Share

6. Senjata Makan Tuan

“Oh astaga,” suara tawa yang terdengar jelas sekali seakan tak percaya itu keluar dari lisan ayah Arjun. “Gadis ini sungguh luar biasa sekali. Dharta, putrimu benar-benar hebat. Dia adalah satu-satunya gadis yang bisa mempermalukan Arjuna,” lanjutnya heboh dengan tawa berderai. “Hei, Siren, lihatlah, kapan kau terakhir kali melihat wajah putramu itu merona seperti ini, eh? Aku sungguh menyukaimu, Nak,” tegasnya seraya menatap Selena penuh arti dengan sisa-sisa tawanya. Seakan tengah menaruh harapan yang begitu besar padanya.

Selena benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa. Pasalnya, ia dengan begitu sengaja melakukan semua ketidaksopanan itu demi penolakan. Namun, lihatlah apa yang terjadi, alih-alih menolaknya, keluarga Daneswara itu justru terlihat begitu mengharapkannya menjadi menantu mereka.

Belum sempat Selena selesai menganalisa apa yang keliru dengan sikapnya, Siren sudah merangkul tubuhnya dan memeluknya dengan erat. Mencium pipinya penuh kasih sayang.

Ya Tuhan, apa yang salah dengan keluarga ini?

Selena hanya bisa menelan ludah dengan tatapan kebingungan. Yang sialnya, begitu ia bersitatap dengan sosok lelaki di hadapannya, lelaki itu justru terlihat tengah menyeringai dengan tatapan seakan menertawakannya.

Sial! Umpat Selena dalam hati.

Sementara itu, Alin yang melihat wajah adiknya yang diselimuti kejengkelan meskipun teramat samar itu, sungguh tak mampu menahan diri untuk tersenyum. Andai saja di ruangan itu hanya ada keluarganya, ia pasti sudah tergelak sejadinya. Lihatlah wajah kekalahan telak sang adik yang selama ini selalu menang sendiri itu, benar-benar ekspresi yang sangat berharga. Jika bukan demi sopan santun, ia pasti sudah mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan momen berharga itu. Sayangnya, ia hanya bisa menyimpannya dalam ingatan. Namun itu cukup, cukup membuatnya tergelak dan menjadikannya bahan olokan ketika mereka sedang bersama.

Di sisi lain, ibu Selena juga tak kalah bingungnya dengan Selena. Bagaimana mungkin sikap kurang ajar putrinya itu justru mendapatkan apresiasi yang begitu luar biasa dari keluarga terhormat ini? Apakah logika mereka sudah terbalik?

Namun demikian, tak ada yang bisa ia lakukan selain turut tersenyum. Sebuah senyum canggung yang justru terlihat aneh. Karena bagaimanapun juga, kebingungan masih menyelimuti benaknya.

Lain ibu lain ayah. Ayah Selena justru turut tergelak bersama ayah Arjuna. Gelak tawa tanpa dosa. Membuat sang ibu berjanji akan menegurnya nanti jika tamunya sudah pulang.

Namun Selena tidak akan menyerah. Jika ia tidak bisa membuat Tante Siren dan Om Danar tidak menyukainya, maka ia bisa membuat lelaki di hadapannya ini menolaknya.

Selena kembali menyeringai di saat orang-orang tengah kembali sibuk mengobrol dan menikmati hidangan makan malam spesial yang disiapkan kakaknya.

“Kenapa supnya tidak dimakan?” tanya Selena seraya menuding mangkuk sup di hadapan Arjuna yang tak tersentuh.

Arjuna yang tengah sibuk memotong daging, menghentikan gerakan tangannya dan mendongak, menatap gadis di hadapannya dengan kedua mata menyipit. Apa lagi yang akan direncanakan gadis ini?

Entah kenapa, setiap kali gadis bernama Selena yang dipaksa menjadi istrinya itu berbicara padanya, ia selalu merasa bahaya tengah mengintainya.

“Aku sedang tidak ingin makan sup,” sahut Arjuna datar. Tatapannya mengarah pada semangkuk sup yang penuh dengan bubuk lada itu dengan tatapan seakan itu adalah benda paling beracun di dunia.

Selena yang semula sempat terpana dengan kemerduan suara Arjuna, yang terdengar begitu tenang, dalam nan sangat mengendalikan itu, segera saja tersadar begitu melihat tatapan menjengkelkan Arjuna. Membuatnya mendecih mencemooh. Beruntungnya, tak satu pun yang memperhatikannya selain lelaki yang kini menyeringai samar di hadapannya, tampak sekali begitu puas telah membuatnya kesal.

“Di mana sopan santunmu, Tuan? Ibuku sudah mengambilkannya untukmu, dan aku juga sudah berbaik hati menambahkan lada untukmu, dan kau tidak mau memakannya?” pungkas Selena menyudutkan moral Arjuna telak.

Ibu Arjuna yang berada tepat di samping Selena bukan tidak mendengar kalimat menyudutkan gadis itu yang terdengar begitu sengaja menyerang putranya. Ia juga bukan tidak tahu jika gadis ini dengan begitu sengaja bersikap─yang menurutnya─tidak sopan untuk memberikan kesan buruk pada mereka. Sayangnya, ibu Arjuna cukup peka sebagai wanita, dan mungkin saja ia egois, tapi sungguh, sebagai orangtua, dirinya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Menantu idaman sudah ada di depan mata, bagaimana mungkin ia akan melepaskannya begitu saja?

Karenanya, apa pun yang keluar dari lisan Selena, ia akan mendukungnya. Sekalipun putranya yang seperti bongkahan es itu harus menderita sakit perut karenanya. Ia tahu putranya sangat tidak suka makan pedas, namun, apa salahnya berkorban sedikit saja?

Siapa tahu rasa panas membakar akibat lada itu bisa mencairkan hatinya yang membeku, ‘kan? Siapa yang tahu.

“Selena benar, Arjuna! Kenapa kau tidak mau memakan supnya?” timpal sang ibu dengan tatapan penuh peringatan pada putranya, yang kini hanya balas menatap ibunya datar. Menghela napas dalam sebelum akhirnya meraih mangkuk itu dan menggerakkan sendok dengan begitu enggan.

“Kenapa kau terlihat begitu tak bersemangat? Kau tidak boleh menyambut rezeki dengan tampang muram seperti itu, Tuan. Apakah kau ingin aku menyuapimu? Jika ya, katakan saja. Aku akan dengan senang hati membantumu,” tutur Selena dengan nada riang yang membuat bulu kuduk Arjuna seketika meremang.

Namun, Arjuna yang berada tepat di hadapannya, jelas sekali bisa melihat binar penuh antusias dari manik sebening kristal gadis itu. Bukan antusias yang lahir dari ketulusan tentu saja. Melainkan antusias yang lahir dari ketidaksukaan yang mengandung hasrat kuat untuk mencelakainya. Dan yang lebih membuatnya kesal, ibunya jelas sekali tahu rencana gadis ini, dan dengan begitu ringan mendukungnya? Oh, sungguhkah ia anak kandung dari mereka?

Dengan perasaan jengkel, Arjuna dengan cepat menghabiskan sup itu. Dan seketika, wajahnya memerah, sementara matanya berair, menahan rasa pedas yang berada di luar batas toleransinya. Dan tidak butuh waktu lama, penolakan tubuhnya akan benda yang baru saja ia masukkan paksa ke dalam tubuhnya membuat wajahnya memucat. Perutnya terasa begitu sakit laksana dihujani puluhan anak panah. Terasa perih dan panas hingga membuatnya dipenuhi oleh keringat dingin.

“Nak Arjuna, apa yang terjadi denganmu? Apa kau baik-baik saja?” Itu suara ibu Selena, yang bertanya dengan nada penuh kekhawatiran.

“Aku baik-baik saja, Tante,” sahut Arjuna dengan nada begitu berat karena menahan rasa sakit yang tak tertahankan.

Ibu Arjuna bukan tak mengkhawatirkan putranya. Tapi ia tahu putranya akan baik-baik saja. Fisiknya sangat bagus. Dan ia pasti bisa melaluinya dengan baik. Bersabarlah, Nak. Ini semua demi kebaikanmu.

“Oh, aku sungguh lupa jika Arjuna tidak bisa makan lada,” kata ibunya dengan nada khawatir yang sengaja dibuat dramatis, menoleh ke arah Selena dengan tatapan panik. “Sayang, apakah kau keberatan meminjamkan ruang tamu untuk Arjuna? Ia akan baik-baik saja setelah berbaring sebentar dan minum obat,” lanjutnya dengan tatapan yang tak mungkin bisa ditolak Selena.

Selena jelas sekali cukup terkejut dengan reaksi Arjuna setelah menghabiskan sup itu, lihatlah wajah sebening kristalnya yang seketika memucat dengan kening yang dipenuhi oleh keringat dingin. Tidak salah lagi, lelaki ini tidak sedang berpura-pura.

Dan tiba-tiba saja, Selena dihinggapi oleh perasaan bersalah yang membuatnya sedikit khawatir. Bagaimana jika lelaki ini mati akibat keisengannya?

Namun, kenapa harus dirinya yang mengantarkannya beristirahat? Kenapa tidak kakaknya saja?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status