"Sial!" geram Selena entah sudah yang keberapa kalinya. Pandangannya menatap ke luar jendela yang mengarah pada bentangan taman yang luas di halaman rumahnya dengan tatapan tajam. Ranting-ranting dedaunan yang bergoyang perlahan ketika diterpa angin, seakan menjelma menjadi cakar-cakar monster mengerikan ketika hanya sedikit saja terkena sentuhan temaram lampu taman, menambah buruk suasana hati Selena yang tengah dirundung kejengkelan.
Pijar bola lampu yang menyerupai bulan tergantung pada tiang besi berukir di sepanjang jalanan setapak taman tampak begitu anggun menggoda, mengundang puluhan ngengat yang mencoba mencari kehangatan. Terlihat begitu riang gembira mencari sumber kebahagiaan mereka. Membuat Selena terkekeh ironi, seakan kawanan ngengat itu tengah mengejek dirinya yang harus menyerah dengan pilihan hidup yang harus ia jalani demi kebahagiaan orang paling berharga dalam hidupnya.
Semilir angin yang berhembus menghantarkan semerbak wangi kelopak mawar ke dalam indra penghidu sang gadis yang membuka lebar-lebar daun jendelanya. Langit yang menggelap mulai menampakkan pijar-pijar yang menawan. Kunang-kunang pun seakan tak ingin tertinggal menyemarakkan pesta malam bersama burung hantu yang terus bernyanyi dengan riangnya. Menciptakan nuansa malam yang sungguh sempurna. Sempurna menertawakan kesialan Selena.
Lagi-lagi Selena menghela napas berat dan menghembuskannya dengan kasar. Jika bisa, ia ingin mengubah tubuh manusianya menjadi cacing tanah dan mendekam di dalam tanah selamanya daripada harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya.
Sayangnya, hal itu hanya ada di kepala Selena yang hanya berhenti berkhayal ketika tidur. Dirinya yang begitu liar dan bebas, kini seakan harus menyerah dan bertekuk lutut pada takdir kehidupan yang memang telah diciptakan untuknya.
“Selena, cepat turun, sebentar lagi tamunya datang. Kak Alin dan ayah sudah ada di bawah. Apakah dandannya belum selesai?”
Suara ketukan di pintu yang terdengar begitu mendesak itu, seketika membuat Selena yang tengah berdiri menatap keluar jendela kembali mendesah berat, menoleh ke arah sumber suara dengan tatapan enggan.
Namun tak urung, ia tetap melangkah ke arah pintu guna menyelamatkan daun pintunya dari ketukan penuh semangat sang ibu yang terlampau tersulut kegelisahan karena ulah dirinya yang dianggap lamban.
“Iya, Ibuuuuu,” sahut sang gadis seraya menarik gagang pintu, tersenyum salah tingkah begitu melihat sang ibu melemparinya dengan tatapan terkejut yang diperlihatkan secara terang-terangan, sebelum akhirnya kembali memuntahkan seluruh amunisi kasih sayangnya sebagai seorang ibu.
“K-kau! Oh astaga, Selena,” katanya seraya menatap putrinya frustrasi. “Kenapa tidak mengenakan riasan wajah? Dan pakaian ini, ya ampun, bukankah Ibu sudah memilihkan pakaian untuk malam ini? Kenapa tidak dipakai?” tanya sang Ibu dengan nada lirih namun syarat akan kegeraman. Menatap putrinya yang hanya mengenakan setelan celana kasual dan kemeja putih yang tampak kebesaran dari atas sampai bawah. Bahkan rambut panjangnya hanya diikat ekor kuda. Menghilangkan sisi femininnya sebagai seorang gadis yang anggun nan lembut.
“Ayolah, Ibu,” Tangan selena terulur untuk merangkul bahu sang ibu seraya menyeringai lebar. “Ibu sungguh tahu aku tidak suka berias, dan siapa pun itu yang nantinya menikah denganku, ia haruslah sosok yang mau menerimaku apa adanya. Dan aku tidak akan pernah melakukan hal-hal yang tak kusukai hanya demi merebut perhatian lelaki. Jika anak teman Ibu benar-benar mau menikah denganku dengan kepribadianku yang seperti ini, ya sudah, menikah saja. Jika tidak, sebaiknya Ibu berlapang dada, ya?” jelasnya panjang lebar sekali lagi pada sang ibu yang sudah mewanti-wantinya untuk tampil anggun, yang sialnya, selalu saja menemui kegagalan. Karena satu-satunya anak gadisnya ini benar-benar sangat keras kepala.
Sang ibu mendesah berat. Setelah puluhan kali memaksa anak gadisnya untuk bertemu seseorang, ini kali pertama anaknya itu menyetujui.
Itu pun setelah kakak lelakinya ikut bicara. Dan begitu setuju, lihatlah penampilan putrinya ini, benar-benar membuatnya merasa telah salah mendidik sang putri.
Tiba-tiba, wanita cantik nan anggun itu merasa menyesal telah membiarkan putrinya bermain dengan anak kompleks yang nyaris semuanya laki-laki.
Usia putrinya sudah menginjak angka 24, namun, dalam rentang hidupnya yang sudah seperempat abad itu, tak pernah dilihatnya anak gadisnya itu memiliki ketertarikan pada lelaki. Membuatnya gelisah siang dan malam.
Bagaimana jika anak gadisnya ini memiliki orientasi seksual yang menyimpang?
Pikiran itu benar-benar membuatnya khawatir hingga sulit tidur. Meskipun Alin putranya dengan terang-terangan menyangkal dan menertawakan pikirannya itu, tetap saja, selama putrinya belum menikah dengan seorang pria, ia merasa hidupnya tidak akan pernah tenang.
“Tapi ingat,” sang ibu akhirnya mengalah. Mengacungkan jari telunjuknya tepat di hadapan sang putri dengan tatapan menuntut sebuah janji. “Jangan bertingkah,” lanjutnya dengan tatapan mewanti-wanti.
Tentu saja wanita berusia awal 40-an itu merasa khawatir. Pasalnya, sosok Selena adalah tipikal gadis yang akan dengan senang hati dan riang gembira menghabiskan sup iga satu panci penuh sekalipun tengah berada di jamuan makan malam rekan bisnis sang ayah. Sama sekali tidak peduli dengan pandangan orang lain kepadanya. Yang sialnya, sang ayah justru tertawa senang dibuatnya. Dan sama sekali tidak pernah beranggapan bahwa apa yang dilakukan putrinya adalah perbuatan tercela dan memalukan. Membuat sang ibu semakin frustrasi dibuatnya.
“Ibu tenang saja. Aku sudah janji sama Kak Alin untuk menjadi gadis anggun malam ini, oke?” sahut Selena seraya mencengkeram lembut bahu sang ibu, mengerling jahil.
Sayangnya, kosa kata anggun dalam benak Selena jelas sekali sangat berbeda dengan apa yang ada di benak orang-orang pada umumnya.
Karena tidak ingin berdebat dengan sang anak gadis yang keras kepala, dan lagi, waktu mereka untuk menyambut tamu istimewa sudah sangat mepet, akhirnya sang ibu hanya menghela napas pasrah dan meminta Selena untuk turun bersamanya seraya berdo’a semoga putra sahabat baiknya tidak langsung kabur begitu melihat putrinya.
Sementara itu, sang kakak dan si ayah yang telah duduk rapi di ruang tamu dengan pakaian batik lengan panjang yang tampak begitu berkharisma, segera saja menoleh begitu mendengar suara kaki menuruni anak tangga.
Senyum lebar nan riang Selena segera saja menyambut keduanya. Dan sungguh diluar harapan sang ibu, sang ayah justru terkekeh melihat tampilan putrinya.
“Bagaimana penampilanku malam ini, Ayah? Apakah cukup baik untuk tidak membuat tamu istimewa kita kabur bahkan sebelum melangkahkan kakinya ke depan pintu?” tanya Selena seraya berpose di hadapan sang ayah layaknya model. Membuat sang ayah justru tergelak.
“Ke mari, Selena. Duduk samping Ayah,” kata sang ayah seraya menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. Dan tanpa ragu, Selena langsung duduk di sana, bergelayut manja di lengan sang ayah yang masih terlihat sangat muda dan tampan di usianya yang sudah menginjak kepala lima.
“Putri Ayah akan selalu terlihat cantik, tidak peduli pakaian jenis apa pun yang dikenakannya,” lanjut sang ayah seraya menarik hidung mancung Selena. Membuat gadis itu meringis pura-pura kesakitan.
“Oh ayolah, Ayah. Lihatlah kelakuan bocah ini baik-baik, bagaimana mungkin Ayah bilang bocah ini cantik dengan pakaian layaknya lelaki seperti ini? Dan lihatlah, putri kesayangan Ayah ini bahkan tak membubuhkan bedak barang semili di wajahnya. Apakah Ayah masih ingin menyebutnya cantik?” protes sang ibu sedikit bersungut-sungut. Selubung kegelisahan dan kejengkelan menjadi satu. Membuatnya terlihat begitu kesal.
“Sayang, bagaimana bisa kau berkata demikian?” sahut sang ayah seraya menatap istrinya penuh cinta. Terkekeh pelan. “Selena adalah putri kita, tentu saja ia sangat cantik. Kecantikan sang ibu mengalir deras dalam dirinya. Tidakkah kau melihatnya?” balas sang ayah ringan sekali. Tersenyum memuja pada sang istri yang kini wajahnya dipenuhi oleh semburat merah.
Sebuah rayuan klasik yang membuat putra dan putri mereka tergelak sejadinya. Membuat sang ibu semakin bersungut-sungut kesal.
“Alin, jangan bilang kau juga sependapat dengan ayahmu!” tukas sang ibu kemudian, menatap lurus ke arah putranya yang kini tengah mengusap sudut-sudut matanya yang berair setelah menertawakan sikap orangtuanya.
“Tentu saja, Ibu. Selena memiliki kecantikan yang sangat alami. Bukankah seharusnya Ibu merasa senang? Apa yang Ibu khawatirkan?” Alin balas bertanya dengan kening berkerut samar, seolah memang benar-benar tidak mengerti kenapa ibunya merasa begitu tertekan dan Selena telah melakukan hal fatal yang membuatnya begitu kesal.
“Kalian,” geram sang ibu dengan kejengkelannya. Menatap suami dan putranya bergantian dengan tatapan jengkel, sebelum akhirnya memejamkan kedua matanya erat, seakan ingin menahan seluruh gejolak emosi yang menguasai akal sehatnya, menghela napas dalam dan kembali melanjutkan kalimatnya dengan nada yang lebih terkendali. “Bukankah kalian juga menyukai gadis yang menarik dan cantik?” lanjut sang ibu. Berusaha memaklumi suami dan putranya.
“Tentu saja,” jawab sang anak dan ayah secara bersaman. Sebelum akhirnya saling toleh, seakan saling melempar pertanyaan dan jawaban.
“Lalu, kenapa kalian mengatakan Selena yang seperti ini tampak cantik?”
“Dia memang cantik, Laras.”
Sebuah suara lembut yang seketika membuat keluarga Brawijaya itu menoleh ke arah pintu, tempat sumber suara berasal.
Arjuna menatap ponsel yang telah padam di tangannya itu seraya mengangkat sebelah alis sedikit terkejut, sebelum akhirnya terkekeh pelan. Benar-benar tak menyangka jika ada gadis yang berani berkata kasar dan begitu vulgar pada dirinya.Dan lebih buruk daripada itu, sebentar lagi gadis itu akan menjadi istri sahnya. Karakter seorang gadis yang sama sekali tak pernah terlintas di benaknya yang selama ini hanya menjumpai gadis-gadis anggun nan bersikap lembut kala di hadapannya.Yang anehnya, justru sikap Selena yang begitu terang-terangan dan sama sekali tak memiliki kecanggungan ataupun sopan santun terhadap dirinya yang notabene selalu disegani banyak orang itulah yang membuatnya tertarik pada gadis itu.Tidak hanya tertarik, ajaibnya, ketika berada di dekat gadis itu, dirinya bisa menjadi lelaki normal dan melupakan traumanya di masa silam.Karena berbagai alasan itulah, Arjuna memutuskan untuk tidak terlalu ambil pusing dengan sikap Selena yang semena-
“Tentu saja aku kesal!” geram Selena dengan nada tinggi. “Apakah kau berharap aku akan merasa sangat senang sekali jika ada orang lain yang menjamahya ruang pribadiku, eh?” lanjutnya seraya bersungut-sungut. Andai di hadapannya saat ini ada kue klepon kesukaannya, ia pasti menelannya bulat-bulat.“Tapi aku bukan orang lain. Aku adalah calon suamimu. Bukankah dalam hubungan suami-istri tidak seharusnya ada ruang pribadi sebagaimana yang kau bicarakan itu?” balas Arjuna ringan sekali, seakan tengah membicarakan cuaca mendung di pagi hari.Baginya, apa yang ia lakukan sama sekali tidak mengandung unsur kesalahan. Lagipula, ponsel gadis itu juga tak memiliki rahasia jenis apa pun yang bisa menghancurkan dunia. Alih-alih, percakapan dalam pesannya hanya berisi segelintir orang, itu pun hanya membicarakan masalah yang menurutnya sama sekali tak penting.Bahkan gallery gadis itu sama sekali tak normal layaknya gadis muda pada umumnya
Selena segera menyambar ponselnya dan mengumpat kesal begitu melihat nama kontak yang tertera di layar ponsel.“My Husband, eh? Jangan panggil aku Selena jika tidak bisa memberi pelajaran pada orang yang dengan berani meretas ponselku!” geram Selena seraya menunggu panggilan telepon tersambung, menyeringai seperti penyihir jahat yang dengan riang menakuti anak-anak.Namun, sedetik kemudian, gadis itu mengerutkan kening dalam. Teringat bahwa ponselnya telah memiliki sistem berlapis yang menjaganya dari gangguan peretas.Bagaimana bisa Arjuna menembusnya? Mungkinkah lelaki itu juga memiliki keahlian yang sama seperti dirinya?Belum selesai Selena menganalisanya, terdengar sahutan dari seberang yang terdengar begitu lelah.“Kau sudah membacanya?” tanya Arjuna seraya menyandarkan punggung ke sandaran kursi di ruangannya. Peristiwa yang terjadi semalam benar-benar telah menguras energi dan pikirannya sebagai
Selena menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi kaki menggantung setelah selesai berbicara dengan ayahnya. Ia bahkan merasa tak perlu repot-repot berganti pakaian sekalipun pakaian yang ia kenakan basah dan lengket oleh keringat.Beruntungnya, ibunya tidak ada di sana. Jika tidak, ia pasti akan menerima petuah gratis selama dua jam penuh tentang pentingnya menjaga kebersihan diri.Gadis itu menghela napas panjang dan membiarkan kedua tangannya telentang.Pandangannya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih gading dengan pikiran yang melayang jauh ke segala penjuru mata angin, memikirkan banyak hal tentang masa depan pernikahannya.Dirinya memang menyetujui perjodohan itu, tetapi ia sungguh tak menyangka akan secepat itu prosesnya.Satu bulan sejak pertemuan pertama mereka? Oh yang benar saja!Selena mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangan. Mendesah berat dan hampir saja meloloskan erangan frustrasi. Sebelum akhirnya,
“Oh, benarkah?” Nada tak yakin dengan tatapan penuh selidik sang ayah itu seketika membuat Selena merutuki kecerobohannya. Tidak seharusnya dirinya terburu-buru menghampiri sang ayah unuk melihat berita hari ini. Dirinya sungguh menyesal kenapa tidak menonton televisi melalui jaringan internet saja.Namun, penyesalannya sungguh tak berguna sama sekali. Nasi telah menjadi bubur. Bagaimana mungkin dirinya bisa mengembalikannya lagi menjadi bulir-bulir nasi?Yang harus ia pikirkan saat ini adalah mencari cara bagaimana agar ayahnya, yang kini menatap dirinya dengan kedua mata menyipit semakin curiga itu bisa mempercayai bualannya.Selena sungguh tertawa ironi dalam hati, betapa buku tentang kiat-kiat berbohong yang sengaja ia baca untuk menguatkan karakter-karakter fiksinya itu akan sangat berguna di situasi seperti ini.“Apakah Ayah meragukanku?” sanggah Selena cepat, dengan raut yang dibuat seakan tengah terluka karena seseora
“Tunggu sebentar,” ucap Dharta dengan kening berkerut samar, seakan ada sesuatu yang mengganggunya.“Jika informasi tentang penyerangan Markas Rajawali itu tak ditayangkan oleh media mana pun, lalu, bagaimana kau bisa mengetahuinya, Sayang? Ayah pikir, hubungan kalian belum sedekat itu hingga Arjuna menceritakan masalah yang ditutup rapat-rapat dari jangkauan publik itu padamu. Atau, telah terjadi sesuatu ketika kalian berdua di kamar tamu?” cecar Dharta seraya menatap lekat manik sewarna madu miliki gadisnya yang kini bergerak-gerak salah tingkah. Membuat Dharta semakin mengerutkan kening dalam.Selena sungguh mati kutu. Ia sama sekali lupa mengantisipasi kemungkinan munculnya pertanyaan itu dari sang ayah.Dirinya tentu saja tidak mungkin menceritkan tentang tindakan kriminal yang telah ia lakukan.Jika sampai ayahnya tahu tentang kemampuan dan tindakannya itu, sudah bisa dipastikan, ayahnya yang lembut namun juga tegas secara be
Keesokan harinya, Selena sudah bangun sebelum subuh dan menjalankan rutinitas sebagaimana biasanya. Meskipun semalam ia tidur larut malam, namun, energi mudanya yang luar biasa, membuatnya tetap bangun dalam keadaan segar bugar. Sama sekali tak terlihat jejak kelelahan akibat begadang.Dan di pagi itu, setelah ia selesai lari pagi, sama sekali tidak seperti biasanya, ia langsung menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga dekat dengan sang ayah yang tengah menonton acara bincang bisnis yang dihadiri beberapa pakar.“Pagi, Ayah,” sapanya dengan nada riang pada sang ayah yang tengah menikmati teh hangat dan pisang goreng seraya menonton.“Pagi juga, Sayang,” balas Dharta seraya menarik kepala putrinya lembut dan mengecup kening putrinya penuh sayang. “Tumben sekali, ada apakah gerangan, eh? Biasanya putri Ayah sama sekali tidak tertarik dengan tontonan jenis apa pun, atau.” Dharta menjeda kalimatnya, menyipit penuh rasa curiga
Selena yang masih sibuk mengamati pergerakan orang-oramg melalui layar monitornya seraya terus berkomentar, segera terdiam begitu mendengar suara Arjuna yang teramat jelas di telinganya yang kini mengenakan headphone.Sebelah alisnya terangkat, seakan otaknya terlambat mencerna kalimat menyudutkan yang baru saja diterima indera pendengarannya itu.Hening sejenak. Sebelum akhirnya seruan jengkel meluncur dari lisan Selena tanpa bisa dicegah. Mengalir deras bagai air bah yang menghanyutkan apa pun yang dilintasinya. Beruntunya, Arjuna adalah sebuah pohon yang kokoh dengan akar yang kuat. Derasnya air bah yang menerjangnya, tidak akan cukup kuat untuk membuatnya tercerabut dari akar dan terseret arus. Alih-alih, yang ada justru air bah itulah yang menyerah dan surut ke dalam tanah.“Apakah kau sudah selesai?” tanya Arjuna dengan santainya begitu Selena menghentikan kalimat makiannya untuk mengambil napas.“Kau idiot!” geram S
Selena mengetuk-ngetuk pipinya lembut dengan jari telunjuknya ketika memikirkan kembali apa yang baru saja disampaikan oleh kakaknya. Bibirnya terkatup rapat sementara kedua alisnya saling bertautan erat.Sebetulnya, ia sama sekali tak ingin memikirkan apa yang baru saja kakaknya itu katakan. Namun sungguh sial, kata sakral itu terus terngiang di benaknya sekalipun kakaknya telah lama meninggalkan kamarnya.Tadinya, ia langsung setuju dengan perjodohan itu karena sama sekali tak melihat adanya poin yang merugikan dirinya. Tapi ia sunggguh baru tersadar jika pernikahan adalah sebuah wujud tanggung jawab.Selena mengerang frustrasi memikirkan kerumitan tanggung jawab itu setelah dirinya menyandang gelar istri. Ia sungguh tak peduli dengan Arjuna, tetapi, bagaimana dengan keyakinan yang ia pegang? Wujud tanggung jawabnya terhadap Tuhan.Selena menjatuhkan keningnya ke atas meja seraya merutuki kecerobohannya dalam membuat keputusan. Bagaimana mungki