Szasza kembali menarik Joya ke dalam pelukannya. Sesaat tadi ia tak tahu harus mengatakan apa. Soal keberuntungan bahwa Joya hanya disentuh saja, atau ungkapan penyesalan karena sekujur tubuh sahabatnya itu sudah dijelajahi pria tua. Dalam hati, ia diam-diam bersyukur. Joya belum sempat dinodai.
"Diminum dulu," Szasza menyodorkan secangkir teh ke tangan Joya. Sahabatnya itu memegang cangkir dengan tangan yang masih sedikit bergetar. “Udah nangisnya?” tanya Szasza sambil memberikan secangkir teh ke tangan Joya.
Joya hanya bisa mengambil teh dari tangan Szasza dan mengusap air matanya dengan menggunakan punggung tangannya.
“Udah, gue kaget Sza. Seumur hidup baru tadi, gue kaya gitu,” isak Joya.
Szasza hanya bisa menepuk bahu Joya, sahabatnya itu memang wanita baik-baik. Sepengetahuannya, Joya bukan wanita munafik yang tidak suka melakukan hal seperti itu. Tapi, Szasza yakin Joya masih melakukan sekitar wilayah dada.
“Udah, udah berlalu juga. Joy.” Szasza berusaha menenangkan Joya yang tampak masih sedikit terguncang.
Joya mengisap tehnya sambil menahan tangisnya. Rasanya dia ingin terus menangis dan merutuki kehidupannya, ternyata hidup tanpa orang tua itu berat.
“Si Hasan telepon atau chat lo, nggak?” tanya Szasza.
Joya langsung melirik ponselnya, diambil kemudian dilihatnya layar ponselnya. Mata Joya membulat saat melihat dua puluh misscall dan beberapa chat dari Hasan.
“Sza, dia telepon gue,” ucap Joya sambil menyerahkan ponsel miliknya ke tangan Szasza.
Szasza dengan malas mengambil ponsel dari tangan Joya. Szasza sudah tau apa yang akan diungkapkan oleh lelaki brengsek bernama Hasan itu.
Saat membuka chatnya Szasza hanya bisa tersenyum penuh kemenangan. Ternyata, apa yang dia pikirkan benar. Bandot tua sialan itu benar-benar memaki Joya dan mempercepat waktu pembayaran.
“Kata Hasan, uangnya harus ada tiga hari lagi.”
Prang...
Cangkir ditangan Joya jatuh, Joya kaget bukan kepalang dengan perkataan Szasza. Bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang sebesar lima ratus juta rupiah, hanya dalam waktu tiga hari. Apa yang harus dia lakukan?
“Jangan bercanda, Sza,” ucap Joya kaget sambil mengambil ponsel dari tangan Szasza dan membaca chat dari Hasan.
“Yeh, baca aja sendiri. Memang kenyataannya kok,” ucap Szasza santai.
Joya langsung memeluk lututnya, “Gue harus gimana ini?”
Szasza menghela napasnya pelan, “Itu kata si Hasan, kalau kamu mau tidur sama dia sebanyak lima kali. Utang kamu lunas.”
Joya langsung memukul badan Szasza kesal, “Sinting kamu, aku nggak mau yah. Aku nggak mau harus kasih perawan aku sama bandot tua kaya gitu,” ucap Joya sambil menggosok-gosok lengannya. Lagi, peristiwa tadi langsung kembali terngiang di kepala Joya.
“Jadi, kalau masih muda, kamu mau?” tanya Szasza.
“Gimana?” tanya Joya bingung dengan perkataan sahabatnya itu. “maksudnya gimana?”
Szasza memperbaiki posisi duduknya sampai menatap Joya. “Lo mau tau kerjaan gue nggak?”
Joya mengerjapkan kedua matanya, kaget dengan pertanyaan Szasza yang tiba-tiba. Baru sekarang Szasza membicarakan tentang pekerjaannya, dulu sebagaimana memohonnya Joya pada Szasza, untuk mengungkapkan apa pekerjaannya. Szasza bergeming, tidak pernah Szasza mau mengungkapkan apa pekerjaannya.
“Apa?” tanya Joya penasaran.
“Gue cewek panggilan, ” jawab Szasza santai.
“Apa, gimana? Cewe panggilan maksudnya gimana?” tanya Joya bingung.
Szasza menepuk kedua bahu Joya, “Gue, apa yah. Ayam kampus.”
“Lo kan kagak kuliah, kok bisa jadi ayam kampus,” ucap Joya polos.
“Hilih,” ucap Szasza gemas dengan kepolosan sahabatnya ini. “Apa dong, gue bingung jelasinnya.”
“Apaan?”
“Gue, itu apa yah. Simpanan om-om bukan juga, karena gue cuman dibayar doang semalaman,” Szasza berpikir kata yang pas dan halus untuk menjelaskan pekerjaannya.
“Lo pekerja seks komersial?” tebak Joya sambil menunjuk hidung Szasza.
Szasza hanya bisa mengangkat tangannya dan menggoyangkannya di hadapan Joya. “Kurang lebih.”
“Hah, jadi lo jual diri?” tanya Joya kaget.
“Iya, gue ini yatim piatu, Joy. Gue nggak mau diem di panti sampai gue tua. Gue harus keluar, gue nggak punya apa pun juga. Yang gue punya cuman ini,” ucap Szasza sambil berdiri dari duduknya dan berputar di hadapan Joya.
“Sza, lo nggak lagi ngelawak ‘kan?” tanya Joya pada Szasza.
“Nggak, gue bukan pelawak.”
“Jadi, lo jual diri lo? Lo nggak risih gitu?” tanya Joya bingung.
“Nggak lah, gue jual diri juga milih-milih. Gue nggak mau yang tua, gue yang tentui harga, waktu, tempat dan lain sebagainya.” Szasza berkata sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Dari kapan, Sza?” tanya Joya bingung.
“Dari gue umur tujuh belas tahun,” jawab Szasza santai.
“Hah, jadi kamu udah dua tahun lakuin ini semuanya?” tanya Joya kaget.
“Iya, tapi ....”
“Tapi, apa? Lo nyesel?”
“Nggak, gue nggak nyesel. Gue seneng banget malah kerja kaya gini,” ucap Szasza sambil mengedipkan matanya.
“Kenapa?”
“Enak, tau. Nagih,” jawab Szasza jujur.
Joya hanya bisa menelan salivanya saat mendengar perkataan Szasza. “Nagih?”
“Aku nggak munafik, Joy. Benaran enak emang,” ucap Szasza sambil menjulurkan lidahnya.
“Astaga, Sza. Gue nggak menyangka lo lakuin itu semua?” Joya menepuk dahinya pelan.
“Tapi, gue bodoh.”
“Bodoh kenapa?” tanya Joya.
“Gue nggak jual perawan gue. Gue kasih cuma-cuma perawan gue, ke pacar gue. Itu bodoh kata gue,” jawab Szasza.
“Kenapa jadi bodoh?” Joya benar-benar tidak mengerti dengan perkataan Szasza.
“Kalau gue jual, mungkin gue udah bisa beli rumah,” jawab Szasza sambil tertawa pelan.
“Emang bisa dijual?” tanya Joya kaget. Joya benar-benar tidak percaya dengan informasi yang saat ini dia dapatkan. Ternyata, dunia yang hanya ada di TV dan film-film itu sedang Szasza jalani.
“Bisalah, lo mau?” tanya Szasza.
Joya langsung menggelengkan kepalanya cepat, ada rasa takut menggelitik dirinya saat mendengar tawaran dari Szasza.
Tawa Szasza terdengar keras ditelinga Joya, “Lo jual perawan lo, utang lo beres. Bahkan, lebihnya bisa buat lo hidup.”
Joya langsung menata manik mata Szasza, “Jangan bercanda, mana ada yang mau beli kegadisan gue.”
“Tiga,” ucap Szasza sambil tersenyum.
“Tiga juta?” tanya Joya.
“Hahaha ... murah banget tiga juta,” ucap Szasza.
“Emang berapa?” tanya Joya.
“Tiga milyar.”
Bug ....
Joya langsung mendaratkan bantalnya ke badan Szasza. “Lo, kalau mau ngelawak jangan di sini. Jauh-jauh sono, nggak usah di sini.”
“Astaga, itu udah paling murah, Joy. Harga cepet, apalagi ceweknya kaya lo, Joy.” Szasza menunjuk tubuh Joya.
Joya terdiam sambil melihat tubuhnya sendiri. Joya sadar dirinya diberikan tubuh yang menawan diusianya yang belia. Payudara Joya tidak besar namun, tidak bisa dikatakan kecil juga. Badannya walau kecil dan mungil tapi, berisi di bagian yang tepat. Kulitnya putih dan senyuman Joya jangan ditanya, banyak pria bertekuk lutut karena senyumannya.
“Lo, jangan gila.” Joya akhirnya berkata sambil beranjak dari kursinya.
“Joy, pilih mana?” tanya Szasza sambil menatap Joya yang sedang berjalan menjauhi Szasza.
“Apa?” tanya Joya lemas, bagaimana tidak lemas. Hari ini dia hampir diperkosa bandot tua dan menerima informasi bahwa sahabatnya adalah seorang pekerja seks komersial.
“Lo, kasih perawan lo ke seorang bandot tua kaya Hasan atau lo jual perawan lo dengan harga fantastis. Lo bisa bertahan hidup, Joy.”
Ruangan itu tiba-tiba terasa seperti berputar. Kakinya terasa tak menjejak dengan benar. Hal paling menjijikkan yang diutarakan Szasza di telinganya berubah menjadi suatu kebenaran yang susah ditampik. Dia perlu solusi sekarang. Hanya solusi. Bukan nasehat.
"Joy, gimana?" Suara Szasza menyadarkan Joy.
Joya menggigit bibir bawahnya seraya memandang Szasza.
"Sza ...."
Tak aneh kalau toilet mini market yang disinggahi puluhan orang setiap harinya selalu berpenampilan luar biasa, meski setiap hari dibersihkan dengan seksama. Walau sudah sering membersihkan toilet, Joya masih selalu mengernyit tiap berjongkok menyikat lantainya. Tepian WC selalu membuatnya mual. "Aww!" Kepala Joya tersentak ke belakang. Rambutnya yang diikat tinggi itu ditarik tiba-tiba oleh seseorang. "Nama lo Joya Dimitra?" tanya pria pelaku yang baru saja menarik rambut Joya. Sikat yang tadi dipegang Joya, terlepas. Tangannya seketika berpindah memegangi bagian kepalanya yang berdenyut karena tarikan pria itu. "Sakit, Pak. Tolong lepas," teriak Joya keras sambil berusaha mencakar tangan yang sedang menarik rambutnya. Rasa sakit langsung menjalar ke kepala Joya. "Gue tanya sekali lagi, nama lo Joya Dimitra?" "Iya, Nama gue Joya Dimitra," jerit Joya keras sambil berusaha mele
"O--Oya," cicit Joya. Suaranya hilang ditelan ketakutan. Belum lagi selesai mengatur napasnya. Sepasang bibir, melumat mulutnya membabi buta. Lidah laki-laki itu membelitnya, memaksa dirinya untuk membuka mulutnya dan memberikan aksen tak terbatas pada dirinya agar dapat menjelajah bibir Joya. Joya merasakan tangan lelaki itu mulai meremas payudaranya dengan sangat keras, Joya yakin setelah ini berakhir Joya akan mendapati banyak lebam di sekujur tubuhnya yang sangat sensitif. Lelaki itu menarik lagi telinga Joya ke bawah, entah kenapa lelaki ini selalu menarik-narik telinga Joya saat menciumnya. Sesaat Joya merasakan lelaki itu mengurai ciumannya. "Sebentar." Joya tersengal-sengal, Joya berjuang untuk bernapas. Ini bukan ciuman pertamanya. Tapi, lelaki yang saat ini sudah membelinya memiliki ciuman termabukkan dan terbaik yang pernah Joya rasakan. Terdengar kekehan pelan ditelinga Joya. "Kenapa saya harus berh
Tubuh lelaki itu ambruk menimpa Joya, Joya hanya bisa pasrah mendapati lelaki tersebut menimpanya. Rasa sesak, lengket dan deburan kenikmatan benar-benar Joya rasakan saat ini. Semuanya bersatu menjadi satu, ini adalah pertama kali Joya merasakan semuanya sekaligus.Joya merasakan pergerakkan di atas tubuhnya, lelaki tersebut sepertinya bergerak kesamping Joya. Joya diam pasrah, tubuhnya menggigil bukan main karena suhu udara yang dingin, sedangkan dirinya tidak mengenakan sehelaipun benang di tubuhnya.“Berapa berat badan kamu?”“Hah, gimana?” tanya Joya bingung, lelaki sinting itu malah bertanya berapa berat badannya? Buat apa?“Kamu budek? Saya tanya berapa berat badan kamu?” tanya lelaki itu sambil meremas salah satu dada Joya.
Joya merasakan rasa hangat menyelimutinya. Bukan, bukan selimut hotel yang menghangatkan tubuhnya yang kelelahan atas semua kegiatan yang telah dirinya lakukan. Joya merasakan dada yang bidang dihadapannya, lengan yang kekar dan kaki yang keras juga liat merengkuhnya.Wangi maskulin dari lelaki itu langsung menggelitik hidungnya, wanginya benar-benar membuat dirinya nyaman. Tanpa sadar Joya menelusupkan wajahnya diatara ceruk leher lelaki itu.Merasakan pergerakkan dari Joya, lelaki itu mengecup pucuk rambut Joya, terdengar gumanan dari lelaki itu, "Kamu wangi bayi, aku suka Oya."Tubuh Joya meremang saat merasakan jari jemari lelaki itu bergerak di belakang punggungnya. Menggelitiknya, memberikan sensasi yang tidak mampu Joya ungkapkan dengan kata-kata."
Delapan tahun kemudian....Kring ... Kring ...Terdengar suara handphone di atas nakas, tiba-tiba keluar sebuah tangan dari balik selimut. Selimutnya sedikit tersibak, dengan cekatan tangan itu berusaha meraih handphone di atas nakas.“Mamah,” jerit seseorang dari balik selimut.“Siapa? Mamah siapa?” tanya Szasza bingung sambil bangkit dari tidurnya dan melihat ke sekeliling kamar.“Szasza gue telat,” jerit Joya sambil berlari ke kamar mandi.“Telat apaan?” tanya Szasza bingung. “Lo telat datang bulan? Emang lo punya pacar atau one night stand sama siapa?”Brang ... Prang ...Terdengar suara barang-barang berjatuha
"Joya, kamu tolong kasih ini semua ke kokpit," pinta Diana sambil menyerahkan sebotol air mineral satu liter, tissue dan plastik sampah."Harus saya?" tanya Joya pada Diana dengan suara memelas. Joya sedang malas berurusan dengan sektor kopilot.Lebih tepatnya Joya sedang tidak mau berurusan dengan seorang Fajar Larsson. Pilot tampan berusia 38 tahun, yang memiliki gelar Captain America-nya maskapai penerbangan mereka. Dari pertama mereka berkenalan hingga detik ini Joya dan Fajar tidak pernah akur. tapi, entah kenapa schedulle mereka selalu sama dan untungnya Fajar tidak pernah menurunkan Joya dengan alasan tidak bisa diajak bekerja sama, padahal Fajar bisa melakukan hal tersebut pada dirinya."Mau siapa lagi?" tanya Diana sambil menatap Joya. "Ada orang lain di sini?"Argh ... rasanya Joya ingin melemparkan kettle yang ada di tangannya kearah Diana, andai Joya tidak ingat siapa Diana mungkin sudah Joya lakukan. "Baik, Mbak."Joya dengan patuh men
Sepanjang perjalanan bolak-balik Jakarta-Denpasar dan Denpasar- Jakarta, Joya harus banyak-banyak menahan kesabarannya. Fajar benar-benar membuat kepalanya hampir meledak. Ada saja hal yang salah di mata Fajar, rasanya Joya ingin berteriak kalau yang salah adalah mata Fajar bukan kelakuan Joya."Dasar Fajar Klakson sialan!?" maki Joya sambil memasukkan dua sendok gula ke dalam kopi milik Fajar."Kenapa? Salah lagi?" tanya Trisa sambil menahan tawanya."Taulah, kalau salah lagi aku kasih air keran, nyebelin sumpah. Kenapa sih, kenapa Diana nyuruh aku balik lagi ke bagian bisnis? Udah bagus kaya rute tadi aku di simpan di bagian Ekonomi," rutuk Joya sambil memasukkan mengocok kopi untuk Fajar."Kak Ani 'kan sakit, Kak. Ya udah mau gimana lagi, aku aja ampe b
“Iya Kapt,” jawab Joya sambil menatap manik mata Fajar.Fajar sama sekali tidak bisa berkata apapun, manik mata Joya seakan memerangkapnya. Tatapan, Joya benar-benar membius Fajar. Tanpa sadar jemari Fajar terulur dan menyentuh bibir Joya.Joya tersentak kaget saat merasakan sentuhan jari Fajar, Joya langsung merasakan perasaan aneh ditubuhnya. “Kapt ....”Fajar tersentak saat mendengar panggilan Joya, dengan cepat diturunkan kembali tangannya dari bibir Joya. “Maaf, kamu bisa pergi.”Fajar melepaskan pegangan tangannya, sebelum Joya melangkah Fajar berkata, “Maaf, Joya. Tapi, saya nggak mungkin keluarin kamu dari crew.”“Kenapa?” tanya Joya bingung sambil membalikkan tubuhnya dan menatap manik mata hitam Fajar. Sepatu hak tinggi miliknya membuat tubuhnya hanya kurang lima sentimeter dari tinggi Fajar.