang, membuat Alea ingin menampar wajah pria itu sekeras-kerasnya. Betapa lancangnya dia bicara seperti itu, seolah tidak ada batasan, tidak ada etika, dan seolah tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang bisa menolak pesonanya yang ia anggap luar biasa itu.Mereka baru saja tiba di hotel yang sudah dipersiapkan Adrian sebelum mereka berangkat ke tempat ini. Dan baru masuk saja, Alea sudah dibuat kesal oleh Adrian. Alea menatap Adrian dengan tajam. Matanya menyiratkan amarah yang ia tahan dengan susah payah. Dadanya naik turun perlahan, menahan gejolak emosi yang siap meledak kapan saja. Di saat Larissa pergi ke toilet hanya untuk beberapa menit, pria ini justru memanfaatkan celah untuk melontarkan kata-kata yang tidak hanya menjijikkan tapi juga penuh kesombongan. Seolah dia adalah hadiah terindah dari surga yang layak dimiliki setiap wanita.Padahal, bagi Alea, Adrian justru sepert
Dan seperti yang sudah Alea duga, dia akan banyak mendengar suara yang membuat telinganya ternoda.Meski Alea sudah berusaha menutup telinganya dengan bantal, dua orang yang merupakan pasangan menyebalkan di kamar sebelah itu sungguh membuat Alea geram. Suaranya tetap terdengar, entah menjatuhkan barang lah? entah si Adrian kutu kupret itu sengaja membuat suara-suara aneh lah? sungguh menyebalkan."Ya ampun, katanya orang kaya. Konglomerat, kok sewa hotel yang dindingnya gak kedap suara gini sih?" omel Alea.Padahal, Adrian sebenarnya sengaja melakukan semua itu. Pria itu ingin Alea resah, terangsang, dan akhirnya Alea tidak punya pilihan lain selain menerima rayuan Adrian. Sungguh konyol, pikirannya seperti itu.Alea bangkit dari tempat tidur dengan geram. Ia menepis bantal dari wajahnya, lalu duduk di pinggir ranjang sambil menarik napas dalam. Sorot matanya menyiratkan kejengkelan yang amat sangat, bukan hanya karena suara-suara dari kamar sebelah yang membuat malamnya rusak, tapi
Alea masih menatap pria yang sedang duduk di seberangnya itu. Saat ini pria yang memperkenalkan diri pada Alea dengan nama Kael sejak awal itu sedang memotongkan daging steak untuk Alea. Tapi, dengan sesekali melirik ke arah Alea juga.Alea yang merasa agak janggal dengan pertemuan mereka yang terjadi begitu sangat kebetulan itu pun mulai menatap Kael dan memindai pria itu dengan matanya yang tidak setajam elang itu. 'Pria ini, bukannya dia pria bayaran? Aku juga belum membayarnya lunas. Lantas bagaimana caranya dia bisa ke Prancis? Dan mantelnya itu, mereknya bahkan sama dengan yang diberikan Bibi Wulan padaku. Ini benar-benar mencurigakan!' pikir Alea sambil mencoba menyembunyikan kegelisahan dari raut wajahnya.Tatapannya tak lepas dari mantel berwarna abu gelap dengan potongan elegan yang melekat sempurna di tubuh Kael. Kainnya tampak mahal, tebal namun ringan, dan menjuntai anggun seperti mantel yang sering terlihat di peragaan busana musim dingin Paris. Alea memindai lagi, dari
Dan pada akhirnya, Alea membawa Kael ke hotel tempatnya dan Adrian menginap. Hotel berbintang lima yang berdiri megah di pusat kota Paris itu tampak bersinar di bawah pancaran lampu malam. Dingin musim semi yang menusuk tak mampu mengusir kehangatan tensi yang menggantung di antara mereka."Ini kartu kamarmu, besok pagi kita akan beli tiket..." ucap Alea datar, menyerahkan kartu kamar hotel kepada Kael.Kael menatap kartu itu di telapak tangannya. Ia memutar-mutar benda kecil persegi itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, seolah menyimpan beban perasaan yang jauh lebih besar daripada sekadar benda plastik berlapis magnetik itu."Sudah susah payah bisa berada di tempat ini, tapi malah harus pulang. Menyedihkan sekali!" sela Kael sambil memainkan kartu kamarnya di telapak tangannya, bibirnya menyeringai kecil namun matanya menyimpan nada protes yang nyata.Alea mendengus pelan. Udara di lobi hotel yang sejuk terasa semakin dingin karena ulah Kael yang menyebalkan. Bisa-bisanya pria i
"Darimana kamu?"Deg.Jantung Alea seperti berhenti berdetak sejenak. Suara itu terdengar sangat dekat, dan entah kenapa, menyusup ke dalam tulang-tulangnya seperti hawa dingin dari ruang beku. Tubuhnya menegang, sebelum dia akhirnya memutar tubuhnya dengan cepat. Pintu kamar hotel yang belum sempat tertutup rapat kini terbuka sepenuhnya karena gerakannya.Matanya membulat. Shock. Terkejut bukan main. Tubuhnya sedikit mundur.Adrian.Laki-laki itu berdiri di dalam kamarnya, seperti sudah menunggu sejak lama. Wajahnya tenang. Bahkan nyaris tidak merasa bersalah seperti seseorang yang baru saja menerobos privasi orang lain.Alea menelan ludah. Tangannya refleks memegang gagang pintu seakan dia ingin keluar saja dari kamarnya itu. "Kamu! Bagaimana kamu bisa masuk kamarku?" tanyanya dengan suara yang meninggi, mencampuradukkan rasa takut, terkejut, dan kesal yang tidak bisa ia redam.Sikap tubuhnya berubah, siaga, waspada. Ini bukan situasi yang biasa. Alea tahu betul bahwa dia sudah men
Adrian terus menatap Alea. Wajah Alea sudah memerah. Pria itu melihat ke arah gelas yang di letakkan Alea di atas meja. Meski minuman yang dia tuang hanya seperempat gelas. Tapi, masalahnya bukanlah di minuman itu. Karena sebenarnya, Adrian mengoleskan obat di bibir gelasnya. Jadi ketika Alea minum, otomatis obat itu masuk ke mulutnya juga. Alea merasa sangat tidak nyaman. Matanya berat, dah tubuhnya terasa ada sensasi yang membuatnya merasa aneh. "Aku mengantuk, terima kasih minumannya. Aku..."Alea menjeda ucapannya ketika dia merasa kepalanya mulai pusing. Awalnya Alea pikir dia mabuk, tapi masa iya, hanya satu gelas saja mabuk. Dia mencoba menepis pikiran itu, mengira tubuhnya hanya lelah. Namun, saat dia mencoba berdiri dari duduknya, kepalanya seperti berputar. Tubuhnya pun terasa aneh, seolah ada sesuatu yang merayap dalam aliran darahnya.Rasa panas menyergap tubuhnya dengan cepat. Tenggorokannya terasa kering seperti padang pasir, haus yang tiba-tiba datang menyerang tanpa
Adrian yang melihat Alea keluar dari kamarnya, bergegas menuju ke kamarnya, dan membuka pintu yang membatasi balkon dengan kamarnya. Tanpa dia sadari, apa yang dia lakukan secara terburu-buru itu malah membuat suara yang cukup keras. Hingga Larissa terbangun."Sayang, ada apa?" tanya Larissa yang menyingkap selimutnya dan bangun, lalu merubah posisinya menjadi duduk. Rambut panjangnya yang tergerai berantakan menambah kesan lembut dari wajahnya yang masih terlihat lelah. Matanya setengah terbuka, berusaha memahami apa yang sedang terjadi.Adrian mengepalkan tangannya. Dia benar-benar tinggal satu langkah lagi mendapatkan Alea tadi. Nyaris saja, dan semua itu harus gagal sekarang. Napasnya masih memburu, bukan karena kelelahan, tapi karena emosi yang terpendam. Dia hampir memiliki Alea, hampir menguasainya sepenuhnya. Tapi suara pintu itu... suara bodoh itu membangunkan Larissa."Sayang, peluk!" kata Larissa yang merentangkan tangannya minta dipeluk oleh Adrian, seperti biasanya ketik
Alea merasa kepalanya masih sedikit pusing, tapi gangguan yang lebih mengusik datang dari silaunya cahaya terang yang menembus kelopak matanya. Ya, seperti itulah saat sinar matahari pagi menyusup dari celah-celah tirai dinding kaca kamar hotel itu. Hangatnya menelusup ke kulit, namun menyakitkan di mata yang masih lelah."Kael."Begitu Alea membuka mata, nama itu langsung meluncur dari bibirnya. Suaranya parau dan pelan, seolah hanya ingin memastikan dirinya sendiri bahwa malam tadi bukan sekadar mimpi.Dengan tubuh yang masih berat, Alea mengubah posisinya menjadi duduk, bersandar pada sandaran tempat tidur yang empuk. Tangannya terangkat, mengusap wajah yang masih kusut oleh sisa-sisa tidur dan ingatan semalam yang menghantui pikirannya. Matanya menelusuri seisi kamar, menelisik setiap sudut, namun tak ada tanda-tanda keberadaan Kael di sana. Hanya keheningan dan aroma samar parfum pria yang masih tertinggal di udara.Alea menarik napas panjang dan berat. Ia ingat apa yang terjadi
Mata Alea mencoba untuk tidak menoleh ke arah dua sejoli yang sedang dimabuk asmara di depannya itu. Atau mungkin lebih tepatnya, Adrian yang menjadi bucin pada wanita yang sudah jelas-jelas hanya terpikat padanya karena uangnya itu. Tapi yang namanya bucin, Adrian sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas apa yang Alea dan Wulan, ibunya Adrian sendiri, lihat pada Larissa.Restoran mewah itu dipenuhi Kilauan cahaya yang terpantul dari lampu gantung kristal yang terkena sinar matahari dari luar, yang berkilau indah di atas kepala mereka. Aroma masakan kelas atas menguar samar dari dapur terbuka di sudut ruangan, diselingi suara piano lembut yang dimainkan live oleh seorang pria tua berjas putih. Tapi semua suasana itu tak mampu membuat hati Alea nyaman. Bahkan alunan musik romantis yang harusnya menenangkan, malah terasa seperti siksaan tambahan.Kedua orang itu sedang makan dengan begitu romantis. Adrian memotongkan daging untuk Larissa, dan Larissa memandang Adrian dengan sangat ka
Dan setelah semua kekesalan Alea, dia kembali harus dibuat darah tinggi dengan permintaan tidak masuk akal Adrian."Aku tidak mau ikut!" ujar Alea kesal.Nada suaranya meninggi, penuh penolakan yang sudah tidak bisa ditawar. Matanya memancarkan amarah yang sudah berusaha ia tahan sejak tadi pagi. Sudah cukup hari ini dipenuhi kejengkelan dan kini Adrian datang dengan ide gila yang benar-benar membuat darahnya mendidih.Lagian ada-ada saja, masa iya Adrian jalan-jalan dengan Larissa, dia harus ikut. Yang ada dia jadi obat nyamuk. Mending jadi obat nyamuk saja? Larissa si genit itu pasti akan melakukan hal-hal yang membuatnya hipertensi nanti.Alea memeluk tubuhnya sendiri, menahan emosi. Pikirannya dipenuhi skenario menyebalkan. Dia bisa membayangkan Larissa akan merangkul Adrian setiap lima menit, tertawa genit, lalu memamerkan barang-barang yang dibelikan Adrian seperti sedang pamer trofi. Dan dia? Alea akan jadi saksi mata dari hubungan yang menurutnya menjijikkan.Namun, Adrian tam
Belum hilang rasa kesal Alea, dia harus kembali kehilangan ketenangan gara-gara Adrian mengetuk pintu kamarnya dengan kasar. Bahkan ketika Alea pura-pura tidak mendengarnya, Adrian tetap tidak menyerah. Laki-laki itu bahkan mengganggunya lewat pintu dari balkon, membuat Alea hampir melemparkan bantal ke arah pintu saking jengkelnya."Alea, buka! Ibuku telepon!" pekiknya, sambil menggoyangkan gagang pintu balkon dengan penuh tekanan. Suaranya yang berat dan mendesak membuat Alea semakin geram. Ia menutup matanya rapat-rapat, berusaha keras menahan diri agar tidak berteriak.Menghela napas panjang dengan kasar, akhirnya Alea pun bangkit dari duduk manisnya. Langkahnya berat dan penuh ketidaksukaan ketika ia membuka pintu balkon itu. Udara dingin langsung menerpa kulitnya, seolah ikut memperburuk suasana hati Alea."Sayang..."Tatapan Adrian segera teralihkan ke arah lain. Di sana, Larissa tampak sudah berdandan rapi. Rambut panjangnya digerai sempurna, bajunya yang mahal memeluk tubuhn
Adrian masih tampak begitu kesal, ia menunggu Alea di dalam kamar Alea. Ia bilang pada Larissa bahwa dirinya akan mengurus reservasi restoran untuk makan malam romantis mereka berdua di salah satu restoran terbaik di Paris. Para pria memang pandai merangkai kata-kata manis. Bahkan ketika berbohong, rasanya sulit bagi wanita untuk tidak mempercayainya. Ucapan-ucapan mereka begitu meyakinkan, seakan-akan kebenaran ada di setiap nadanya, padahal semua itu hanya permainan kata semata.Tangannya mengepal kuat, seolah menahan gejolak amarah yang sudah membuncah di dadanya. Napasnya memburu, matanya merah menahan emosi. Masalahnya, dia bahkan tidak bisa menemukan ke mana perginya Alea sejak semalam. Ia sudah mencari ke berbagai penjuru hotel, memeriksa satu per satu kemungkinan yang ada. Bahkan, untuk mengetahui lebih lanjut, Adrian mengeluarkan banyak uang demi mendapatkan akses ke rekaman kamera pengawas di seluruh koridor hotel. Ia berpikir, setidaknya rekaman itu bisa memberinya sedikit
Alea merasa kepalanya masih sedikit pusing, tapi gangguan yang lebih mengusik datang dari silaunya cahaya terang yang menembus kelopak matanya. Ya, seperti itulah saat sinar matahari pagi menyusup dari celah-celah tirai dinding kaca kamar hotel itu. Hangatnya menelusup ke kulit, namun menyakitkan di mata yang masih lelah."Kael."Begitu Alea membuka mata, nama itu langsung meluncur dari bibirnya. Suaranya parau dan pelan, seolah hanya ingin memastikan dirinya sendiri bahwa malam tadi bukan sekadar mimpi.Dengan tubuh yang masih berat, Alea mengubah posisinya menjadi duduk, bersandar pada sandaran tempat tidur yang empuk. Tangannya terangkat, mengusap wajah yang masih kusut oleh sisa-sisa tidur dan ingatan semalam yang menghantui pikirannya. Matanya menelusuri seisi kamar, menelisik setiap sudut, namun tak ada tanda-tanda keberadaan Kael di sana. Hanya keheningan dan aroma samar parfum pria yang masih tertinggal di udara.Alea menarik napas panjang dan berat. Ia ingat apa yang terjadi
Adrian yang melihat Alea keluar dari kamarnya, bergegas menuju ke kamarnya, dan membuka pintu yang membatasi balkon dengan kamarnya. Tanpa dia sadari, apa yang dia lakukan secara terburu-buru itu malah membuat suara yang cukup keras. Hingga Larissa terbangun."Sayang, ada apa?" tanya Larissa yang menyingkap selimutnya dan bangun, lalu merubah posisinya menjadi duduk. Rambut panjangnya yang tergerai berantakan menambah kesan lembut dari wajahnya yang masih terlihat lelah. Matanya setengah terbuka, berusaha memahami apa yang sedang terjadi.Adrian mengepalkan tangannya. Dia benar-benar tinggal satu langkah lagi mendapatkan Alea tadi. Nyaris saja, dan semua itu harus gagal sekarang. Napasnya masih memburu, bukan karena kelelahan, tapi karena emosi yang terpendam. Dia hampir memiliki Alea, hampir menguasainya sepenuhnya. Tapi suara pintu itu... suara bodoh itu membangunkan Larissa."Sayang, peluk!" kata Larissa yang merentangkan tangannya minta dipeluk oleh Adrian, seperti biasanya ketik
Adrian terus menatap Alea. Wajah Alea sudah memerah. Pria itu melihat ke arah gelas yang di letakkan Alea di atas meja. Meski minuman yang dia tuang hanya seperempat gelas. Tapi, masalahnya bukanlah di minuman itu. Karena sebenarnya, Adrian mengoleskan obat di bibir gelasnya. Jadi ketika Alea minum, otomatis obat itu masuk ke mulutnya juga. Alea merasa sangat tidak nyaman. Matanya berat, dah tubuhnya terasa ada sensasi yang membuatnya merasa aneh. "Aku mengantuk, terima kasih minumannya. Aku..."Alea menjeda ucapannya ketika dia merasa kepalanya mulai pusing. Awalnya Alea pikir dia mabuk, tapi masa iya, hanya satu gelas saja mabuk. Dia mencoba menepis pikiran itu, mengira tubuhnya hanya lelah. Namun, saat dia mencoba berdiri dari duduknya, kepalanya seperti berputar. Tubuhnya pun terasa aneh, seolah ada sesuatu yang merayap dalam aliran darahnya.Rasa panas menyergap tubuhnya dengan cepat. Tenggorokannya terasa kering seperti padang pasir, haus yang tiba-tiba datang menyerang tanpa
"Darimana kamu?"Deg.Jantung Alea seperti berhenti berdetak sejenak. Suara itu terdengar sangat dekat, dan entah kenapa, menyusup ke dalam tulang-tulangnya seperti hawa dingin dari ruang beku. Tubuhnya menegang, sebelum dia akhirnya memutar tubuhnya dengan cepat. Pintu kamar hotel yang belum sempat tertutup rapat kini terbuka sepenuhnya karena gerakannya.Matanya membulat. Shock. Terkejut bukan main. Tubuhnya sedikit mundur.Adrian.Laki-laki itu berdiri di dalam kamarnya, seperti sudah menunggu sejak lama. Wajahnya tenang. Bahkan nyaris tidak merasa bersalah seperti seseorang yang baru saja menerobos privasi orang lain.Alea menelan ludah. Tangannya refleks memegang gagang pintu seakan dia ingin keluar saja dari kamarnya itu. "Kamu! Bagaimana kamu bisa masuk kamarku?" tanyanya dengan suara yang meninggi, mencampuradukkan rasa takut, terkejut, dan kesal yang tidak bisa ia redam.Sikap tubuhnya berubah, siaga, waspada. Ini bukan situasi yang biasa. Alea tahu betul bahwa dia sudah men
Dan pada akhirnya, Alea membawa Kael ke hotel tempatnya dan Adrian menginap. Hotel berbintang lima yang berdiri megah di pusat kota Paris itu tampak bersinar di bawah pancaran lampu malam. Dingin musim semi yang menusuk tak mampu mengusir kehangatan tensi yang menggantung di antara mereka."Ini kartu kamarmu, besok pagi kita akan beli tiket..." ucap Alea datar, menyerahkan kartu kamar hotel kepada Kael.Kael menatap kartu itu di telapak tangannya. Ia memutar-mutar benda kecil persegi itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, seolah menyimpan beban perasaan yang jauh lebih besar daripada sekadar benda plastik berlapis magnetik itu."Sudah susah payah bisa berada di tempat ini, tapi malah harus pulang. Menyedihkan sekali!" sela Kael sambil memainkan kartu kamarnya di telapak tangannya, bibirnya menyeringai kecil namun matanya menyimpan nada protes yang nyata.Alea mendengus pelan. Udara di lobi hotel yang sejuk terasa semakin dingin karena ulah Kael yang menyebalkan. Bisa-bisanya pria i