Jeritan tak bersuara dari makhluk-makhluk bayangan masih menggema di kepala para pemanah ketika teriakan keras memecah udara.
“Perisai aktif!” Salah satu penyihir dari Divisi Sihir Ketiga berteriak sambil mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Di belakangnya, puluhan penyihir lain bersatu dalam formasi rumit, mantra-mantra kuno berpendar dalam bahasa tak dikenal. Cahaya biru keperakan memancar dari tanah dan menjalar ke langit, menciptakan kubah transparan yang menyelimuti garis pertahanan Silvercrest dan Kerajaan Eldoria. Udara mendadak bergetar pelan, seperti bernapas bersama mantra. Rumput yang tertutup embun sihir mulai berpendar halus, dan langit di atas mereka seolah memantulkan gema perlindungan. Beberapa prajurit terdiam, menyaksikan keindahan magis itu dengan mata yang nyaris berkaca-kaca seolah melihat keajaiban di tengah neraka. Begitu perisai terbentuk, kabut sihir yang menggulung berhenti tepat di hadapan dinding tak kasatmata itu,Kegelapan mengendap seperti kabut pekat di langit-langit ruang bawah tanah. Dindingnya terbuat dari batu hitam yang penuh ukiran kuno, tulisan dalam bahasa yang telah lama dilupakan dunia. Bau darah, debu, dan dupa hitam mengisi udara. Di tengah ruangan, sebuah lingkaran sihir selebar empat meter bersinar redup dengan cahaya merah, seperti jantung yang berdetak pelan namun mengancam. Azrael berdiri tepat di tengah lingkaran itu, kepalanya mendongak ke arah cahaya merah yang menggantung di udara seperti mata iblis. Ia berbicara dalam bahasa tua yang kasar dan tajam, setiap suku kata yang keluar dari bibirnya seperti pisau yang menyayat udara. “Nek’rhas viendel... Azmora aethel, thuris vemnarn...” Mantra itu tidak sekadar dipanjatkan ia menuntut, memanggil sesuatu dari kedalaman yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Di sekelilingnya, lilin hitam meleleh seperti darah, membentuk pola yang menyatu dengan lingkaran sihir. Kekuatan yang dipanggil Azrael bu
Kabut hitam menggantung rendah di perbukitan tempat markas pasukan Azrael berdiri. Hutan terbakar, reruntuhan menumpuk, dan mayat-mayat tidak lagi dipisahkan antara kawan dan lawan. Suara burung tidak terdengar. Hanya angin dingin yang menusuk, dan aroma darah yang menempel di udara. Di dalam tenda pusat strategi, ketegangan meledak. “Ini rencanamu?! Membawa kita masuk ke lembah itu hanya untuk membuat kita dikepung dari dua sisi?!” suara Leander melengking, penuh amarah. Jubah perangnya robek di bahu, dan luka berdarah mengalir dari pelipisnya. Azrael berdiri membelakanginya, tubuhnya diam di depan meja peta. Lengan bajunya sobek, memperlihatkan bekas bakar sihir yang belum sepenuhnya sembuh. Bahunya naik turun pelan, napasnya berat. Tapi bukan karena kelelahan melainkan karena kemarahan yang lebih dalam daripada bara api. “Kau mengorbankan ratusan undead untuk menyerang benteng mereka dari lembah, dan sekarang kita yang terjebak! Kau tahu me
Suara langkah Caine mengiris senyap seperti bilah belati. Ia menerobos masuk ke tenda komando, debu hitam masih menempel di mantel dan pelipisnya basah oleh keringat. Sorot matanya tajam, seolah baru melarikan diri dari mulut neraka. Tenda komando dipenuhi aroma logam dan keringat, cahaya sihir redup berpendar dari kristal-kristal di atas meja strategi. Peta medan perang terbentang dengan pin-pin sihir menyala merah dan biru, sebagian bergeser sendiri saat garis pertempuran berubah. Angin dingin menembus dari celah kain tenda, membawa bau darah dan debu. “Mereka mulai retak,” ucapnya cepat. “Pasukan bayangan bergerak mundur.” Kepala-kepala langsung menoleh. Suasana tenda yang tegang berubah jadi bara. Lucien yang berdiri di sisi meja strategi langsung menegakkan tubuhnya, tatapannya beradu dengan milik Caelum. Dalam sepersekian detik, semua orang mengerti: ini bukan jebakan. Ini bukan umpan. Azrael sedang... tertekan. “Retakan di sis
Jeritan tak bersuara dari makhluk-makhluk bayangan masih menggema di kepala para pemanah ketika teriakan keras memecah udara. “Perisai aktif!” Salah satu penyihir dari Divisi Sihir Ketiga berteriak sambil mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Di belakangnya, puluhan penyihir lain bersatu dalam formasi rumit, mantra-mantra kuno berpendar dalam bahasa tak dikenal. Cahaya biru keperakan memancar dari tanah dan menjalar ke langit, menciptakan kubah transparan yang menyelimuti garis pertahanan Silvercrest dan Kerajaan Eldoria. Udara mendadak bergetar pelan, seperti bernapas bersama mantra. Rumput yang tertutup embun sihir mulai berpendar halus, dan langit di atas mereka seolah memantulkan gema perlindungan. Beberapa prajurit terdiam, menyaksikan keindahan magis itu dengan mata yang nyaris berkaca-kaca seolah melihat keajaiban di tengah neraka. Begitu perisai terbentuk, kabut sihir yang menggulung berhenti tepat di hadapan dinding tak kasatmata itu,
Perbatasan utara yang dulu hanya berisi ladang berbatu dan reruntuhan lama kini telah menjadi medan tempur. Di tengah medan yang sunyi, jejak perang tampak jelas tanah terbelah, tenda-tenda robek oleh panah dan sihir, serta udara yang dipenuhi bau mesiu dan darah. Kabut tipis bergulung di antara puing-puing, membawa suara gemeretak armor logam dan bisikan angin dingin yang mengiris kulit. Beberapa burung hitam terbang rendah, mengitari langit abu-abu yang seakan menunggu pecahnya neraka. Barisan pasukan Silvercrest dan Kerajaan berdiri membentang di sisi barat perbatasan, tepat sebelum dinding bebatuan alami yang dikenal sebagai Taring Utara. Di atas sebuah menara strategi yang dibangun dari batu dan logam, berdiri Lucien Silvercrest, mengenakan jubah tempur kebesaran keluarga Silvercrest yang berwarna hitam keperakan. Dari tempatnya berdiri, Lucien bisa melihat seluruh lembah membentang seperti mangkuk raksasa, dengan kabut mengendap di dasarnya. Suara dentang l
Malam semakin larut. Waktu berjalan lambat namun pasti, seolah enggan beranjak dari ketenangan yang melingkupi kediaman Silvercrest. Langit di luar pekat, nyaris tak berbintang. Kabut tipis menyelimuti halaman luar, dan embusan angin musim dingin menyusup melalui celah-celah jendela tua, menebar bisikan sunyi ke seluruh ruangan. Suara detik jam tua di sudut ruangan terdengar jelas, seperti satu-satunya bukti bahwa waktu masih berjalan. Tirai tipis bergoyang perlahan, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding seolah malam memiliki nyawa yang diam-diam mengawasi. Cahaya dari lampu minyak di sudut ruangan masih menyala redup, sesekali berkelip ditiup angin. Nyala kecil itu melemparkan bayangan panjang di dinding bayangan ranjang, bayangan meja, dan bayangan seorang pemuda yang duduk di kursi, menatap diam ke arah tempat tidur. Ethan duduk di sana, tubuh tegapnya terbungkus pakaian pelayan rapi, matanya tak pernah benar-benar terpejam meski lelah mul
Ramuan itu membawa ketenangan yang aneh. Hangat, manis, dan menenangkan, namun juga meninggalkan berat di kelopak mata Elian. Udara di sekitarnya pun terasa lebih sunyi, seolah suara dunia memudar bersama kesadarannya. Cahaya lampu minyak di pojok ruangan meredup, memantulkan bayangan lembut ke dinding kayu yang usang. Hangat ranjang bertemu dengan dingin udara malam menciptakan kontras yang memeluk tubuhnya perlahan. Setelah meneguknya, tubuhnya kembali tenggelam dalam keheningan ranjang, napasnya mulai perlahan dan teratur. Ia ingin membuka matanya, berbicara, atau sekadar bergerak. Tapi semuanya terasa seperti sedang melawan arus air yang sangat deras. Dunia di sekitarnya memudar menjadi kabut samar. Ia tahu Ethan ada di sana selalu di sana. Bahkan saat matanya tertutup dan pikirannya melayang, ia bisa merasakan kehadiran itu… terasa dalam bentuk kehangatan yang menjalari ujung jari, dalam sentuhan lembut yang menarik selimut hingga ke dadanya. Sesek
Senja belum benar-benar tenggelam saat pintu kamar kembali terbuka. Cahaya oranye keemasan menyelinap dari jendela, menggambar siluet lembut di lantai marmer dan tirai yang bergoyang pelan. Langkah-langkah yang masuk kini tak lagi ragu, tak asing bagi telinga Elian. Suara gesekan sepatu dengan lantai, begitu pelan namun mantap, terdengar jelas di antara hening yang menebal seperti kabut. Napasnya bahkan bisa mengenali suara itu tanpa perlu melihat. Ada sesuatu dari cara pintu didorong dengan perlahan, dari langkah tenang namun mantap yang begitu dikenal seperti irama dari sebuah lagu lama yang mengisi masa lalu. “Elian.” Nama itu meluncur dari bibir Ethan, lembut, seperti bisikan. Suaranya mengandung kekhawatiran, tapi tak sedikit pun mengguncang ketenangannya. Elian membuka mata dan menatap pemuda itu. Ethan mengenakan pakaian sederhana berwarna abu gelap, lengan digulung hingga siku. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin luar, dan di tangannya ada s
Perlahan, kelopak matanya terbuka. Cahaya samar menembus masuk, menusuk penglihatannya yang kabur. Saat pandangannya mulai menyesuaikan, ia mendapati langit-langit kamar yang tak asing kayu tua berukir halus, warna cokelat kelam yang telah lama ia kenali. Tirai jendela dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya keperakan fajar merayap masuk, jatuh ke lantai batu yang dingin. Di sudut ruangan, meja kayu dipenuhi gulungan perban, cawan logam, dan sebotol cairan berwarna gelap. Aroma khas ruangan itu campuran kayu, rempah, dan sedikit bau obat segera memenuhi kesadarannya. Di kejauhan, suara burung-burung pagi terdengar samar, seperti dunia di luar sedang melanjutkan hidupnya tanpa menunggu siapa pun. Ia ada di kamar miliknya. Di kediaman Silvercrest. Tubuhnya serasa terbakar. Tepat saat kesadarannya kembali utuh, rasa nyeri datang seperti ombak, menghantam setiap sarafnya. Ia mengerang pelan, merasakan luka di bahunya, dada yang tertusuk nyeri, dan yan