Share

Bab 11

Saat itu, David sedang menikmati hidangan kelas dunianya. Semua makanan ini tidak mungkin bisa dia dapatkan dulu, meski dalam mimpi sekalipun, tapi sekarang dia bisa memakannya sampai puas.

Ketika David sedang asyik makan, tiba-tiba pintu ruang makannya terbuka. David kira yang datang adalah Prisca, makanya dia pun bilang, “Prisca, ayo makan bareng.”

Akan tetapi, yang masuk pertama ternyata adalah seorang pria berusia 30-an tahun, sedangkan Prisca berada di paling belakang. Di depan Prisca juga ada satu orang lagi yang usianya sekitar 40-an tahun. Di antara ketiga orang yang masuk itu, satu-satunya orang yang David kenali hanyalah Prisca. Namun anehnya, wajah Prisca terlihat sedikit murung dengan mata memerah. Melihat itu, David kurang lebih bisa menebak apa yang telah terjadi padanya.

“Selamat siang, Pak David. Saya Yoga, presiden direktur hotel ini. Maaf, apa Pak David puas dengan pelayanan dan makanan di restoran ini? Apabila butuh sesuatu, silakan katakan saja, kami akan memenuhinya,” kata Yoga dengan nada yang sangat segan.

Dia sangat tertarik dengan David. Orang yang bisa dengan mudah mengeluarkan uang ratusan miliar hanya untuk makan dan bersenang-senang di usianya yang masih sangat muda pastinya adalah anak orang kaya. Tak ada salahnya berkenalan dengan orang seperti itu. Yoga adalah seorang pebisnis, punya banyak kenalan berarti punya banyak jalan baru untuk usahanya. Golden Hotel hanyalah satu dari sekian banyak usaha yang Yoga miliki. Dia juga menjalankan berbagai macam bisnis lainnya di saat yang bersamaan. Siapa yang tahu, mungkin ke depannya bisa bisa menjalin kerja sama dengan David atau siapa pun yang berada di belakangnya.

“Halo, Pak Yoga. Aku cukup puas sama makanan di sini,” ujar David.

“Asal Pak David puas, saya pun senang. Oh ya, saya dengar Pak David ini murid unggulan di Jina University, ya? Masih muda sudah hebat banget, ya.”

“Iya! Tapi aku nggak sehebat itu, lah! Masih banyak yang harus aku pelajari.”

“Pak David bisa saja. Jina University itu universitas top 5 di satu negara, lho. Murid yang bisa masuk ke sana pastinya bakal jadi SDM unggulan. Ini kartu nama saya, apabila Pak David butuh bantuan, silakan langsung hubungi saya.”

“Pak Yoga, aku mau tanya sesuatu!” kata David sembari menerima kartu nama tersebut.

“Silakan, Pak David.”

“Hotel ini dijual?”

“Eh??”

Tidak hanya Yoga, tapi Kenny dan Prisca pun ikut tercengang mendengarnya.

“Pak David bercandanya bisa saja!” ujar Yoga mengelak.

“Memangnya aku kelihatan kayak lagi bercanda? Kalau hotel ini dijual, aku mau beli.”

“Pertama hotel ini dibangun saja butuh biaya sebesar puluhan triliun, dan itu belum termasuk biaya tanahnya. Pak David yakin mau beli hotel ini?”

“Iya! Kalau kamu mau jual, langsung sebut saja harganya berapa!”

Yoga menatap David sejenak dengan teliti, tapi dia masih tidak bisa menerka apa yang membuat anak muda yang usianya jauh lebih muda darinya ini begitu kaya raya. Jangankan menghabiskan ratusan miliar hanya untuk makan, bahkan hotel pun berani dia beli? Orang yang bisa mengeluarkan ratusan miliar dalam bentuk tunai sudah banyak, tapi tidak dengan puluhan triliun. Kalaupun di balik David ada seseorang yang membiayainya, rasanya sulit dipercaya mereka mau mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk permainan anak kecil.

“Apakah mungkin dia ini penerus dari salah satu keluarga konglomerat yang tersembunyi? Cuma orang-orang kayak begitu yang berani keluar uang sebanyak itu,” pikir Yoga dalam hati.

“Sebenarnya bisa saja kalau Pak David tertarik untuk membeli hotel ini, tapi saya harus diskusi dulu dengan beberapa direktur lainnya. Karena bagaimanapun juga yang punya hotel ini bukan saya seorang. Tapi sebelumnya saya mau ingatkan Pak David dulu, kami cuma terima uang tunai,” ujar Yoga.

“Oke, coba kamu tanya dulu mereka! Kalau sudah, kabari aku secepatnya,” tutur David.

“Baik, silakan dinikmati makanannya kembali, Pak David. Saya akan kabari secepatnya.”

Setelah itu, Yoga pun pergi diikuti oleh Kenny di belakang. Prisca juga hendak mengikuti bosnya pergi, tapi tiba-tiba David memanggilnya.

“Prisca, tunggu sebentar. Ada sesuatu yang mau aku omongin,” kata David.

Prisca memutuskan untuk tetap tinggal di sana menemani David. Dia tidak keberatan kehilangan pekerjaan sebagai manajer hotel, tapi yang jelas dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk mendekati David. Dia masih terkejut dengan perkataan David yang ingin membeli hotel ini. Apabila David benar-benar membelinya, dengan hubungan mereka sekarang, sudah pasti David tidak akan membuang Prisca begitu saja. Bahkan tidak menutup kemungkinan ke depannya Prisca akan mendapatkan kesempatan untuk naik pangkat. Sekarang Prisca sungguh berharap bosnya ingin menjual hotel ini kepada David.

Sekembalinya Yoga ke ruang kantornya, dia langsung membuka grup percakapan dengan ketiga orang lainnya.

“Bro, ada yang mau beli kita di Jiwan, gimana?”

Tak lama, seseorang yang bernama Thomas menjawab.

“Siapa? Banyak amat duitnya mau beli hotel kita!” jawab Thomas.

“Namanya David, dia mahasiswa di Jina University,” jawab Yoga.

“Mahasiswa? Yoga, apa kamu nggak ditipu sama dia?! Mana mungkin mahasiswa sanggup beli hotel kita yang harganya sampai triliunan?” jawab seorang lagi yang bernama Jeremy.

“Aku juga pikir begitu,” jawab Thomas.

Yoga berkata, “Memangnya aku kelihatan kayak orang yang gampang ditipu?”

“Iya,” jawab satu orang terakhir yang bernama Billy.

“Aku serius. Jadi mau kita jual atau nggak? Dia masih nunggu jawaban kita!” ujar Yoga.

“Terserah kamu. Kan kamu pemegang saham yang paling banyak,” tutur Thomas.

“Saham kalian bertiga kalau ditotal jadi lebih banyak dari punyaku. Kalau aku mau jual, tapi kalian bertiga nggak setuju, aku juga nggak bisa apa-apa,” kata Yoga.

“Dia serius mau beli? Memangnya dia dari mana? Kamu yakin dia sanggup?” tanya Jeremy.

Yoga menjawab, “Harusnya, sih, begitu. Kemarin saja dia top-up member di hotel sampai 200 miliar.”

“Kalau begitu seharusnya dia nggak bercanda. Menurut kalian gimana? Masih muda begitu sudah punya banyak duit!” balas Jeremy.

Thomas berkata, “Ada kemungkinan dia pewaris keluarga konglomerat yang kita nggak tahu. Billy, gimana pendapat kamu? Kamu tahu dia siapa?”

“Kalau dia benar-benar sanggup keluar sebanyak itu buat beli hotel kita, nggak salah lagi pasti mereka. Mereka pasti sudah dilepas biar ngerasain kerasnya dunia. Kalau sudah waktunya, mereka bakal dapat sebagian warisan keluarga,” kata Billy.

“Apa perlu kita selidiki dulu dia?” tanya Yoga.

“Jangan! Kalau sampai ketahuan, mati pun bakal menderita nanti,” kata Billy.

“Memangnya dia sehebat itu? Kita ini hidup di zaman apa sekarang? Nggak usah lebai, ah,” sahut Yoga.

“Ada beberapa hal di dunia ini yang mending kamu nggak perlu tahu. Nanti, deh. Kalau ada waktu aku kasih lihat seberapa ngerinya mereka,” tutur Billy.

Jeremy pun nemimpali, “Dari dulu aku ingin tahu seberapa hebatnya mereka.”

“Aku juga,” tambah Thomas.

“Ya sudah! Jadi intinya kita mau jual atau nggak?” tanya Yoga.

“Dia berani berapa?” tanya Billy.

“Kita kasih dia buka harga saja,” sahut Yoga.

“Kalian berdua gimana? Aku, sih, terserah. Biar kalian saja yang menentukan. Kalau transaksinya berhasil, aku mau kenalan sama dia,” ujar Billy.

Jeremy menjawab, “Aku rasa 36 triliun oke. Waktu itu biaya hotel ini semuanya cuma 24 triliun, dan beberapa tahun terakhir, kita sudah dapat bagian. Kalau kita jual seharga 36 triliun, kita tetap untung banyak. Kebetulan aku ada proyek lain, kita bisa pakai uangnya untuk investasi ke proyek itu.”

“Proyek apa?” tanya Yoga.

“Sekarang masih belum pasti. Nanti kalau sudah jelas, aku kasih tahu kalian,” jawab Jeremy.

Thomas berkata, “Aku oke saja. Yoga, kita jual 40 triliun saja. Kalau dia tawar, baru kita kasih 36 triliun. Kalau dia masih tawar lebih rendah, jangan kasih.”

Yoga pun menjawab, “Oke. Coba aku kasih 40 triliun, kita lihat gimana jawaban dia. Sudah, ya. Nanti aku kabari lagi.”

Setelah diskusi selesai, Yoga bersiap ke bawah untuk memberikan penawarannya kepada David.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status