Share

Sir, You are Dumb!
Sir, You are Dumb!
Penulis: Richa Susilo

1. Kedatangannya

"Sial!" geram Selena entah sudah yang keberapa kalinya. Pandangannya menatap ke luar jendela yang mengarah pada bentangan taman yang luas di halaman rumahnya dengan tatapan tajam. Ranting-ranting dedaunan yang bergoyang perlahan ketika diterpa angin, seakan menjelma menjadi cakar-cakar monster mengerikan ketika hanya sedikit saja terkena sentuhan temaram lampu taman, menambah buruk suasana hati Selena yang tengah dirundung kejengkelan.

Pijar bola lampu yang menyerupai bulan tergantung pada tiang besi berukir di sepanjang jalanan setapak taman tampak begitu anggun menggoda, mengundang puluhan ngengat yang mencoba mencari kehangatan. Terlihat begitu riang gembira mencari sumber kebahagiaan mereka. Membuat Selena terkekeh ironi, seakan kawanan ngengat itu tengah mengejek dirinya yang harus menyerah dengan pilihan hidup yang harus ia jalani demi kebahagiaan orang paling berharga dalam hidupnya.

Semilir angin yang berhembus menghantarkan semerbak wangi kelopak mawar ke dalam indra penghidu sang gadis yang membuka lebar-lebar daun jendelanya. Langit yang menggelap mulai menampakkan pijar-pijar yang menawan. Kunang-kunang pun seakan tak ingin tertinggal menyemarakkan pesta malam bersama burung hantu yang terus bernyanyi dengan riangnya. Menciptakan nuansa malam yang sungguh sempurna. Sempurna menertawakan kesialan Selena.

Lagi-lagi Selena menghela napas berat dan menghembuskannya dengan kasar. Jika bisa, ia ingin mengubah tubuh manusianya menjadi cacing tanah dan mendekam di dalam tanah selamanya daripada harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya. 

Sayangnya, hal itu hanya ada di kepala Selena yang hanya berhenti berkhayal ketika tidur. Dirinya yang begitu liar dan bebas, kini seakan harus menyerah dan bertekuk lutut pada takdir kehidupan yang memang telah diciptakan untuknya. 

“Selena, cepat turun, sebentar lagi tamunya datang. Kak Alin dan ayah sudah ada di bawah. Apakah dandannya belum selesai?”

Suara ketukan di pintu yang terdengar begitu mendesak itu, seketika membuat Selena yang tengah berdiri menatap keluar jendela kembali mendesah berat, menoleh ke arah sumber suara dengan tatapan enggan.

Namun tak urung, ia tetap melangkah ke arah pintu guna menyelamatkan daun pintunya dari ketukan penuh semangat sang ibu yang terlampau tersulut kegelisahan karena ulah dirinya yang dianggap lamban.

“Iya, Ibuuuuu,” sahut sang gadis seraya menarik gagang pintu, tersenyum salah tingkah begitu melihat sang ibu melemparinya dengan tatapan terkejut yang diperlihatkan secara terang-terangan, sebelum akhirnya kembali memuntahkan seluruh amunisi kasih sayangnya sebagai seorang ibu.

“K-kau! Oh astaga, Selena,” katanya seraya menatap putrinya frustrasi. “Kenapa tidak mengenakan riasan wajah? Dan pakaian ini, ya ampun, bukankah Ibu sudah memilihkan pakaian untuk malam ini? Kenapa tidak dipakai?” tanya sang Ibu dengan nada lirih namun syarat akan kegeraman. Menatap putrinya yang hanya mengenakan setelan celana kasual dan kemeja putih yang tampak kebesaran dari atas sampai bawah. Bahkan rambut panjangnya hanya diikat ekor kuda. Menghilangkan sisi femininnya sebagai seorang gadis yang anggun nan lembut.

“Ayolah, Ibu,” Tangan selena terulur untuk merangkul bahu sang ibu seraya menyeringai lebar. “Ibu sungguh tahu aku tidak suka berias, dan siapa pun itu yang nantinya menikah denganku, ia haruslah sosok yang mau menerimaku apa adanya. Dan aku tidak akan pernah melakukan hal-hal yang tak kusukai hanya demi merebut perhatian lelaki. Jika anak teman Ibu benar-benar mau menikah denganku dengan kepribadianku yang seperti ini, ya sudah, menikah saja. Jika tidak, sebaiknya Ibu berlapang dada, ya?” jelasnya panjang lebar sekali lagi pada sang ibu yang sudah mewanti-wantinya untuk tampil anggun, yang sialnya, selalu saja menemui kegagalan. Karena satu-satunya anak gadisnya ini benar-benar sangat keras kepala.

Sang ibu mendesah berat. Setelah puluhan kali memaksa anak gadisnya untuk bertemu seseorang, ini kali pertama anaknya itu menyetujui.

Itu pun setelah kakak lelakinya ikut bicara. Dan begitu setuju, lihatlah penampilan putrinya ini, benar-benar membuatnya merasa telah salah mendidik sang putri.

Tiba-tiba, wanita cantik nan anggun itu  merasa menyesal telah membiarkan putrinya bermain dengan anak kompleks yang nyaris semuanya laki-laki.

Usia putrinya sudah menginjak angka 24, namun, dalam rentang hidupnya yang sudah seperempat abad itu, tak pernah dilihatnya anak gadisnya itu memiliki ketertarikan pada lelaki. Membuatnya gelisah siang dan malam.

Bagaimana jika anak gadisnya ini memiliki orientasi seksual yang menyimpang?

Pikiran itu benar-benar membuatnya khawatir hingga sulit tidur. Meskipun Alin putranya dengan terang-terangan menyangkal dan menertawakan pikirannya itu, tetap saja, selama putrinya belum menikah dengan seorang pria, ia merasa hidupnya tidak akan pernah tenang.

“Tapi ingat,” sang ibu akhirnya mengalah. Mengacungkan jari telunjuknya tepat di hadapan sang putri dengan tatapan menuntut sebuah janji. “Jangan bertingkah,” lanjutnya dengan tatapan mewanti-wanti.

Tentu saja wanita berusia awal 40-an itu merasa khawatir. Pasalnya, sosok Selena adalah tipikal gadis yang akan dengan senang hati dan riang gembira menghabiskan sup iga satu panci penuh sekalipun tengah berada di jamuan makan malam rekan bisnis sang ayah. Sama sekali tidak peduli dengan pandangan orang lain kepadanya. Yang sialnya, sang ayah justru tertawa senang dibuatnya. Dan sama sekali tidak pernah beranggapan bahwa apa yang dilakukan putrinya adalah perbuatan tercela dan memalukan. Membuat sang ibu semakin frustrasi dibuatnya.

“Ibu tenang saja. Aku sudah janji sama Kak Alin untuk menjadi gadis anggun malam ini, oke?” sahut Selena seraya mencengkeram lembut bahu sang ibu, mengerling jahil.

Sayangnya, kosa kata anggun dalam benak Selena jelas sekali sangat berbeda dengan apa yang ada di benak orang-orang pada umumnya.

Karena tidak ingin berdebat dengan sang anak gadis yang keras kepala, dan lagi, waktu mereka untuk menyambut tamu istimewa sudah sangat mepet, akhirnya sang ibu hanya menghela napas pasrah dan meminta Selena untuk turun bersamanya seraya berdo’a semoga putra sahabat baiknya tidak langsung kabur begitu melihat putrinya.

Sementara itu, sang kakak dan si ayah yang telah duduk rapi di ruang tamu dengan pakaian batik lengan panjang yang tampak begitu berkharisma, segera saja menoleh begitu mendengar suara kaki menuruni anak tangga.

Senyum lebar nan riang Selena segera saja menyambut keduanya. Dan sungguh diluar harapan sang ibu, sang ayah justru terkekeh melihat tampilan putrinya.

“Bagaimana penampilanku malam ini, Ayah? Apakah cukup baik untuk tidak membuat tamu istimewa kita kabur bahkan sebelum melangkahkan kakinya ke depan pintu?” tanya Selena seraya berpose di hadapan sang ayah layaknya model. Membuat sang ayah justru tergelak.

“Ke mari, Selena. Duduk samping Ayah,” kata sang ayah seraya menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. Dan tanpa ragu, Selena langsung duduk di sana, bergelayut manja di lengan sang ayah yang masih terlihat sangat muda dan tampan di usianya yang sudah menginjak kepala lima.

“Putri Ayah akan selalu terlihat cantik, tidak peduli pakaian jenis apa pun yang dikenakannya,” lanjut sang ayah seraya menarik hidung mancung Selena. Membuat gadis itu meringis pura-pura kesakitan.

“Oh ayolah, Ayah. Lihatlah kelakuan bocah ini baik-baik, bagaimana mungkin Ayah bilang bocah ini cantik dengan pakaian layaknya lelaki seperti ini? Dan lihatlah, putri kesayangan Ayah ini bahkan tak membubuhkan bedak barang semili di wajahnya. Apakah Ayah masih ingin menyebutnya cantik?” protes sang ibu sedikit bersungut-sungut. Selubung kegelisahan dan kejengkelan menjadi satu. Membuatnya terlihat begitu kesal.

“Sayang, bagaimana bisa kau berkata demikian?” sahut sang ayah seraya menatap istrinya penuh cinta. Terkekeh pelan. “Selena adalah putri kita, tentu saja ia sangat cantik. Kecantikan sang ibu mengalir deras dalam dirinya. Tidakkah kau melihatnya?” balas sang ayah ringan sekali. Tersenyum memuja pada sang istri yang kini wajahnya dipenuhi oleh semburat merah.

Sebuah rayuan klasik yang membuat putra dan putri mereka tergelak sejadinya. Membuat sang ibu semakin bersungut-sungut kesal.

“Alin, jangan bilang kau juga sependapat dengan ayahmu!” tukas sang ibu kemudian, menatap lurus ke arah putranya yang kini tengah mengusap sudut-sudut matanya yang berair setelah menertawakan sikap orangtuanya.

“Tentu saja, Ibu. Selena memiliki kecantikan yang sangat alami. Bukankah seharusnya Ibu merasa senang? Apa yang Ibu khawatirkan?” Alin balas bertanya dengan kening berkerut samar, seolah memang benar-benar tidak mengerti kenapa ibunya merasa begitu tertekan dan Selena telah melakukan hal fatal yang membuatnya begitu kesal.

“Kalian,” geram sang ibu dengan kejengkelannya. Menatap suami dan putranya bergantian dengan tatapan jengkel, sebelum akhirnya memejamkan kedua matanya erat, seakan ingin menahan seluruh gejolak emosi yang menguasai akal sehatnya, menghela napas dalam dan kembali melanjutkan kalimatnya dengan nada yang lebih terkendali. “Bukankah kalian juga menyukai gadis yang menarik dan cantik?” lanjut sang ibu. Berusaha memaklumi suami dan putranya.

“Tentu saja,” jawab sang anak dan ayah secara bersaman. Sebelum akhirnya saling toleh, seakan saling melempar pertanyaan dan jawaban.

“Lalu, kenapa kalian mengatakan Selena yang seperti ini tampak cantik?”

“Dia memang cantik, Laras.”

Sebuah suara lembut yang seketika membuat keluarga Brawijaya itu menoleh ke arah pintu, tempat sumber suara berasal.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Velia marhamah
Entah mengapa aku ngakak sama ayahnya😂harus dilestarikan😆
goodnovel comment avatar
Velia marhamah
Setuju sama Selena😏
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status