LOGIN
“BUK!”
Suara tendangan keras bercampur dengan rasa nyeri yang menyakitkan di tulang rusuknya membuat pemuda berpakaian lusuh itu terbangun dari kegelapan yang pekat. Tubuhnya terhempas ke tanah yang keras, berdebu, dan bau tanah lembab bercampur darah. Bibirnya pecah, ada rasa besi yang pahit mengalir dari ujung lidah ke tenggorokan.
Jason Winata, begitu ia dipanggil di dunia sebelumnya tampak mengerjap. Pandangannya kabur, berbayang-bayang, namun perlahan mulai fokus. Di atasnya, tiga sosok berdiri. Mereka bukan berpakaian ala masa kini, melainkan mengenakan jubah panjang dan ikat pinggang khas zaman kuno, seolah baru keluar dari layar film kerajaan.
"Apa… ini lokasi syuting? Atau aku lagi ikut prank gila?" pikirnya, bingung. Tapi logika itu tak sempat bertahan lama.
Tendangan lain, lebih brutal, menghantam tulang rusuknya dari samping. “KRAK!” terdengar samar suara yang membuat perutnya serasa melilit. Rasa sakit menjalar, membuat tubuhnya gemetar.
“Sudah sadar rupanya kau, pecundang miskin!” seru salah satu pria dengan nada mengejek.
Jason mengangkat wajahnya, mata merah menatap kabur ke arah mereka. “Kalian siapa…?” suaranya serak, lemah tapi penuh kebingungan.
Pria bertubuh besar, jelas pemimpin dari gerombolan itu, menyeringai. “Jason… Jason… kau bahkan pura-pura tidak kenal kami?” suaranya berat, setiap kata diucapkan dengan nada penuh penghinaan.
Jason terperangah. ‘Mereka tahu namaku? Tapi kenapa aku begini? Kenapa aku pakaiannya compang-camping begini, seperti gelandangan di film sejarah? Di mana setelan mahal Armani-ku?’
Pria bertubuh besar itu tidak memberi kesempatan Jason berpikir. Sepatunya yang kasar dan penuh lumpur menginjak dada Jason, menekan keras hingga napasnya tercekat. Jason berusaha mendorong, tapi tenaganya habis.
“Aku kira kau sudah mati tadi. Nafasmu bahkan sudah berhenti! Tapi rupanya kau keras kepala. Sayang sekali, itu cuma menunda penderitaanmu,” desis pria besar itu dengan senyum bengis. “Sekarang… bayar hutangmu pada Tuan Besar Felix, atau aku akan patahkan tangan dan kakimu satu per satu!”
Jason meringis kesakitan, namun masih sempat membalas dengan nada geram, meski bingung. “Tuan Besar Felix? Aku tidak kenal kalian, juga tidak kenal dia! Kenapa kalian terus memukulku? Apa aku ada salah pesan makanan di klub? Atau… aku lupa bayar minuman di VIP lounge?!” Ia menatap pakaiannya sendiri dengan panik. “Apa ini? Mana jas Armani-ku? Mana jam tangan Patek Phillipe-ku?!”
Ketiga pria itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak. Suaranya bergema di udara malam yang dingin.
“Klub? VIP lounge? Dasar tolol!” salah satu dari mereka menepuk lutut sambil menahan tawa.
“Sepertinya kepalamu benar-benar sudah rusak. Kamu ini hanya pemuda miskin yang punya hutang besar pada Tuan Besar!”Jason tertegun. ‘Pemuda miskin? Aku?’ Jantungnya berdetak kencang, kepalanya pusing seperti dipenuhi kabut. Tapi ia masih sempat menggertakkan gigi.
“Itu tidak mungkin! Aku Jason Winata, dokter bedah terkenal di Kota Braxton! Aku punya rumah mewah, mobil sport, dan rekening yang tidak akan pernah kosong! Mana mungkin aku berhutang pada orang yang bahkan tidak aku kenal?!” teriaknya dengan suara parau.
Pria besar itu menatapnya dingin, lalu menunduk mendekat. Napasnya berbau arak murahan bercampur darah. “Dokter bedah kaya, katamu? Hmph, sudah gila rupanya kau. Ingat ini, Jason... di mata kami, kau bukan siapa-siapa. Kau hanya sampah miskin yang hidup dari belas kasihan. Mulai malam ini, hidupmu tidak lagi milikmu.”
PLAAAK!
Suara tamparan itu membelah udara, keras, hingga pipi Jason terasa panas berdenyut, seperti terbakar. Kepala Jason terpelanting ke samping, bibirnya pecah, darah hangat mengalir menuruni dagunya.
Jason terengah, nafasnya berat. Pipi kirinya berdenyut, telinganya berdenging akibat kerasnya tamparan itu. Tubuhnya remuk, tapi pikirannya jauh lebih kacau.
‘Apa-apaan ini?!’ Seingatnya, ia sedang berpesta di klub mewah Kota Braxton bersama teman-teman sesama pemuda kaya, ditemani botol anggur mahal dan gadis-gadis cantik yang tertawa genit di sekeliling mereka. Panggilan darurat operasi masuk di tengah pesta itu, membuatnya harus beranjak dengan mabuk setengah sadar… lalu setelah itu—gelap.
‘Terus sekarang? Kenapa aku ada di gubuk reyot penuh bau apek, dipukuli sampai babak belur oleh orang-orang berpakaian kuno?!’
Jason meludah, darah bercampur air liur menodai lantai tanah. “Kalian siapa? Apa Simon yang bayar kalian untuk menjebakku?!”
Pria bertubuh besar mendengus kasar. “Simon? Omong kosong apa itu? Jangan alihkan pembicaraan! Bayar hutangmu sekarang juga! Jangan banyak alasan, dasar miskin!”
Kakinya yang besar sudah terangkat, siap menghantam tulang rusuk Jason lagi.
Tepat pada saat itu....
“Ding!”
Jason terbelalak. Sebuah tampilan layar transparan berwarna biru pucat tiba-tiba muncul tepat di depan wajahnya, melayang di udara seperti hologram.
[Selamat, Tuan Jason. Anda mendapatkan Sistem Medis!]
Jason membeku. Matanya melebar. ‘Apa-apaan ini?’
“Tunggu!” teriak Jason tiba-tiba, kedua tangannya refleks terangkat, menghentikan langkah kaki sang pria besar.
Ratu Safira melangkah turun dari singgasananya.Bukan langkah angkuh—tetapi langkah seorang penguasa yang tahu bahwa setiap gerakannya mampu menentukan hidup dan mati ribuan orang. Gaun ungu berbahan sutra naga menyapu lantai marmer, mengeluarkan suara lembut seperti desir angin malam.Jason menelan ludah.Semakin dekat sang Ratu, semakin kuat tekanan yang menusuk tulang. Seolah udara di sekelilingnya dipadatkan, membuat Jason merasa jiwanya sedang diukur, ditimbang… lalu diputuskan apakah layak atau tidak.Ratu berhenti tepat di depannya.Jarak mereka hanya beberapa langkah.Tangan Safira terangkat, membelai udara di antara mereka—gerakan ringan seperti membaca aura seseorang.“Jason.”Suaranya lembut… tapi berat seperti beban kerajaan itu sendiri.Tatapannya menusuk.Bening, tajam, dan terlalu jernih untuk ditantang.“Kau melakukan perjalanan panjang. Kau terluka. Otakmu pasti kelelahan. Kau bilang melihat kamp besar?” Bibirnya melengkung sedikit. “Empat puluh laporan penjaga perbat
Udara di lorong terdalam istana terasa berbeda—lebih pekat, lebih berat, seolah setiap helai debu menyimpan rahasia yang tidak mau terbongkar. Jason dan Karina berjalan di belakang Jenderal Alexander, mengikuti langkah mantap sang panglima yang bergema di dinding batu hitam. Cahaya obor redup menari liar, membuat bayangan mereka memanjang, menggeliat di lantai.Dan di ujung lorong itu…Dua pintu emas setinggi lima meter berdiri menjulang. Ukirannya berbentuk naga kembar dengan mata permata ungu yang memantulkan cahaya seperti dua makhluk hidup yang siap menelan siapa pun yang lewat.Alexander berhenti tepat di depan pintu itu.“Ratu Safira ada di dalam,” katanya, suaranya rendah namun mantap. “Kalian harus menjelaskan semuanya dengan jelas. Ini menyangkut nasib satu kerajaan.”Jason mengusap keningnya, jantungnya berdetak seperti genderang perang yang dipukul tak beraturan. Karina menggenggam pergelangan tangan Jason begitu kuat hingga ia bisa merasakan dinginnya telapak tangan gadis
Hari sudah sore menjelang malam saat Jason dan Karina tiba di kediaman Keluarga Wikaya, tapi Jenderal Alexander dan perdana Menteri Nathan tidak ada di tempat.“Kita harus ke istana!” ucap Jason disertai anggukan kepala Karina.Langkah Jason dan Karina membelah hiruk-pikuk Kota Aryaloka. Pasar mulai tutup, pedagang menurunkan tirai, sementara lampu-lampu minyak di sepanjang jalan menyala satu per satu. Namun tidak ada waktu menikmati pemandangan itu—Jason berjalan cepat, hampir berlari, napasnya berat setelah insiden dengan Vardos yang membuat waktunya semakin sempit.Karina menyusul dari belakang. “Jason… pelan sedikit! Kau jalan seperti dikejar hantu!”“Aku memang sedang dikejar sesuatu yang jauh lebih buruk,” jawab Jason tanpa menoleh. “Kalau laporan ini terlambat lima menit saja, Kerajaan Sangkala bisa jatuh sebelum sempat mengangkat pedang untuk melawan.”Karina merinding. Ia sudah melihat mata Jason berkali-kali—namun baru kali ini tatapan itu menunjukkan bahaya sebesar ini.Is
Vardos berdiri menghadang jalan Jason, kedua tangannya terlipat di depan dada, dagu terangkat seperti seorang bangsawan yang baru menang perang.“Kau menyembuhkan seluruh warga Desa Satyaloka?” Vardos menyeringai, suaranya menampar udara. “Mana buktinya? Setahuku… semua penduduk desa itu sudah mati. Tidak ada satu pun yang hidup.”Nada congkaknya membuat darah Jason mendidih. Ia sudah kelelahan dari perjalanan panjang, dan sekarang orang yang ditemuinya di ibu kota adalah tabib arogan yang selalu mencari celah menjatuhkannya.“Terserah apa yang kau percaya,” kata Jason, suaranya tajam seperti pisau bedah. “Aku tidak punya waktu bermain denganmu, Vardos. Ada urusan yang jauh lebih penting.”Vardos mengangkat satu alis. “Kau sudah kalah taruhan. Pergi dari Aryaloka sekarang juga!”Asher, yang berdiri sedikit di belakang, ikut maju. “Vardos benar. Lebih baik kau pergi, Jason. Atau…”Jason mendengus. “Atau apa, Asher? Kau mau membunuhku?”Ia menatap keduanya bergantian, aura kelelahan ber
Setelah berhari-hari menangani pasien satu demi satu, Jason akhirnya memastikan seluruh warga Desa Satyaloka berada pada jalur kesembuhan. Obat-obatan modern dari Kotak Obat Medis—tablet antibakteri, salep regeneratif, dan cairan steril—telah bekerja seperti keajaiban yang tak pernah dikenal oleh zaman ini.Ia menutup kotak itu perlahan, napasnya melembut.“Pergilah dari sini sementara,” ucap Jason kepada para tetua desa. “Cari desa lain yang jauh dari perbatasan Widyaloka. Jika mereka tahu kalian sembuh… kalian bisa dianggap ancaman.”Warga hanya bisa mengangguk, sebagian dengan mata berkaca-kaca.Jason memandangi mereka terakhir kali sebelum berbalik. Ia harus pulang dengan membawa kabar yang lebih berbahaya daripada penyakit apa pun.Kebetulan ia menemukan kuda yang masih sehat di desa yang bisa mempercepat dirinya kembali ke ibukota.Perjalanan pulang Jason berlangsung tenang—terlalu tenang. Tidak ada pasukan Widyaloka yang mengepung, tidak ada anggota Sekte Iblis Medis yang beru
Seluruh desa bersorak, berlutut, dan menangis ketika Jason akhirnya berhasil menyembuhkan seluruh warga desa Satyaloka sekaligus melenyapkan wabah penyakit kusta di desa ini. Tapi ada satu orang yang tidak ikut bersyukur.Kepala desa.Ia berdiri di belakang, wajahnya tegang, pupilnya menyempit—bukan karena takjub, tapi panik.Jason menangkap tatapan itu sekilas.Tatapan seperti orang yang rencananya baru saja hancur berkeping-keping.Malam hari pertama setelah seluruh pasien sembuh, Jason berjalan sendirian menuju sungai, mencuci tangan dari sisa obat dan darah. Udara dingin menggigit kulit. Tepat ketika ia membungkuk…Kraaak!Suara ranting patah terdengar jelas, tapi Jason tidak menoleh.“Keluar kalian! Jangan seperti pengecut!”Dari balik kegelapan, tiga sosok berjubah hitam muncul, membawa kotak jarum beracun dan pisau bedah kuno berkilauan.Simbol tengkorak dan ular tergambar di dada jubah mereka.Jason menarik nafas panjang.“Sekte Iblis Medis…” gumamnya. Ia sudah membaca catata







