Share

Bab 3

last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-05 14:09:38

Aduh! Jangan sampai aku berurusan dengan polisi. Ayo berpikir Yasmin! Tidak mungkin kan mengganti kerugian sebanyak itu. Yang ada aku bisa gulung tikar.

"Tolong kasihani saya, jangan bawa urusan ini ke kantor polisi. Saya akan tanggung jawab. Kita selesaikan baik-baik."

"Nah gitu dong, Mbak!"

"Kenapa gak dari tadi sih!"

"Gitu saja pakai drama."

Aku ingin berteriak, memaki orang-orang yang ada di sini. Namun lagi-lagi harus ku tahan. Aku tidak mau berurusan dengan kantor polisi. Tidak lucu jika seorang Yasmin harus berurusan dengan lembaga hukum. Apa kata teman-temanku nanti?

"Tunggu sebentar, aku mau ambil dompet," ucapku datar seraya jalan menuju kursi kemudi

"Jangan kabur lo!" ucap lelaki berambut panjang itu.

"Ya kali gue kabur. Mana bisa lewat!"

Segera ku ambil benda persegi panjang berwarna merah.Lagi-lagi warna merah. Kesukaan Om Bagas membuatku selalu membeli barang dengan warna itu.

Jika ingat Om Bagas, membuat emosiku naik lagi. Harusnya aku bahagia dengan dia malam ini. Bukan justru sial begini. Nasib-nasib. Kenapa apes begini sih!

"Sekarang antri!"

Mereka berjajar ke belakang. Sudah seperti mau mengambil bantuan sembako. Dan aku donaturnya. Bukan donatur ini mah. Tapi kepalak.

Satu persatu orang ku beri dua lembar uang berwarna merah. Sudah enam orang, kini tinggal lelaki berambut panjang yang rese itu. Gara-gara menyalip mobil dia, aku jadi apes begini. Habis semua uangku.

"Lima juta!" ucap lelaki berambut gondrong itu.

"Lima juta? Lo mau malak gue?" ucapku ketus.

"Pokoknya gue mau lima juta!"

"Gak ada dan gak mau kasih. Lo mau apa!"

"Gue bawa lo ke kantor polisi."

"Tolong! Saya mau diperkosa!" teriakku lantang hingga membuat lelaki itu diam seketika.

Segera ku tutup pintu dan menyalakan mesin mobil. Melajukan kendaraan roda empatku. Ku tinggalkan lelaki berambut gondrong yang masih diam membisu.

Aman, aman. Kali ini aku selamat. Semoga seterusnya tak bertemu dengan lelaki itu.

***

[Yasmin sayang, kenapa tidak datang? Aku sudah menunggu lama sampai ketiduran]

Satu pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari nama kontak yang sama. Om Bagaskara.

Apa tadi dia bilang? Tidak datang? Hello! Tidak datang pas kalian sedang bergulat begitu? Dia pikir aku penonton. Di minta datang hanya untuk menyaksikan adegan panasnya bersama istri tercinta. Lalu apa kabar dengan nasibku?

Ku matikan ponselku. Kesal dan marah masih menyelimuti hati. Ku lanjutkan tidur pagiku. Tak perduli dengan sorot mentari yang menertawakan nasibku.

Ku buka mata perlahan. Sebuah tangan kekar sudah melingkar di perutku. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Om Bagaskara. Hanya dia yang memiliki kunci apartemen ini.

Balik badan, ku tatap setiap inci wajah penuh kharisma yang membuatku tergila-gila. Ku elus pipinya. Wajah ini bagai candu yang memabukkan, selalu membuatku ingin lagi dan lagi.

"Kenapa? Rindu kan?" Om Bagas membuka mata. Menatapku dengan kerlingan menggoda.

Jangan tergoda Yasmin! Ingat kamu sedang marah karena kejadian semalam. Sedikit jual mahal lah walau kenyataannya memang rindu.

Membalikkan badan, ku punggungi Om Bagas. Lelaki yang sudah menanamkan cinta itu justru semakin mengencangkan pelukan.

"Jangan marah dong sayang, aku tidak bisa kalau kamu cuekin seperti ini," bisiknya di telinga hingga membuat bulu kudukku meremang.

Om Bagas memang paling pintar merayuku.

Tapi sekuat tenaga ku tahan. Akan ingin membuatnya semakin membutuhkanku dan akhirnya memberikan apa yang aku mau. Apartemen mewah misalnya.

"Kamu mau apa?tas branded, perhiasan, atau liburan? Semua akan ku penuhi asalkan kamu jangan marah lagi," ucapnya seraya memainkan surai hitam milikku.

"Om tidak minta maaf? Semalam Om Bagas sudah membuatku menangis." Ku keluarkan air mata.

Ini adalah bagian dari drama. Bukankah kehidupanku sudah penuh dengan sandiwara. Hingga aku piawai memainkan setiap peran. Termasuk saat ini.

Om Bagas mengernyitkan dahi. Seakan bingung dengan ucapanku.

"Harusnya kamu yang minta maaf sayang. Kamu sudah membuatku menunggu hingga ketiduran. Dan setelah membuka mata kamu tidak ada."

"Bukannya ada istri, Om?"

"Hahaha ... Kamu lucu sayang, mana ada istriku. Itu tempat kita biasa memadu kasih. Tak mungkin aku membawanya ke sana. Lagi pula aku sudah tidak tertarik dengannya. Kamu yang ku mau, Yasmin." Pipiku merona mendengar ucapannya.

Aku yakin, wanita tua itu sedang bermain-main denganku. Bendera perang sudah berkibar. Jangan salahkan aku jika suamimu ku rebut. Kamu mulai berani mempermainkan aku. Maka tunggulah, akan ku buat kamu menjanda.

"Kamu tahu Yasmin, kamu itu selalu mengusik pikiranku. Membuatku rindu. Mana bisa aku berpaling darimu," ucapnya.

Tanpa menunggu lama, kami segera menyelami lautan dosa. Mengobati rindu yang sempat tertunda.

Ya dosa, aku tahu apa yang sedang ku lakukan saat ini adalah perbuatan hina. Merusak rumah tangga seseorang. Tapi mau bagaimana lagi. Mungkin sudah garis hidupku seperti ini. Menjadi pelipur dahaga Om Bagaskara.

"Aku mencintaimu, Yasmin." Om Bagas mengecup keningku.

"Kalau cinta harus dapat hadiah dong." Ku mainkan tanganku di dada bidangnya.

Beginilah hidup wanita simpanan. Memanfaatkan semua kekayaan suami orang untuk kesenangan diri sendiri.

Jangan bilang aku egois! Mengambil hak orang lain. Hello, aku hanya meminta imbalan atas jasa ku memuaskan suami orang. Hubungan kami didasari suka sama suka. Bukan sebuah paksaan.

Sudahlah, jangan selalu menyalahkan pelakor karena mengambil hak orang. Salahkan juga para koruptor yang mengambil harta rakyat jelata. Mereka lebih hina dari aku.

"Kamu mau apa sayang?katakan. Semua akan ku penuhi." Tangan Om Bagas kembali bermain. Dia memang tak pernah puas jika bermain sekali.

"Benarkah semua yang ku mau bisa Om berikan?"

"Tentu, tapi setelah ini ...."

Lagi, adegan itu terulang kembali. Ini juga yang membuatnya tak bisa lepas dariku. Dan akan ku pastikan selamanya seperti ini.

***

Ku buka mata perlahan, tangan kekar itu masih memeluk tubuh rampingku. Ku lirik benda bulat yang menempel di dinding kamar. Sudah pukul dua siang. Pantas saja cacing di dalam perut sudah protes meminta haknya.

Perlahan ku geser tangan Om Bagas. Membalut tubuh asal-asalan lalu masuk ke kamar mandi. Guyuran air dingin menyegarkan tubuhku.

Keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit tubuh ini. Om Bagas sudah duduk di atas ranjang. Matanya menatapku hingga tak berkedip.

Perlahan Om Bagas berjalan mendekat. Memeluk tubuhku dari belakang. Kepalanya di sandarkan di di pundakku.

"Sayang, aku sudah lapar." Ku lepas tangan kekarnya yang masih melingkar di perutku.

"Kalau aku yang lapar bagaimana?"

"Sudah dua kali, Om. Aku lapar, sudah tidak ada tenaga untuk bergulat denganmu." Om Bagas tertawa melihat ekspresi wajahku yang kesal.

"Oke, aku mandi dulu." Lelaki dengan tubuh tegap itu mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.

"Katanya lapar, tapi belum makan?" Om Bagas berjalan mendekat ke arahku. Menjatuhkan bobot tepat di sampingku.

"Baru nunggu makanan. Sepuluh menit lagi datang." Ku rebahkan tubuhku di atas sofa dengan paha Om Bagas sebagai bantalnya.

"Jangan dipandangi seperti itu. Nanti aku ingin lagi." Tangannya memainkan rambutku.

"Hadiahnya belum dapat. Jadi tidak ada jatah lagi."

"Yah, ngancam nih ceritnya. Apa yang kamu mau sayang?" Dia menatap lekat mataku.

"Janji mau mengebulkan semua permintaanku?" Om Bagas mengangguk lalu tersenyum ke arahku.

Meleleh sudah hati ini. Aku ingin selalu seperti ini. Tanpa ada dia. Wanita tua pengganggu hubunganku.

"Aku mau Om Bagas menikahiku."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 134

    "Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 133

    Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 132

    "Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 131

    "Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 130

    Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 129

    "Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status