Share

Bab 9

"Mbak mau ketemu! Ada yang ingin Mbak bicarakan." 

"Aku di bengkel. Mbak ke sini saja," jawab Ray. Seketika panggilan telepon terputus. 

Dengan emosi yang meletup-letup di dada, Sandra segera menyalakan mesin mobil. Perlahan kendaraan roda empat miliknya berjalan meninggalkan halaman rumah mewah Bagaskara. Rumah yang telah dihuni dua puluh dua tahun yang lalu. 

Sandra tidak menyadari jika sedari tadi Brian sedang mengawasi gerak-geriknya. Sebagai anak sulung, Brian sadar jika ibunya tengah memiliki masalah. Saat berhadapan dengannya Sandra seolah menghindar.Bahkan dia enggan bertatap muka dengannya. Sikap seperti itu yang membuat dia yakin, jika ada sesuatu yang ibunya rahasiakan. 

Mobil berwarna putih itu melaju dengan kecepatan tinggi. Sandra kesetanan, dia bahkan tak perduli dengan nyawanya sendiri. Yang ada di kepalanya ialah rasa marah, benci, dan kecewa kepada Bagaskara dan Yasmin. 

Janji setia yang terlontar dari mulut Bagaskara ternyata hanya bualan semata. Nyatanya lelaki yang berusia empat puluh sembilan tahun itu terbuai dengan pesona Yasmin. Gadis yang lebih pantas menjadi anaknya. 

Dalam pikiran Sandra ada  tanda tanya besar. Kenapa Bagaskara lebih memilih Yasmin dibanding dia? Apa kurangnya dia selama ini?

Selama dua puluh dua tahun hidup bersama,Sandra selalu memberi yang terbaik untuk suaminya. Tak pernah sekali pun dia bermuka masam saat bersama Bagaskara. Namun sekarang lelaki yang ia cintai justru bersenang-senang dengan wanita. 

Sakit. Ya, perasaan itu yang kini melanda Sandra. 

Tiin... Tiin.... 

"Maju woy!"

"Mau ditabrak dari belakang!" maki seorang sopir truk yang berada tepat di belakang mobil Sandra. 

Sandra tersentak dari lamunan. Segera ia menginjak pedal gas meninggalkan keributan karena telah membuat kemacetan. 

Ramainya lalu lalang kendaraan membuat Sandra berdecak kesal. Ingin segera sampai ke bengkel tapi justru terhalang macet. 

Dalam hati Sandra merutuki kesialan yang selalu menimpanya. Mulai dari gagal membuntuti Yasmin hingga terjebak macet. Takdir seolah berpihak pada Yasmin, sang pelakor. 

Mobil putih yang Sandra kemudikan berhenti tepat di halaman bengkel mewah milik adik kandungnya. Dengan langkah terburu ia masuk ke dalam. 

"Ray ada?" tanyanya kepada salah satu karyawan bengkel. 

"Bos ada di ruangannya, Bu," jawab karyawan itu lembut. Ia tahu betul sedang berhadapan dengan siapa, kakak kandung pemilik bengkel ini. 

Sandra berjalan menuju ruangan Ray yang ada di lantai atas. Suara langkah kakinya terdengar jelas. Wanita itu begitu tergesa, bahkan jalannya sudah seperti orang yang lari dari rentenir. Tak ada keanggunan yang biasa terpancar darinya. 

Pintu di buka kasar. Terdengar suara benturan kayu jati dengan tembok. Ray yang duduk di sofa sampai melonjak terkejut. Hampir saja cangkir di genggaman terlepas begitu saja. 

Lelaki bertubuh tegap itu melirik sinis ke arah sang kakak. Lirikan yang mengisyaratkan protes dengan tindakan Sandra barusan. 

"Bisa pelan kan, Mbak?" tanya Ray kesal. 

Tanpa menjawab Sandra segera menjatuhkan bobot tepat di samping Ray. Awan mendung yang bergelayut di mata Sandra kini jatuh membasahi pipi. Dia terisak dengan kedua tangan menutupi wajah.Ray kebingungan, di letakkan secangkir kopi di atas meja. Tangan kekar Ray menarik tubuh Sandra ke dada bidangnya, membiarkan sang kakak mengeluarkan isi hatinya. 

Setelah cukup tenang Sandra memperbaiki posisi duduknya. Di hapus air mata yang menempel di pipi menggunakan tisue. Ray masih diam, lelaki itu memberikan ruang untuk Sandra mengatur perasaannya. 

Bukankan wanita lebih suka di dengar dari pada ditanya panjang lebar saat hatinya terluka? Itu yang kini Ray lakukan. Sebagai lelaki berumur dia tahu betul bagaimana memperlakukan seorang wanita. Sayang, diusianya yang menginjak angka dua puluh tujuh, Ray masih betah sendiri. 

"Sudah enakan? Siap bercerita?" tanya Ray sembari menatap lekat manik bening milik sang kakak. 

Sandra diam, mengatur nafas agar bisa bercerita dengan tenang. 

"Besok antar Mbak ke Bali, Ray!" Ray mengernyitkan dahi. 

"Aku sibuk, Mbak. Kamu pergi dengan Brian atau Mbak Raya bisa kan?"ucap Ray seraya membenarkan posisi duduknya. Tubuhnya ia sandarkan di sofa dengan kepala menatap langit-langit. 

"Tahu sendiri, Mbak gak pernah akur dengan Raya. Sementara Brian, tak mungkin aku mengajaknya."

Raya adalah adik Sandra sekaligus kakak Ray. Mereka tiga bersaudara. Sandra merupakan anak pertama dari keluarga Pratama. Baru setelah itu Raya dan Ray. 

Dari kedua adik Sandra, Ray lah yang bisa mengerti keadaan Sandra. Tidak seperti Raya yang selalu menyalahkan. Sandra dan Raya memiliki watak dan prinsip berbeda, itu yang membuat keduanya tak bisa akur. 

"Ada masalah?" 

Sandra membuang nafas kasar, mengatur kata agar mampu bercerita dengan hati tenang. 

"Mas Bagas selingkuh, Ray. Sekarang dia sedang bersenang-senang dengan gundiknya di Bali."

Sandra mulai bercerita dengan linangan air mata membasahi pipi bahkan baju yang ia kenalan. Nyeri kembali terasa kalau menceritakan Bagaskara dan Yasmin. 

Sekuat apa pun Sandra berusaha tegar. Namun tak bisa menutupi betapa sakit dan terluka hatinya. 

Ray sendiri terdiam, ucapan Sandra bagai halilintar yang menggelegar di siang bolong. Ray tidak pernah menyangka jika hubungan Sandra dan Bagaskara yang terlihat harmonis justru tengah dilanda badai. 

"Mbak yakin Mas Bagas selingkuh?" tanyanya lagi. 

"Kamu gak percaya sama, Mbak?" Sandra menatap nyalang ke arah lelaki berkemeja abu itu. Dia begitu kecewa karena sangat adik tidak mempercayai ucapannya. 

"Aku hanya tidak ingin salah mengambil keputusan. Mbak tahu kan, hubungan aku dan Mas Bagas begitu dekat. Selama ini kalian baik-baik saja. Aku tidak ingin masalah ini menghancurkan semuanya."

"Ikut Mbak ke Bali besok. Kamu akan tahu siapa Mas Bagas sebenarnya. Tapi tolong sembunyikan ini dari anak-anak. Mbak tidak ingin mereka terluka." Ray mengangguk. 

Sandra bergegas pergi meninggalkan bengkel Ray. Dalam hatinya telah tersusun rencana dasyat untuk mempermalukan suami serta gundiknya. Sandra ingin Bagas bersujud di kakinya untuk minta maaf. 

Sepeninggal Sandra, Ray terdiam, memikirkan ucapan kakak kandungnya. Ada pergulatan besar yang melanda hati lelaki bujang itu. Ray tidak terima jika Sandra dikhianati. Di lain sisi dia masih ragu, Bagas tak mungkin seperti ini. Namun bukti percakapan pesan itu, benar adanya. 

***

Sandra melihat diri dari pantulan cermin. Seketika mendung bergelayut di matanya. Bayangan Bagaskara dan Yasmin menari-nari dalam angan. Ia bertekad akan mempermalukan suami serta gundiknya. 

Sandra melangkah mantap keluar kamar sembari menarik koper. 

"Morning...." Sandra meletakkan koper lalu menjatuhkan  bobot di kursi. 

Brian meletakkan sendok di atas piring kalau melihat koper di samping kursi ibunya. 

"Mau ke mana, mi?" tanyanya seraya melirik koper berisi pakaian itu. 

"Ada urusan bisnis. Kamu sudah mau berangkat kuliah?" Sandra berusaha mengalihkan pembicaraan. 

"Ada kelas pagi, mi." 

"Papi semalam tidak pulang lagi, mi?" Sandra meletakkan gelas berisi susu yang hendak di minum. Pertanyaan Brian membuat hatinya bergejolak. 

"Papi ada urusan bisnis di luar kota. Andre mana?" Lagi, Sandra mengalihkan pembicaraan. Dia takut kelepasan saat menjawab pertanyaan dari anak sulungnya itu. 

Tiin... Tiinn.... 

Suara klakson mobil terdengar sampai di meja makan. Sandra segera meminum susu dan beranjak berdiri. Di raih koper yang berada di sampingnya. 

"Mami berangkat, titip Andre. Hanya dua hari." Brian mengangguk meski dalam hati dipenuhi tanda tanya besar. 

"Berangkat sekarang, Ray! Akan ku beri pelajaran Mas Bagas dan Yasmin."

Kira-kira apa yang akan Sandra lakukan ya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status