Share

BAB 79

Penulis: Rayna Velyse
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-21 21:45:35

Caelum menghela napas frustrasi di dalam kamarnya. Tangannya mengepal di atas meja, jemarinya sedikit bergetar menahan emosi yang membuncah di dadanya. Rahangnya mengatup rapat, seakan menahan sesuatu yang ingin ia teriakkan. Matanya menatap tajam ke arah Gavier yang masih berdiri di dekat pintu, menjaga dirinya dengan penuh kewaspadaan. Sekalipun ruangan itu luas, ia merasa seolah terkurung dalam tekanan yang semakin menghimpit. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara detak jam yang seakan mempermainkan pikirannya yang kalut.

"Apa aku membuat kesalahan?" tanyanya akhirnya, suaranya bergetar tipis, seolah tak yakin pada dirinya sendiri. Rahangnya mengatup, dan dadanya naik turun dalam ritme napas yang berat. Ada kepanikan yang berusaha ia tekan, tetapi semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin jelas rasa frustrasi itu terasa.

Gavier, yang sedari tadi memperhatikan sikap Caelum, menghela napas panjang sebelum akhirnya mengambil sikap yang lebih santai.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Sisa Takdir   BAB 80

    Tiga hari telah berlalu, namun tak ada tanda-tanda Caelum menemui keluarga Silvercrest. Entah dia masih bingung atau ada halangan lain yang menghambatnya. Elian duduk di taman rumahnya, menyeruput teh hangat dengan tenang. Mata merahnya menatap kosong ke arah langit yang cerah, sementara angin sepoi-sepoi menerpa rambut hitamnya. "Caine, apakah ada pergerakan dari Azrael yang kau ketahui?" tanya Elian tanpa menoleh. Caine, yang berdiri tak jauh darinya, melangkah mendekat lalu mengecilkan suaranya, "Saat ini tidak ada, Tuan. Saya dengar dia selalu berada di ruang kerjanya, mengurus wilayahnya. Tidak ada kabar tentang tindakan mencurigakan yang dilakukannya." Elian meletakkan cangkirnya dengan anggun di atas meja kecil di sampingnya. "Benarkah? Apakah kau masih menemuinya?" Caine menegakkan badannya. "Tidak, saya hanya selalu mengirim surat untuk melaporkan tentang Anda." Elian tersenyum kecil, namun tak ada keceriaan dalam senyum itu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-22
  • Sisa Takdir   BAB 81

    Suasana di ruang tamu keluarga Silvercrest masih terasa tegang setelah pernyataan mengejutkan dari Pangeran Caelum. Ronan menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya tetap tajam saat menilai pria yang berlutut di hadapannya. Sementara itu, Damien tampak lebih tenang, menunggu Caelum menjelaskan lebih lanjut. Lucien menyilangkan jemarinya, menatap sang pangeran dengan sorot penuh pertimbangan. "Pangeran, kesetiaan bukan sesuatu yang bisa diberikan begitu saja tanpa konsekuensi. Anda sendiri pasti memahami hal itu. Apa yang membuat Anda begitu yakin ingin bersekutu dengan kami?" Caelum mengangkat kepalanya, matanya masih menyiratkan tekad yang sama seperti sebelumnya. "Saya telah menghabiskan waktu memikirkan ini. Ayah saya, Raja, mulai menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap rakyat. Pangeran Kedua memiliki ambisi besar, dan jika dibiarkan, ia akan menyeret kerajaan ke dalam kekacauan. Saya tidak bisa tinggal diam lagi." Damien mengangguk kecil. "Jadi,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • Sisa Takdir   BAB 82

    Percakapan itu akhirnya mereka sudahi. Pangeran Caelum diminta untuk beristirahat lebih dahulu agar dapat memulihkan tenaganya. Lucien keluar lebih dulu dari ruangan itu, diikuti oleh Elsya yang dengan sigap melangkah di belakangnya. Ronan, Damien, dan Elian masih berada di dalam ruangan, baru akan beranjak pergi ketika suara Caelum menghentikan langkah mereka. "Bolehkah aku berbicara dengan kalian?" Ronan melirik Damien sekilas sebelum kembali duduk. Ada keraguan di matanya, tetapi ketegasannya tak berkurang. "Aku mendengarkan." Caelum menarik napas dalam, matanya menatap tajam ke arah mereka. "Apakah kalian mengingat pesan monster malam itu? Dia mengatakan bahwa utusan dewa telah bangkit." Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Ronan mengusap dagunya, berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Ya, aku ingat. Lalu?" tanyanya, matanya menatap tajam ke arah Caelum. Caelum menggenggam kedua tangannya erat. "Tolong bantu aku menemukannya."

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-24
  • Sisa Takdir   BAB 83

    Ronan menatap Caelum dengan sorot mata tajam, lalu melirik Damien yang masih tampak tidak percaya dengan permintaan sang pangeran. Keheningan menyelimuti ruangan, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Akhirnya, Ronan menarik napas dalam dan berkata dengan tegas, "Aku tidak bisa memberi jawaban sekarang. Kami akan membicarakannya dengan keluarga terlebih dahulu. Setelah itu, baru kami akan memutuskan apakah kami akan membantumu mencari utusan dewa atau tidak." Caelum tampak ingin membantah, tetapi ia menahan dirinya. Ia tahu bahwa ini bukan keputusan yang bisa dibuat dengan mudah. "Baiklah," katanya akhirnya, meskipun jelas terlihat bahwa ia menginginkan jawaban yang lebih cepat. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ronan berdiri dan melangkah keluar, diikuti oleh Damien dan Elian. Damien masih sesekali menoleh ke belakang, memastikan bahwa Caelum tidak akan mencoba melakukan sesuatu yang mencurigakan. Ketika mereka sudah cukup jauh dari ruangan, Damien akhirny

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-25
  • Sisa Takdir   BAB 84

    Malam terasa panjang bagi Elian. Meskipun Damien sudah meninggalkan kamarnya, pikirannya masih terus berputar. Apa yang akan terjadi jika keluarganya mengetahui kebenaran ini? Bagaimana mereka akan menanggapinya? Ketakutan yang selama ini berusaha ia kubur perlahan kembali mengusik pikirannya. Apakah mereka akan tetap melihatnya sebagai Elian Silvercrest atau sebagai ancaman yang bisa membahayakan keluarga mereka? Ia menatap langit-langit kamarnya yang diterangi cahaya remang dari lilin di sudut ruangan. Bayangan nyala lilin menari di dinding, seolah menciptakan sosok-sosok samar yang mengintainya dalam kesunyian. Angin malam yang masuk melalui celah jendela terasa dingin, menusuk hingga ke tulangnya, membuatnya semakin gelisah. Ada keinginan untuk beranjak, keluar dari kamarnya, dan menguping pembicaraan mereka. Namun, ia menahan diri. Apa pun yang terjadi malam ini, ia tidak bisa mengubah kenyataan bahwa dirinya adalah utusan dewa yang mereka cari. Ia

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • Sisa Takdir   BAB 85

    Suasana pagi terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari yang menyelinap melalui celah tirai tidak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti kamar Elian. Ia terbangun dengan kepala yang masih berat, pikirannya berkabut oleh berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi setelah percakapan semalam. Ia tidak tahu keputusan seperti apa yang telah diambil keluarganya, tapi firasatnya mengatakan bahwa malam itu mengubah segalanya. Elian duduk di atas ranjang, merasakan kelembutan selimut yang membalut tubuhnya. Namun, kenyamanan itu tidak mampu menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam, tetapi bayangan percakapan Damien dan orang tuanya terus berputar di kepalanya. Apakah mereka memutuskan untuk menjauhinya? Ataukah mereka masih bisa menerimanya sebagai bagian dari keluarga Silvercrest? Terdengar ketukan pelan di pintu. Elian menoleh, lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan sebelum menjawa

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-27
  • Sisa Takdir   BAB 86

    Hari-hari berlalu dengan cepat setelah keputusan keluarga Silvercrest untuk mendukung Pangeran Caelum. Mereka tidak berjanji akan menemukan utusan dewa, tetapi mereka berkomitmen untuk membantu pangeran ketiga dalam perjuangannya. Sementara itu, keributan yang sempat terjadi mulai mereda seiring dengan persidangan yang akan segera digelar. Pangeran Caelum telah mengumpulkan bukti yang cukup kuat untuk menjatuhkan hukuman pada Tuan Rotherham, dalang dari kekacauan yang hampir menghancurkan kestabilan kerajaan. Bukti itu bukan hanya sekadar kesaksian, tetapi juga dokumen dan kesaksian para saksi yang mengarah langsung pada keterlibatan Rotherham dalam konspirasi yang terjadi. Meskipun telah memutuskan untuk berada di kubu Pangeran Caelum, keluarga Silvercrest memilih untuk tetap mengamati dan memastikan kepercayaan mereka sebelum benar-benar menyerahkan kesetiaan mereka sepenuhnya. *** Di sisi lain, Pangeran Kedua, Leander, mengamuk di kamarnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28
  • Sisa Takdir   BAB 87

    Malam terasa begitu sunyi ketika seorang pelayan mengetuk pelan pintu kamar Pangeran Kedua Leander. Ketukan itu nyaris tenggelam dalam keheningan, tetapi di dalam kamar, seseorang telah menantikannya. Dari balik pintu, Azrael berdiri dengan tenang, menunggu izin untuk masuk. Begitu pintu terbuka, ia melangkah masuk, matanya langsung menyapu ruangan yang kacau balau. Kamar Leander gelap, hanya diterangi cahaya remang dari lilin yang hampir habis di sudut ruangan. Pecahan beling berserakan di lantai, beberapa di antaranya masih berkilauan akibat pantulan cahaya. Aroma alkohol bercampur debu memenuhi udara. Namun, sebelum Azrael sempat mengamati lebih jauh, sebuah tangan mencengkeram kerahnya dengan kuat. “Bajingan! Pengkhianat sepertimu berani muncul di hadapanku?” Leander menarik Azrael dengan kasar, lalu menampar wajahnya dengan keras. Azrael terhuyung, namun dengan cepat menyeimbangkan diri. Bukannya marah, ia malah tersenyum tipis sembari menyentuh pi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01

Bab terbaru

  • Sisa Takdir   BAB 148

    Petir menggelegar di kejauhan. Cahaya putih kebiruan itu menerangi gua selama satu detik sebelum semuanya kembali tertelan hitam. Di luar, badai belum juga mereda. Air terus mengalir deras dari tebing, menabrak bebatuan dan menciptakan denting yang keras dan kacau. Namun di dalam gua, keheningan baru mulai terbentuk. Elian terlelap di pelukan Caine, napasnya mulai tenang meski masih sesekali terisak pelan dalam tidur. Tubuhnya tidak lagi gemetar seperti tadi, dan suhu tubuhnya mulai menghangat. Entah karena pelukan Caine atau karena rasa aman yang perlahan menyusup kembali ke dalam hatinya. Caine mengusap rambut Elian dengan lembut. Ia tak bergerak dari posisi itu selama berjam-jam. Bahunya kaku, punggungnya sakit karena duduk bersandar pada batu tanpa alas yang layak, tapi ia tak mengeluh. Rasa lelahnya tak sebanding dengan penderitaan yang baru saja dilalui Elian. Ia hanya bisa menjaga. Menjaga, hingga seseorang datang… atau hingga pagi tiba.

  • Sisa Takdir   BAB 147

    Langkah-langkah di luar gua perlahan menjauh, menyisakan suara gemuruh hujan yang kembali mendominasi. Caine mematung dalam diam, jantungnya masih berdetak cepat, menggema di telinga seperti genderang perang. Ia menunggu. Lima detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik... Namun tak ada suara lagi. Tak ada cahaya lentera. Tak ada teriakan. Hanya suara air yang menetes dari dinding gua, dan desir angin dingin yang membawa aroma basah dan tanah. Beberapa saat kemudian, seekor rusa kecil berlari melintas di depan gua, cipratan air dari tapaknya menyebar liar di tanah berlumpur. Hanya rusa. Hanya hewan kecil yang tersesat. Caine menghela napas panjang, perlahan. Napas yang menahan segalanya: rasa waspada, rasa takut, dan sedikit harapan. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menatap langit kelabu di mulut gua yang mulai semakin menghitam. Badai itu belum usai. Hujan deras terus mengguyur, menciptakan aliran kecil di lantai gua. Air mulai merembes

  • Sisa Takdir   BAB 146

    Hujan di luar menggila. Gemuruh air memukul tanah dengan keras, dan langit, yang sejak tadi mendung, kini sepenuhnya kelam. Malam datang lebih cepat daripada biasanya, seolah badai membawa kegelapan bersamanya. Di dalam gua kecil itu, Caine dan Elian hanya bisa mengandalkan kehangatan tubuh masing-masing untuk melawan dingin yang menembus sampai ke tulang. Elian sudah mulai tenang. Nafasnya pelan dan teratur, meskipun sesekali terdengar sedikit berat. Ia kembali tertidur, wajahnya lebih damai dibandingkan sebelumnya. Caine perlahan menyentuh dahi tuannya, telapak tangannya berhati-hati menilai suhu tubuh yang lemah itu. Hangat. Tapi tidak panas. Tidak ada demam. Caine menghela napas lega, merasakan beban berat sedikit berkurang dari dadanya. Dalam kondisi seperti ini, satu masalah kecil saja seperti demam bisa berakibat fatal. Namun kelegaannya tidak bertahan lama. Saat menurunkan tangannya, matanya menangkap warna merah yang samar di celana E

  • Sisa Takdir   BAB 145

    Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah memenuhi udara malam. Caine memandang tubuh Elian yang tergeletak di pelukannya terluka, lemah, sekarat. Setiap tarikan napas pemuda itu terdengar berat, seakan dunia terlalu kejam untuk membiarkannya bernapas lebih lama. Caine menahan napas saat merasakan betapa ringan tubuh Elian. ‘Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat di dalam, terlihat begitu rapuh dari luar?’ Ada darah di mana-mana mengalir dari luka di pahanya, dari lebam di rusuknya, dari sayatan kecil yang berserakan di seluruh tubuhnya. Caine tahu dia tak bisa diam saja. Kalau dibiarkan, Elian akan mati malam ini. Dengan gerakan cekatan yang bersembunyi di balik tangan yang gemetar, Caine membaringkan Elian di atas tanah kering, dekat api kecil yang ia buat dari ranting basah. Ia mengeluarkan kantung air dan beberapa potong kain bersih seadanya. Jari-jarinya bergerak cepat, namun pikirannya berantakan. ‘Aku gagal...’ Rasa bersalah

  • Sisa Takdir   BAB 144

    Lorong batu itu seperti mulut naga gelap, sempit, dan seolah menghirup seluruh udara dari paru-paru Elian. Setiap langkahnya menggema pelan, seakan mengumumkan keberadaannya di tengah kekacauan yang baru saja meledak di belakang. Napasnya kasar, tubuhnya berguncang dengan setiap gerakan, tapi ia tidak berhenti. Tidak bisa. Cahaya api dari ruang tahanan masih menari di dinding-dinding lorong, menciptakan bayangan liar yang bergerak bersamaan dengan langkahnya. Elian menekan dirinya ke dinding saat mendengar teriakan beberapa penjaga berusaha mengendalikan api, yang lain mulai mencari dirinya. Dia harus lebih cepat. Tangan kirinya yang bebas menggenggam tongkat kayu yang tadi ia rebut, jemarinya yang berdarah nyaris kehilangan kekuatan untuk memegangnya dengan erat. Tapi Elian tahu, bahkan tongkat sederhana ini adalah perbedaan antara hidup dan mati. Lorong itu bercabang. Tanpa waktu untuk berpikir panjang, ia memilih jalur kiri lebih gelap, leb

  • Sisa Takdir   BAB 143

    Denyut pelan di pelipis Elian terasa seperti ketukan genderang perang yang hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membangunkannya dari tepi kehancuran. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pisau tumpul, menggores bagian dalam paru-parunya. Namun di balik rasa sakit itu, ada kesadaran yang perlahan-lahan mengeras kesadaran bahwa waktu sedang habis. Ia menahan napas, mengerahkan sisa tenaga untuk tidak bergerak sembarangan. Telinganya masih berdengung, tapi ia bisa menangkap suara langkah menjauh, percakapan yang semakin memudar ke ujung ruangan. Mungkin mereka mengira ia sudah terlalu lemah untuk mendengar. Mungkin itu kesalahan pertama mereka. Dalam kegelapan yang berdenyut itu, Elian memaksa dirinya berpikir. Batu sihir. Energi hidup. Penyiksaan perlahan. Mereka ingin memerasnya hingga kering, meninggalkannya sebagai cangkang kosong. Tapi tidak. Ia tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja. Perlahan, Elian mengerakkan jari-jarinya.

  • Sisa Takdir   BAB 142

    Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng

  • Sisa Takdir   BAB 141

    Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D

  • Sisa Takdir   BAB 140

    Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status