"Hah, maksud Bapak apa?" tanya Joya kaget, pelayanan yang seperti apa yang diharapkan oleh Hasan. Joya yakin pelayanan ini pasti ada hubungannya dengan kegiatan esek-esek.
"Kamu jangan pura-pura polos lah." Hasan mendekati badan Joya dan mengelus paha Joya.
Seperti tersengat listrik, Joya langsung mendorong tangan Hasan dari pahanya. Rasa jijik langsung Joya rasakan, "Maksudnya apa, yah?"
"Astaga jangan pura-pura lugu lah, emang kamu nggak pernah apa?"
"Pernah apaan?" tanya Joya berang.
"Zaman kaya gini, nggak mungkin kamu masih perawan," ucap Hasan sambil mendekatkan bibirnya ke bibir Joya.
Joya yang kaget sontak mendorong badan Hasan dengan keras, "Saya masih perawan, Pak."
"Oh, yah. Coba sini saya cicip," ucap Hasan sambil menyentuh bagian dalam paha Joya.
Jari jemari Hasan yang kasar langsung membuat Joya meremang, "Saya bilang lepas."
Hasan langsung merasa tertantang dengan penolakan Joya, dengan kasar dicengkeramnya tangan Joya. Badan Joya yang mungil langsung terdorong ke belakang dan menabrak pintu mobil, wajah Hasan sudah berada di ceruk leher Joya, dengan liar Hasan mengecupi dan menggigit leher Joya dengan kasar.
"Lepas?!" bentak Joya sambil terus mendorong badan Hasan yang dua kali lipat dari badannya.
"Nggak usah nolak, Joya. Kamu mau hutang kamu lunas atau nggak?" tanya Hasan sambil menarik kemeja Joya dengan paksa.
Seketika itu juga Joya menjerit, teriakkannya terdengar memekikkan telinganya, "Lepas?!" bentak Joya keras.
Joya berteriak makin keras saat Hasan menarik celana dalamnya dengan paksa, tangan Joya otomatis menahan celana dalamnya yang sudah hampir setengah pahanya. "Jangan, Pak. Saya masih perawan."
Hasan yang mendengar perkataan Joya makin memaksa Joya untuk melayaninya. Sudah lama dia tidak mencicipi gadis perawan. Apalagi perawannya seperti Joya, siapa yang tidak mau. Gadis di hadapannya ini cantik luar biasa, kulitnya mulus dan putih. Payudara yang menakjubkan tertutup di balik kemeja milik Joya.
"Kamu mau bayar hutang nggak?" bentak Hasan sambil menekan kepala Joya ke arah pintu mobil.
"Aw...." Joya menjerit keras saat merasakan tekanan tangan Hasan, sakitnya bukan main. Air mata Joya meledak, saat merasakan tangan Hasan yang lainnya saat ini sedang mengelus payudaranya dengan kasar.
"Nggak mau, tolong," teriak Joya keras sambil menggebrak kaca di bagian belakang pintunya. Joya menggerakkan setiap inci badannya, membuat mobil tersebut bergoyang karena gerekkan Joya.
"Diam, dua kali kamu layani saya. Hutang kamu lunas Joya Dimitra," teriak Hasan sambil menggigit bibir bagian bawah Joya dengan paksa.
Joya menendang Hasan dengan sekuat tenaga, mengerahkan semua tenaga miliknya. Joya benar-benar muak dengan Hasan. Lelaki yang memiliki bobot tubuh dua kali tubuhnya dan umur yang sama seperti mendiang ayahnya. Ditambah bau badannya yang membuat Joya hampir memuntahkan semua isi perutnya.
Hasan makin seperti kesetanan saat menarik baju Joya, saking kerasnya Hasan menarik baju Joya, dua kancing baju milik Joya terlempar dengan keras. Mata Hasan langsung membulat sempurna saat melihat belahan dada Joya yang sangat-sangat menggairahkan.
"Payudara kamu sempurna, Joy." Hasan menggigit dada Joya dengan keras.
"Sakit, brengsek." Joya mendorong badan Hasan dengan sekuat tenaganya, digerakkan semua tubuhnya. Joya menggerakkan semua badannya membuat mobil Hasan bergoyang tak tentu arah.
Joya yang bergerak dengan beringas, membuat Hasan sedikit kewalahan. Namun, Hasan tersenyum saat mendapati paha Joya yang makin terbuka lebar membuat Hasan dengan mudahnya menarik kedua kaki Joya dengan keras. Joya kaget saat menyadari posisi Hasan yang sudah ada di antara pahanya. seringai Hasan membuat Joya bergidik.
"Bergerak terus kamu Joya, semakin banyak kamu bergerak, semakin terbuka paha kamu sayang," desah Hasan sambil mengusap paha bagian dalam Joya.
Joya tersentak saat merasakan tangan kasar itu mengusap bagian dalam pahanya. "Bangsat, bandot tua kurang ajar. Lepas?!"
Hasan terkekeh saat mendengar teriakkan Joya. "Bandot tua kurang ajar ini yang akan mendapatkan semuanya, sayangku."
Hasan mengecup leher Joya dengan beringas, tangan Hasan dengan cekatan mengeluarkan payudara Joya dari wadahnya. Meremasnya dengan ganas.
"Bangsat," teriak Joya sambil mencakar kepala Hasan dengan kukunya yang panjang, Joya berjuang keras untuk mempertahankan harga dirinya. Tangannya mencakar setiap inci tubuh Hasan, bibir Joya dengan cepat menggigit dengan keras kuping bagian kanan Hasan.
"Pelacur laknat," teriak Hasan saat mendapati kupingnya di gigit dengan beringas oleh Joya.
Plak...
Tamparan keras langsung Joya rasakan di pipinya, rasa panas dan perih langsung menjalar di pipi Joya. Sakitnya bukan main. Joya bergerak terus mundur ke belakang, melesak ke arah pintu mobil. Pikirannya saat ini hanya ingin pergi dari sana, melarikan diri sejauh mungkin. Dia ingin menganggap semua ini, mimpi. Dia ingin semuanya ini berakhir. Joya muak dengan hidupnya.
Tiba-tiba saja Joya merasakan tempat dia bersandar bergerak, sontak itu membuat badannya terjungkal ke belakang. Joya yang kaget sontak membuka matanya dan kaget saat mendapati Szasza yang ada dibelakang-Nya sedang membawa sebuah semprotan.
"Lepasi sahabat gue, bandot?!" teriak Szasza keras sambil memukul Hasan.
Hasan yang kaget dengan suara teriakkan Szasza otomatis mengangkat wajahnya, saat melihat Szasza, Hasan langsung merasakan sesuatu yang panas mengenai matanya. Dengan cepat Hasan menutup kedua matanya dengan kedua tangannya.
Joya yang merasakan kelonggaran langsung mendorong badan Hasan dan keluar dari dalam mobil. Dengan cepat Joya berdiri dan memperbaiki bajunya. Diambilnya celana dalamnya dari bawah jok mobil milik Hasan.
SRET ....
Szasza menyemprotkan semprotan lada bercampur merica ke arah wajah Hasan, "Makan nih."
"Argh ... pedih, sakit," maki Hasan keras sambil menjauhi arah di mana Szasza berdiri. Tangannya mengipas-ngipas wajahnya yang mulai merasakan panas bukan main.
"Mampus, makan tuh cabe sama merica. Dasar bandot tua," maki Szasza sambil menarik Joya untuk meninggalkan tempat tersebut.
Joya dengan patuh, berlari bersama Szasza menjauhi mobil Hasan yang berada di parkiran mini market yang paling sepi. Joya dan Szasza berlari seperti orang dikejar setan, mereka sama sekali tidak menengokkan kepalanya ke belakang sama sekali.
Sesampainya di depan minimarket tempat Joya bekerja, Szasza langsung memeluk Joya. "Lo nggak papa?"
Joya terdiam saat mendapatkan pelukan dari Szasza, napas yang masih memburu dan rasa takut setelah mengalami peristiwa tersebut membuat Joya langsung menangis histeris. Joya menangis dipelukan sahabatnya itu.
Saking takutnya, kaki Joya sampai tidak mampu lagi menahan tubuhnya. Tubuhnya ambruk, tangannya bergetar sambil memeluk Szasza erat.
"Sza tadi gue hampir di...."
"Lo belom di apa-apain, kan?" Sasa melepaskan pelukannya dan sibuk membolak-balik tubuh Joya.
"Dia megang-megang gue, Sza .... Gue jijik! Gue jijik! Badan gue semuanya dipegang," raung Joya.
*******
Szasza kembali menarik Joya ke dalam pelukannya. Sesaat tadi ia tak tahu harus mengatakan apa. Soal keberuntungan bahwa Joya hanya disentuh saja, atau ungkapan penyesalan karena sekujur tubuh sahabatnya itu sudah dijelajahi pria tua. Dalam hati, ia diam-diam bersyukur. Joya belum sempat dinodai. "Diminum dulu," Szasza menyodorkan secangkir teh ke tangan Joya. Sahabatnya itu memegang cangkir dengan tangan yang masih sedikit bergetar. “Udah nangisnya?” tanya Szasza sambil memberikan secangkir teh ke tangan Joya. Joya hanya bisa mengambil teh dari tangan Szasza dan mengusap air matanya dengan menggunakan punggung tangannya. “Udah, gue kaget Sza. Seumur hidup baru tadi, gue kaya gitu,” isak Joya. Szasza hanya bisa menepuk bahu Joya, sahabatnya itu memang wanita baik-baik. Sepengetahuannya, Joya bukan wanita munafik yang tidak suka melakukan hal seperti itu. Tapi, Szasza yakin Joya masih melakukan sekitar wilayah dada. “Udah, u
Tak aneh kalau toilet mini market yang disinggahi puluhan orang setiap harinya selalu berpenampilan luar biasa, meski setiap hari dibersihkan dengan seksama. Walau sudah sering membersihkan toilet, Joya masih selalu mengernyit tiap berjongkok menyikat lantainya. Tepian WC selalu membuatnya mual. "Aww!" Kepala Joya tersentak ke belakang. Rambutnya yang diikat tinggi itu ditarik tiba-tiba oleh seseorang. "Nama lo Joya Dimitra?" tanya pria pelaku yang baru saja menarik rambut Joya. Sikat yang tadi dipegang Joya, terlepas. Tangannya seketika berpindah memegangi bagian kepalanya yang berdenyut karena tarikan pria itu. "Sakit, Pak. Tolong lepas," teriak Joya keras sambil berusaha mencakar tangan yang sedang menarik rambutnya. Rasa sakit langsung menjalar ke kepala Joya. "Gue tanya sekali lagi, nama lo Joya Dimitra?" "Iya, Nama gue Joya Dimitra," jerit Joya keras sambil berusaha mele
"O--Oya," cicit Joya. Suaranya hilang ditelan ketakutan. Belum lagi selesai mengatur napasnya. Sepasang bibir, melumat mulutnya membabi buta. Lidah laki-laki itu membelitnya, memaksa dirinya untuk membuka mulutnya dan memberikan aksen tak terbatas pada dirinya agar dapat menjelajah bibir Joya. Joya merasakan tangan lelaki itu mulai meremas payudaranya dengan sangat keras, Joya yakin setelah ini berakhir Joya akan mendapati banyak lebam di sekujur tubuhnya yang sangat sensitif. Lelaki itu menarik lagi telinga Joya ke bawah, entah kenapa lelaki ini selalu menarik-narik telinga Joya saat menciumnya. Sesaat Joya merasakan lelaki itu mengurai ciumannya. "Sebentar." Joya tersengal-sengal, Joya berjuang untuk bernapas. Ini bukan ciuman pertamanya. Tapi, lelaki yang saat ini sudah membelinya memiliki ciuman termabukkan dan terbaik yang pernah Joya rasakan. Terdengar kekehan pelan ditelinga Joya. "Kenapa saya harus berh
Tubuh lelaki itu ambruk menimpa Joya, Joya hanya bisa pasrah mendapati lelaki tersebut menimpanya. Rasa sesak, lengket dan deburan kenikmatan benar-benar Joya rasakan saat ini. Semuanya bersatu menjadi satu, ini adalah pertama kali Joya merasakan semuanya sekaligus.Joya merasakan pergerakkan di atas tubuhnya, lelaki tersebut sepertinya bergerak kesamping Joya. Joya diam pasrah, tubuhnya menggigil bukan main karena suhu udara yang dingin, sedangkan dirinya tidak mengenakan sehelaipun benang di tubuhnya.“Berapa berat badan kamu?”“Hah, gimana?” tanya Joya bingung, lelaki sinting itu malah bertanya berapa berat badannya? Buat apa?“Kamu budek? Saya tanya berapa berat badan kamu?” tanya lelaki itu sambil meremas salah satu dada Joya.
Joya merasakan rasa hangat menyelimutinya. Bukan, bukan selimut hotel yang menghangatkan tubuhnya yang kelelahan atas semua kegiatan yang telah dirinya lakukan. Joya merasakan dada yang bidang dihadapannya, lengan yang kekar dan kaki yang keras juga liat merengkuhnya.Wangi maskulin dari lelaki itu langsung menggelitik hidungnya, wanginya benar-benar membuat dirinya nyaman. Tanpa sadar Joya menelusupkan wajahnya diatara ceruk leher lelaki itu.Merasakan pergerakkan dari Joya, lelaki itu mengecup pucuk rambut Joya, terdengar gumanan dari lelaki itu, "Kamu wangi bayi, aku suka Oya."Tubuh Joya meremang saat merasakan jari jemari lelaki itu bergerak di belakang punggungnya. Menggelitiknya, memberikan sensasi yang tidak mampu Joya ungkapkan dengan kata-kata."
Delapan tahun kemudian....Kring ... Kring ...Terdengar suara handphone di atas nakas, tiba-tiba keluar sebuah tangan dari balik selimut. Selimutnya sedikit tersibak, dengan cekatan tangan itu berusaha meraih handphone di atas nakas.“Mamah,” jerit seseorang dari balik selimut.“Siapa? Mamah siapa?” tanya Szasza bingung sambil bangkit dari tidurnya dan melihat ke sekeliling kamar.“Szasza gue telat,” jerit Joya sambil berlari ke kamar mandi.“Telat apaan?” tanya Szasza bingung. “Lo telat datang bulan? Emang lo punya pacar atau one night stand sama siapa?”Brang ... Prang ...Terdengar suara barang-barang berjatuha
"Joya, kamu tolong kasih ini semua ke kokpit," pinta Diana sambil menyerahkan sebotol air mineral satu liter, tissue dan plastik sampah."Harus saya?" tanya Joya pada Diana dengan suara memelas. Joya sedang malas berurusan dengan sektor kopilot.Lebih tepatnya Joya sedang tidak mau berurusan dengan seorang Fajar Larsson. Pilot tampan berusia 38 tahun, yang memiliki gelar Captain America-nya maskapai penerbangan mereka. Dari pertama mereka berkenalan hingga detik ini Joya dan Fajar tidak pernah akur. tapi, entah kenapa schedulle mereka selalu sama dan untungnya Fajar tidak pernah menurunkan Joya dengan alasan tidak bisa diajak bekerja sama, padahal Fajar bisa melakukan hal tersebut pada dirinya."Mau siapa lagi?" tanya Diana sambil menatap Joya. "Ada orang lain di sini?"Argh ... rasanya Joya ingin melemparkan kettle yang ada di tangannya kearah Diana, andai Joya tidak ingat siapa Diana mungkin sudah Joya lakukan. "Baik, Mbak."Joya dengan patuh men
Sepanjang perjalanan bolak-balik Jakarta-Denpasar dan Denpasar- Jakarta, Joya harus banyak-banyak menahan kesabarannya. Fajar benar-benar membuat kepalanya hampir meledak. Ada saja hal yang salah di mata Fajar, rasanya Joya ingin berteriak kalau yang salah adalah mata Fajar bukan kelakuan Joya."Dasar Fajar Klakson sialan!?" maki Joya sambil memasukkan dua sendok gula ke dalam kopi milik Fajar."Kenapa? Salah lagi?" tanya Trisa sambil menahan tawanya."Taulah, kalau salah lagi aku kasih air keran, nyebelin sumpah. Kenapa sih, kenapa Diana nyuruh aku balik lagi ke bagian bisnis? Udah bagus kaya rute tadi aku di simpan di bagian Ekonomi," rutuk Joya sambil memasukkan mengocok kopi untuk Fajar."Kak Ani 'kan sakit, Kak. Ya udah mau gimana lagi, aku aja ampe b