Share

8. Kesepakatan

“Kau benar sekali, aku memang bukan seorang wanita. Harga dirimu akan jatuh jika sampai kau menikah dengan orang sepertiku. Percayalah, kehadiranku dalam hidupmu akan mengacaukan sistem keteraturan yang kau pegang selama ini, jadi sebaiknya─"

“Aku membatalkan perjodohan kita?” sela Arjuna seraya menyeringai dengan kedua mata sedikit terbuka, hanya sedikit saja, seakan masih menahan rasa sakit di kepala dan perutnya. Melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan Selena perlahan.

Sebuah pertanyaan yang membuat Selena segera saja menyeringai lebar dan mengangguk bersemangat.

“Tepat sekali. Kau harus membujuk orangtuamu agar menggagalkan perjodohan ini," sahut Selena penuh semangat. Karena ia sudah tak yakin bisa membujuk ibunya. Maka jalan satu-satunya adalah meminta lelaki ini melakukannya.

"Biar kutebak, lelaki sepertimu, pasti memiliki jutaan penggemar. Kau bisa memilihnya salah satu yang kau sukai dan menjadikannya istrimu. Atau, kau sudah memiliki seseorang di sisimu?” tebak Selena dengan kedua mata membulat, sedikit membungkuk, baru tersadar akan poin penting ini.

Jika lelaki ini sudah memiliki seorang gadis di sampingnya, pasti semuanya akan jauh lebih mudah. Dilihat dari karakter yang dimiliki sosok pemuda yang terbaring tak berdaya di hadapannya ini, ia pastilah bukan jenis pemuda yang akan dengan mudah menyerah begitu saja terhadap keinginan hatinya. Dan sudah pasti, akan memperjuangkan cintanya, apa pun yang terjadi.

Pikiran itu, serta merta membuat Selena tersenyum lebar meskipun belum mendapatkan jawaban dari Arjuna.

“Bagaimana denganmu?” Arjuna membuka kedua matanya secara perlahan. “Apakah kau sudah memiliki seseorang yang berada di sisimu?” lanjutnya dengan kening berkerut samar. Tatapannya seakan menanti jawaban Selena penuh kesungguhan.

Mendapati pertanyaan yang disampaikan dengan ekspresi yang teramat serius dari manusia lemah di hadapannya itu, sungguh, Selena tak mampu menahan diri untuk tergelak. Melupakan bahwa pertanyaan yang ia lontarkan belumlah dijawab oleh lelaki itu.

“Oh ayolah, usiaku baru 24 tahun. Aku masih ingin terbang bebas seperti burung-burung di alam liar. Bagaimana mungkin aku membiarkan diriku memiliki ikatan rumit seperti itu?” balas Selena yang pikirannya seketika mengarah pada pasangan-pasangan tidak sah masa remaja. Mereka bilang itu adalah masa paling menyenangkan, namun, definisi kata menyenangkan di benak Selena jelas sekali sangat berbeda dengan remaja pada umumnya.

Baginya, di mana letak menyenangkannya jika ke mana-mana harus berpamitan, tidak boleh dekat-dekat dengan teman lawan jenis, harus ini dan harus itu. Oh, yang benar saja. Ia sungguh tak bisa membayangkan hidupnya dikendalikan sedemikian rupa oleh orang lain yang belum tentu menjadi teman sehidup sematinya kelak.

Tanpa Selena sadari, jawabannya itu membuat Arjuna tersenyum samar. Sangat samar sampai Selena yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri tak menyadarinya.

Bagi Arjuna yang pernah mengalami betapa menyakitkannya sebuah pengkhianatan, tentu ia sama sekali tak ingin melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan sahabat dan mantan kekasihnya itu. Karena ia sungguh tak sudi menjadi bagian dari mereka.

Karenanya, pernyataan gadis yang tengah dijodohkan dengannya ini, membuatnya kehilangan alasan untuk menolaknya dengan keras.

Andai saja Selena mengatakan bahwa ia memiliki kekasih, ia akan dengan tegas menolak perjodohan ini. Sekalipun gadis ini telah mengambil hati kedua orangtuanya hingga membuat mereka dengan senang hati mengorbankan putra mereka sendiri.

“Benarkah? Bagus kalau begitu,” balas Arjuna dengan nada lemah, bibirnya bahkan hanya bergerak samar, kembali terpejam dengan erat.

Sebuah respon yang seketika membuat Selena terbeliak. “Hey,” serunya. “Apa maksudmu?” lanjutnya dengan kening berkerut dalam dan kedua alis busur panahnya saling bertautan.

“Aku tak memiliki alasan untuk menolak perjodohan ini,” lirih Arjuna tanpa membuka matanya. Bahkan ketika mengucapkan kalimat itu, nada suaranya begitu datar, seakan masalah pernikahan tak memiliki arti apa pun baginya. Sehingga mudah saja menikahi siapa pun wanita yang dipilihkan untuknya.

Demi mendengar kalimat Arjuna yang dikatakan dengan begitu ringan seakan tanpa beban itu, Selena benar-benar kehabisan kata, mulutnya membuka lebar, namun kembali menutup dengan tatapan seakan sama sekali tak mengerti kenapa uang seratus juta di akun banknya tiba-tiba lenyap. Mencengkeram kepalanya frustrasi, sebelum akhirnya berhasil mengeluarkan suara kejengkelannya dari kerongkongan yang sempat tertahan.

“Kau … Aku tidak mau menikah denganmu,” geram Selena. Menatap tajam lelaki yang masih memejamkan matanya dengan begitu erat itu, bulu matanya yang lentik saling beradu, dadanya naik turun dengan begitu teratur, bibirnya yang merona merah nan kering sedikit terbuka. Membuat Selena harus segera memalingkan pandangannya jika tidak ingin terjerat oleh ketampanan lelaki yang dipaksa menjadi suaminya itu.

“Tapi kau tidak memiliki pilihan lain, bukan? Ibumu khawatir kau memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Demikian pula dengan ibuku. Sudah tak terhingga berapa kali aku menolak perjodohan yang dilakukan ibuku, dan sepertinya, kau juga memiliki pengalaman yang sama denganku,” tutur Arjuna telak, membuat Selena langsung menoleh ke arahnya, hanya untuk mendapati bulu matanya yang begitu panjang nan lentik masih saling beradu, menyembunyikan manik sehitam arang di bawah kelopaknya.

Bagaimana bisa lelaki ini menebak dengan begitu akurat permasalahan yang ia hadapi?

“Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?” lanjut Arjuna dengan nada suara yang masih terdengar lemah. Membuka kedua matanya perlahan.

“Kesepakatan?” ulang Selena dengan kening berkerut dalam.

“Ya, kesepakatan. Kita akan menikah sebagaimana yang mereka inginkan. Namun, kita memiliki kesepakatan rahasia yang hanya kita berdua yang tahu. Bagaimana menurutmu?” usul Arjuna, menatap lurus pada manik sewarna madu yang kini balas menatapnya, yang dari sana, Arjuna tahu, gadis jadi-jadian ini tengah mempertimbangkan usulannya.

Arjuna tentu saja tidak akan menawarkan kesepakatan pernikahan ini pada sembarang wanita. Ia melakukannya karena gadis ini, adalah satu-satunya wanita asing yang berhasil membuatnya tetap menjadi lelaki normal meskipun tanpa sengaja menyentuh kulitnya. Dan lagi, karakter sosok Selena yang begitu berani dan sepertinya sangat sulit dikendalikan itu, sepertinya tak akan menyulitkan dirinya ketika mereka telah menikah. Seperti, menuntut hal-hal sebagai pasangan suami istri yang sama sekali tak ia kehendaki.

“Kesepakatan seperti apa yang kau inginkan?” tanya Selena dengan tatapan penuh penilaian, menyusuri setiap inchi wajah Arjuna penuh ketelitian, seakan tak ingin melewatkan gestur sekecil apa pun yang menunjukkan emosi dari lelaki itu yang sesungguhnya. Karena jika tidak, ia bisa saja jatuh terjerembab dalam jebakannya, bukan?

Namun, sekeras apa pun Selena berusaha menemukan kejanggalan darinya, tak ia dapati selain kejujuran atas apa yang baru saja lelaki itu katakan. 

“Aku akan menyusunnya nanti, kau juga menyusunnya. Kita akan menikah, tetapi kita akan menjadikan kesepakatan itu sebagai batasan yang harus kita jalankan. Namun, ketika di depan khalayak, aku ingin kita tetap berpura-pura sebagai pasangan suami istri yang normal, terutama ketika di hadapan orangtua kita. Bagaimana menurutmu?” tanya Arjuna, mengangkat sebelah tangannya dan meletakkannya di dahi sebelum akhirnya kembali terpejam.

Melihat lelaki di hadapannya itu tampak begitu tersiksa dengan kesakitan akibat ulahnya, sebagai manusia yang memiliki nurani, Selena sungguh tak tega melihatnya.

Setelah berpikir sejenak, dan merasa bahwa ia tak akan dirugikan karena perjodohan ini, Selena akhirnya menghela napas dalam dan tanpa ragu memutuskan, “Baiklah, aku setuju,” balasnya seraya beranjak berdiri, berjalan menuju lemari pendingin yang berada di ruangan itu untuk mengambil alat penurun suhu tubuh.

“Bagus,” lirih Arjuna begitu mendengar persetujan Selena. Rasa sakit di perut dan kepalanya seakan belum cukup, kini ia juga merasakan hawa membakar yang menguar dari sekujur tubuhnya. Membuatnya membuka kancing kemeja batiknya tanpa sadar dengan mata yang masih terpejam.

Selena yang kembali dengan gel beku di tangannya yang akan ia gunakan untuk menurunkan demam Arjuna, benar-benar tersentak begitu berbalik dan mendapati dada bidang Arjuna yang terbuka, tampak begitu kokoh, naik turun dengan teratur.

Gadis itu pun segera mengetuk sisi kepalanya untuk menjernihkan pikirannya dari hal-hal kotor sebagai seorang penulis fiksi yang kerap kali menulis segala hal sedetail mungkin itu.

Setelah pikirannya kembali jernih, Selena kembali duduk di tepian ranjang, menarik lengan Arjuna yang menempel di sana, yang sepertinya, lelaki itu benar-benar telah kehilangan tenaganya untuk sekadar melawan dan bertanya apa yang ia lakukan, karena untuk membuka mata saja, Selena bisa melihat betapa lelaki itu begitu enggan melakukannya.

Tanpa banyak kata, Selena menempelkan gel dingin itu di kening Arjuna. Membuat kening lelaki itu berkerut samar sedikit terkejut, namun tetap saja, sama sekali tak berniat membuka matanya.

Akan tetapi, bibir merahnya yang mengering, tampak bergerak samar. “Terima kasih,” gumamnya yang nyaris tak mampu didengar oleh siapa pun. Hanya karena Selena tepat berada di hadapannya dengan jarak yang cukup dekatlah yang membuatnya mengetahui apa yang lelaki itu gumamkan.

“Tidak perlu berterima kasih. Aku akan membuat tagihan nanti. Sekarang tidurlah. Aku akan menjagamu.”

Arjuna masih sempat menyeringai samar begitu mendengar kalimat Selena, sebelum akhirnya jatuh tertidur karena pegaruh obat yang cukup kuat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status