Sindiran Pedas Istri Kedua Rutinitas menjelang tidur telah dituntaskan. Salat Magrib, membimbing anak-anak membaca Alquran, makan malam, salat Isya, dan diakhiri dengan membacakan cerita pengantar tidur. Setelah Rara dan Syira benar-benar tertidur, aku kembali ke ruang tengah. Aku bermaksud menyiapkan beberapa keperluan untuk besok. Namun, kuurungkan karena Bapak juga sudah ada di sana. "Bapak belum ngantuk?" Aku pun mendekati beliau yang duduk sambil memijit-mijit kaki. "Anak-anakmu sudah tidur?" Bapak balik bertanya. "Sudah, Pak." "Bapak besok mau pulang dulu, ya. Mau nengok Pakde Karna. Sakitnya makin parah. Bapak juga sudah lama tidak bertemu dia." "Sama Ibu juga?" "Iya." "Besok Bapak diantar Rino saja, sehabis ngantarin Rara," ujarku lalu ikut memijit kaki Bapak. "Lusanya Bapak ke sini lagi. Mumpung masih ada waktu, masih sehat, Bapak mau puas-puasin main sama cucu," ucap Bapak sedikit sendu. "Tiara juga senang banget kalau Bapak dan Ibu tinggal di sini. Biar Tiara bi
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Waktu berlalu terasa begitu cepat. Anak-anak bertambah besar dengan pengeluaran yang juga semakin bertambah. Aku masih setia menjadi orang tua tunggal. Hari-hariku bergelut dengan bisnis yang tak lepas dari pasang surut dunia usaha serta menjadi pengajar yang sudah menjadi bagian dari jiwaku. Tentang papanya anak-anak, hubungan kami datar-datar saja. Jika ada waktu dan kesempatan Hendi bertemu dengan anak-anak. Begitu juga dengan Obi. Interaksi kami memang agak berkurang. Namun, di saat-saat tertentu dia tetap membersamai anak-anak. Perlakuan dan perhatiannya pada anak-anak tidak ada yang berkurang. Syukurlah penolakanku waktu itu, tidak membuat dia menjelma menjadi orang asing bagi kami. Aku sangat salut akan kebesaran jiwanya. Di antara kami sudah tidak ada lagi pembahasan tentang perasaan atau yang sejenisnya. Hanya obrolan ringan saja, paling sering tentang perkembangan anak-anak. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja, tanpa ada target-target da
Sindiran Pedas Istri Kedua Sejak siang tadi badanku rasanya kurang enak. Padahal sudah hampir tengah malam tetapi mata masih susah untuk dipejamkan. Berkali-kali mencoba mencari posisi yang nyaman, tetap saja tidak berhasil. Untuk melelahkan mata, aku pun berselancar di dunia maya. Menyambangi akun sosial media yang telah beberapa hari tidak pernah kubuka. Ternyata, keisenganku meminta tolong pada hacker untuk meretas akun sosial media Nadia tidaklah sia-sia. Terbukti hingga saat ini tidak pernah lagi ada status-status sindiran yang ditujukan untukku. Mungkin juga dia tidak pernah lagi mengakses akunnya itu karena tidak pernah lagi terlihat aktivitas terbaru di sana. Entah diprivat atau bagaimana. Barangkali dia terlanjur malu atas postingan yang dibuat oleh si hacker waktu itu. Ya, syukurlah kalau dia masih punya rasa malu. Padahal aku tidak memintanya melakukan sejauh itu. Barangkali si hacker juga punya dendam tersendiri kepada Nadia. Mataku tertarik pada sebuah akun yang d
Sindiran Pedas Istri Kedua Syira sedang tidur, sangat pulas. Aku duduk menghadap ranjang memandang wajah polos anakku. Hanya aku dan Syira di ruangan ini. Obi pergi setelah Syira tertidur. Ia mengantar Reno pulang karena dia lebih memilih untuk rawat jalan. Aku tidak menyalahkannya atas kecelakaan ini. Dia pun tentu tidak ingin ini terjadi. Aku sudah agak lebih tenang sekarang setelah tadi berbincang dengan dokter. Syira juga sudah menjalani CT Scan dan rontgen. "Kita lihat reaksi tubuhnya malam ini. Apa ada mengalami deman atau muntah. Kita lakukan pemantauan sembari menunggu hasil pengecekan tadi," terang dokter. Aku memindahkan laptop dari pangkuan ke meja di samping tempat tidur. Tadi aku meminta orang kantor mengantarkan ke sini. Aku harus menyiapkan materi untuk mengajar besok dan mengirimkan filenya kepada Hakim. Seperti yang sudah-sudah, kalau aku ada halangan untuk mengajar, Hakim selalu menjadi ujung tombaknya. Di ujung telepon, Hakim meminta maaf karena tidak bisa mene
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Pagi ini aku datang ke rumah Obi. Mau menengok Bu Mai yang baru pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu. Kata Obi, kondisi ibunya menurun lagi tetapi tidak mau dibawa lagi ke rumah sakit. "Bu Mai mau makan apa? Mau dimasakin atau mau yang dibeli?" tanyaku setelah Obi mengungkapkan kalau ibunya tidak mau makan sama sekali. Bu Mai menggeleng lemah. "Bu Mai keingatnya makanan apa?" Kembali hanya gelengan yang menjadi responsnya. "Tiara bikinin susu kalau nggak sereal, gimana? Biar perut Bu Mai ada isinya habis itu minum obat," bujukku lagi. Tidak ada reaksi apa-apa dari Bu Mai. Aku pun tak menunggu persetujuan. Aku beranjak menuju meja yang tak jauh dari tempat tidur. Kuseduh sereal berbahan gandum yang sudah tersedia di sana. Kubantu Bu Mai untuk merubah posisi setengah berbaring, menyandarkan punggung pada beberapa bantal yang ditumpuk. Pelan-pelan kusendokkan sereal sedikit demi sedikit. "Kak Tiara mau ada keperluan lagi nggak hari ini?" tanya Ob
Sindiran pedas istri kedua (POV Obi) Perihal jatuh cinta, sungguh hal terumit dalam hidupku. Ketertarikan pada lawan jenis tidak begitu sering menyambangi. Dua atau tiga kali, begitulah seingatku. Itu pun ketika aku telah berada di bangku perkuliahan. Rasa itu juga tak terlalu menggebu-gebu sehingga hanya bertahan beberapa waktu. Belumlah kutemukan sosok wanita yang benar-benar bertahta di hati dan mampu mengalihkan duniaku. Bukan karena aku terlalu selektif atau pun karena tidak tertarik pada lawan jenis seperti gurauan kasar yang kerap terlontar dari beberapa teman yang kurang adab. Meskipun seorang lelaki, pertanyaan bahkan desakan untuk segera menikah sudah kerap kali ditujukan padaku semenjak umur seperempat abad telah kulalui. Aku anak tunggal dan hanya berdua saja dengan ibu semenjak usia balita. Tidak ada sosok ayah yang menjadi panutan sehingga kadang muncul rasa pesimis dalam diriku. Jika kelak aku menikah dan mempunyai anak, bisakan aku menjadi seorang ayah yang baik
Sindiran Pedas Istri Kedua "Kenapa harus Obi?" Kalimat pertama yang keluar dari mulut Hendi begitu dia berada di hadapanku, tanpa ada basa-basi. Aku cukup terkejut atas kedatangannya. Memang, dua jam yang lalu dia menanyakan keberadaanku. Aku kira dia hanya ingin memastikan anak-anak ada di mana karena dia ingin bertemu dengan mereka.Aku meletakkan telepon genggam yang tengah menjadi pusat perhatianku. Lalu beranjak dari meja kerja ke sofa tempat biasa menerima tamu. Hendi mengikuti pergerakanku. Ekspresi wajahnya terlihat sangat tidak bersahabat. "Kamu ngapain ke sini? Tadi kan sudah aku bilang anak-anak ada di rumah," jawabku santai. "Aku mau bicara sama kamu," balas Hendi setelah mendengkus kesal. "Aku ngerasa nggak ada hal penting yang perlu dibicarakan. Anak-anak baik-baik saja. Semua hal yang berkaitan dengan anak-anak lancar-lancar aja." "Jangan berpura-pura tidak tahu, Tiara! Kamu sangat paham, kan, arah pertanyaan aku?" Hendi terlihat sangat kesal. Sebenarnya aku jauh
Sindiran Pedas Istri Kedua "Ada apa?" tanya Obi padaku begitu Hendi telah berada di luar. "Biasa, beda pendapat," jawabku. "Kalau yang nggak penting-penting amat, hindari aja. Dari pada merusak hubungan baik," timpal Obi lagi. Aku mengiyakan diiringi senyum tipis. Agar tidak menjadi pembahasan panjang, kucoba untuk mengalihkan pembicaraan. "Bu Mai gimana keadaannya?" "Makin membaik." "Kata Mbak, kamu lagi nyari orang buat di rumah. Bukannya udah ada?" "Cari yang bisa nginap. Lusa aku mau ke Singapura. Kasian Ibu kalau sendirian." "Ada acara apa?" "Ada undangan dari Mas Adrian. Dia kan netap di sana. Mau ikut?" Obi mendelik padaku. Aku menggeleng pelan. "Nggaklah." "Cuma dua sampai tiga hari aja. Anak-anak udah jadi dibikinin pasport belum? " "Baru Khalif aja yang udah jadi." "Kalau semuanya udah punya, jadinya kan enak. Kapan aja dibutuhin udah siap." "Masih ada kerjaan apa udahan?" lanjut Obi lagi. "Cuma tinggal ngecek hasil rekapan yang lagi dikerjakan Nisa. Kenapa?