Share

4. Jalan Keluar Penuh Kebingungan

Szasza kembali menarik Joya ke dalam pelukannya. Sesaat tadi ia tak tahu harus mengatakan apa. Soal keberuntungan bahwa Joya hanya disentuh saja, atau ungkapan penyesalan karena sekujur tubuh sahabatnya itu sudah dijelajahi pria tua. Dalam hati, ia diam-diam bersyukur. Joya belum sempat dinodai.

"Diminum dulu," Szasza menyodorkan secangkir teh ke tangan Joya. Sahabatnya itu memegang cangkir dengan tangan yang masih sedikit bergetar. “Udah nangisnya?” tanya Szasza sambil memberikan secangkir teh ke tangan Joya.

Joya hanya bisa mengambil teh dari tangan Szasza dan mengusap air matanya dengan menggunakan punggung tangannya. 

“Udah, gue kaget Sza. Seumur hidup baru tadi, gue kaya gitu,” isak Joya.

Szasza hanya bisa menepuk bahu Joya, sahabatnya itu memang wanita baik-baik. Sepengetahuannya, Joya bukan wanita munafik yang tidak suka melakukan hal seperti itu. Tapi, Szasza yakin Joya masih melakukan sekitar wilayah dada.

“Udah, udah berlalu juga. Joy.” Szasza berusaha menenangkan Joya yang tampak masih sedikit terguncang.

Joya mengisap tehnya sambil menahan tangisnya. Rasanya dia ingin terus menangis dan merutuki kehidupannya, ternyata hidup tanpa orang tua itu berat. 

“Si Hasan telepon atau chat lo, nggak?” tanya Szasza.

Joya langsung melirik ponselnya, diambil kemudian dilihatnya layar ponselnya. Mata Joya membulat saat melihat dua puluh misscall dan beberapa chat dari Hasan.

“Sza, dia telepon gue,” ucap Joya sambil menyerahkan ponsel miliknya ke tangan Szasza.

Szasza dengan malas mengambil ponsel dari tangan Joya. Szasza sudah tau apa yang akan diungkapkan oleh lelaki brengsek bernama Hasan itu.

Saat membuka chatnya Szasza hanya bisa tersenyum penuh kemenangan. Ternyata, apa yang dia pikirkan benar. Bandot tua sialan itu benar-benar memaki Joya dan mempercepat waktu pembayaran.

“Kata Hasan, uangnya harus ada tiga hari lagi.”

Prang...

Cangkir ditangan Joya jatuh, Joya kaget bukan kepalang dengan perkataan Szasza. Bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang sebesar lima ratus juta rupiah, hanya dalam waktu tiga hari. Apa yang harus dia lakukan?

“Jangan bercanda, Sza,” ucap Joya kaget sambil mengambil ponsel dari tangan Szasza dan membaca chat dari Hasan.

“Yeh, baca aja sendiri. Memang kenyataannya kok,” ucap Szasza santai.

Joya langsung memeluk lututnya, “Gue harus gimana ini?” 

Szasza menghela napasnya pelan, “Itu kata si Hasan, kalau kamu mau tidur sama dia sebanyak lima kali. Utang kamu lunas.”

Joya langsung memukul badan Szasza kesal, “Sinting kamu, aku nggak mau yah. Aku nggak mau harus kasih perawan aku sama bandot tua kaya gitu,” ucap Joya sambil menggosok-gosok lengannya. Lagi, peristiwa tadi langsung kembali terngiang di kepala Joya.

“Jadi, kalau masih muda, kamu mau?” tanya Szasza.

“Gimana?” tanya Joya bingung dengan perkataan sahabatnya itu. “maksudnya gimana?”

Szasza memperbaiki posisi duduknya sampai menatap Joya. “Lo mau tau kerjaan gue nggak?” 

Joya mengerjapkan kedua matanya, kaget dengan pertanyaan Szasza yang tiba-tiba. Baru sekarang Szasza membicarakan tentang pekerjaannya, dulu sebagaimana memohonnya Joya pada Szasza, untuk mengungkapkan apa pekerjaannya. Szasza bergeming, tidak pernah Szasza mau mengungkapkan apa pekerjaannya.

“Apa?” tanya Joya penasaran.

“Gue cewek panggilan, ” jawab Szasza santai.

“Apa, gimana? Cewe panggilan maksudnya gimana?” tanya Joya bingung.

Szasza menepuk kedua bahu Joya, “Gue, apa yah. Ayam kampus.”

“Lo kan kagak kuliah, kok bisa jadi ayam kampus,” ucap Joya polos.

“Hilih,” ucap Szasza gemas dengan kepolosan sahabatnya ini. “Apa dong, gue bingung jelasinnya.”

“Apaan?”

“Gue, itu apa yah. Simpanan om-om bukan juga, karena gue cuman dibayar doang semalaman,” Szasza berpikir kata yang pas dan halus untuk menjelaskan pekerjaannya.

“Lo pekerja seks komersial?” tebak Joya sambil menunjuk hidung Szasza.

Szasza hanya bisa mengangkat tangannya dan menggoyangkannya di hadapan Joya. “Kurang lebih.”

“Hah, jadi lo jual diri?” tanya Joya kaget.

“Iya, gue ini yatim piatu, Joy. Gue nggak mau diem di panti sampai gue tua. Gue harus keluar, gue nggak punya apa pun juga. Yang gue punya cuman ini,” ucap Szasza sambil berdiri dari duduknya dan berputar di hadapan Joya.

“Sza, lo nggak lagi ngelawak ‘kan?” tanya Joya pada Szasza.

“Nggak, gue bukan pelawak.” 

“Jadi, lo jual diri lo? Lo nggak risih gitu?” tanya Joya bingung.

“Nggak lah, gue jual diri juga milih-milih. Gue nggak mau yang tua, gue yang tentui harga, waktu, tempat dan lain sebagainya.” Szasza berkata sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Dari kapan, Sza?” tanya Joya bingung.

“Dari gue umur tujuh belas tahun,” jawab Szasza santai. 

“Hah, jadi kamu udah dua tahun lakuin ini semuanya?” tanya Joya kaget.

“Iya, tapi ....”

“Tapi, apa? Lo nyesel?”

“Nggak, gue nggak nyesel. Gue seneng banget malah kerja kaya gini,” ucap Szasza sambil mengedipkan matanya.

“Kenapa?”

“Enak, tau. Nagih,” jawab Szasza jujur.

Joya hanya bisa menelan salivanya saat mendengar perkataan Szasza. “Nagih?”

“Aku nggak munafik, Joy. Benaran enak emang,” ucap Szasza sambil menjulurkan lidahnya.

“Astaga, Sza. Gue nggak menyangka lo lakuin itu semua?” Joya menepuk dahinya pelan.

“Tapi, gue bodoh.”

“Bodoh kenapa?” tanya Joya.

“Gue nggak jual perawan gue. Gue kasih cuma-cuma perawan gue, ke pacar gue. Itu bodoh kata gue,” jawab Szasza.

“Kenapa jadi bodoh?” Joya benar-benar tidak mengerti dengan perkataan Szasza.

“Kalau gue jual, mungkin gue udah bisa beli rumah,” jawab Szasza sambil tertawa pelan.

“Emang bisa dijual?” tanya Joya kaget. Joya benar-benar tidak percaya dengan informasi yang saat ini dia dapatkan. Ternyata, dunia yang hanya ada di TV dan film-film itu sedang Szasza jalani.

“Bisalah, lo mau?” tanya Szasza.

Joya langsung menggelengkan kepalanya cepat, ada rasa takut menggelitik dirinya saat mendengar tawaran dari Szasza. 

Tawa Szasza terdengar keras ditelinga Joya, “Lo jual perawan lo, utang lo beres. Bahkan, lebihnya bisa buat lo hidup.”

Joya langsung menata manik mata Szasza, “Jangan bercanda, mana ada yang mau beli kegadisan gue.”

“Tiga,” ucap Szasza sambil tersenyum.

“Tiga juta?” tanya Joya.

“Hahaha ... murah banget tiga juta,” ucap Szasza.

“Emang berapa?” tanya Joya.

“Tiga milyar.”

Bug ....

Joya langsung mendaratkan bantalnya ke badan Szasza. “Lo, kalau mau ngelawak jangan di sini. Jauh-jauh sono, nggak usah di sini.” 

“Astaga, itu udah paling murah, Joy. Harga cepet, apalagi ceweknya kaya lo, Joy.” Szasza menunjuk tubuh Joya.

Joya terdiam sambil melihat tubuhnya sendiri. Joya sadar dirinya diberikan tubuh yang menawan diusianya yang belia. Payudara Joya tidak besar namun, tidak bisa dikatakan kecil juga. Badannya walau kecil dan mungil tapi, berisi di bagian yang tepat. Kulitnya putih dan senyuman Joya jangan ditanya, banyak pria bertekuk lutut karena senyumannya.

“Lo, jangan gila.” Joya akhirnya berkata sambil beranjak dari kursinya.

“Joy, pilih mana?” tanya Szasza sambil menatap Joya yang sedang berjalan menjauhi Szasza.

“Apa?” tanya Joya lemas, bagaimana tidak lemas. Hari ini dia hampir diperkosa bandot tua dan menerima informasi bahwa sahabatnya adalah seorang pekerja seks komersial.

“Lo, kasih perawan lo ke seorang bandot tua kaya Hasan atau lo jual perawan  lo dengan harga fantastis. Lo bisa bertahan hidup, Joy.”

Ruangan itu tiba-tiba terasa seperti berputar. Kakinya terasa tak menjejak dengan benar. Hal paling menjijikkan yang diutarakan Szasza di telinganya berubah menjadi suatu kebenaran yang susah ditampik. Dia perlu solusi sekarang. Hanya solusi. Bukan nasehat.

"Joy, gimana?" Suara Szasza menyadarkan Joy. 

Joya menggigit bibir bawahnya seraya memandang Szasza.

"Sza ...."

  • •••••
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Neng Ade
c szasa mh udh tau enk
goodnovel comment avatar
Irma Yani
disitulah terkadang hidup yg memaksa kita untuk melakukan yg g seharusnya dilakukan.........
goodnovel comment avatar
Hidayat Tulloh
inilah yang terjadi..jenjreng...,.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status