Share

PULANG KAMPUNG

Author: JI_MIL
last update Last Updated: 2025-08-24 21:57:18

Keesokan harinya, suasana di wisma agak berbeda. Mucikari memberi kebebasan untuk anak buahnya sejenak “healing”—memberi waktu mereka beristirahat dari rutinitas malam yang melelahkan.

“Besok malam kita kembali bekerja seperti biasa,” ujar mucikari sambil menepuk meja. “Tapi hari ini, kalian bebas. Gunakan waktu untuk diri sendiri.”

Ratri menatap sejenak teman-temannya yang mulai merencanakan jalan-jalan, belanja, atau sekadar tidur. Ia tersenyum tipis, tapi dalam hati sudah ada keputusan.

Aku harus pulang… menemui Mamih dan adik-adikku, bisiknya lirih.

Tanpa banyak berpikir, Ratri merapikan barang-barangnya. Perjalanan ke kampung halaman tidak dekat; butuh berjam-jam naik bus dan menempuh jalan berliku. Tapi hatinya menolak untuk menunda lagi. Ia ingin melihat ibu dan adik-adiknya, merasakan sedikit kehangatan keluarga yang jarang ia nikmati.

Di dalam bus, Ratri duduk menatap jendela. Hujan gerimis membuat kaca buram, dan cahaya lampu jalan berpendar di permukaan air. Setiap tetes yang menetes seolah mencerminkan lelahnya, tapi juga harapannya.

Ia membayangkan wajah ibunya yang selalu tersenyum meski sakit, dan kedua adiknya yang masih kecil, menanti kepulangannya. Perjalanan jauh itu terasa ringan karena hatinya dipenuhi rindu yang begitu dalam.

Di sepanjang jalan, kenangan masa kecilnya muncul satu per satu—main di sawah, pulang sekolah membawa makanan sederhana, dan suara tawa ibunya yang menenangkan. Semua itu membuat matanya berkaca-kaca.

Malam menjelang, bus melintasi desa-desa terpencil. Ratri menunduk di kursinya, menahan haru, sambil memikirkan apa yang akan ia katakan saat bertemu ibunya nanti. Meski lelah dan penuh luka, hatinya dipenuhi secercah kebahagiaan—perjalanan ini adalah momen di mana ia bisa sejenak menjadi dirinya sendiri, bukan Ratri di jalan gelap, tapi Ratri seorang anak yang rindu keluarga.

Bus akhirnya sampai di terminal kecil di kampung Ratri. Hujan gerimis masih turun pelan, membuat jalanan desa basah berkilau. Ratri turun, menarik napas dalam, dan menatap rumah mungil yang sudah lama ia rindukan.

Ia berlari kecil di jalan tanah menuju rumah. Pintu kayu tua itu setengah terbuka, dan dari dalam terdengar suara ibunya memanggil:

“Ratri…!”

Ratri menjerit pelan, lalu berlari memeluk ibunya. Ibunya memeluknya erat, tangannya gemetar, tubuhnya kurus karena sakit. Air mata Ratri menetes, bercampur dengan gerimis di wajahnya.

“Mamih… aku pulang…” suaranya tersedu-sedu.

Ibunya menepuk punggung Ratri, suara lembut tapi penuh getar:

“Rat… nak… aku senang kamu pulang. Aku… kangen sama kamu.”

Ratri melepas napas panjang, seakan semua beban di pundaknya tercurah dalam pelukan itu. Ia menunduk, mencium pipi ibunya, merasakan hangatnya tubuh yang selama ini ia rindukan.

Kedua adiknya muncul dari dalam rumah, mata mereka berbinar. “Ratri… Kakak!” seru mereka, berlari memeluknya. Ratri membalas pelukan itu, air matanya mengalir deras, tapi kini bukan karena malu atau rasa bersalah—melainkan kebahagiaan murni.

Ia duduk bersama ibunya di ruang tamu sederhana, membicarakan hari-hari yang telah terlewati. Ibunya bercerita tentang sakit yang dialami, tentang kedua adik yang terus menanyakan kakaknya. Ratri mendengarkan dengan seksama, sesekali menghapus air mata ibunya, dan berjanji dalam hati untuk tetap menjaga keluarga ini—meski dunia di luar sana keras dan penuh luka.

Malam itu, di rumah mungil yang hangat itu, Ratri merasakan ketenangan yang jarang ia rasakan di wisma atau jalanan kota. Ia tersadar: meski hidupnya penuh perjuangan, di sini ada cinta yang tulus cinta yang memberinya kekuatan untuk bertahan, untuk suatu hari nanti keluar dari kegelapan yang menjeratnya.

Di dapur rumah mungil itu, aroma sayur dan bumbu tradisional menguar hangat. Ratri dan kedua adiknya sibuk menyiapkan makan malam. Ia memotong sayuran, sementara adik-adiknya membantu menata piring dan mencuci beras.

Tangan Ratri sedikit gemetar saat ia menumis bumbu, dan air mata menetes pelan di pipinya. Ia mencoba menyeka dengan lengan, tapi tidak sepenuhnya berhasil.

“Kenapa, Kakak?” tanya adiknya yang paling kecil, menatapnya dengan mata polos.

Ratri tersenyum samar, mencoba menutupi perasaannya. “Ah… nggak apa-apa, Nak. Kakak cuma… kangen, itu saja.”

Hatinya berat. Ia ingin tinggal di kampungnya, merasakan kedamaian bersama keluarga, jauh dari jalan gelap dan hiruk-pikuk kota. Namun takdir berkata lain—ia masih harus kembali ke wisma, menanggung tanggung jawab yang tidak bisa dihindari.

Sambil memotong bawang, Ratri menelan ludah, menahan sesak di dadanya. “Kalau aku bisa, aku ingin selalu di sini… tapi aku harus kuat, demi Mamih dan kalian. Kakak janji, suatu saat nanti kita akan hidup lebih baik,” bisiknya lirih, hampir seperti doa.

Adik kecilnya mengangguk, meski tidak sepenuhnya mengerti. Ia meraih tangan Ratri dan menggenggamnya dengan lembut. “Kita tunggu Kakak ya… jangan sedih.”

Ratri tersenyum, air matanya perlahan berhenti. Meski hatinya teriris oleh kenyataan, momen sederhana ini—memasak, tertawa, dan bersama keluarga—memberinya kekuatan untuk kembali menghadapi dunia luar yang keras. Ia sadar, cinta keluarganya adalah cahaya kecil yang selalu menyinari jalan gelapnya.

Baik, aku lanjutkan adegannya dengan suasana hangat saat Ratri dan keluarganya makan bersama:

Akhirnya, semua hidangan tersaji di meja kayu sederhana. Nasi hangat, sayur asem, ayam goreng, dan sambal merah yang pedas menggoda. Lampu minyak kecil memantul di wajah mereka, menciptakan kehangatan yang jarang Ratri rasakan di kota.

Ratri duduk di tengah, disamping ibunya, sementara kedua adiknya mengambil piring mereka. Mereka mulai menyuap makan malam dengan lahap. Suara sendok yang beradu piring dan canda ringan mengisi ruangan.

Ratri menatap ibunya, tersenyum tipis. “Mamih… rasanya enak sekali. Rasanya sudah lama kita makan seperti ini.”

Ibunya tersenyum, meski wajahnya kurus dan lesu. “Iya, Nak. Senang sekali kamu bisa pulang. Sudah lama kita tidak makan bersama seperti ini.”

Adik kecilnya menatap Ratri dengan mata berbinar. “Kakak, besok kita bisa masak bareng lagi, kan?”

Ratri merasakan dada sesak, campur aduk antara rindu dan kesedihan. Ia menunduk sejenak, menahan air mata yang hampir jatuh. “Tentu… Kakak janji,” gumamnya pelan.

Mereka tertawa kecil, bercanda, dan menikmati hidangan sederhana itu. Di tengah kesederhanaan itu, Ratri merasa hangat—bukan karena makanan, tapi karena cinta keluarganya.

Hati Ratri dipenuhi rasa syukur dan haru. Meski ia tahu besok atau beberapa hari lagi harus kembali ke kota, ke jalanan gelap yang menantinya, malam ini ia bisa merasa utuh. Sekali lagi, cinta keluarganya menjadi cahaya yang menembus kegelapan hidupnya.

Malam itu, setelah ibunya dan kedua adiknya tidur, Ratri duduk di beranda rumah. Hanya suara jangkrik dan angin malam yang menemani. Lampu temaram dari rumah kecil memantul di wajahnya yang muram.

Ia menatap jendela kamar ibunya, bayangan ibunya yang sedang menidurkan adik-adiknya terlihat samar. Ratri menelan ludah, dada terasa sesak. Rindu yang menumpuk bercampur dengan kesedihan karena ia tahu besok atau lusa harus kembali ke kota—ke dunia gelap yang selalu menunggunya.

Air matanya menetes pelan. Ia menutup wajah dengan tangan, menahan isak yang ingin keluar. Andai aku bisa tinggal di sini… andai aku bisa selalu menjaga mereka… gumamnya dalam hati.

Ia merasakan betapa beratnya hidup yang harus ia jalani—menjadi tulang punggung keluarga di usia muda, menghadapi dunia yang tidak pernah ramah. Tapi ia menegaskan dalam hati: Aku harus bertahan… demi Mamih, demi adik-adikku. Suatu saat nanti, pasti ada jalan keluar.

Ratri duduk diam, menatap rumah yang hangat itu, menahan air mata, dan menyimpan rindu dalam hatinya. Malam itu sunyi, namun hatinya dipenuhi oleh cinta yang memberi kekuatan meski pahit, tapi tetap menjadi cahaya kecil di jalan gelapnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap    CAHAYA KERINDUAN

    Hari-hari berikutnya, Ratri merasa hidupnya berbeda. Biasanya ia menganggap malam hanya rutinitas: berdiri di jalan, menunggu mobil berhenti, lalu berpura-pura tersenyum pada wajah asing. Namun kini ada sesuatu yang ditunggu: pertemuannya dengan pria itu.Mereka mulai sering bertemu, bukan di hotel atau kamar remang, melainkan di café, taman kota, bahkan kadang hanya duduk di dalam mobil sambil mendengarkan musik pelan. Obrolan mereka tidak pernah habis.Pria itu bercerita tentang masa mudanya bagaimana ia dulu pernah jatuh cinta pada seorang gadis sederhana, tapi kehilangan karena perbedaan restu keluarga. Tentang kerja keras membangun bisnisnya dari nol. Tentang kesepian yang sering menghampiri meski kini hidupnya serba berkecukupan.Ratri mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia kagum, sekaligus merasa aneh, karena seorang pria berkelas sepertinya mau berbagi luka dengan dirinya, seorang perempuan yang tiap malam menjual tubuh demi uang.“Kadang aku iri pada kamu,” ucap Ratri suatu

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   PRIA ASING

    Malam itu, jalanan masih ramai. Lampu neon dari warung-warung menyinari tubuh Ratri yang berdiri di pinggir jalan dengan pakaian seksi yang membentuk lekuk tubuhnya. Ia berdiri anggun, dengan senyum tipis yang lebih mirip topeng.Tak lama kemudian, seorang laki-laki paruh baya menghampirinya. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan, dan pakaiannya rapi.“Hai nona! Untuk semalam saja aku harus membayar berapa?” ucapnya dengan nada santai.“Satu juta saja, Tuan,” jawab Ratri cepat, senyum tipis terpasang di wajahnya.Pria itu mengangkat alis, tersenyum singkat. “Kecil.”Tanpa banyak bicara lagi, Ratri menggandeng pria itu menuju kamar. Sesampainya di sana, ia menyalakan lampu redup, lalu perlahan melepaskan tasnya. Dengan gerakan tenang, Ratri mulai membuka kancing kemeja pria tersebut.Namun pria itu hanya duduk diam di tepi ranjang, tidak melakukan apa-apa. Ia menatap Ratri, membiarkan perempuan itu membuka satu per satu kancing bajunya. Senyum samar terlukis di wajahnya, seakan lebih menikma

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   PULANG KAMPUNG

    Keesokan harinya, suasana di wisma agak berbeda. Mucikari memberi kebebasan untuk anak buahnya sejenak “healing”—memberi waktu mereka beristirahat dari rutinitas malam yang melelahkan.“Besok malam kita kembali bekerja seperti biasa,” ujar mucikari sambil menepuk meja. “Tapi hari ini, kalian bebas. Gunakan waktu untuk diri sendiri.”Ratri menatap sejenak teman-temannya yang mulai merencanakan jalan-jalan, belanja, atau sekadar tidur. Ia tersenyum tipis, tapi dalam hati sudah ada keputusan.Aku harus pulang… menemui Mamih dan adik-adikku, bisiknya lirih.Tanpa banyak berpikir, Ratri merapikan barang-barangnya. Perjalanan ke kampung halaman tidak dekat; butuh berjam-jam naik bus dan menempuh jalan berliku. Tapi hatinya menolak untuk menunda lagi. Ia ingin melihat ibu dan adik-adiknya, merasakan sedikit kehangatan keluarga yang jarang ia nikmati.Di dalam bus, Ratri duduk menatap jendela. Hujan gerimis membuat kaca buram, dan cahaya lampu jalan berpendar di permukaan air. Setiap tetes ya

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   FLASHBACK

    Keesokan harinya, matahari baru saja naik, tapi wisma sudah mulai riuh. Suara musik, langkah kaki, dan percakapan antar penghuni bercampur menjadi satu.Ratri bangun dengan wajah lelah, sisa tangis semalam masih meninggalkan sembap di matanya. Ia menatap cermin kecil di sudut kamar. Sejenak ia terpaku—melihat seorang perempuan dengan riasan pudar, senyum yang dipaksakan, dan mata yang tampak lebih tua dari usianya.Ia menarik napas panjang, lalu mulai merias wajahnya lagi. Lipstik merah, bedak tipis, eyeliner. Topeng yang sama yang selalu ia kenakan.Saat keluar kamar, ia tersenyum seperti biasa kepada teman-temannya. “Pagi, Rat,” sapa seorang PSK lain sambil menyalakan rokok.“Pagi…” jawab Ratri ringan, seolah tidak ada yang salah.Mereka bercanda, tertawa, dan membicarakan pelanggan malam sebelumnya. Ratri ikut tertawa, meski hatinya kosong.Ketika malam tiba, ia sudah kembali duduk di pinggir jalan, mengenakan gaun ketat berwarna hitam, menunggu pelanggan yang lewat. Angin malam me

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   PELANGGAN BARU

    Oke, kita lanjutkan ya. Kali ini Ratri akan bertemu pelanggan baru—seorang pria super kaya. Adegan ini bisa jadi titik awal perubahan hidupnya, sekaligus menambah lapisan konflik (antara uang besar, martabat, dan jalan hidup yang ia jalani).Bab 3Malam itu jalanan mulai dipenuhi lampu-lampu neon. Wisma kembali ramai. Musik dangdut samar terdengar dari kafe sebelah, bercampur dengan suara kendaraan yang lalu-lalang.Ratri berdiri di sudut jalan dengan gaun merah menyala yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menata hati. Senyumnya kembali terlukis, meski dalam hatinya ada hampa yang tak bisa ia sembuhkan.Dari kejauhan, sebuah mobil hitam mewah berhenti. Lampunya terang, bodinya mengkilap—jelas bukan mobil pelanggan biasa. Pintu belakang terbuka, dan keluar seorang pria sekitar empat puluhan. Wajahnya bersih, rapi, dengan jas mahal yang tampak baru saja dipakai untuk sebuah jamuan penting.Langkahnya tenang, penuh percaya diri. Sesaat matanya menatap ke arah der

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   BERTEMU IBU

    Subuh hampir tiba ketika Ratri kembali ke wisma tempat para perempuan malam itu berkumpul. Lampu-lampu neon masih menyala, sebagian kursi kosong, hanya menyisakan beberapa PSK lain yang baru pulang dari “pekerjaan”. Di sudut ruangan, seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun duduk dengan wajah tegas. Dialah Yuni, mucikari yang mengatur para gadis di bawah kendalinya.Ratri melangkah mendekat dengan hati-hati. Di tangannya ada amplop kecil berisi sebagian uang hasil malam itu. Ia meletakkannya di meja di depan Yuni.“Ini, Kak… bagian untuk malam tadi,” ucap Ratri lirih.Yuni menghitung cepat, lalu menyelipkan uang itu ke dompet tanpa ekspresi. Tatapannya lalu beralih pada Ratri. “Bagus. Kau termasuk rajin, Ratri. Pelanggan juga banyak yang suka sama kamu. Kalau terus begini, kamu bisa cepat lunasi utangmu di sini.”Ratri menunduk, menahan getir. Lalu, dengan suara hati-hati ia berkata,“Kak Yuni… bolehkah aku pulang sebentar hari ini? Mamih lagi sakit. Aku sudah kumpulkan uan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status