"Aku mau Om Bagas menikahiku." Om Bagas mengalihkan pandangan. Tangan yang semula mengelus rambutku kini berpindah.
Sudah kutebak. Ini akan terjadi. Lelaki memang selalu seperti itu. Tidak di dunia nyata tidak pula di cerita novel. Mereka selalu ingin enaknya. Giliran dimintai tanggung jawab akan muncul beribu alasan. "Kenapa diam Om? Katanya mau memenuhi semua permintaanku. Tapi kenapa selalu tak ada jawaban saat aku meminta ini?" Aku duduk, merapikan rambut yang sudah acak-acakan. Wajah ku buat masam. Sudah persis isi dompet saat tanggal tua. "Yasmin sayang. Kamu tahu bukan jika ini tak mungkin. Ayolah, kamu boleh meminta apa pun tapi tidak untuk yang satu ini." Om Bagas menyentuh pundakku. Namun segera ku tepis kasar. Marah, tentu. Apa seperti ini perasaan para pelakor sedunia? Dicampakkan bagai sampah saat tak diinginkan. Aku juga manusia, punya hati dan perasaan. Aku layaknya wanita pada umumnya. Ingin menikah dan memiliki keturunan. Tak selamanya aku jadi simpanan. Aku ingin bebas menggandeng tangan Om Bagas di tempat umum. Mengumumkan pada dunia jika dia milikku. "Om Bagas tidak mencintaiku! Om hanya ingin tubuhku kan? Setelah Om puas dan bosan maka aku akan ditinggalkan. Seperti sampah!" Ujarku lalu berlari ke kamar. Aku menjatuhkan tubuh di atas ranjang. Menangis tersedu. Ya ampun, kenapa perasaanku seperti ini? Bukankan harta yang ku cari. Tapi kenapa hati juga ikut terbawa hingga berpaling darinya aku tak sanggup. Sungguh menyiksa. Derap langkah mulai mendekat. Kasur yang ku tempati sedikit bergoyang saat tubuh Om Bagas sudah berada di sampingku. Tangan kekarnya memeluk tubuhku. Ingin ku tepis tapi tenaganya jauh lebih kuat. Aku terkungkung dalam pelukannya. Pelukan yang selalu membuatku rindu. "Aku benci Om! Lebih baik kita akhiri saja hubungan gila ini!" ucapku parau dengan linangan air mata di pipi. Aku tak serius. Ini hanya sebuah gertakan. Ingin melihat sejauh mana rasa sukanya padaku. Sedikit mempermainkan hati dan emosinya tak masalah bukan? Tapi kalau sampai Om Bagas memilih meninggalkanku. Aku bisa gila. Hilang sudah ATM berjalanku. Oh, tidak! Itu tidak boleh terjadi! Jangan sampai Om Bagas memilih pergi dari pelukanku. Om Bagas menghembuskan nafas kasar. Perlahan mengendurkan pelukan dari tubuhku. Menghapus jejak air mata dengan tangan kanannya. Kemudian dia mendekat mengecup kening ini. "Beri aku waktu. Tapi tolong jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku, Yasmin. Kamu nafasku. Aku bisa gila jika kamu pergi. Please! Jangan sebut kata pisah." Dia menarik kepalaku hingga bersandar di dada bidangnya. Harum shampo masuk ke hidungku. Aku terhipnotis, ku peluk tubuhnya. Ini adalah pose ternyaman saat bersamanya. "Janji jangan pernah berkata pisah, Sayang," ucapnya lagi karena aku belum menjawabnya. "Iya, tapi jangan lama-lama. Aku ingin bisa bersama Om setiap saat." "Iya sayang, sabar ya." Yes! Yes! Aku bersorak dalam hati. Gertakanku berhasil bukan! Aku akan menjadi istri Om Bagas. Menikmati harta tanpa takut di labrak istrinya. Begitu mudah meminta sesuatu dari Om Bagas. Memang pesonaku tiada duanya. Istrinya mah, lewat! Suara belum berbunyi. Ku longgar kan pelukan Om Bagas. "Kenapa, hem!" "Pesanan aku sudah datang sayang. Memangnya Om gak lapar." "Aku lapar tapi hanya ingin memakanmu!" Aku segera berlari. Om Bagas mengejarku. Kami sudah seperti anak kucing yang bermain kejar-kejaran. "Kena kamu!" Om Bagas memeluk tubuhku dari belakang. Sebuah kecupan mendarat di pucuk kepalaku. Ting... Tong.... "Om, nanti dululah, lapar! Kasihan yang sedang nunggu di depan." Ku lepas pelukannya. "Biar aku saja. Aku tak mau wanitaku di pandang orang lain. Apa lagi sedang memakai pakaian begini." Om Bagas melirikku. Apa yang salah? Aku memakai dress tanpa lengan di atas lutut. Bukankah setiap hari juga begitu? Kami duduk bersebelahan di meja makan. Menikmati makan siang menjelang sore. Tangan kiri Om Bagas tak beralih dari pundakku. Seakan ia takut kehilanganku. Momen seperti ini yang selalu ku nanti. Berdua dengan Om Bagas tanpa ada yang menganggu. Kriiingg.... Baru juga bahagia, penganggu sudah datang. Aku yakin jika itu panggilan telepon dari istrinya. Menyebalkan. Om Bagas menempelkan jari telunjuknya di bibir. Mengisyaratkan aku untuk diam. Kalau sudah begini, artinya istri Om Bagas yang menelepon. Begini amat nasib seorang simpanan. "Papa ada meeting di luar." "Kenapa juga mama ke kantor tidak memberi tahu?" "Oke, papa segera ke sana. Kamu tunggu ya." "Love you too." Entah apa yang mereka bicarakan. Namun mendengar Om Bagas mengatakan Love you membuat hatiku terbakar. Meski aku tahu jika istrinya lebih berhak. Namun tak bisa menutupi hati. Aku cemburu. "Sayang maaf ya ...." "Aku tahu, pergilah!" "Makasih sayang, kamu memang pengertian." Om Bagas mengecup kening. "Kenapa? Katanya buru-buru? Beratkan meninggalkan aku?" Om Bagas mengangguk. Lelaki memang seperti itu. Berat meninggalkan tapi susah memberi kepastian. Mereka memang kaum pemberi harapan palsu. "Akan kutransfer, kamu bebas berbelanja barang kesukaanmu." "Aku ingin kita liburan ke Bali." Om Bagas tersenyum. "Minggu depan kita ke Bali," ucapnya lalu berlalu pergi. Tentu setelah mengganti pakain santai dengan jas. Di apartemen ini ada jas dan beberapa pakaian santai Om Bagas. Maklum ini adalah rumah keduanya. *** "Aku tunggu di kos, jangan lama-lama." ucap Cindy lalu mematikan panggilan telepon sepihak. Dasar tidak sopan. Lekas beranjak dari ranjang, mengganti pakaian dengan kaos hitam dan rok jeans di atas lutut. Lipstik merah mempercantik penampilaanku kali ini. Menyalakan mobil lalu segera melaju meninggalkan apartemen yang sudah hampir setahun ku tempati. Ya, walau masih sewa. Butuh waktu lima belas menit untuk sampai di kos Cindy. Sahabatku waktu di bangku sekolah dulu. Tiinn... Tiinn.... Suara klakson berbunyi nyaring. Tak berapa lama seorang wanita yang memakai dress di bawah lutut berjalan mendekat ke arahku. "Mau kemana kita? Clubbing? Shopping? Karaoke?" tanya Cindy seraya menjatuhkan bobot di kursi sebelahku. Cindy adalah sahabatku, dia tahu persis kehidupanku. Dari aku seorang simpanan. Hingga hal kecil lainnya. "Yasmin! Denger orang ngomong gak sih? Bengong muluk!" Satu tepukan melayang di pundakku. Aku sampai meringis kesakitan di buatnya. "Ke mall aja deh. Kita shopping, mumpung masih hangat." "Dih yang jadi simpanan Om, Om," ledek ya sambil tertawa cekikikan. "Turun aja deh kalau ngeledek terus." "Bercanda, yuk jalan! Keburu mall tutup." Mobil melaju menuju sebuah Mall terbesar di kota ini. Aku ingin membeli skincare dan baju tidur. Perawatan wajah dan mempercantik tubuh perlu bukan? Semakin cantik dan terawat uang akan semakin mengalir deras. "Mau beli skincare atau baju tidur?" tanya Cindy sambil melirikku. "Baju tidur dulu deh. Minggu depan gue mau liburan ke bali sama Om tersayang. Harus berpenampilan semenarik mungkin kan?" "Iya deh iya, percaya gue!" Aku masuk ke sebuah toko yang menjual berbagi baju tidur. Dari yang transparan hingga tertutup. Dulu aku merinding tiap membayangkan pakaian tipis itu melekat di tubuhku. Tapi sekarang? Jangan tanya. Itu justru yang sering ku kenakan. Roda hidup memang berputar. Dari yang kaya tiba-tiba jatuh miskin. Dari yang alim hingga tergelincir masuk ke dunia kelam. Sama seperti diriku. Siapa yang menyangka jika aku akan menjadi simpanan Om Bagas. Takdir hidup yang membuatku memilih jalan kelam ini. Kedua orang tua meninggal dan mewariskan hutang yang begitu besar padaku. Aku syok dan nyaris bunuh diri. Hingga tak sengaja bertemu dengan Om Bagas di sebuah diskotik. Dari situlah awal mula kami berkenalan hingga menjalin hubungan seperti sekarang. Om Bagas juga yang mengambil mahkota berharga milikku. Kalau ditanya apa aku menyesal? Jawabannya tidak. Aku justru terlena. Om Bagas bagai candu yang selalu membuatku rindu. "Yas, bagus nih. Om Bagas pasti suka." Cindy memamerkan lingerie berwarna merah padaku. Dia benar, Om Bagas memang menyukai warna merah. Segera ku ambil baju tidur lalu berjalan ke kasir. Ku lihat ke arah luar semabari menunggu Mbak kasir memberikan uang kembalian. Ku telan saliva dengan susah payah saat melihat seseorang berjalan masuk ke toko ini. Jantungku seakan berdetak dengan kencang. Apa yang harus ku lakukan? "Ayo Cin!" Ku tarik tangan Cindy. Berjalan mengendap-endap lalu bersembunyi di deretan baju tidur yang berjajar. Perasaanku semakin tak enak kala mendengar derap langkah kaki mendekat ke arahku. Ketemu siapa lagi ya? Jangan lupa like dan komen teman-teman."Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m