Share

Bab 4

Aku mau Om Bagas menikahiku." Om Bagas mengalihkan pandangan. Tangan yang semula mengelus rambutku kini berpindah. 

Sudah ku tebak. Ini akan terjadi. Lelaki memang selalu seperti itu. Tidak di dunia nyata tidak pula di cerita novel. Mereka selalu ingin enaknya. Giliran dimintai tanggung jawab akan muncul beribu alasan. 

"Kenapa diam Om? Katanya mau memenuhi semua permintaanku. Tapi kenapa selalu tak ada jawaban saat aku meminta ini?" Aku duduk, merapikan rambut yang sudah acak-acakan. Wajah ku buat masam. Sudah persis isi dompet saat tanggal tua. 

"Yasmin sayang. Kamu tahu bukan jika ini tak mungkin. Ayolah, kamu boleh meminta apa pun tapi tidak untuk yang satu ini." Om Bagas menyentuh pundakku. Namun segera ku tepis kasar. 

Marah, tentu. Apa seperti ini perasaan para pelakor sedunia? Dicampakkan bagai sampah saat tak diinginkan. 

Aku juga manusia,punya hati dan perasaan. Aku layaknya wanita pada umumnya. Ingin menikah dan memiliki keturunan. Tak selamanya aku jadi simpanan. Aku ingin bebas menggandeng tangan Om Bagas di tempat umum. Mengumumkan pada dunia jika dia milikku. 

"Om Bagas tidak mencintaiku! Om hanya ingin tubuhku kan? Setelah Om puas dan bosan maka aku akan ditinggalkan. Seperti sampah!" Ujarku lalu berlari ke kamar. 

Menjatuhkan tubuh di atas ranjang. Menangis tersedu. Ya ampun, kenapa perasaanku seperti ini? Bukankan harta yang ku cari. Tapi kenapa hati juga ikut terbawa hingga berpaling darinya aku tak sanggup. Sungguh menyiksa. 

Derap langkah mulai mendekat. Kasur yang ku tempati sedikit bergoyang saat tubuh Om Bagas sudah berada di sampingku. Tangan kekarnya memeluk tubuhku. Ingin ku tepis tapi tenaganya jauh lebih kuat. Aku terkungkung dalam pelukannya. Pelukan yang selalu membuatku rindu. 

"Aku benci Om! Lebih baik kita akhiri saja hubungan gila ini!" ucapku parau dengan linangan air mata di pipi. 

Aku tak serius. Ini hanya sebuah gertakan. Ingin melihat sejauh mana rasa sukanya padaku. Sedikit mempermainkan hati dan emosinya tak masalah bukan? Tapi kalau sampai Om Bagas memilih meninggalkanku. Aku bisa gila. Hilang sudah ATM berjalanku.

Oh, tidak! Itu tidak boleh terjadi! Jangan sampai Om Bagas memilih pergi dari pelukanku. 

Om Bagas menghembuskan nafas kasar. Perlahan mengendurkan pelukan dari tubuhku. Menghapus jejak air mata dengan tangan kanannya. Kemudian dia mendekat mengecup kening dan beralih ke bibir. Hanya sebuah kecupan. 

"Beri aku waktu. Tapi tolong jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku, Yasmin. Kamu nafasku. Aku bisa gila jika kamu pergi. Please! Jangan sebut kata pisah." Dia menarik kepalaku hingga bersandar di dada bidangnya. Harum shampo masuk ke hidungku. 

Aku terhipnotis, ku peluk tubuhnya. Ini adalah pose ternyaman saat bersamanya. 

"Janji jangan pernah berkata pisah, sayang," ucapnya lagi karena aku belum menjawabnya. 

"Iya, tapi jangan lama-lama. Aku ingin bisa bersama Om setiap saat."

"Iya sayang, sabar ya."

Yes! Yes! 

Aku bersorak dalam hati. Gertakanku berhasil bukan! Aku akan menjadi istri Om Bagas. Menikmati harta tanpa takut di labrak istrinya. Begitu mudah meminta sesuatu dari Om Bagas. Memang pesonaku tiada duanya. Istrinya mah, lewat! 

Suara belum berbunyi. Ku longgar kan pelukan Om Bagas. 

"Kenapa, hem!"

"Pesanan aku sudah datang sayang. Memangnya Om gak lapar."

"Aku lapar tapi hanya ingin memakanmu!"

Aku segera berlari. Om Bagas mengejarku. Kami sudah seperti anak kucing yang bermain kejar-kejaran. 

"Kena kamu!" Om Bagas memeluk tubuhku dari belakang. Sebuah kecupan mendarat di tengkuk leherku. Seketika aku merinding dibuatnya. 

Ting... Tong.... 

"Om, nanti dululah, lapar! Kasihan yang sedang nunggu di depan." Ku lepas pelukannya. 

"Biar aku saja. Aku tak mau wanitaku di pandang orang lain. Apa lagi sedang memakai pakaian begini." Om Bagas melirikku. 

Apa yang salah? Aku memakai dress tanpa lengan di atas lutut. Bukankah setiap hari juga begitu? 

Kami duduk bersebelahan di meja makan. Menikmati makan siang menjelang sore. Tangan kiri Om Bagas tak beralih dari pundakku. Seakan ia takut kehilanganku. 

Momen seperti ini yang selalu ku nanti. Berdua dengan Om Bagas tanpa ada yang menganggu. 

Kriiingg.... 

Baru juga bahagia, penganggu sudah datang. Aku yakin jika itu panggilan telepon dari istrinya. Menyebalkan. 

Om Bagas menempelkan jari telunjuknya di bibir. Mengisyaratkan aku untuk diam. Kalau sudah begini, artinya istri Om Bagas yang menelepon. Begini amat nasib seorang simpanan. 

"Papa ada meeting di luar."

"Kenapa juga mama ke kantor tidak memberi tahu?"

"Oke, papa segera ke sana. Kamu tunggu ya."

"Love you too."

Entah apa yang mereka bicarakan. Namun mendengar Om Bagas mengatakan Love you membuat hatiku terbakar. Meski aku tahu jika istrinya lebih berhak. Namun tak bisa menutupi hati. Aku cemburu. 

"Sayang maaf ya ...."

"Aku tahu, pergilah!"

"Makasih sayang, kamu memang pengertian." Om Bagas mengecup kening, pipi lalu beralih ke bibir. 

"Kenapa? Katanya buru-buru? Beratkan meninggalkan aku?" Om Bagas mengangguk. 

Lelaki memang seperti itu. Berat meninggalkan tapi susah memberi kepastian. Mereka memang kaum pemberi harapan palsu. 

"Akan ku transfer, kamu bebas berbelanja barang kesukaanmu."

"Aku ingin kita liburan ke Bali." Om Bagas tersenyum. 

"Minggu depan kita ke Bali," ucapnya lalu berlalu pergi. Tentu setelah mengganti pakain santai dengan jas. 

Di apartemen ini ada jas dan beberapa pakaian santai Om Bagas. Maklum ini adalah rumah keduanya. 

***

"Aku tunggu di kos,jangan lama-lama."  ucap Cindy lalu mematikan panggilan telepon sepihak. Dasar tidak sopan. 

Lekas beranjak dari ranjang, mengganti pakaian dengan kaos hitam dan rok jeans di atas lutut. Lipstik merah mempercantik penampilaanku kali ini. 

Menyalakan mobil lalu segera melaju meninggalkan apartemen yang sudah hampir setahun ku tempati. Ya, walau masih sewa. 

Butuh waktu lima belas menit untuk sampai di kos Cindy. Sahabatku waktu di bangku sekolah dulu. 

Tiinn... Tiinn.... 

Suara klakson berbunyi nyaring. Tak berapa lama seorang wanita yang memakai dress di bawah lutut berjalan mendekat ke arahku. 

"Mau kemana kita? Clubbing? Shopping? Karaoke?" tanya Cindy seraya menjatuhkan bobot di kursi sebelahku. 

Cindy adalah sahabatku, dia tahu persis kehidupanku. Dari aku seorang simpanan. Hingga hal kecil lainnya. 

"Yasmin! Denger orang ngomong gak sih? Bengong muluk!" Satu tepukan melayang di pundakku. Aku sampai meringis kesakitan di buatnya. 

"Ke mall aja deh. Kita shopping, mumpung masih hangat."

"Dih yang jadi simpanan Om, Om," ledek ya sambil tertawa cekikikan. 

"Turun aja deh kalau ngeledek terus."

"Bercanda, yuk jalan! Keburu mall tutup."

Mobil melaju menuju sebuah Mall terbesar di kota ini. Aku ingin membeli skincare dan baju tidur. Perawatan wajah dan mempercantik tubuh perlu bukan? Semakin cantik dan terawat uang akan semakin mengalir deras. 

"Mau beli skincare atau baju tidur?" tanya Cindy sambil melirikku. 

"Baju tidur dulu deh. Minggu depan gue mau liburan ke bali sama Om tersayang. Harus berpenampilan semenarik mungkin kan?" 

"Iya deh iya, percaya gue!"

Aku masuk ke sebuah toko yang menjual berbagi baju tidur. Dari yang transparan hingga tertutup. Dulu aku merinding tiap membayangkan pakaian tipis itu melekat di tubuhku. Tapi sekarang? Jangan tanya. Itu justru yang sering ku kenakan. 

Roda hidup memang berputar. Dari yang kaya tiba-tiba jatuh miskin. Dari yang alim hingga tergelincir masuk ke dunia kelam. Sama seperti diriku. Siapa yang menyangka jika aku akan menjadi simpanan Om Bagas. Takdir hidup yang membuatku memilih jalan kelam ini. 

Kedua orang tua meninggal dan mewariskan hutang yang begitu besar padaku. Aku syok dan nyaris bunuh diri. Hingga tak sengaja bertemu dengan Om Bagas di sebuah diskotik. Dari situlah awal mula kami berkenalan hingga menjalin hubungan seperti sekarang. 

Om Bagas juga yang mengambil mahkota berharga milikku. Kalau ditanya apa aku menyesal? Jawabannya tidak. Aku justru terlena. Om Bagas bagai candu yang selalu membuatku rindu. 

"Yas, bagus nih. Om Bagas pasti suka." Cindy memamerkan lingerie berwarna merah padaku. 

Dia benar, Om Bagas memang menyukai warna merah. 

Segera ku ambil baju tidur lalu berjalan ke kasir. Ku lihat ke arah luar semabari menunggu Mbak kasir memberikan uang kembalian. 

Ku telan saliva dengan susah payah saat melihat seseorang berjalan masuk ke toko ini. Jantungku seakan berdetak dengan kencang. Apa yang harus ku lakukan? 

"Ayo Cin!" Ku tarik tangan Cindy. 

Aku berjalan mengendap-endap lalu bersembunyi di deretan baju tidur yang berjajar. Perasaanku semakin tak enak kala mendengar derap langkah kaki mendekat ke arahku. 

Ketemu siapa lagi ya? 

Jangan lupa like dan komen teman-teman. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status