Share

2. Lelaki Bermata Elang

Suara lembut yang disertai dengan kekehan ramah itu sontak saja membuat semua orang yang ada di ruang tamu menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar, menampilkan seorang wanita cantik nan anggun yang sulit memperkirakan berapa usianya, karena penampilannya yang terlihat masih sangat muda nan energik. Di sampingnya, berdiri sosok lelaki tinggi tegap berusia paruh baya yang masih tampak begitu tampan dan gagah. Sementara sedikit di belakang mereka, muncul sosok lelaki yang memiliki paras sangat menawan bagai malaikat. Namun memiliki wajah tanpa ekspresi dengan tatapan datar. Begitu angkuh, tak tersentuh.

Hanya dalam sekali lihat, Selena sudah mampu menebak bagaimana kepribadian lelaki yang ia yakin sekali, akan menjadi kesialannya itu.

“Siren,” seru sang ibu yang secepat kilat menarik bibir cemberutnya menjadi senyuman lebar menawan yang sangat cerah. Selena bahkan harus sedikit memicing dan mengangkat sebelah alisnya karena merasa begitu silau sekaligus terkejut dengan pancaran kuat kegembiraan sang ibu. “Silakan masuk,” lanjut sang ibu, berjalan cepat ke arah pintu guna menyambut kedatangan tamu istimewanya. Diikuti oleh ayah dan kakaknya yang juga turut berdiri dan tersenyum lebar penuh rasa hormat.

Sebuah sikap yang membuat Selena menghela napas dalam nan samar, sebelum akhirnya turut berdiri dan memasang senyum manis alami yang telah menjerat banyak lelaki yang pernah bertemu dengannya.

Namun sepertinya, senyum manis Selena itu sama sekali tidak berpengaruh pada pria berpakaian batik motif parang yang kini tersenyum samar begitu berjabat tangan dengan ayahnya itu.

“Apakah ini Arjuna?" tanya sang ayah seraya menatap sosok pemuda di hadapannya dengan tatapan sedikit terkejut. Yang lantas disahuti dengan anggukan kepala dan senyum sopan dari si pemuda.

"Putramu benar-benar tumbuh menjadi lelaki yang sangat menawan, Danar,” tukas ayah Selena, menepuk-nepuk bahu lelaki yang di mata Selena, terlihat begitu tersiksa dengan basa-basi keluarga yang menjemukan itu. Sama seperti dirinya.

Tetapi sepertinya, hanya dirinya yang mampu melihat wajah asli lelaki itu, karena dua keluarga itu kini tengah tertawa dengan gurauan klasik khas orang tua. Bahkan kakaknya juga terlihat sangat menikmati pertemuan dua keluarga itu. Sama sekali berbeda dengan dirinya yang menganggap bahwa pertemuan ini adalah sebuah petaka.

“Oh, kau terlalu berlebihan, Dharta,” balas lelaki yang dipanggil ayah Selena dengan nama Danar seraya tertawa lebar. Usia mereka terlihat tidak terpaut jauh. Selena bahkan menduga jika mereka adalah teman bermain gundu saat kanak-kanak. “Kau bahkan memiliki seorang putri yang sangat cantik, dan kudengar, juga sangat cerdas,” lanjutnya seraya menatap Selena lekat dengan senyum yang sangat ramah. Sangat berbanding terbalik dengan sosok lelaki muda yang ada di sampingnya.

Sebuah sikap yang membuat Selena terpaksa harus sedikit melebarkan senyumnya demi sopan santun.

“Oh, lihatlah. Gadis ini benar-benar seperti peri ketika tersenyum,” timpal wanita anggun yang dipanggil Siren oleh ibu Selena. Berjalan mendekat seraya mengulurkan tangannya untuk merengkuh bahu Selena dalam dekapannya. “Apakah kau ingat dengan Tante, Sayang? Terakhir bertemu, sepertinya kau masih di bangku sekolah dasar,” lanjut wanita anggun itu dengan tatapan panuh kasih ke arah Selena. Membuat Selena harus menahan senyum lebarnya sedikit lebih lama, yang baginya, benar-benar sebuah penyiksaan karena ia mulai merasa otot-otot wajahnya kram.

Selena benar-benar berharap ia memiliki ilmu sihir yang bisa melenyapkan dirinya dari situasi itu.

Tentu saja dirinya ingat dengan tante-tante yang kini memeluknya erat ini, bagaimana mungkin ia akan melupakan wanita yang membuatnya nyaris kehabisan napas ketika wanita ini tak henti-hentinya mencium kedua pipinya saat ia masih kecil. Sebuah pengalaman yang membuatnya enggan disentuh oleh siapa pun setelahnya.

Dan sepertinya, sosok tante cantik yang pernah memberinya pengalaman mengerikan di masa kanak-kanak itu sampai sekarang tak pernah berubah. Lihatlah bagiamana ia kembali mencium kedua pipinya dengan gemas. Bedanya, kali ini tidak dilakukan berulang kali sebagaimana yang dilakukannya di masa lampau. Membuat Selena bisa bernapas sedikit lega.

“Tentu saja ingat, Tante. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sosok wanita secantik Tante?” balas Selena dengan senyum lebarnya.

Tak satu pun orang di dalam ruangan itu yang menyadari senyum palsu Selena. Karena bagaimanapun juga, sebagai seorang penulis novel yang pernah menerima nobel sastra di usianya yang masih terbilang sangat muda, yakni 17 tahun, Selena sangat berpengalaman dalam menampilkan berbagai ekspresi yang biasanya ia lekatkan pada karakter-karakternya. Dan sebagai seorang penulis yang telah terlatih sensitifitas dan daya kepekaannya, memahami perasaan orang dengan melihat perubahan gestur sekecil apa pun dalam diri seseorang hanyalah a piece of cake baginya.

“Oh, gadisku, kau bahkan memiliki mulut yang sangat manis,” seru Siren dengan begitu gembira. Baginya, menjadikan Selena sebagai anak menantu adalah sebuah impian. Ia sudah jatuh hati pada Selena bahkan ketika gadis itu masih kecil. Dan kegembiraannya pun memuncak ketika sahabatnya, Laras, yang merupakan ibu Selena menceritakan tentang kegelisahannya terhadap putrinya yang enggan menjalin hubungan dengan lelaki.

Saat itu juga, Siren benar-benar merasa ketiban durian runtuh.

Dan dari sanalah, ide perjodohan mereka muncul. Hari itu juga, Laras meminta putranya yang menjadi tentara untuk mengambil cuti yang telah bertahun-tahun tak diambilnya. Dan langsung mengambil penerbangan pertama menuju kota S guna mempertemukan putranya dengan menantu idaman yang sejak lama ia impikan.

“Siren, berhentilah memujinya,” sahut ibu Selena seraya membimbing tamunya ke meja makan untuk makan malam bersama. “Tidakkah kau lihat bagaimana penampilan Selena? Apakah kau yakin akan baik-baik saja dengannya?” lanjutnya terus terang.

Mereka sudah bersahabat sejak SMA. Saling berbagi rahasia dan keluh kesah. Sering pula bertemu untuk sekadar makan malam bersama meskipun mereka tinggal di kota yang berbeda.

Akan tetapi, karena Selena yang memilih melanjutkan studi di luar negeri sementara Arjuna yang mengikuti pendidikan militer sejak SMA, keduanya tak pernah bertemu kecuali ketika masih kanak-kanak. Dan itu pun segera hilang dari ingatan Selena yang merasa tak ada apa pun yang spesial darinya.

“Kenapa tidak?” sahut wanita yang masih merangkul Selena bahkan ketika mereka berjalan itu dengan seruan lantang sedikit tak terima dengan perkataan ibu Selena. “Aku menyukai calon putriku. Dan aku tidak peduli dengan selera penampilannya. Bagiku, Selena adalah gadis tercantik dan paling menggemaskan yang pernah ada,” lanjutnya seraya menempelkan pipinya pada pipi Selena dengan gemas. Membuat suaminya dan ayah Selena tergelak bersamaan.

“Itu karena Tante Siren tidak memiliki anak perempuan,” sahut kakak Selena seraya menyeringai lebar.

“Itu tidak benar, meskipun aku tidak memiliki anak perempuan, tetapi aku memiliki banyak keponakan perempuan. Dan tak satu pun dari mereka yang seistimewa Selena,” bantah Siren tegas. Berdiri tegak seperti banteng kokoh yang siap melindungi Selena dari serangan jenis apa pun yang dianggapnya berbahaya. Sebuah sikap yang membuat semua yang ada di sana tergelak. Kecuali Arjuna dan Selena tentu saja.

Arjuna masih dengan tampang datarnya. Sementara Selena hanya mampu menyeringai samar mendengar pembelaan dari wanita bernama Siren itu. Baginya, meskipun sikap ibu dari lelaki yang akan menjadi suaminya itu sempat membuatnya tertekan, namun, wanita itu adalah wanita yang sangat baik. Ia akan dengan senang hati menemani wanita itu andai saja ia tidak datang dengan ide gila tentang perjodohan yang akan membatasi kebebasannya.

“Arjuna, tidak bisakah kau tersenyum sebentar saja, eh? Wajah pokermu itu benar-benar membuatku khawatir, jika sampai gadis manis ini menolakmu, aku akan mencoret namamu dari kartu keluarga,” tegas Siren tiba-tiba saat menoleh ke belakang, tempat di mana putranya berjalan seperti patung mengikuti langkah mereka. Seruan yang membuat Selena turut menatap ke arah lelaki asing yang dijodohkan dengannya itu, yang Selena yakin sekali, lelaki itu pun juga mengalami pemaksaan seperti dirinya.

Lihatlah ketika lelaki itu menegakkan kepala mendengar seruan ibunya, mata elangnya balas menatap dirinya dengan begitu tajam, dalam, nan sangat dingin, jauh tak tersentuh. Seolah menuduh dirinya begitu riang gembira menyambut perjodohan sepihak yang diputuskan tanpa persetujuannya itu. Sebuah sikap yang seketika mengobarkan bara permusuhan di mata Selena.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status