Selena melirik kakaknya penuh isyarat, berharap sang kakak akan segera berdiri dan menggantikan dirinya untuk mengantarkan lelaki yang kini terlihat begitu pucat itu menuju kamar tamu untuk beristirahat.
Alin bukan tidak memahami isyarat adiknya yang begitu kasihan itu, tetapi tatapan ibunya yang seakan memahami situasi yang terjadi, yang terlihat jelas tidak menghendakinya turut campur dalam masalah yang dibuat adiknya itu, mau tak mau membuatnya mengurungkan niat untuk membantu Selena. Membuat gadis itu menatap sang kakak penuh kejengkelan dan peringatan. Yang sialnya, hanya dibalas dengan tatapan permintaan maaf oleh sang kakak yang sungguh tak bisa berbuat apa-apa di bawah tekanan tatapan sang ibu.
Setelah menghela napas dalam, Selena akhirnya berdiri. “Tuan, mari ikut denganku,” ucapnya seraya berjalan keluar dari ruang makan.
Arjuna yang merasakan rasa sakit yang luar biasa, benar-benar kehilangan keinginan untuk membantah. Dia memundurkan kursi dan berdiri dengan susah payah. Mengikuti langkah Selena dengan patuh. Sekuat tenaga menahan agar tubuhnya tetap berjalan tegak dan tidak limbung di hadapan gadis itu. Tangannya berpegangan pada benda apa pun yang berada di dekatnya ketika berjalan. Karena selain merasakan rasa sakit yang sangat di perut, ia juga merasakan rasa sakit yang sama di kepala. Membuat dunianya seakan jungkir balik. Berkali-kali ia memejamkan mata kuat untuk menjernihkan pandangannya. Namun gagal.
Jarak ruang tamu yang hanya dipisahkan oleh tiga ruang--ruang perpustakaan, ruang keluarga, dan ruang santai--terasa seakan berjarak ratusan mil. Tak kunjung sampai.
Sial! Sepertinya efek lada itu lebih mengerikan daripada yang ia bayangkan, apakah karena tubuhnya sudah kehilangan kekebalan sedemikian buruknya?
Suara derit pintu terbuka akhirnya terdengar begitu Arjuna tidak yakin lagi apakah dirinya masih sanggup berdiri atau tidak.
Dan begitu ia melangkahkan kakinya memasuki pintu yang baginya terlihat begitu banyak dan berputar itu, kedua kakinya seakan kehilangan pijakan. Tubuhnya benar-benar tak sanggup berdiri, pandangannya bahkan terasa berkunang-kunang, dan tubuh tinggi tegap itu pun seketika limbung.
Selena yang menyadari hal itu, segera berbalik dan menangkap tubuh Arjuna sebelum tubuh itu jatuh terjerembab di lantai kayu yang sudah pasti akan menimbulkan rasa sakit yang tak bisa sembuh hanya dalam waktu satu hari.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Selena tak mampu menyembunyikan rasa khawatirnya. Pasalnya, ia tahu pasti, bahwa lelaki ini sungguh tidak sedang berpura-pura. Ia bahkan bisa melihat bibir lelaki itu bergetar ketika hendak menjawab pertanyaannya.
Tanpa banyak kata lagi, Selena langsung memapah tubuh tak berdaya Arjuna menuju ranjang, membantunya berbaring di sana dan melepas sepetunya dengan tergesa. Gadis itu lantas dengan cepat mengambilkan sebotol air mineral dari dalam lemari penyimpanan yang berada di dalam kamar tamu itu.
“Mana obatmu?” tanya Selena, duduk di tepian ranjang. Menatap sosok lelaki yang kini memejamkan matanya dengan begitu erat sementara keningnya berkerut dalam seakan tengah menahan rasa sakit yang luar biasa itu dengan sedikit khawatir.
“Pa-paracetamol. Ambilkan saja paracetamol,” sahut Arjuna dengan nada lemah. Bibir lembabnya yang semerah delima itu pun terlihat samar-samar mulai mengering.
Selena bergegas mengambil kotak obat dan mengaduk isinya untuk mencari obat apa pun yang mengandung paracetamol. Beruntungnya, ibunya selalu siap sedia dengan perlengkapan pertolongan pertama dan obat-obatannya.
Tak butuh waktu lama, Selena sudah kembali lagi ke tepian ranjang dengan membawa obat yang dimaksudkan.
“Duduklah, ini obatnya,” kata Selena seraya menyodorkan obat dan air mineral ke arah Arjuna.
Arjuna yang merasakan dunianya berputar dengan perut yang seperti dirajam, tampak begitu kesulitan untuk sekadar menegakkan punggung.
Selena yang melihat hal itu, segera meletakkan air mineral dan obat di atas nakas. Lantas, tanpa mempertimbangkan apa pun lagi, meraih lengan Arjuna dan menyangga tubuh kokoh lelaki itu dengan tangan satunya.
“Aku benar-benar tak menduga kau selemah ini, bukankah kau seorang kapten, eh?” tutur Selena ringan sekali dengan nada mencemooh. Membuat Arjuna terkekeh ironi.
“Memangnya ini semua karena perbuatan siapa? Bukankah kau yang dengan begitu sengaja meracuniku dengan menu kebangganmu itu, eh?” balas Arjuna dengan nada teramat lemah. Mengambil obat yang diberikan Selena dan segera meminumnya.
“Kau tidak hanya lemah, tapi juga idiot, eh?” balas Selena dengan nada meremehkan yang terdengar begitu kental. “Kau bisa saja menolaknya, kenapa kau tetap memakannya?” Kali ini, Selena benar-benar bertanya karena ia tidak mengerti bagaimana pikiran lelaki ini bekerja. Pasalnya, lelaki ini jelas tahu jika lada itu memiliki efek yang teramat buruk pada tubuhnya. Kenapa ia justru memakannya dengan riang gembira tanpa menyisakan setetes pun di mangkuknya?
“Kau sungguh ingin tahu alasannya?” tanya Arjuna, memutar kembali tutup botol setelah menghabiskan nyaris setengah isinya. “Karena ibuku yang memintanya. Aku sudah berjanji tak akan melukainya lagi. Dan ibuku sungguh tahu aku alergi lada bahkan sejak balita. Tetapi, demi mendapatkan hatimu, ia bahkan rela membantumu mencelakaiku. Sekarang, apa kau sudah puas, eh?” lanjut Arjuna seraya menyeringai ironi. Sedikit menoleh ke belakang hanya untuk memastikan agar gadis itu melihat tatapan kejengkelannya.
“Oh, maafkan aku,” balas Selena seraya menyeringai salah tingkah, dan refleksnya kemudian sungguh fatal, karena seketika itu juga, ia mengangkat tangan kirinya yang menyangga tubuh Arjuna untuk mengusap hidung sebagaimana yang biasa ia lakukan ketika tertangkap basah membuat kesalahan. Dan tak pelak, tubuh Arjuna yang masih lemah, karena efek obat yang baru saja diminumnya belumlah bekerja, langsung terjatuh bersandar pada tubuh Selena. Membuat Selena refleks mendorongnya hingga tubuh Arjuna nyaris terjungkal.
Arjuna meringis menahan denyutan di kepalanya yang kian menjadi. “Kau, apakah kau sungguh seorang perempuan, eh?” geram Arjuna menahan rasa sakit di kepala dan perutnya.
“Oh, sungguh, maafkan aku. Aku sungguh tak sengaja,” tutur Selena cepat dengan nada bersalah. Segera bangkit berdiri dan membantu Arjuna merebahkan tubuhnya kembali. “Sekarang tidurlah … Ya Tuhan, kenapa tubuhmu panas sekali?” lanjutnya panik. “Aku akan memberitahu Tante Siren. Sepertinya kau harus dibawa ke dokter,” tegas Selena seraya beranjak berdiri. Namun, cengkeraman tangan Arjuna pada pergelangan tangannya membuatnya kembali terduduk dengan tatapan sedikit kebingungan.
“Ada apa?” tanya Selena tergesa. Karena ia harus cepat, jika tidak, bagaimana jika lelaki ini mati di rumahnya dan menjadi hantu penasaran yang menuntut balas padanya? Hanya dengan membayangkannya saja, Selena sudah bergidik ngeri.
“Kau tenang saja. Aku tidak akan mati semudah itu,” sahut Arjuna dengan mata terpejam. Seakan bisa membaca isi pikiran Selena dengan begitu jelas, membuat gadis itu melebarkan kedua matanya sedikit terkejut. “Jangan beritahu mereka. Biarkan aku tidur sebentar, dan aku akan baik-baik saja,” lanjut Arjuna dengan napas naik turun yang terdengar sedikit berat.
“Kau sekarat. Apakah kau yakin tidak perlu berobat ke dokter?”
Perkataan Selena yang polos itu sontak saja membuat Arjuna terkekeh. “Kini aku benar-benar tak yakin jika kau adalah seorang gadis.”
“Kau benar sekali, aku memang bukan seorang wanita. Harga dirimu akan jatuh jika sampai kau menikah dengan orang sepertiku. Percayalah, kehadiranku dalam hidupmu akan mengacaukan sistem keteraturan yang kau pegang selama ini, jadi sebaiknya─"“Aku membatalkan perjodohan kita?” sela Arjuna seraya menyeringai dengan kedua mata sedikit terbuka, hanya sedikit saja, seakan masih menahan rasa sakit di kepala dan perutnya. Melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan Selena perlahan.Sebuah pertanyaan yang membuat Selena segera saja menyeringai lebar dan mengangguk bersemangat.“Tepat sekali. Kau harus membujuk orangtuamu agar menggagalkan perjodohan ini," sahut Selena penuh semangat. Karena ia sudah tak yakin bisa membujuk ibunya. Maka jalan satu-satunya adalah meminta lelaki ini melakukannya."Biar kutebak, lelaki sepertimu, pasti memiliki jutaan penggemar. Kau bisa memilihnya salah satu yang kau sukai dan menjadikannya istrimu. Atau
Selena terdiam cukup lama memperhatikan sosok lelaki yang kini mendengkur halus dengan mulut sedikit terbuka itu. Keningnya yang semula berkerut dalam seakan tengah menahan rasa sakit, perlahan memudar. Dada bidangnya naik turun dengan begitu teratur. Dan saat itulah, Selena sungguh baru menyadari jika di dada sebelah kiri sedikit ke dalam lelaki itu terdapat bekas luka sayatan benda tajam yang cukup panjang.Mata Selena menyipit dengan pikiran yang mulai menebak-nebak. Lelaki ini adalah seorang tentara berstatus kapten, pemimpin dari satu batalion pasukan khusus di mana satu orang saja di antaranya memiliki kekuatan 30 orang prajurit biasa. Dengan statusnya itu, tidak menutup kemungkinan jika lelaki ini sudah terlibat dengan kejadian yang mungkin saja akan dengan mudah merenggut nyawanya.Dan tiba-tiba saja, ide-ide segar bermunculan di benak Selena. Membuat gadis itu menyeringai lebar.Lelaki ini sangat tampan. Nilai jual dari ketampanannya pastilah sangat
Arjuna yang tak pernah sekalipun mendapatkan perlakuan sedemikian merendahkan harga dirinya itu pun, sedikit tertegun dengan keberanian gadis di hadapaannya yang kini bahkan berani melemparinya dengan tatapan mencemooh itu.Sejak ia kecil, entah bagaimana, orang-orang di sekitarnya merasa segan dengannya. Mungkin bukan hanya karena nilai akademisnya yang selalu menduduki posisi puncak di setiap jenjang pendidikan, namun, mungkin juga karena pembawaannya yang begitu tenang dan tak banyak bicaralah yang menjadikannya disegani oleh teman-teman bahkan para seniornya.Karena perlakuan itu telah ia terima bahkan ketika dirinya baru berada di bangku taman kanak-kanak, yang seakan telah menyatu dengan kehidupannya, menyatu dengan kepribadiannya, mau tidak mau membentuk kepribadian tinggi hatinya tanpa sadar. Merasa diri berada di posisi paling sempurna di mana tak seorang pun memiliki kesempatan untuk mencelanya. Sehingga, mendapati dirinya diperlakukan diluar kebiasaan, tentu
Selena seketika mendecih begitu mendengar nada arogan yang mengalir deras dalam setiap getar suara sosok lelaki yang kini bahkan enggan menoleh ke arahnya itu. Entah karena malu atau karena terlalu jengkel dan kesal padanya. Selena sama sekali tak peduli.Namun, belum sempat Selena membalas perkataan Arjuna yang menjengkelkan itu, terdengar instrument BrunuhVille “Spirit of The Wild” dari saku celana Arjuna. Sebuah instrumental yang seketika membuat Selena terbeliak. Sedikit terkejut menyadari bahwa lelaki ini memiliki selera yang sama dengannya. Meskipun harus ia akui, instrumental yang terdengar liar, lembut, dan penuh semangat ini memanglah sangat bagus, bahkan mungkin saja memiliki jutaan penikmat di luaran sana, namun, tetap saja, bukankah ini terlalu kebetulan bagi mereka?Bahkan sama-sama menggunakannya sebagai nada dering panggilan ponsel? Oh, sungguh, Selena berharap tak ada seorang pun yang menghubunginya malam ini. Jika sampai lelaki itu mengetah
Ketika Arjuna hendak berpamitan untuk meninggalkan makan malam terlebih dahulu dengan alasan tugas yang tak dijelaskannya secara mendetail, ia mengatakan pada kedua orangtuanya sekaligus keluarga Selena bahwa dirinya dan Selena tidak keberatan dengan rencana pernikahan mereka.Tentang kapan acara pernikahan itu akan dilangsungkan, ia serahkan sepenuhnya pada para orangtua.Dan setelah berkata demikian, tubuh tinggi tegap Arjuna berjalan menuju pintu dengan kedua kaki jenjangnya yang melangkah cepat nan lebar. Terlihat begitu tergesa-gesa. Meninggalkan kedua orangtuanya dan keluarga Selena yang kini terlihat sangat bahagia dengan keputusan yang baru saja didengar dari mulut Arjuna itu. Keduanya bahkan sempat tak percaya dengan apa yang didengar oleh telinganya. Namun, kenyataan bahwa itu bukanlah mimpi, membuat mereka segera diliputi oleh kebahagiaan yang luar biasa.Ibu Arjuna dan ibu Selena bahkan saling berangkulan dengan air mata berderai karena haru. S
“Apa kau yakin dengan keputusanmu untuk menikah dengannya?” tanya sang kakak yang kini berdiri setangah duduk bersandar di atas meja belajar Selena. Menatap adiknya dengan tatapan menyipit penuh selidik. Berusaha mencari tahu keseriusan adiknya itu tentang keputusannya menyetujui pernikahan.Selena yang tengah menatap layar monitor layaknya tengah menonton sebuah film aksi itu segera mendongak, balas menatap kakaknya dengan kening berkerut samar. “Apakah adikmu yang cantik ini memiliki pilihan, wahai kakaku yang tampan?” Selena justru balik bertanya, mengangkat sebelah alis dan menyeringai samar sebelum kembali fokus pada layar monitornya.Gadis itu tak berkedip begitu melihat sosok Arjuna yang telah menggulung kemeja batik lengan panjangnya hingga ke siku, berlarian di sebuah lorong yang mengarah ke suatu tempat yang belum ia ketahui.Hanya dengan menggunakan nomor ponsel Arjuna, Selena bisa melacak keberadaan Arjuna dan menyusup ke dala
Selena mengetuk-ngetuk pipinya lembut dengan jari telunjuknya ketika memikirkan kembali apa yang baru saja disampaikan oleh kakaknya. Bibirnya terkatup rapat sementara kedua alisnya saling bertautan erat.Sebetulnya, ia sama sekali tak ingin memikirkan apa yang baru saja kakaknya itu katakan. Namun sungguh sial, kata sakral itu terus terngiang di benaknya sekalipun kakaknya telah lama meninggalkan kamarnya.Tadinya, ia langsung setuju dengan perjodohan itu karena sama sekali tak melihat adanya poin yang merugikan dirinya. Tapi ia sunggguh baru tersadar jika pernikahan adalah sebuah wujud tanggung jawab.Selena mengerang frustrasi memikirkan kerumitan tanggung jawab itu setelah dirinya menyandang gelar istri. Ia sungguh tak peduli dengan Arjuna, tetapi, bagaimana dengan keyakinan yang ia pegang? Wujud tanggung jawabnya terhadap Tuhan.Selena menjatuhkan keningnya ke atas meja seraya merutuki kecerobohannya dalam membuat keputusan. Bagaimana mungki
Selena yang masih sibuk mengamati pergerakan orang-oramg melalui layar monitornya seraya terus berkomentar, segera terdiam begitu mendengar suara Arjuna yang teramat jelas di telinganya yang kini mengenakan headphone.Sebelah alisnya terangkat, seakan otaknya terlambat mencerna kalimat menyudutkan yang baru saja diterima indera pendengarannya itu.Hening sejenak. Sebelum akhirnya seruan jengkel meluncur dari lisan Selena tanpa bisa dicegah. Mengalir deras bagai air bah yang menghanyutkan apa pun yang dilintasinya. Beruntunya, Arjuna adalah sebuah pohon yang kokoh dengan akar yang kuat. Derasnya air bah yang menerjangnya, tidak akan cukup kuat untuk membuatnya tercerabut dari akar dan terseret arus. Alih-alih, yang ada justru air bah itulah yang menyerah dan surut ke dalam tanah.“Apakah kau sudah selesai?” tanya Arjuna dengan santainya begitu Selena menghentikan kalimat makiannya untuk mengambil napas.“Kau idiot!” geram S