Share

7. Just Let it Be

Selena melirik kakaknya penuh isyarat, berharap sang kakak akan segera berdiri dan menggantikan dirinya untuk mengantarkan lelaki yang kini terlihat begitu pucat itu menuju kamar tamu untuk beristirahat.

Alin bukan tidak memahami isyarat adiknya yang begitu kasihan itu, tetapi tatapan ibunya yang seakan memahami situasi yang terjadi, yang terlihat jelas tidak menghendakinya turut campur dalam masalah yang dibuat adiknya itu, mau tak mau membuatnya mengurungkan niat untuk membantu Selena. Membuat gadis itu menatap sang kakak penuh kejengkelan dan peringatan. Yang sialnya, hanya dibalas dengan tatapan permintaan maaf oleh sang kakak yang sungguh tak bisa berbuat apa-apa di bawah tekanan tatapan sang ibu.

Setelah menghela napas dalam, Selena akhirnya berdiri. “Tuan, mari ikut denganku,” ucapnya seraya berjalan keluar dari ruang makan.

Arjuna yang merasakan rasa sakit yang luar biasa, benar-benar kehilangan keinginan untuk membantah. Dia memundurkan kursi dan berdiri dengan susah payah. Mengikuti langkah Selena dengan patuh. Sekuat tenaga menahan agar tubuhnya tetap berjalan tegak dan tidak limbung di hadapan gadis itu. Tangannya berpegangan pada benda apa pun yang berada di dekatnya ketika berjalan. Karena selain merasakan rasa sakit yang sangat di perut, ia juga merasakan rasa sakit yang sama di kepala. Membuat dunianya seakan jungkir balik. Berkali-kali ia memejamkan mata kuat untuk menjernihkan pandangannya. Namun gagal.

Jarak ruang tamu yang hanya dipisahkan oleh tiga ruang--ruang perpustakaan, ruang keluarga, dan ruang santai--terasa seakan berjarak ratusan mil. Tak kunjung sampai.

Sial! Sepertinya efek lada itu lebih mengerikan daripada yang ia bayangkan, apakah karena tubuhnya sudah kehilangan kekebalan sedemikian buruknya?

Suara derit pintu terbuka akhirnya terdengar begitu Arjuna tidak yakin lagi apakah dirinya masih sanggup berdiri atau tidak.

Dan begitu ia melangkahkan kakinya memasuki pintu yang baginya terlihat begitu banyak dan berputar itu, kedua kakinya seakan kehilangan pijakan. Tubuhnya benar-benar tak sanggup berdiri, pandangannya bahkan terasa berkunang-kunang, dan tubuh tinggi tegap itu pun seketika limbung.

Selena yang menyadari hal itu, segera berbalik dan menangkap tubuh Arjuna sebelum tubuh itu jatuh terjerembab di lantai kayu yang sudah pasti akan menimbulkan rasa sakit yang tak bisa sembuh hanya dalam waktu satu hari.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Selena tak mampu menyembunyikan rasa khawatirnya. Pasalnya, ia tahu pasti, bahwa lelaki ini sungguh tidak sedang berpura-pura. Ia bahkan bisa melihat bibir lelaki itu bergetar ketika hendak menjawab pertanyaannya.

Tanpa banyak kata lagi, Selena langsung memapah tubuh tak berdaya Arjuna menuju ranjang, membantunya berbaring di sana dan melepas sepetunya dengan tergesa. Gadis itu lantas dengan cepat mengambilkan sebotol air mineral dari dalam lemari penyimpanan yang berada di dalam kamar tamu itu.

“Mana obatmu?” tanya Selena, duduk di tepian ranjang. Menatap sosok lelaki yang kini memejamkan matanya dengan begitu erat sementara keningnya berkerut dalam seakan tengah menahan rasa sakit yang luar biasa itu dengan sedikit khawatir.

“Pa-paracetamol. Ambilkan saja paracetamol,” sahut Arjuna dengan nada lemah. Bibir lembabnya yang semerah delima itu pun terlihat samar-samar mulai mengering.

Selena bergegas mengambil kotak obat dan mengaduk isinya untuk mencari obat apa pun yang mengandung paracetamol. Beruntungnya, ibunya selalu siap sedia dengan perlengkapan pertolongan pertama dan obat-obatannya.

Tak butuh waktu lama, Selena sudah kembali lagi ke tepian ranjang dengan membawa obat yang dimaksudkan.

“Duduklah, ini obatnya,” kata Selena seraya menyodorkan obat dan air mineral ke arah Arjuna.

Arjuna yang merasakan dunianya berputar dengan perut yang seperti dirajam, tampak begitu kesulitan untuk sekadar menegakkan punggung.

Selena yang melihat hal itu, segera meletakkan air mineral dan obat di atas nakas. Lantas, tanpa mempertimbangkan apa pun lagi, meraih lengan Arjuna dan menyangga tubuh kokoh lelaki itu dengan tangan satunya.

“Aku benar-benar tak menduga kau selemah ini, bukankah kau seorang kapten, eh?” tutur Selena ringan sekali dengan nada mencemooh. Membuat Arjuna terkekeh ironi.

“Memangnya ini semua karena perbuatan siapa? Bukankah kau yang dengan begitu sengaja meracuniku dengan menu kebangganmu itu, eh?” balas Arjuna dengan nada teramat lemah. Mengambil obat yang diberikan Selena dan segera meminumnya.

“Kau tidak hanya lemah, tapi juga idiot, eh?” balas Selena dengan nada meremehkan yang terdengar begitu kental. “Kau bisa saja menolaknya, kenapa kau tetap memakannya?” Kali ini, Selena benar-benar bertanya karena ia tidak mengerti bagaimana pikiran lelaki ini bekerja. Pasalnya, lelaki ini jelas tahu jika lada itu memiliki efek yang teramat buruk pada tubuhnya. Kenapa ia justru memakannya dengan riang gembira tanpa menyisakan setetes pun di mangkuknya?

“Kau sungguh ingin tahu alasannya?” tanya Arjuna, memutar kembali tutup botol setelah menghabiskan nyaris setengah isinya. “Karena ibuku yang memintanya. Aku sudah berjanji tak akan melukainya lagi. Dan ibuku sungguh tahu aku alergi lada bahkan sejak balita. Tetapi, demi mendapatkan hatimu, ia bahkan rela membantumu mencelakaiku. Sekarang, apa kau sudah puas, eh?” lanjut Arjuna seraya menyeringai ironi. Sedikit menoleh ke belakang hanya untuk memastikan agar gadis itu melihat tatapan kejengkelannya.

“Oh, maafkan aku,” balas Selena seraya menyeringai salah tingkah, dan refleksnya kemudian sungguh fatal, karena seketika itu juga, ia mengangkat tangan kirinya yang menyangga tubuh Arjuna untuk mengusap hidung sebagaimana yang biasa ia lakukan ketika tertangkap basah membuat kesalahan. Dan tak pelak, tubuh Arjuna yang masih lemah, karena efek obat yang baru saja diminumnya belumlah bekerja, langsung terjatuh bersandar pada tubuh Selena. Membuat Selena refleks mendorongnya hingga tubuh Arjuna nyaris terjungkal.

Arjuna meringis menahan denyutan di kepalanya yang kian menjadi. “Kau, apakah kau sungguh seorang perempuan, eh?” geram Arjuna menahan rasa sakit di kepala dan perutnya.

“Oh, sungguh, maafkan aku. Aku sungguh tak sengaja,” tutur Selena cepat dengan nada bersalah. Segera bangkit berdiri dan membantu Arjuna merebahkan tubuhnya kembali. “Sekarang tidurlah … Ya Tuhan, kenapa tubuhmu panas sekali?” lanjutnya panik. “Aku akan memberitahu Tante Siren. Sepertinya kau harus dibawa ke dokter,” tegas Selena seraya beranjak berdiri. Namun, cengkeraman tangan Arjuna pada pergelangan tangannya membuatnya kembali terduduk dengan tatapan sedikit kebingungan.

“Ada apa?” tanya Selena tergesa. Karena ia harus cepat, jika tidak, bagaimana jika lelaki ini mati di rumahnya dan menjadi hantu penasaran yang menuntut balas padanya? Hanya dengan membayangkannya saja, Selena sudah bergidik ngeri.

“Kau tenang saja. Aku tidak akan mati semudah itu,” sahut Arjuna dengan mata terpejam. Seakan bisa membaca isi pikiran Selena dengan begitu jelas, membuat gadis itu melebarkan kedua matanya sedikit terkejut. “Jangan beritahu mereka. Biarkan aku tidur sebentar, dan aku akan baik-baik saja,” lanjut Arjuna dengan napas naik turun yang terdengar sedikit berat.

“Kau sekarat. Apakah kau yakin tidak perlu berobat ke dokter?”

Perkataan Selena yang polos itu sontak saja membuat Arjuna terkekeh. “Kini aku benar-benar tak yakin jika kau adalah seorang gadis.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status