“Oh astaga,” suara tawa yang terdengar jelas sekali seakan tak percaya itu keluar dari lisan ayah Arjun. “Gadis ini sungguh luar biasa sekali. Dharta, putrimu benar-benar hebat. Dia adalah satu-satunya gadis yang bisa mempermalukan Arjuna,” lanjutnya heboh dengan tawa berderai. “Hei, Siren, lihatlah, kapan kau terakhir kali melihat wajah putramu itu merona seperti ini, eh? Aku sungguh menyukaimu, Nak,” tegasnya seraya menatap Selena penuh arti dengan sisa-sisa tawanya. Seakan tengah menaruh harapan yang begitu besar padanya.
Selena benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa. Pasalnya, ia dengan begitu sengaja melakukan semua ketidaksopanan itu demi penolakan. Namun, lihatlah apa yang terjadi, alih-alih menolaknya, keluarga Daneswara itu justru terlihat begitu mengharapkannya menjadi menantu mereka.
Belum sempat Selena selesai menganalisa apa yang keliru dengan sikapnya, Siren sudah merangkul tubuhnya dan memeluknya dengan erat. Mencium pipinya penuh kasih sayang.
Ya Tuhan, apa yang salah dengan keluarga ini?
Selena hanya bisa menelan ludah dengan tatapan kebingungan. Yang sialnya, begitu ia bersitatap dengan sosok lelaki di hadapannya, lelaki itu justru terlihat tengah menyeringai dengan tatapan seakan menertawakannya.
Sial! Umpat Selena dalam hati.
Sementara itu, Alin yang melihat wajah adiknya yang diselimuti kejengkelan meskipun teramat samar itu, sungguh tak mampu menahan diri untuk tersenyum. Andai saja di ruangan itu hanya ada keluarganya, ia pasti sudah tergelak sejadinya. Lihatlah wajah kekalahan telak sang adik yang selama ini selalu menang sendiri itu, benar-benar ekspresi yang sangat berharga. Jika bukan demi sopan santun, ia pasti sudah mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan momen berharga itu. Sayangnya, ia hanya bisa menyimpannya dalam ingatan. Namun itu cukup, cukup membuatnya tergelak dan menjadikannya bahan olokan ketika mereka sedang bersama.
Di sisi lain, ibu Selena juga tak kalah bingungnya dengan Selena. Bagaimana mungkin sikap kurang ajar putrinya itu justru mendapatkan apresiasi yang begitu luar biasa dari keluarga terhormat ini? Apakah logika mereka sudah terbalik?
Namun demikian, tak ada yang bisa ia lakukan selain turut tersenyum. Sebuah senyum canggung yang justru terlihat aneh. Karena bagaimanapun juga, kebingungan masih menyelimuti benaknya.
Lain ibu lain ayah. Ayah Selena justru turut tergelak bersama ayah Arjuna. Gelak tawa tanpa dosa. Membuat sang ibu berjanji akan menegurnya nanti jika tamunya sudah pulang.
Namun Selena tidak akan menyerah. Jika ia tidak bisa membuat Tante Siren dan Om Danar tidak menyukainya, maka ia bisa membuat lelaki di hadapannya ini menolaknya.
Selena kembali menyeringai di saat orang-orang tengah kembali sibuk mengobrol dan menikmati hidangan makan malam spesial yang disiapkan kakaknya.
“Kenapa supnya tidak dimakan?” tanya Selena seraya menuding mangkuk sup di hadapan Arjuna yang tak tersentuh.
Arjuna yang tengah sibuk memotong daging, menghentikan gerakan tangannya dan mendongak, menatap gadis di hadapannya dengan kedua mata menyipit. Apa lagi yang akan direncanakan gadis ini?
Entah kenapa, setiap kali gadis bernama Selena yang dipaksa menjadi istrinya itu berbicara padanya, ia selalu merasa bahaya tengah mengintainya.
“Aku sedang tidak ingin makan sup,” sahut Arjuna datar. Tatapannya mengarah pada semangkuk sup yang penuh dengan bubuk lada itu dengan tatapan seakan itu adalah benda paling beracun di dunia.
Selena yang semula sempat terpana dengan kemerduan suara Arjuna, yang terdengar begitu tenang, dalam nan sangat mengendalikan itu, segera saja tersadar begitu melihat tatapan menjengkelkan Arjuna. Membuatnya mendecih mencemooh. Beruntungnya, tak satu pun yang memperhatikannya selain lelaki yang kini menyeringai samar di hadapannya, tampak sekali begitu puas telah membuatnya kesal.
“Di mana sopan santunmu, Tuan? Ibuku sudah mengambilkannya untukmu, dan aku juga sudah berbaik hati menambahkan lada untukmu, dan kau tidak mau memakannya?” pungkas Selena menyudutkan moral Arjuna telak.
Ibu Arjuna yang berada tepat di samping Selena bukan tidak mendengar kalimat menyudutkan gadis itu yang terdengar begitu sengaja menyerang putranya. Ia juga bukan tidak tahu jika gadis ini dengan begitu sengaja bersikap─yang menurutnya─tidak sopan untuk memberikan kesan buruk pada mereka. Sayangnya, ibu Arjuna cukup peka sebagai wanita, dan mungkin saja ia egois, tapi sungguh, sebagai orangtua, dirinya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Menantu idaman sudah ada di depan mata, bagaimana mungkin ia akan melepaskannya begitu saja?
Karenanya, apa pun yang keluar dari lisan Selena, ia akan mendukungnya. Sekalipun putranya yang seperti bongkahan es itu harus menderita sakit perut karenanya. Ia tahu putranya sangat tidak suka makan pedas, namun, apa salahnya berkorban sedikit saja?
Siapa tahu rasa panas membakar akibat lada itu bisa mencairkan hatinya yang membeku, ‘kan? Siapa yang tahu.
“Selena benar, Arjuna! Kenapa kau tidak mau memakan supnya?” timpal sang ibu dengan tatapan penuh peringatan pada putranya, yang kini hanya balas menatap ibunya datar. Menghela napas dalam sebelum akhirnya meraih mangkuk itu dan menggerakkan sendok dengan begitu enggan.
“Kenapa kau terlihat begitu tak bersemangat? Kau tidak boleh menyambut rezeki dengan tampang muram seperti itu, Tuan. Apakah kau ingin aku menyuapimu? Jika ya, katakan saja. Aku akan dengan senang hati membantumu,” tutur Selena dengan nada riang yang membuat bulu kuduk Arjuna seketika meremang.
Namun, Arjuna yang berada tepat di hadapannya, jelas sekali bisa melihat binar penuh antusias dari manik sebening kristal gadis itu. Bukan antusias yang lahir dari ketulusan tentu saja. Melainkan antusias yang lahir dari ketidaksukaan yang mengandung hasrat kuat untuk mencelakainya. Dan yang lebih membuatnya kesal, ibunya jelas sekali tahu rencana gadis ini, dan dengan begitu ringan mendukungnya? Oh, sungguhkah ia anak kandung dari mereka?
Dengan perasaan jengkel, Arjuna dengan cepat menghabiskan sup itu. Dan seketika, wajahnya memerah, sementara matanya berair, menahan rasa pedas yang berada di luar batas toleransinya. Dan tidak butuh waktu lama, penolakan tubuhnya akan benda yang baru saja ia masukkan paksa ke dalam tubuhnya membuat wajahnya memucat. Perutnya terasa begitu sakit laksana dihujani puluhan anak panah. Terasa perih dan panas hingga membuatnya dipenuhi oleh keringat dingin.
“Nak Arjuna, apa yang terjadi denganmu? Apa kau baik-baik saja?” Itu suara ibu Selena, yang bertanya dengan nada penuh kekhawatiran.
“Aku baik-baik saja, Tante,” sahut Arjuna dengan nada begitu berat karena menahan rasa sakit yang tak tertahankan.
Ibu Arjuna bukan tak mengkhawatirkan putranya. Tapi ia tahu putranya akan baik-baik saja. Fisiknya sangat bagus. Dan ia pasti bisa melaluinya dengan baik. Bersabarlah, Nak. Ini semua demi kebaikanmu.
“Oh, aku sungguh lupa jika Arjuna tidak bisa makan lada,” kata ibunya dengan nada khawatir yang sengaja dibuat dramatis, menoleh ke arah Selena dengan tatapan panik. “Sayang, apakah kau keberatan meminjamkan ruang tamu untuk Arjuna? Ia akan baik-baik saja setelah berbaring sebentar dan minum obat,” lanjutnya dengan tatapan yang tak mungkin bisa ditolak Selena.
Selena jelas sekali cukup terkejut dengan reaksi Arjuna setelah menghabiskan sup itu, lihatlah wajah sebening kristalnya yang seketika memucat dengan kening yang dipenuhi oleh keringat dingin. Tidak salah lagi, lelaki ini tidak sedang berpura-pura.
Dan tiba-tiba saja, Selena dihinggapi oleh perasaan bersalah yang membuatnya sedikit khawatir. Bagaimana jika lelaki ini mati akibat keisengannya?
Namun, kenapa harus dirinya yang mengantarkannya beristirahat? Kenapa tidak kakaknya saja?
Selena melirik kakaknya penuh isyarat, berharap sang kakak akan segera berdiri dan menggantikan dirinya untuk mengantarkan lelaki yang kini terlihat begitu pucat itu menuju kamar tamu untuk beristirahat.Alin bukan tidak memahami isyarat adiknya yang begitu kasihan itu, tetapi tatapan ibunya yang seakan memahami situasi yang terjadi, yang terlihat jelas tidak menghendakinya turut campur dalam masalah yang dibuat adiknya itu, mau tak mau membuatnya mengurungkan niat untuk membantu Selena. Membuat gadis itu menatap sang kakak penuh kejengkelan dan peringatan. Yang sialnya, hanya dibalas dengan tatapan permintaan maaf oleh sang kakak yang sungguh tak bisa berbuat apa-apa di bawah tekanan tatapan sang ibu.Setelah menghela napas dalam, Selena akhirnya berdiri. “Tuan, mari ikut denganku,” ucapnya seraya berjalan keluar dari ruang makan.Arjuna yang merasakan rasa sakit yang luar biasa, benar-benar kehilangan keinginan untuk membantah. Dia memundurkan kurs
“Kau benar sekali, aku memang bukan seorang wanita. Harga dirimu akan jatuh jika sampai kau menikah dengan orang sepertiku. Percayalah, kehadiranku dalam hidupmu akan mengacaukan sistem keteraturan yang kau pegang selama ini, jadi sebaiknya─"“Aku membatalkan perjodohan kita?” sela Arjuna seraya menyeringai dengan kedua mata sedikit terbuka, hanya sedikit saja, seakan masih menahan rasa sakit di kepala dan perutnya. Melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan Selena perlahan.Sebuah pertanyaan yang membuat Selena segera saja menyeringai lebar dan mengangguk bersemangat.“Tepat sekali. Kau harus membujuk orangtuamu agar menggagalkan perjodohan ini," sahut Selena penuh semangat. Karena ia sudah tak yakin bisa membujuk ibunya. Maka jalan satu-satunya adalah meminta lelaki ini melakukannya."Biar kutebak, lelaki sepertimu, pasti memiliki jutaan penggemar. Kau bisa memilihnya salah satu yang kau sukai dan menjadikannya istrimu. Atau
Selena terdiam cukup lama memperhatikan sosok lelaki yang kini mendengkur halus dengan mulut sedikit terbuka itu. Keningnya yang semula berkerut dalam seakan tengah menahan rasa sakit, perlahan memudar. Dada bidangnya naik turun dengan begitu teratur. Dan saat itulah, Selena sungguh baru menyadari jika di dada sebelah kiri sedikit ke dalam lelaki itu terdapat bekas luka sayatan benda tajam yang cukup panjang.Mata Selena menyipit dengan pikiran yang mulai menebak-nebak. Lelaki ini adalah seorang tentara berstatus kapten, pemimpin dari satu batalion pasukan khusus di mana satu orang saja di antaranya memiliki kekuatan 30 orang prajurit biasa. Dengan statusnya itu, tidak menutup kemungkinan jika lelaki ini sudah terlibat dengan kejadian yang mungkin saja akan dengan mudah merenggut nyawanya.Dan tiba-tiba saja, ide-ide segar bermunculan di benak Selena. Membuat gadis itu menyeringai lebar.Lelaki ini sangat tampan. Nilai jual dari ketampanannya pastilah sangat
Arjuna yang tak pernah sekalipun mendapatkan perlakuan sedemikian merendahkan harga dirinya itu pun, sedikit tertegun dengan keberanian gadis di hadapaannya yang kini bahkan berani melemparinya dengan tatapan mencemooh itu.Sejak ia kecil, entah bagaimana, orang-orang di sekitarnya merasa segan dengannya. Mungkin bukan hanya karena nilai akademisnya yang selalu menduduki posisi puncak di setiap jenjang pendidikan, namun, mungkin juga karena pembawaannya yang begitu tenang dan tak banyak bicaralah yang menjadikannya disegani oleh teman-teman bahkan para seniornya.Karena perlakuan itu telah ia terima bahkan ketika dirinya baru berada di bangku taman kanak-kanak, yang seakan telah menyatu dengan kehidupannya, menyatu dengan kepribadiannya, mau tidak mau membentuk kepribadian tinggi hatinya tanpa sadar. Merasa diri berada di posisi paling sempurna di mana tak seorang pun memiliki kesempatan untuk mencelanya. Sehingga, mendapati dirinya diperlakukan diluar kebiasaan, tentu
Selena seketika mendecih begitu mendengar nada arogan yang mengalir deras dalam setiap getar suara sosok lelaki yang kini bahkan enggan menoleh ke arahnya itu. Entah karena malu atau karena terlalu jengkel dan kesal padanya. Selena sama sekali tak peduli.Namun, belum sempat Selena membalas perkataan Arjuna yang menjengkelkan itu, terdengar instrument BrunuhVille “Spirit of The Wild” dari saku celana Arjuna. Sebuah instrumental yang seketika membuat Selena terbeliak. Sedikit terkejut menyadari bahwa lelaki ini memiliki selera yang sama dengannya. Meskipun harus ia akui, instrumental yang terdengar liar, lembut, dan penuh semangat ini memanglah sangat bagus, bahkan mungkin saja memiliki jutaan penikmat di luaran sana, namun, tetap saja, bukankah ini terlalu kebetulan bagi mereka?Bahkan sama-sama menggunakannya sebagai nada dering panggilan ponsel? Oh, sungguh, Selena berharap tak ada seorang pun yang menghubunginya malam ini. Jika sampai lelaki itu mengetah
Ketika Arjuna hendak berpamitan untuk meninggalkan makan malam terlebih dahulu dengan alasan tugas yang tak dijelaskannya secara mendetail, ia mengatakan pada kedua orangtuanya sekaligus keluarga Selena bahwa dirinya dan Selena tidak keberatan dengan rencana pernikahan mereka.Tentang kapan acara pernikahan itu akan dilangsungkan, ia serahkan sepenuhnya pada para orangtua.Dan setelah berkata demikian, tubuh tinggi tegap Arjuna berjalan menuju pintu dengan kedua kaki jenjangnya yang melangkah cepat nan lebar. Terlihat begitu tergesa-gesa. Meninggalkan kedua orangtuanya dan keluarga Selena yang kini terlihat sangat bahagia dengan keputusan yang baru saja didengar dari mulut Arjuna itu. Keduanya bahkan sempat tak percaya dengan apa yang didengar oleh telinganya. Namun, kenyataan bahwa itu bukanlah mimpi, membuat mereka segera diliputi oleh kebahagiaan yang luar biasa.Ibu Arjuna dan ibu Selena bahkan saling berangkulan dengan air mata berderai karena haru. S
“Apa kau yakin dengan keputusanmu untuk menikah dengannya?” tanya sang kakak yang kini berdiri setangah duduk bersandar di atas meja belajar Selena. Menatap adiknya dengan tatapan menyipit penuh selidik. Berusaha mencari tahu keseriusan adiknya itu tentang keputusannya menyetujui pernikahan.Selena yang tengah menatap layar monitor layaknya tengah menonton sebuah film aksi itu segera mendongak, balas menatap kakaknya dengan kening berkerut samar. “Apakah adikmu yang cantik ini memiliki pilihan, wahai kakaku yang tampan?” Selena justru balik bertanya, mengangkat sebelah alis dan menyeringai samar sebelum kembali fokus pada layar monitornya.Gadis itu tak berkedip begitu melihat sosok Arjuna yang telah menggulung kemeja batik lengan panjangnya hingga ke siku, berlarian di sebuah lorong yang mengarah ke suatu tempat yang belum ia ketahui.Hanya dengan menggunakan nomor ponsel Arjuna, Selena bisa melacak keberadaan Arjuna dan menyusup ke dala
Selena mengetuk-ngetuk pipinya lembut dengan jari telunjuknya ketika memikirkan kembali apa yang baru saja disampaikan oleh kakaknya. Bibirnya terkatup rapat sementara kedua alisnya saling bertautan erat.Sebetulnya, ia sama sekali tak ingin memikirkan apa yang baru saja kakaknya itu katakan. Namun sungguh sial, kata sakral itu terus terngiang di benaknya sekalipun kakaknya telah lama meninggalkan kamarnya.Tadinya, ia langsung setuju dengan perjodohan itu karena sama sekali tak melihat adanya poin yang merugikan dirinya. Tapi ia sunggguh baru tersadar jika pernikahan adalah sebuah wujud tanggung jawab.Selena mengerang frustrasi memikirkan kerumitan tanggung jawab itu setelah dirinya menyandang gelar istri. Ia sungguh tak peduli dengan Arjuna, tetapi, bagaimana dengan keyakinan yang ia pegang? Wujud tanggung jawabnya terhadap Tuhan.Selena menjatuhkan keningnya ke atas meja seraya merutuki kecerobohannya dalam membuat keputusan. Bagaimana mungki