Share

Bab 3

Aduh! Jangan sampai aku berurusan dengan polisi. Ayo berpikir Yasmin! Tidak mungkin kan mengganti kerugian sebanyak itu. Yang ada aku bisa gulung tikar. 

"Tolong kasihani saya, jangan bawa urusan ini ke kantor polisi. Saya akan tanggung jawab. Kita selesaikan baik-baik."

"Nah gitu dong, Mbak!"

"Kenapa gak dari tadi sih!"

"Gitu saja pakai drama."

Aku ingin berteriak, memaki orang-orang yang ada di sini. Namun lagi-lagi harus ku tahan. Aku tidak mau berurusan dengan kantor polisi. Tidak lucu jika seorang Yasmin harus berurusan dengan lembaga hukum. Apa kata teman-temanku nanti? 

"Tunggu sebentar, aku mau ambil dompet," ucapku datar seraya jalan menuju kursi kemudi

"Jangan kabur lo!" ucap lelaki berambut panjang itu. 

"Ya kali gue kabur. Mana bisa lewat!" 

Segera ku ambil benda persegi panjang berwarna merah.Lagi-lagi warna merah. Kesukaan Om Bagas membuatku selalu membeli barang dengan warna itu. 

Jika ingat Om Bagas, membuat emosiku naik lagi. Harusnya aku bahagia dengan dia malam ini. Bukan justru sial begini. Nasib-nasib. Kenapa apes begini sih! 

"Sekarang antri!" 

Mereka berjajar ke belakang. Sudah seperti mau mengambil bantuan sembako. Dan aku donaturnya. Bukan donatur ini mah. Tapi kepalak. 

Satu persatu orang ku beri dua lembar uang berwarna merah. Sudah enam orang, kini tinggal lelaki berambut panjang yang rese itu. Gara-gara menyalip mobil dia, aku jadi apes begini. Habis semua uangku. 

"Lima juta!" ucap lelaki berambut gondrong itu. 

"Lima juta? Lo mau malak gue?" ucapku ketus. 

"Pokoknya gue mau lima juta!" 

"Gak ada dan gak mau kasih. Lo mau apa!"

"Gue bawa lo ke kantor polisi."

"Tolong! Saya mau diperkosa!" teriakku lantang hingga membuat lelaki itu diam seketika. 

Segera ku tutup pintu dan menyalakan mesin mobil. Melajukan kendaraan roda empatku. Ku tinggalkan lelaki berambut gondrong yang masih diam membisu. 

Aman, aman. Kali ini aku selamat. Semoga seterusnya tak bertemu dengan lelaki itu. 

***

[Yasmin sayang, kenapa tidak datang? Aku sudah menunggu lama sampai ketiduran]

Satu pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari nama kontak yang sama. Om Bagaskara. 

Apa tadi dia bilang? Tidak datang? Hello! Tidak datang pas kalian sedang bergulat begitu? Dia pikir aku penonton. Di minta datang hanya untuk menyaksikan adegan panasnya bersama istri tercinta. Lalu apa kabar dengan nasibku? 

Ku matikan ponselku. Kesal dan marah masih menyelimuti hati. Ku lanjutkan tidur pagiku. Tak perduli dengan sorot mentari yang menertawakan nasibku. 

Ku buka mata perlahan. Sebuah tangan kekar sudah melingkar di perutku. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Om Bagaskara. Hanya dia yang memiliki kunci apartemen ini. 

Balik badan, ku tatap setiap inci wajah penuh kharisma yang membuatku tergila-gila. Ku elus pipinya. Wajah ini bagai candu yang memabukkan, selalu membuatku ingin lagi dan lagi. 

"Kenapa? Rindu kan?" Om Bagas membuka mata. Menatapku dengan kerlingan menggoda. 

Jangan tergoda Yasmin! Ingat kamu sedang marah karena kejadian semalam. Sedikit jual mahal lah walau kenyataannya memang rindu. 

Membalikkan badan, ku punggungi Om Bagas. Lelaki yang sudah menanamkan cinta itu justru semakin mengencangkan pelukan. 

"Jangan marah dong sayang, aku tidak bisa kalau kamu cuekin seperti ini," bisiknya di telinga hingga membuat bulu kudukku meremang. 

Om Bagas memang paling pintar membangkitkan hasratku. Tapi sekuat tenaga ku tahan. Akan ingin membuatnya semakin membutuhkanku dan akhirnya memberikan apa yang aku mau. Apartemen mewah misalnya. 

"Kamu mau apa?tas branded, perhiasan, atau liburan? Semua akan ku penuhi asalkan kamu jangan marah lagi," ucapnya seraya memainkan surai hitam milikku. 

"Om tidak minta maaf? Semalam Om Bagas sudah membuatku menangis." Ku keluarkan air mata. 

Ini adalah bagian dari drama. Bukankah kehidupanku sudah penuh dengan sandiwara. Hingga aku piawai memainkan setiap peran. Termasuk saat ini. 

Om Bagas mengernyitkan dahi. Seakan bingung dengan ucapanku. 

"Harusnya kamu yang minta maaf sayang. Kamu sudah membuatku menunggu hingga ketiduran. Dan setelah membuka mata kamu tidak ada."

"Bukannya ada istri, Om?"

"Hahaha ... Kamu lucu sayang, mana ada istriku. Itu tempat kita biasa memadu kasih. Tak mungkin aku membawanya ke sana. Lagi pula aku sudah tidak tertarik dengannya. Kamu yang ku mau, Yasmin." Pipiku merona mendengar ucapannya. 

Aku yakin, wanita tua itu sedang bermain-main denganku. Bendera perang sudah berkibar. Jangan salahkan aku jika suamimu ku rebut. Kamu mulai berani mempermainkan aku. Maka tunggulah, akan ku buat kamu menjanda. 

"Kamu tahu Yasmin, kamu itu selalu mengusik pikiranku. Membuatku rindu. Mana bisa aku berpaling darimu," ucapnya seraya menyentuh tubuhku. 

Tanpa menunggu lama, kami segera menyelami lautan dosa. Mengobati rindu yang sempat tertunda. 

Ya dosa, aku tahu apa yang sedang ku lakukan saat ini adalah perbuatan hina. Merusak rumah tangga seseorang. Tapi mau bagaimana lagi. Mungkin sudah garis hidupku seperti ini. Menjadi pelipur dahaga Om Bagaskara. 

"Kamu memang luar biasa Yasmin." Om Bagas mengecup keningku setelah pergulatan panas kami. 

"Kalau luar biasa harus dapat hadiah dong." Ku mainkan  tanganku di dada bidangnya. 

Beginilah hidup wanita simpanan. Memanfaatkan semua kekayaan suami orang untuk kesenangan diri sendiri. 

Jangan bilang aku egois! Mengambil hak orang lain. Hello, aku hanya meminta imbalan atas jasa ku memuaskan suami orang. Hubungan kami didasari suka sama suka. Bukan sebuah paksaan. 

Sudahlah, jangan selalu menyalahkan pelakor karena mengambil hak orang. Salahkan juga para koruptor yang mengambil harta rakyat jelata. Mereka lebih hina dari aku. 

"Kamu mau apa sayang?katakan. Semua akan ku penuhi." Tangan Om Bagas kembali bermain. Dia memang tak pernah puas jika bermain sekali. 

"Benarkah semua yang ku mau bisa Om berikan?"

"Tentu, tapi setelah ini ...."

Lagi, adegan panas terulang kembali. Ini juga yang membuatnya tak bisa lepas dariku. Dan akan ku pastikan selamanya seperti ini. 

***

Ku buka mata perlahan, tangan kekar itu masih memeluk tubuh rampingku. Ku lirik benda bulat yang menempel di dinding kamar. Sudah pukul dua siang. Pantas saja cacing di dalam perut sudah protes meminta haknya. 

Perlahan ku geser tangan Om Bagas. Membalut tubuh asal-asalan lalu masuk ke kamar mandi. Guyuran air dingin menyegarkan tubuhku. 

 Keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit tubuh ini. Om Bagas sudah duduk di atas ranjang. Matanya menatapku hingga tak berkedip. 

Perlahan Om Bagas berjalan mendekat. Memeluk tubuhku dari belakang. Kepalanya di sandarkan di di pundakku. 

"Sayang, aku sudah lapar." Ku lepas tangan kekarnya yang masih melingkar di perutku. 

"Kalau aku yang lapar bagaimana?" 

"Sudah dua kali, Om. Aku lapar, sudah tidak ada tenaga untuk bergulat denganmu." Om Bagas tertawa melihat ekspresi wajahku yang kesal. 

"Oke, aku mandi dulu." Lelaki dengan tubuh tegap itu mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi. 

"Katanya lapar, tapi belum makan?" Om Bagas berjalan mendekat ke arahku. Menjatuhkan bobot tepat di sampingku. 

"Baru nunggu makanan. Sepuluh menit lagi datang." Ku rebahkan tubuhku di atas sofa dengan paha Om Bagas sebagai bantalnya. 

"Jangan dipandangi seperti itu. Nanti aku ingin lagi." Tangannya memainkan rambutku. 

"Hadiahnya belum dapat. Jadi tidak ada jatah lagi."

"Yah, ngancam nih ceritnya. Apa yang kamu mau sayang?" Dia menatap lekat mataku. 

"Janji mau mengebulkan semua permintaanku?" Om Bagas mengangguk lalu tersenyum ke arahku. 

Meleleh sudah hati ini. Aku ingin selalu seperti ini. Tanpa ada dia. Wanita tua pengganggu hubunganku. 

"Aku mau Om Bagas menikahiku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status